• Blockquote

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Duis non justo nec auge

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (46)

Kamis, 04 Oktober 2012 0 komentar


Time Is Money

Secara tradisional masyarakat kita mengajarkan bahwa tujuan hidup atau cita-cita kemanusiaan kita adalah menjadi orang yang mulia, berguna bukan hanya bagi keluarga, melainkan untuk masyarakat, nusa dan bangsa. Maka tak heran jika anak-anak ditanya apa cita-citanya ketika besar nanti, jawabannya adalah profesi-profesi yang dipandang penuh pengabdian. Contoh yang paling populer adalah guru, dokter, polisi dan kadang ada juga yang nyeleneh seperti menjadi pasukan kuning (tukang sapu jalan). Hampir dipastikan tidak ada yang menjawab ingin menjadi politisi dan anggota DPR. Kalo ada yang berkaitan dengan politik, biasanya anak-anak akan menjawab ingin jadi Presiden. Itu karena Presiden kerap dicitrakan sebagai orang yang mengabdi pada bangsa, bapak bagi rakyat, baik dan tersenyum kepada siapa saja tanpa membeda-mbedakan.

Semakin anak-anak bertumbuh kemudian sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, ajaranpun akan semakin berkembang. Anak-anak berhadapan dengan apa yang disebut tuntutan dunia nyata. Bahwa untuk mendapat nilai yang baik bukan hanya bermodalkan otak yang encer dan pintar, melainkan juga mesti rajin membeli buku, ikut les yang diselenggarakan oleh guru dan tidak menolak atau keberatan saat diminta sumbangan sukarela oleh sekolah. Anak-anak muda ini sadar atau tidak mulai diajari bahwa duit itu penting. Dalam ajaran kaum munafik dikatakan uang memang bukan segala-galanya, tapi tanpa uang tak akan ada segalanya. Jadi apa bedanya dengan mengatakan uang adalah yang pertama dan utama. Apapun bisa didapat asal ada uang. Maka wajar peribahasa yang pertama dikenal dalam bahasa Inggris adalah “time is money”.

Dan coba tanyakan kembali apa cita-cita mereka kali ini. Mungkin saja masih menyebut dokter atau polisi, coba tanyakan kenapa?. Jawabannya kemungkinan besar masih ada bau-bau pengabdian tetapi sudah cenderung memandang bahwa itulah jenis pekerjaan yang mampu menghasilkan duit. Dokter dianggap bisa meresepkan obat yang setengah menyembuhkan sehingga pasien datang kembali. Belum lagi fee dari perusahaan-perusahaan obat yang terbantu karena sang dokter terus menerus meresepkannya. Menyebut polisi bukan untuk urusan gaji, sebab bisa jadi gajinya kecil, tapi sebagai polisi kemungkinan untuk mencari penghasilan diluar gaji cukup terbuka lebar.

Selain profesi itu akan mulai muncul profesi-profesi lain yang intinya bakal menghasilkan duit dengan cepat seperti menjadi artis, penyanyi, model, bintang film, teknisi tambang, pilot, pramugari, ahli IT, akuntan, pengusaha kuliner, distro dan sebagainya. Menjadi politisi terutama anggota DPR meski tidak terlalu lantang pasti mulai ada yang menyebutkannya. Semua tentu sadar bahwa jenis profesi yang mampu dengan cepat merubah nasib adalah dengan menjadi anggota dewan. Contohnya jelas, mereka yang datang naik angkot saat dilantik, tak lama kemudian akan bermobil dan segera membangun rumah baru.

Pilihan cita-cita kemudian erat dengan apa yang diperoleh lewat pekerjaan (profesi) yaitu uang atau penghasilan yang besar. Kesadaran bahwa uang itu penting memang dibangun lewat pengalaman di sekolah, pengalaman dalam masa pendidikan.

Saya tak akan memberikan contoh orang lain, cukup anak saya saja. Sampai dengan saat sekolah di TK, anak saya tak tahu uang sama sekali. Bekal di bawa dari rumah dan pada hari tertentu sekolah membagikan makanan tambahan. Di belakang sekolahnya ada kantin, tapi gurunya selalu melarang anak-anak keluar dari kompleks sekolah. Saya ingat persis, guru-guru mereka juga akan menegur anak-anak apabila membawa bekal sejenis snack dalam kemasan.

Keadaan berubah setelah masuk SD, setiap kali berangkat sekolah selalu meminta uang merah. Anak saya menyebut uang merah karena belum tahu nilai uang, tapi dia tahu uang yang berwana merah cukup untuk membeli jajanan di kantin sekolah. Dan tentu penjual di kantin juga sudah paham soal anak-anak yang belum tahu nilai persis selembar uang. Mereka fasih menerangkan dengan uang yang ada di tangan anak-anak, mereka bakal dapat apa, ini atau itu.

Sering kali saya berpikir, jangan-jangan anak saya ini semangat bersekolah karena disekolahnya ada kantin. Belanja itu menyenangkan dan itu intinya. Sebab kalau memang karena haus atau lapar karena lelah belajar maka sebenarnya bekal bisa dibawa dari rumah. Dan nyatanya begitu masuk SD, anak saya tak lagi mau membawa bekal dari rumah. Khan, di sekolah ada kantin, soto dan nasi gorengnya enak kok, begitu kilahnya kalau disiapkan bekal dari rumah.

Setelah beberapa bulan mengikuti pelajaran di SD, anak saya mulai bisa membaca mesti masih pelan-palan sambil mengeja. Selain itu juga mulai bisa berhitung hingga puluhan, baik tambahan maupun pengurangan. Tapi tetap saya merasa bahwa perkembangan yang paling cepat adalah persoalan uang. Anak saya dengan cepat memberitahukan pembayaran dan iuran ini itu, beli buku ini dan itu, harga ini dan itu di kantin serta berapa uang saku yang harus dibawanya setiap berangkat sekolah. Hari-hari sekolah adalah uang saku. Time is Money.

Pondok Wiraguna, 5 Oktober 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (45)

0 komentar


Untung Saya Lahir di Desa

Saya selalu merasa beruntung terlahir sebagai anak desa di sebuah kota kecil pada masa Indonesia sedang berusaha bangkit menjadi negara dengan model pembangunan yang modern. Pada masa itu sebagai anak-anak, saya bermain dengan segala jenis permainan yang dibuat sendiri dan berasal dari bahan-bahan yang ada di sekitar rumah. Kalaupun ada yang dibeli itu adalah jenis-jenis mainann yang tidak bisa dibuat sendiri seperti balon, pancing, gambaran, kartu dan kelereng.

Permainan elektronik belum dikenal, meski sudah ada saat itu. Hanya cucu eyang Bupati yang mempunyainya dan saya serta teman-teman tidak berusaha untuk ikut memilikinya. Tinggal di desa yang paling utama adalah bukan apa yang kita miliki melainkan sebanyak apa teman yang kita punyai. Berteman itu yang paling penting, semakin banyak teman akan semakin beragam jenis permainan yang bisa kita mainkan. Saya ingat persis, untuk membaca majalah atau buku bacaan lainnya diluar pelajaran sekolah, kami berpindah-pindah. Mulai dari teman yang punya koleksi majalah cerita bergambar yaitu EPPO, dikirim oleh orang tuanya yang bekerja di Jakarta. Setelah selesai pindah ke teman yang berlangganan majalah Hai. Sesekali kami bermain ke luar desa, ke rumah teman yang mengkoleksi komik Tintin terbitan Indira Yogyakarta.

Soal komik Tintin ini, karena begitu nge-fans, tak mampu membeli dan koleksi teman sudah habis dibaca maka saya dan teman-teman beramai-ramai pergi ke Yogyakarta. Saya pergi ke toko buku Indira bukan untuk membeli melainkan masuk dan membaca komik Tintin disana. Dengan bekal uang seadanya saya dan teman-teman berangkat ke Yogyakarta naik bus dan kemudian menyusuri jalanan disana dengan berjalan kaki mencari toko buku Indira. Dengan menahan haus, akhirnya ketemu juga toko buku Indira, segera saya masuk dan mulai membaca komik Tintin sepuasnya.

Sebagai anak desa, dimata saya banyak hal yang istimewa. Piknik mungkin sudah biasa bagi anak kota, tapi bagi saya jelas tidak. Saya hanya bisa bepergian ke tempat-tempat wisata saat sekolah mengadakan acara dharmawisata. Dengan menaiki bis tua, saya dan teman-teman menelusuri jalanan hingga kota lain, melihat candi yang selama ini hanya ditemui di buku pelajaran. Mulai dari Candi Borubudur, Candi Mendut, Candi Prambanan hingga Candi Gedong Sanga.

Selain tempat-tempat bersejarah biasanya dalam dharmawisata juga akan menyinggahi tempat rekreasi macam kebun binatang (bonbin), air terjun, waduk dan gua. Terkadang juga mengunjungi desa kerajinan untuk melihat kehidupan masyarakat yang menghasilkan karya-karya seperti keramik dan kerajinan lainnya.

Di masa liburan dengan segala keterbatasan biasanya saya dan teman-teman juga merencanakan liburan dengan bersepeda. Menempuh jarak puluhan kilometer menuju pantai selatan untuk melihat pantai berpasir dan bermain dengan air laut. Kalau tidak ke pantai, biasanya saya juga pergi ke gunung, bukan gunung api tapi bukit yang disana tumbuh aneka pohon buah-buahan. Ada yang dinamakan gunung jambu karena banyak jambu monyet dan jambu batu disana.

Tumbuh sebagai anak desa, membuat ukuran kesenangan dan kebahagiaan itu sederhana saja. Bukan karena apa yang miliki tapi apa yang bisa saya lakukan bersama kawan-kawan. Pasti bagi anak-anak sekarang apa yang saya lakukan dulu jelas tidak membahagiakan. Pergi puluhan kilometer dengan uang seadanya, hanya cukup untuk membeli beberapa biji ketimun untuk menyegarkan tenggorokan yang terasa kering karena terik matahari.

Anak-anak mana sekarang ini yang sudi pergi menempuh perjalanan 65 km hanya untuk membaca buku disana dan tidak membelinya. Capek deh ..mungkin itu kata mereka. Siapa juga yang mau naik sepeda, lalu jalan kaki menaiki bebukitan hanya untuk mengambil jambu monyet yang tidak enak rasanya dan salah-salah bisa bikin bibir terluka. Jelas itu semua nggak level untuk anak-anak sekarang.

Tentu saja bukan salah mereka, sebab kini bukit yang ditumbuhi buah-buahan tak ada lagi, sungai-sungai semakin keruh dan kotor hingga main dengan mandi-mandi disana tentu saja sebuah tindakan konyol. Dan sekarang ini untuk pergi melanglang buana kemana-mana, menikmati berbagai keindahan di kota-kota lain, melihat berbagai hal aneka warna tidak perlu dilakukan dengan berkendara kesana. Cukup satu kali klik dan semua tersaji di layar. Dan itulah yang diingini oleh anak saya, yang menurutnya akan lebih afdol apabila dilakukan dengan Samsung Galaxy tab. Sebuah gadget yang sampai hari inipun belum pernah saya pegang.

Pondok Wiraguna, 4 Oktober 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (44)

0 komentar


Ziarah Hingga Ke Luar Negeri

Mengapa orang gemar pergi ke tempat suci?. Apa yang sebenarnya mereka cari?.  Tiap orang akan mempunyai jawaban yang berbeda. Hanya saja selalu ada benang merah yaitu ingin bertemu atau merasakan kehadiran Tuhan. Mengalami nikmat spiritual atau pengalaman iman yang semakin mendewasakan dirinya. Banyak orang datang dan berdoa di tempat suci untuk bersyukur tapi tak sedikit pula yang datang bermohon, mengharap penyembuhan entah badani maupun rohani. Dan konon tak sedikit pula yang meminta untuk dilancarkan jodoh serta beroleh kekayaan duniawi.

Kunjungan ke tempat suci atau perjalanan ziarah semakin hari memang semakin populer. Kini bahkan muncul agen atau jasa perjalanan yang khusus mengurusi peziarahan. Paket ziarah yang dikemas dalam wisata rohani menyediakan berbagai tujuan bukan hanya di Indonesia saja melainkan sampai ke luar negeri.

Saya punya teman, seorang pastor yang mengalami ‘sengsara tapi membawa nikmat’. Beberapa tahun lalu mengalami kecelakaan sehingga kakinya bermasalah. Oleh karenanya kemudian ditempatkan bukan di paroki untuk mengurus jemaat, melainkan di tarik ke rumah biara yang ada di Jakarta, untuk mengendalikan urusan rumah tangga sembari terus melakukan perawatan untuk penyembuhan kakinya. Di sela-sela urusan itu, sang pastor melayani kegiatan-kegiata kategorial seperti misa untuk kelompok mahasiswa di Universitas Tarumanegara yang biasanya lebih banyak dihadiri oleh mahasiswi. Pokoknya yang bening-bening begitu katanya.

Nah, nikmat yang terbesar sebagai pastor non job adalah menjadi pembimbing rohani untuk wisatawan yang berziarah ke tanah suci. Berkali-kali sudah pergi ke Timur Tengah terutama ke Yerusalem dengan bonus menjejakkan kaki di tanah Mesir untuk melihat kemegahan budayanya di masa lampau. Tak heran jika kemudian dia hafal sudut-sudut bandara Ben Gurion, pintu masuk dan keluar ke serta dari tanah suci Yerusalem.

Coba andai saja teman pastor ini bertugas sebagai pastor di tanah Papua, tentu akan perlu waktu puluhan tahun hingga kemudian tiba masa cuti besar dan diberi bonus perjalanan ke tanah suci. Saya tidak menanyakan kepadanya apakah dia merasa bahagia dengan ‘kepastorannya’ yang tidak memimpin jemaat.

Sekali waktu saya ke Jakarta dan menemuinya, tidak di biara melainkan di toko buku Gramedia yang ada di Plaza Semanggi. Ngobrol sana-sini mengenang kembali masa-masa sekolah dulu. Saya sempat satu dekolah dengannya ketika SMP, lalu kembali satu medan ketika saya mengikuti Kelas Persiapan Atas di Kolese Petrus Kanisius Mertoyudan. Setelah itu selama beberapa tahun saya bersama lagi satu angkatan menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat di Bumi Nyiur Melambai, Sulawesi Utara.

Saya sempat menanyakan bagaimana kondisi kakinya. Dia menceritakan, penanganan dokter di Jawa Tengah dulu membuat panjang kakinya tidak sama sehingga kerap terasa sakit kalau harus menuruni tangga karena beban kaki kiri dan kanan tidak sama. Ras nyeri kerap menyerang kakinya kala hawa dingin di musim hujan. Ini kaki masih harus direparasi lagi, ucapnya sambil menyebut salah satu RS ternama di Jakarta tempat operasi akan dilakukan.

Setelah pertemuan itu berbulan-bulan saya tak terlalu intensif berkomunikasi hingga kemudian saya mendapat kabar operasinya telah dilakukan. “larang operasine’ begitu ucapnya singkat sambil menyebut angka yang mengejutkan untuk saya. Saya kemudian menanyakan apakah itu berarti dia akan kembali bertugas sebagai kepala jemaat di satu paroki. Dia menjawab, tidak dan malah mengatakan lagi mengurus visa untuk melanjutkan studi entah ke Mesir atau ke Eropa.
Tak lama kemudian lewat grup di BB, teman pastor saya ini mengatakan untuk sementara akan menonaktifkan BB-nya, dia harus segera berangkat ke Italia untuk melanjutkan studi. Ijin studi dari mesir tidak didapatnya maka dia kemudian memilih untuk studi di Roma Italia. Sebulan kemudian BB-nya kembali aktif. Di Roma dia kos di sebuah pastoran yang meski sama-sama Katolik tapi tetap saja memunggut bayaran. Makan dan minuman disediakan tapi seturut kebiasaan mereka yang tentu saja tak cocok untuk perut teman saya ini.

Karena kesalahan informasi, kedatangannya ke Italia terlalu cepat. Pelajaran masih dimulai beberapa bulan lagi. Hari-harinya diisi dengan kursus bahasa, menurutnya perkuliahan disana menuntut penguasaan empat bahasa. Italia dan Latin wajib, ditambah dua bahasa lagi, satu yang dia sudah kuasai yaitu Inggris, kemudian satu lagi yang mesti di pelajari. Saat ditanyai, saya menyarankan untuk belajar bahasa Spanyol saja. Siapa tahu nanti sepulangnya dari sana bisa menjadi komentator sepakbola liga Spanyol yang kini tengah terkenal di Indonesia.

Tentu saja selain belajar, dia juga memanfaatkan waktu untuk jalan-jalan, mendatangi banyak tempat yang dipandang suci di Roma Italia. Berkali-kali dia mengirimi gambar antrian orang yang hendak berziarah ke Basilika St. Petrus. Dan lagi-lagi dia mengatakan “lebih banyak yang bening-bening disini, pakaiannya juga lebih ekonomis”. Ziarah ke Italia memang banyak godaannya, di taman-taman banyak orang berpacaran, cuek saja berciuman meski orang lalu lalang.

Atas pengalamannya saya hanya bisa berpesan padanya untuk membuat dokumentasi, biar saya bisa ikut melihatnya sebab saya tak tahu kapan bisa berziarah hingga ke luar negeri.

Pondok Wiraguna, 3 Oktober 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (43)

0 komentar

Merayakan Bumi Bersama-Sama

 Saya tak ingat kapan mulai ikut ramai-ramai pergi ke kuburan desa yang ada di puncak bukit kira-kira 3 km dari dusun tempat saya tinggal. Pagi-pagi orang se-kampung pergi ke sana, membawa peralatan untuk bersih-bersih seperti cangkul, sabit, cetok dan sapu. Sebagian yang lain membawa alat perlengkapan dapur. Semua beriringan berjalan menelusuri jalan tanah dengan bebatuan yang tidak rata. Kalau kebetulan musim hujan dibeberapa tempat terasa licin karena tanahnya lempung (tanah liat). Sesampai di kuburan itu, saya langsung bersih-bersih kubur. Semua dibersihkan tanpa melihat itu kubur siapa. Semua bahu membahu sehingga kubur terlihat bersih tak ada semak atau rerumputan yang menutupi nisan. Disaat yang lain bersih-bersih, sebagian yang lain mulai menyembelih kambing dan ayam, ada pula yang mulai memasak nasi dan sayuran. Semua dilakukan di kuburan.

Menjelang tengah hari, kuburan telah bersih dan makanan telah masak. Diatas hamparan tikar dan kemudian beralaskan daun pisang utuh yang dijajar, nasi, lauk dan sayur yang dimasak ditata. Kemudian Pak Kaum akan memimpin rangkaian doa, mendoakan arwah dan para leluhur dan memintakan keselamatan untuk warga satu desa agar terhindar dari penyakit dan sial lainnya. Setelah doa selesai, semua serempak maju menyerbu, menyantap makanan yang tersedia. Apa yang saya ikuti dulu adalah kebiasaan masyarakat tradisional, bukan hanya ditempat saya tapi lazim juga dilakukan di berbagai tempat dan kebudayaan lain.

Masyarakat mempunyai kebiasaan untuk melakukan upacara bersih bumi. Ada yang dilakukan secara berkala (tahunan) dan ada pula yang didasarkan pada kejadian-kejadian yang menimpa masyarakat itu di waktu yang lalu. Kejadian-kejadian besar seperti bencana, adanya wabah penyakit (pagebluk), gagal panen,kecelakaan, serangan hama dan meningkatnya kejahatan di masyarakat yang datang silih berganti pertanda ada yang tidak beres dalam hubungan antara alam manusia dengan alam atas. Yang di atas sana tidak berkenan terhadap lagak dan laku dari mahkluk-mahkluk terutama manusia di atas bumi. Segala macam penderitaan, kesialan dan kesengsaraan harus dihentikan. Oleh karenanya dilakukanlah upacara bersih bumi.

Upacara sakral yang dilakukan masyarakat untuk membersihkan lingkungannya dari anasir-anasir jahat yang menyebabkan berbagai macam penderitaan. Upacara itu juga merupakan bentuk atau ekpresi niat kolektif untuk membersihkan diri, sehingga tidak lagi mendapat penghukuman dari Yang Maha Kuasa. Masyarakat tradisional menganggap bahwa apa yang terjadi di bumi adalah cermin dari sikap dan perilaku mereka dalam hubungan dengan sesama ciptaan maupun Sang Hyang menguasai bumi dan segala isinya.

Pada bagian lain, ketika saya di Sulawesi Utara, pada masa-masa tertentu di berbagai desa yang ada di pelosok Minahasa dilaksanakan upacara Pengucapan. Upacara ini pada dasarnya adalah pengucapan syukur atas hasil panenan yang berlimpah. Karena dulu cengkeh mendatangkan kemakmuran bagi hampir sebagian besar masyarakat Minahasa, maka biasanya upacara pengucapan dilaksanakan setelah panen cengkeh. Pada saat hari pengucapan, semua warga memasak, membuat nasi jaha yang dimasak di bambu (semacam lemang). Setiap orang saling berkunjung dari rumah ke rumah dan pulangnya akan diberi oleh-oleh ‘meriam’, nasi jaha yang masih utuh dengan bambunya.

Di Long Anai, Kutai Kartanegara pada masa setelah panen padi juga dilakukan upacara syukuran yang serupa. Upacara makan beras baru, beras yang baru dipanen dari kebun. Saat itu juga dibuat semacam kue yang bahannya tepung beras dan dimasak dalam bambu.

Upacara syukur baik setelah panen cengkeh maupun padi pada dasarnya sama. Warga masyarakat bersama-sama mengucapkan syukur atas panenan yang berlimpah, panenan yang baik sembari berharap di hari ke depan akan menikmati panennya yang sama berlimpah, terhindar dari hama dan gangguan lain. Upacara kolektif itu kini semakin pudar dan mengalami pergeseran. Perjumpaan peradaban dan kepercayaan tradisional dengan agama-agama Ibrahim melahirkan tafsir dan wujud baru dalam upacara-upacara tradisional. Upacara atau peringatan tetap dilaksanakan tapi kehilangan roh keramaian, kolektifitas dan spirit awal.

Kini upacara itu lebih banyak dilakukan di gedung atau rumah ibadah atau bahkan di gedung pertemuan. Lebih sial lagi dengan mengundang pemuka-pemuka pemerintahan yang kemudian akan memberi sambutan dan juga pidato yang membuat acara menjadi membosankan. Saya yakin kini anak-anak di desa saya tak lagi pergi ke kuburan di atas bukit untuk ramai-ramai membersihkan kuburan dan makan bersama di sana.

Demikian juga di Minahasa sana, pasti pengucapan tak lagi membuat jalanan antara Pineleng sampai Tomohon macet saking ramainya karena semua tumpah ruah ‘pasiar’ ke kampung yang mengadakan pengucapan. Semakin kesini, masyarakat kita semakin kehilangan event atau peristiwa untuk merayakan kebersamaan, merayakan syukur secara kolektif atas anugerah yang diberikan oleh Tuhan melalui alam.

Pondok Wiraguna, 5 Oktober 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (42)

0 komentar


Anak Jakarta Memang Bernyali

Sebenarnya saya gagal menangkap dengan utuh dan menerangkan dengan cukup tentang apa yang melatari fenomena semakin maraknya anak-anak sekolah terlibat tawuran hingga sampai menimbulkan korban jiwa. Oleh karena itu dari pada susah-susah memikirkan serta mencari rujukkan teori atas fenomena itu, jauh lebih mudah bagi saya untuk berempati, mencoba menyelami, gerang apa yang dialami oleh anak-anak itu.

Pertama harus saya akui bahwa mereka jauh lebih pemberani daripada saya kala duduk di bangku SMP dan SMA dulu. Seingat saya, selama duduk di bangku SMP sampai SMA hanya sekali terlibat perkelahian massal, itupun tak berlangsung lama serta terjadi di sekitar sekolah. Waktu itu sempat ada batu melayang mengenai papan nama sekolah yang terbuat dari seng sehingga penyok.

Kedua, harus juga saya akui bahwa anak-anak yang terlibat tawuran sekarang ini jelas solidaritasnya lebih tinggi tinimbang saya dulu dengan teman-teman lainnya. Saya lebih banyak mengatakan tidak karena takut berbuat kesalahan di sekolah. Bukan apa-apa karena saya bakal kena marah dua kali, satu di sekolah dan satu lagi di rumah. Sebabnya bapak saya adalah guru di sekolah lain yang se-yayasan dengan sekolah saya, maka pasti guru saya bakal lapor ke bapak apabila saya berbuat kesalahan di sekolah.

Nyali dan solidaritas yang besar apabila tidak diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang positif tentu saja berpotensi untuk mengalir dalam tindakan yang negatif. Nah, di Jakarta tentu berbeda jauh dengan kota tempat saya hidup dan belajar. Saya belajar di kota kecil saat SMP, di Ibukota Kabupaten Purworejo, lalu saat SMA saya justru belajar di kota kecamatan, kecamatan yang paling tidak ramai di kabupaten Purworejo. Dalam kondisi seperti itu maka wajar kalau guru-guru saya mengenal murid-muridnya dengan baik. Bisa mengawasi murid-muridnya bahkan saat jam sekolah sudah berakhir.

Dengan baju seragam saya selalu hati-hati bertindak, sebab bukan tidak mungkin ada guru yang melihat meski sudah pulang sekolah atau dalam perjalanan dari sekolah ke rumah. Kerap kali saya juga satu angkot baik dengan bu guru atau pak guru yang tinggal tak jauh dari rumah saya.

Pengalaman seperti itu tentu saja tidak dialami oleh anak-anak Jakarta yang doyan tawuran itu. Arah datang dan pergi baik guru atau murid barangkali tak seiring sejalan. Kesibukan guru dan murid juga sudah berlainan sepulang sekolah. Guru buru-buru pingin cepat pulang agar tidak kena macet atau mengejar waktu untuk urusan lain. Tentu saja guru sulit meluangkan waktu untuk mengawasi murid-muridnya sepulang jam sekolah.

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, begitu kata pepatah. Demikian pula anak-anak, pelajar dengan segenap persepsi, sikap dan perilakunya tentu merupakan hasil (buah) dari lingkungannya. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang ruwet, sempit, pengap dan sesak, terkurung dalam bangunan-bangunan menjulang tapi kehilangan tempat bermain tentu beda dengan anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan persawahan, sungai yang masih jernih dan pepohonan ada di mana-mana.

Anak-anak Jakarta adalah generasi yang hidup dalam tekanan dari segala arah. Jauh lebih banyak godaan tetapi juga lebih banyak pula kekhawatiran yang menghantui diri mereka. Pagi-pagi saja sudah berpacu dengan waktu agar bisa sampai sekolah dengan tepat waktu. Pulangnya kembali mereka berjuang agar bisa sampai rumah tanpa terjebak kemacetan. Andai rumah dan lingkungan di sekitarnya tidak menyenangkan maka waktu antara pulang sekolah dan sampai dirumah, akan diisi dengan aktivitas lain untuk menghilangkan kepenatan. Dan waktu-waktu seperti inilah yang berpotensi untuk diisi dengan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan status mereka sebagai pelajar.

Siapa yang mengawasi dan menemani mereka, anak-anak yang cepat bosan di tengah rimba Jakarta?. Orang tua kah?. Tentu saja tidak mungkin sebab orang tuanya juga sibuk membanting tulang, berangkat dari rumah di pagi buta, pulang kala mentari sudah lama tertidur dalam pelukkan senja. Begitu keluar rumah dan keluar sekolah, anak-anak menjadi mahkluk liar tanpa pengawasan, meski berada di tengah-tengah lingkungan yang modern. Siapa lagi yang peduli pada anak-anak, para pelajar ketika mereka berada di jalanan?.

Memasuki jalanan di Kota Jakarta dan juga kota-kota besar lainnya ibarat memasuki medan pertempuran. Semua berebut untuk mendapatkan jalur terlebih dahulu tak peduli membuat yang lainnya terhambat. Perjuangan di jalanan adalah menahklukkan lampu lalulintas agar kita tak terjebak terlalu lama karenanya. Dan hampir sebagian besar waktu anak-anak, para pelajar di habiskan di jalanan, berjuang untuk ‘survive’ agar tepat waktu sampai di sekolah dan sampai dirumah. Watak jalanan adalah watak yang membentuk kepribadiaannya.

Saya semasa kecil dulu sering beradu nyali dengan teman-teman sepermainan dengan cara menyebrangi sungai, terjun dari tebing, memanjat pohon yang tinggi, menaiki kerbau, melempar sarang tawon dan sesekali mencuri buah di rumah orang dengan cara ‘menyambit’ di siang hari. Dan tentu saja beda dengan adu nyali anak-anak Jakarta, yang mesti berani memacu kendaraan (motor) meliuk-liuk di antara keramaian, bergantungan di metro mini, menghentikan kendaraan angkutan, meloncat ke dalam kereta meski belum berhenti dan seterusnya. Nyali yang dipertaruhkan bukan karena untuk mendapat kesenangan melainkan sebagai kemestian agar tidak tertinggal dan terlambat.

Saya sadar bahwa dahulu juga pernah berkelahi, main keroyokkan, tawuran memperebutkan lapangan sepakbola dengan anak-anak kampung sebelah. Tapi tetap harus saya akui anak-anak Jakarta lebih punya nyali, lebih berani dan lebih rajin berkelahi. Dulu saya dan teman-teman kalau berkelahi hampir tak pernah memakai alat bantu, berkalahi hanya bermodal tangan kosong, walau terkadang juga memakai batu. Tapi saya dan teman-teman jelas akan lari terbirit-birit ketakutan jika ada lawan yang terkena batu dan berdarah. Saya dan teman-teman jadi takut sendiri. Jadi sejatinya batu hanya digunakan untuk menakut-nakuti bukan sungguh-sungguh ingin menyakiti.

Jadi soal berkelahi sebetulnya tak terlalu menghkhawatirkan. Toh, itu terjadi pada siapa saja, bukankah para petinggi juga kerap menunjukkan bahwa mereka doyan berkelahi bahkan di gedung-gedung yang terhormat. Mereka bahkan bukan hanya berkelahi tapi juga mencuri meski mereka adalah orang-orang terhormat. Dan anak-anak belajar bahwa para pencuri yang terhormat ternyata tak pernah menunjukkan sesal dan rasa salah. Status tersangka tak membuat mereka merunduk dan kehilangan senyum.

Maka meskipun saya prihatin ketika ada anak-anak berkelahi, melukai lawannya dan tidak menyesal bahkan merasa puas karena memenangkan perang; namun saya mahfum karena mereka hanya belajar dari para tetua yang sesungguhnya tetap berlaku bak anak-anak yang abadi.

Pondok Wiraguna, 4 Oktober 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (41)

0 komentar

Hanya Tuhan Yang Belum Mereka Datangkan

Peralihan kekuasaan dari masa regim orde baru ke regim orde otonomi daerah melahirkan beberapa daerah yang dikenal ‘kaya’. Kabupaten Kutai Kartanegara menjadi The Rising Star, terlebih dengan gaya kepemimpinan bupati Syaukani HR yang dikenal royal dalam membagi-bagikan kekayaan daerahnya. Syaukani bukan hanya populer di Kutai Kartanegara dan Kalimantan Timur melainkan namanya juga berkibar ke seluruh pelosok Indonesia. Jika menilik dari perjalanan sejarah, Kutai Kartanegara sejak jaman kesultanan sudah merupakan daerah yang kaya raya. Tidak usah menenggok keseluruhan wilayahnya yang sangat luas, ambil contoh saja kawasan yang dikenal sebagai delta Mahakam.

Daerah yang kini menjadi wilayah Kecamatan Muara Jawa, Kecamatan Anggana dan Kecamatan Muara Badak. Kawasan ini terbentuk dari proses sedimentasi yang sudah berlangsung sejak 5000 tahun yang lampau. Kawasan Delta Mahakam adalah daerah yang berbentuk seperti kipas, merupakan daerah dataran berlumpur, rawa-rawa dengan banyak anak sungai membelah-belah daratannya. Daerah ini banyak ditumbuhi pohon Nipah-Nipah, Bakau dan Api-Api. Tak heran jika kemudian kawasan ini dikenal sebagai penghasil ikan dan udang. Kaum migran dari Bugis adalah pelopor pembukaan kawasan ini untuk pertambakan tradisional.

Selain kekayaan hayati yang berlimpah, kawasan ini juga mempunyai kekayaan non hayati yaitu minyak dan gas. Di Jaman pemerintahan Sultan Aji Sultan Muhammad Sulaiman diberikan konsesi pada JH Menten untuk kegiatan ekplorasi minyak. Konsesi adalah hak atas penguasaan tanah bagi modal partikelir di daerah penguasaan tidak langsung. Potensi migas itu kemudian dikelola oleh Shell yang mendapatkan konsesi dari JH Menten dan Royal Dutch. Kini potensi migas itu dikelola oleh Pertamina dengan sistem kontrak bagi hasil. Adapun kontraktornya antara lain Total FinaElf Indonesie, VICO,UNOCAL, Expans dll. Kini sebagian besar potensi migas diekploitasi oleh Total FinaElf Indonesie baik pada sumur-sumur di daratan maupun lepas pantai.

Potensi migas membuat kawasan ini menjadi kawasan strategis baik secara lokal, nasional maupun internasional. Sebab selain kekayaannya kawasan ini juga berada di dalam kawasan selat Makassar yang merupakan jalur pelayaran domestik maupun internasional yang ramai.Dari sejarahnya, kawasan ini juga merupakan cikal bakal dari kelahiran Kesultanan Kutai Kartanegara, yang dulunya berdiri di daerah Jaitan Layar dan kemudian Tepian Batu (Kutai Lama, Kecamatan Anggana). Karena faktor keamanan maka kemudian Kerajaan Kutai Kartanegara dipindah ke Pemarangan (Jembayan), hingga kemudian ke Tangga Arung (Tengarong) yang kini menjadi Ibu Kota Kabupaten Kutai

Kartanegara. Kutai Kartanegara sejak lahir hingga hari ini memang kaya, kaya karena bagi hasil dari ekploitasi sumberdaya alamnya. Adalah sebuah godaan bagi mereka-mereka yang kaya untuk menunjukkan kelebihannya dibandingkan dengan yang lainnya. Seolah ingin membuat yang lain mengatakan ‘wow’. Dan Kabupaten Kutai Kartanegara dimasa otonomi daerah memang kerap memaksa kita untuk mengatakan ‘wow’. Pulau Kumala, yang dulu dianggap sarang jin disulap menjadi kawasan hiburan dengan aneka fasilitas yang tak ada di tempat lainnya di bumi Kalimantan. Trilyunan rupiah diguyurkan untuk me ‘ make over’ pulau yang ada di tengah sungai Mahakam itu. Di sebelahnya terbentang megah (sebelum runtuh) jembatan Kartanegara yang gagah bak jembatan Golden Gate di San Fransisco. Ada juga planetarium dan seterusnya. Bahkan, suatu kali pemerintah Kutai Kartanegara ingin membangun bandara sendiri meski tidak direstui oleh pemerintah nasional.

Kekayaan nampaknya bisa membuat mereka merencanakan apa saja. Untuk meramaikan rangkaian upacara HUT Tenggarong, Pemerintah Kutai Kartanegara berniat mendatangkan kelompok musik cadas yang dulu pernah ternama yaitu SEPULTURA. Bagi para pengemar musik keras tentu saja ini kabar berita yang mengembirakan. Bukan saja bagi mereka yang ada di Kutai Kartanegara dan sekitarnya, melainkan juga bagi para pengemar SEPULTURA di seluruh Indonesia. Kenapa?. Ya karena yang mengundang adalah kabupaten kaya maka pertunjukkan ini akan dilaksanakan secara gratis. Haram hukumnya kalau pertunjukkan ini memunggut uang bayaran bagi penontonnya.

Dan bukan sekali dua kali, Kutai Kartanegara menyelenggarakan pertunjukkan besar yang pasti tiketnya mahal andai dipentaskan di Jakarta atau kota lainnya. Chris John dua kali manggung dalam pentas perebutan gelar kejuaraan di Kutai Kartanegara dalam sebuah pertandingan yang digratiskan untuk masyarakat. Ketika jaman Smack Down dulu, pernah juga diundang grup wrestling dari Jepang untuk melakukan pentas yang digratiskan bagi masyarakat. Itu hanya sebagian contoh, masih banyak contoh-contoh lain dimana Kutai Kartanegara mengundang tokoh, pembicara atau penampil nasional maupun internasional yang tentu saja mahal ongkosnya tapi hadirin tak perlu merogoh koceknya.

Bagi saya, ya apa mau dikata, toh itu karena mereka mampu. Hanya kerap kali saya merasa ada ironi-ironi tertentu terutama berkaitan dengan anak-anak. Kabupaten Kutai Kartanegara pernah menerima penghargaan karena Zona Bebas Pekerja Anak, dan kemudian juga memproklamirkan diri sebagai Kabupaten yang layak anak. Melihat apa-apa yang didatangkan saat acara besar atau peringatan hari besar, betapa kasihannya anak-anak karena pemerintah Kutai Kartanegara hampir tak terdengar mendatangkan sesuatu yang cocok untuk anak-anak. Belum pernah terdengar mereka mendatangkan kelompok Sirkus Oriental untuk menghibur anak-anak. Atau mengadakan pagelaran opera atau operet yang pas dan cocok untuk ditonton oleh anak-anak. Entahlah apa yang ada di benak orang-orang dewasa di Kutai Kartanegara yang kini punya kekuasaan atas kekayaan daerah itu.

Kekayaan yang hanya mereka gunakan untuk kepuasan dan hiburan mereka sendiri. Mungkin mereka-mereka ini di saat kanak-kanak kurang bahagia, maka ketika mereka berkuasa dan punya kuasa atas kekayaan, maka uang itu digunakan untuk segala sesuatu yang menghibur diri mereka sendiri, menyenangkan diri sendiri untuk menutup pengalaman tidak bahagia di masa kecilnya.

Selamat datang SEPULTURA, silahkan hibur orang-orang muda dan dewasa di Kutai Kartanegara, tapi jangan lupa sampaikan juga simpati dan keprihatinan untuk anak-anak disana yang tidak diperhatikan hiburannya oleh mereka-mereka yang lebih tua. Dan untuk anak-anak Kutai Kartanegara, berdoalah agar pemimpin kalian bisa mendatangkan Tuhan Yang Maha Kuasa ke Kota

Raja. Pondok Wiraguna, 3 Oktober 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (40)

0 komentar


Ada Nanah Dalam Amanah

Magister, guru spiritual saya mengatakan puncak dari kebahagiaan manusia adalah apabila merasa hidupnya berarti. Berarti karena berguna untuk orang lain, punya peran dalam kehidupan bersama. 

Namun kemudian dia mengingatkan bahwa apa yang disebut dengan makna, guna dan peran itu berbeda-beda untuk setiap orang. Dan patokan itu tidak selalu substansial.

Bicara soal peran, saat ini terbuka banyak sekali ruang peran itu. Salah satunya adalah peran dalam kehidupan bersama melalui organisasi terutama organisasi kader. Organisasi yang selalu mengadakan secara rutin pendidikan kader, pendidikan kepemimpinan yang membuat banyak anggota organisasi itu berebut menjadi pimpinan.

Tak mengherankan jika kemudian kala tiba saatnya untuk melakukan pemilihan ketua baru ada sejumlah calon yang berebut untuk mendudukinya. Dan dalam organisasi semulia apapun, kalau ada banyak orang yang memperebutkan jabatan ketua maka secara otomatis akan terjadi persaingan yang panas dan cenderung kotor.

Berkali-kali saya menemukan peristiwa suksesi dari sebuah organisasi yang dihari-hari normal hampir tak ada yang membicarakannya. Kalaupun ada biasanya tentang betapa organisasi itu tak ada dinamika, kegiatannya itu-itu saja dari waktu ke waktu, pendek kata tak ada signifikasinya sama sekali untuk masyarakat. Namun ketika tiba saat pergantian pengurus atau ketua, tiba-tiba ramai diperbincangkan dan organisasi yang tadinya dipandang sebelah mata kini menjadi seperti amat penting.

Jika kemudian dipetakan aktor-aktor dan kelompok kepentingan yang ikut dibalik perebutan ketua dan struktur pengurusnya, maka bisa jadi kita akan heran. Betapa banyak aktor dan kelompok kepentingan yang terlibat didalamnya, jika ditarik garis antar mereka maka akan tercipta ‘spider web’, jaring laba-laba yang ruwet.

Bagi para pengamat, pengembira dan tim peramai, jaring laba-laba ini akan jadi ‘jaring raba-raba’ yang menarik untuk dibicarakan. Siapa mendukung siapa, restunya dari mana, apa bentuk dukungannya, apa kepentingan yang diperjuangkan oleh aktor-aktor itu dan bagaimana nanti akan berakhir. Tidak ada perbincangan tentang visi misi, toh para calon kerap kali sudah diketahui isi otak sampai dengkulnya.

Sebenarnya dalam benak saya betapa mengembirakan bahwa banyak orang ingin berperan, memberi diri untuk memimpin suatu organisasi, apalagi jika organisasi itu mempunyai mandat sosial dan demi kemahslahatan orang banyak. Ini berarti banyak pengabdi, apalagi ketua atau pemimpin selalu berarti sebagai pemegang amanah, amanah dari para konstituen organisasi.

Tapi kembali kepada peran substantif dari seorang pemimpin atau ketua, nyatanya kedudukan sering kali dianggap sebagai tujuan, bukan peran. Maka yang terpenting adalah menjadi ketua, sehingga jalan bisa tegak gagah, diundang dalam berbagai pertemuan penting, dan disapa serta bisa memerintah hingga kerap mendapat jawaban “siap ketua”.

Menjadi ketua bisa jadi merupakan candu, tak heran ada yang tak sudi diganti, sejak organisasi berdiri hingga mau bubar. Ada juga yang merangkap jabatan ketua kanan kiri, hingga jumlahnya melewati hari dalam satu minggu. Bayangkan mengurus satu organisasi saja sulit, tapi ternyata banyak yang merangkap jadi ketua sampai puluhan organisasi. Alangkah hebatnya orang ini dan di negeri ini jumlahnya tak sedikit. Maka jika benar mereka ini adalah orang-orang hebat, bukankah seharusnya negeri ini juga menjadi negeri hebat.

Inilah sebuah ironi kalau kedudukan adalah tujuan, sehingga kedudukan bukanlah pencapaian. Kedudukan bukan sebuah kehormatan atas apa yang dicapai oleh seseorang dalam suatu bidang tertentu. Tak heran jika kemudian kedudukan bukan dicapai melainkan direbut atau bahkan ada yang dibeli. Jika kedudukan adalah kehormatan, maka kehormatan di negeri ini sebagian besar adalah kehormatan yang dibeli.

Menjelang pemilihan, biasanya di jalanan akan terpampang baliho, dengan pesan “Pilihlah yang Amanah”. Dan tentu saja semua orang setuju, karena pemimpin adalah pemegang amanah. Tapi jika kemudian para pemegang amanah tak berhasil mendatangkan kebaikan bersama, maka tak perlu heran sebab ada nanah dalam amanah.

Pondok Wiraguna, 4 Oktober 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (39)

Rabu, 03 Oktober 2012 0 komentar


Puas Melakukan Kekerasan

Siapapun yang berkelahi, harus angkat kaki hari itu juga. Begitu peraturan di sebuah sekolah berasrama yang tak mau mentoleransi perkelahian antar siswanya. Jadi perkelahian apapun alasannya tak akan diterima. Pilihan berkelahi, mengambil jalan kekerasan lawan kekerasan adalah pilihan buruk. Jadi pada alasan yang buruk, pembelaan tentang niat yang baik atau apapun tak bisa diterima.

Sejauh pengalaman saya dulu, sekolah-sekolah yang kemudian dikenal menjadi sekolah favorit adalah sekolah-sekolah yang tegas dan konsisten menjalankan peraturan. Sekolah yang berani menyatakan banyak muridnya tidak naik dan tidak lulus. Tak heran jika seorang murid yang tidak naik di sekolah itu kemudian pindah ke sekolah lain maka akan dinaikkan kelasnya.

Tak heran jika kemudian sekolah-sekolah itu menghasilkan para murid ‘teladan’ walau tanpa melabeli diri sebagai Laboratory School yang hanya memilih-milih murid yang pintar-pintar. Atau tak memasang plang nama sebagai Rintisan Sekolah Berstandar Internasional yang kemudian mendewakan bahasa Inggris sebagai pengantarnya.

Sekolah-sekolah yang bermutu, sekali lagi adalah sekolah yang dikenal karena kedisiplinan dan ketegasannya. Bukan karena gedung yang megah atau uang bayaran sekolah yang tinggi. Dengan demikian siapapun yang masuk sekolah itu akan benar-benar sekolah dan rajin belajar. Sekolah-sekolah yang demikian ini tidak banyak, namun kemudian menjadi contoh dan rujukkan bagi sekolah lain untuk berusaha mendekati, menyamai atau bahkan melampauinya.

Saya mengalami dan merasakan saat itu “teladan’ adalah kata dan kedudukan yang dipandang penting. Sejak SD hingga SMP, saya mengenal nama Ida Safitri, anak perempuan yang selalu menjadi murid teladan mulai dari tingkat SD, SMP dan SMA. Foto Ida Safitri selalu ada dalam kalender yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Purworejo dan dibagikan ke sekolah-sekolah. Ida Safitri yang kemudian menjadi murid teladan hingga tingkat nasional itu kemudian diterima di UGM tanpa tes.

Melihat dinamika pendidikan dasar (SD, SMU, SMA) pada hari ini, entah apakah kata teladan masih penting atau tidak. Atau jenis keteladanan apa yang sekarang tumbuh dan berkembang di tingkatan sekolah maupun murid-muridnya?.  Saya sendiri tidak tahu persis apa yang ada dalam benak anak-anak sekolah saat ini, sebab sudah lama saya meninggalkan bangku sekolah.

Namun kalau dilihat sekilas, apa yang disebut sebagai gaya hidup kelihatannya sudah merasuk sampai anak-anak sekolah di tingkat pendidikan dasar. Anak-anak sekarang lebih cerewet soal apa yang dipakai atau tidak, disukai atau tidak, ditonton atau tidak, dan lain-lain dibanding anak-anak di jaman saya kecil.

Saya sendiri memaklumi perkembangan ini karena referensi anak-anak sekarang jauh lebih banyak dari jaman saya dulu yang saluran televisinya cuma satu, majalah anak-anak baru ada bobo dan si kuncung, video belum ada apalagi PS dan internet. Dan tentu saja tidak usah jauh-jauh telepon saja tak ada. Saya ingat persis saat itu yang ada teleponnya hanya kantor Kawedanan (pembantu bupati), itupun baru telepon engkol.

Bandingkan dengan anak-anak sekarang, sejak sebelum sekolahpun sudah akrab dengan berbagai macam gadget yang berbasis IT. Native anak-anak saat ini adalah online alias web base. Sementara saya sebagai orang tuanya bernative sawah dan anak sungai. Tak heran ketika saya memakai BB, maka anak saya sudah meminta untuk dibelikan tab. Saat saya tawari tab China semacam IMO atau Mito, dia menolak karena setahu dia yang disebut tab itu ya Samsung Galaxy tab atau IPAD.

Saya tidak tahu apakah di sekolah, anak-anak sekarang ini diajari soal kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Atau barangkali memang telah terjadi pergeseran dengan apa yang disebut kebutuhan, apa yang dulu dianggap tersier kini telah menjadi primer. Sehingga tak jarang ada yang lebih memilih lapar daripada tidak punya pulsa. Lebih baik makan seadanya daripada kesana-kemari dengan mobil angkutan umum.

Perubahan seperti ini memang merisaukan dan perlu penyesuaian. Tapi ada sebuah perubahan yang bagi saya sangat memprihatinkan. Disaat jaman semakin maju, pendidikan yang seharusnya makin canggih tapi justru melahirkan perilaku-perilaku barbar. Semakin hari kejadian tawuran semakin meningkat. Tawuran yang tidak sekedar menggunakan tangan kosong dan bebatuan tapi juga senjata tajam. Tas sekolah yang semakin keren, buku yang makin tebal dengan sampul yang makin berkilap serta gambar dengan pixel atau tingkat ketajaman yang makin tinggi ternyata diselipi dengan Arit yang seharusnya dipakai untuk memotong rumput.

Entah apa yang ada dalam benak anak-anak itu sehingga mengotori tasnya yang mahal dengan segala sesuatu yang dalam kesehariannya jarang atau bahkan tak pernah mereka gunakan. Coba saja, mana ada anak-anak sekolahan yang sekarang mau menyabit untuk mengumpulkan rumput bagi ternak ayah atau ibunya?. Pasti tak banyak dan kalaupun ada itu hanya dilakukan anak-anak di desa, bukan anak perkotaan macam Jakarta.

Persoalan tawuran yang semakin tinggi intensitasnya, makin rutin dan terjadi serta merta bukan semata persoalan dunia pendidikan saja. Benar bahwa tawuran dilakukan oleh anak-anak yang sedang dalam masa belajar, berseragam sekolah, terjadi dalam hari-hari sekolah. Perilaku seorang atau sekelompok pelajar bukan hanya produk dari lingkungan sosial melain bertali temali dengan persoalan dan dinamika yang terjadi di luarnya, di masyarakat, dalam lingkungan sosial.

Kejadian tawuran antara sekolah yang sama dari waktu ke waktu meski dengan peserta tawuran yang berbeda-beda, menunjukkan dendam antar sekolah diturunkan turun temurun, dari generasi ke generasi. Padahal entah apa yang dulunya memicu dendam itu, persoalan pribadi antar orang, harga diri atau apa?. Dendam yang dipelihara dari ke hari akan melahirkan kekerasan yang semakin brutal. Lingkaran tradisi dendam, membuat mereka yang tadinya tak punya urusan lalu masuk dalam sistem itu maka mau tak mau merasa punya urusan.

Semakin banyak anak yang dengan suka rela menyerahkan diri dalam ‘tekanan tradisi tawuran’ menunjukkan bahwa semakin banyak anak-anak yang lemah secara kepribadian, takut mandiri, kehilangan target untuk membangun masa depannya yang masih panjang. Anak-anak lebih menyerahkan dirinya untuk ikut arus, ramai dalam tindakan-tindakan yang tidak didasari oleh pemikiran akan masa depan. Ruang waktu ke depan yang dijangkau oleh anak-anak kian pendek. Anak-anak sekarang bukanlah anak yang tahan diam dalam sepi, cepat bosan, sedikit-sedikit bilang bete.

Pada sisi lain tekanan sosial untuk menjadi “good boy dan nice girls’ semakin lemah. Lingkungan tak lagi peduli, kebertetanggaan semakin lemah. Antara keluarga yang berdekatan tak lagi saling mengenal dan mau ikut campur urusan orang lain. Tak ada lagi yang berani menegur kala anak-anak di jam sekolah bergerombol duduk-duduk di ujung jembatan atau di tempat lainnya.

Dan jika kembali ke soal keteladanan, anak-anak sekarang sulit mencari teladan, tokoh panutan. Mereka lebih mengagumi sosok-sosok yang kerap keluar di layar televisi dan layar lebar, sosok selebritas yang nampaknya bahagia, penuh senyum dan riang gembira dalam lirik dan nada. Tokoh-tokoh publik tak lagi mereka kagumi, karena terlalu banyak contoh yang menunjukkan mereka tak bisa dipercaya. terlalu banyak contoh nasehat dan khotbah bagus tapi tak dilaksanakan sendiri oleh yang mengatakannya.

Saya sempat berpikir, jangan-jangan semakin rajinnya anak-anak tawuran merupakan pertanda bahwa bangsa ini sakitnya mulai kelihatan. Bangsa ini kehilangan arah ke masa depan yang lebih baik. Coba, apa yang ada dalam benak anak-anak yang tawuran itu, apa yang mereka perjuangkan, apa yang coba mereka perebutkan?. Kemenangan atau kebanggaan?. Kalau itu, kemenangan apa dan kebanggaan macam apa?.

Saya tak tahu, tapi ada satu hal yang saya berharap dengan sangat dalam yaitu semoga mereka tidak melakukan itu untuk mendapat kepuasan. Puas karena telah melakukan kekerasan, puas karena membuat lawannya yang adalah rekan segenerasinya menderita atau bahkan mati.

Pondok Wiraguna, 2 Oktober  2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (38)

Minggu, 30 September 2012 0 komentar

Agama dan Transformasi

Jika kita menyusuri kembali sejarah perjalanan para Nabi, Agama dan para tokohnya di masa perdana, lepas dari berbagai catatan hitam konfliknya, ada sebuah benang merah bahwa agama hadir dan diterima karena membawa nilai-nilai transformatif. Agama dengan ajaran yang diturunkan dari para Nabinya membawa arus baru untuk merubah praktek kehidupan masyarakat masa itu menuju perilaku baru.

Ajaran-ajaran agama adalah refleksi atas keadaan sejaman yang tidak sesuai dengan tugas-tugas kemanusian. Hasil refleksi itu kemudian muncul dalam sebuah tuntunan dan tuntutan baru atas dasar ajaran tertentu yang apabila diikuti akan membawa ‘paktek’ yang melahirkan kondisi baru bagi manusia dan masyarakatnya. Praktek dan kondisi yang semakin mendekati ‘citra’ manusia sebagaimana dikehendaki oleh Sang Pencipta-nya. Setiap jaman selalu menghadapi persoalannya sendiri, persoalan yang sejatinya berakar pada watak dasar manusia yang tidak pernah berubah dari jaman ke jaman. Salah satu watak yang menetap adalah keserakahan, keinginan untuk memuaskan dirinya sendiri jauh melampaui kebutuhannya. Salah satu manifestasi untuk mendapat lebih banyak dari yang dibutuhkan adalah dengan menggali dan menggali semakin dalam.

Industri keruk dan ektraktif yang kini semakin marak di Bumi Etam, negeri Borneo adalah salah satu cermin dari bentuk keserakahan itu. Industri keruk merupakan babak lanjut dari keserakahan lain yaitu babat habis. Citra Borneo yang hijau kini telah sirna, tegakkan pohon raksasa sebagai mana tersurat dalam film Ananconda telah sirna digantikan kehijauan gerombolan semak-semak belaka. Kerap kali jika saya kembali melihat perjalanan agama versus jaman, muncul pertanyaan bagaimana peran agama dalam memberi inspirasi dan menyemangati umatnya untuk melawan laku keserakahan ini. Laku yang membuat keadilan kian menjadi mahal dan sulit ditemukan.

Saya yakin banyak orang mengalami kegalauan serupa. Bahkan beberapa orang dan kelompok bertindak lebih maju, mengekplisitkan bahwa agama adalah jawaban atas persoalan jaman yang semakin rumit. Meski apa yang mereka ungkapkan terlalu sederhana atau bahkan cermin dari keputusasaan mereka untuk mencari jalan pemecahan. Agama sejak semula selalu bicara soal kesadaran, niat yang tumbuh dari dalam, perubahan yang muncul dari diri dan kemudian menyinari sekitarnya sehingga mendorong semakin banyak orang mengikuti jalan dan lakunya. Agama bukanlah jalan pemaksaan, apalagi di dasari oleh ‘praktek’ yang dalam bayangan kita dilakukan oleh para jemaah dan tokoh-tokoh perdana yang tentu saja menghadapi persoalan yang jauh berbeda dengan masa ini. Agama mempunyai dimensi tranformatif karena berlaku kritis pada situasi jamannya. Bukan membeku pada teks-teks.

Pada masa perdananya para pemula melakukan dekonstruksi dan kemudian merekonstruksi kembali sehingga lahirlah teks-teks yang sesuai dengan jamannya. Teks yang kemudian kini kita wakili sebagai final dan tak tergantikan. Kenyataan yang kemudian membuat kita cenderung membekukan teks itu sebagai bongkah es batu yang keras.

Teks jelas tak lagi bisa kita rubah, sesat dan celakalah kita apabila melakukannya. Namun perubahan, transformasi memang tidak mengisyaratkan perubahan teks. Yang utama dan pertama serta selalu harus dilakukan adalah refleksi, refleksi yang semakin dalam atas teks-teks itu. Refleksi yang kemudian melahirkan perspektif yang lebih luas dalam memandang situasi dan persoalan jaman serta melahirkan keberanian untuk bertindak, melawan demi menegakkan nilai-nilai kemanusiaan universal. Jaman kita adalah jaman dengan pertalian yang semakin erat antar manusia. Persoalan yang jauh disana bisa mempengaruhi kita yang ada disini.

Jaman ini adalah jaman yang interkoneksi. Maka tranformasi hanya akan menjawab persoalan apabila kita mampu berpikir dan bertindak dalam konteks yang luas, tidak memandang secara sempit kelompok kita sendiri. Semakin jelas bahwa kini agama-agama menghadapi persoalan yang sama dan mempunyai misi yang sama yaitu menghadapi dehumanisasi dan praktek perilaku kebijakan yang menimbulkan penderitaan dalam rupa ketidakadilan, ketimpangan, kesenjangan sosial serta praktek korupsi yang makin masif. Inilah saatnya kita sebagai umat beragama menyatukan langkah menata masa depan dan meninggalkan glorifikasi atas pengalaman sejarah masa lalu yang sempit.

Pondok Wiraguna, 1 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (37)

0 komentar


Antara Menjawab dan Bertanya

Apa yang dibicarakan ibu-ibu saat menunggui anaknya di tempat les atau kursus anaknya?. Ada yang bicara tentang barang ini atau itu, tempat ini dan itu dan seterusnya. Tapi pembicaraan yang paling umum adalah tentang perkembangan anak-anak mereka di sekolah.

Tapi maafkan saya terlebih dahulu, kalimat pembuka tulisan ini barangkali dianggap bias gender. Sekali lagi mohon maaf dan saya sungguh tak ingin membeda-bedakan antara bapak dan ibu. Tapi begitulah yang saya alami sendiri, 3 kali seminggu saya mengantar anak saya ke tempat les dan saya menjadi minoritas karena sebagian besar yang menunggui adalah ibu-ibu.

Suatu kali saya mendengar ibu-ibu bercerita tentang hasil ulangan anak mereka. Tentu saja kecenderungan orang tua adalah akan bangga bila anaknya memperoleh nilai tinggi, dan hanya senyum saja atau mengalihkan pembicaraan apabila nilai anaknya tak memuaskan.

Maka saya sama sekali tak menduga kalau ada seorang ibu menceritakan nilai anaknya yang jelek sambil tertawa. Mau dibilang ibu itu tak peduli pada pendidikan anaknya, pasti salah sebab terbukti dia mau menunggui anaknya di tempat les. Atau barangkali saat menceritakan anaknya, ibu itu teringat pengalamannya waktu kecil dulu yang tak jauh beda tingkat ‘bodoh’nya dengan sang anak. Nah, kalau soal ini tentu saja saya tak tahu karena ibu itu bukan teman sekelas saya dahulu.

Saya terus bertanya-tanya apa gerangan yang membuat ibu itu begitu tenang dan biasa saja menceritakan prestasi buruk anaknya. Lama saya berpikir hingga kemudian ingat dengan apa yang pernah diajarkan oleh magister saya dahulu; oh, ya magister adalah sebutan untuk pembimbing di rumah pembinaan rohani. Apa yang dilakukan oleh ibu tadi perihal hasil anaknya adalah aseptasi. Sikap menerima dengan rela, bukan karena pasrah tapi karena sadar itulah batas yang bisa dicapai oleh anaknya saat itu.

Banyak dari kita dalam bahasa melayu Manado dikatakan sebagai ‘belum kasana so kamari’. Saya dan mungkin anda sering kali khawatir berlebihan, membayangkan hal yang masih jauh di depan akan segera terjadi. Anak ibu tadi masih kelas satu SD, dan baru sekolah kira-kira tiga bulan. 

Ulangan yang dilakukan olehnya juga ulangan perdana. Jadi anggap saja masih latihan, toh masa kenaikan sekolah masih jauh di depan. Jadi nilai hari ini bukan cermin nilai yang akan diperoleh saat harus ujian semester atau kenaikan kelas.

Toh, wajar saja misalnya anak kelas satu SD yang belum tiga bulan belajar, masih patah-patah dalam membaca, tak tahu apa itu pengalaman, belum bisa membedakan mana pengalaman yang mengharukan dan mana yang menyedihkan karena gambarnya sama-sama anak mengusap air mata.

Maka benarlah sikap ibu itu untuk tak ikut-ikutan tertekan, stress atau sampai kalap ketika nilai anaknya tidak melewati angka 70. Bayangkan masih terlalu dini untuk menilai seorang anak dalam hal kepintaran atau prestasi belajar ketika masih kelas satu SD. Rasa stress atau khawatir yang berlebihan terhadap prestasi anak yang sangat dini justru berbahaya karena akan membuat anak-anak tertekan. Tak sedikit anak-anak kemudian ogah-ogahan sekolah karena merasa dibebani harapan orang tuanya yang terlalu berat.

Sikap ibu tadi mengingatkan saya untuk tak juga berlaku terlalu menekan anak saya yang masih kelas satu SD. Saya ingat persis pengalaman saudara dekat saya yang setengah mati hidupnya bukan karena miskin atau kekurangan uang. Setengah mati karena anaknya mogok sekolah. Hari-hari terutama di pagi hari yang masih segar ibarat neraka bagi keluarganya. Suasana panas karena harus ribut untuk memaksa anaknya pergi sekolah dan si bocah terus bersikukuh untuk tak mau pergi.

Bagi orang tua dunia serasa runtuh apabila anaknya tak mau sekolah apalagi saat dia masih SD. Dan tentu anak SD belum secanggih anak SMP atau SMA yang pura-pura pamit sekolah padahal tidak sampai kelas. Anak SD kalau tidak mau ya tidak mau tanpa basa-basi.

Dalam cara yang lain saya ingat gurauan orang-orang di Manado sana yang kerap bilang “Biar jo bodo’ di skolah yang penting nyanda bodo’ makang’. Gurauan yang seolah seperti masa bodoh ini, mau mengatakan bahwa yang penting anak-anak itu mau sekolah saja sudah syukur, karena yang utama diperlukan oleh anak-anak justru nafsu makan yang baik. Kalau mereka mau makan (pintar makan) niscaya pertumbuhannya akan baik.

Dan sekali lagi adalah benar bahwa kita kerap bertindak ‘lebay’ terhadap anak-anak kita yang masih sekolah. Sebagai orang tua kerap kali kita menitipkan apa yang dulu tidak kita capai kepada anak-anak kita, kita berlaku tidak adil karena memberi beban berat kepada anak-anak.

Perjalanan pembelajaran adalah laku yang panjang. Jauh yang paling penting adalah menanamkan sikap dan perilaku untuk mau belajar, haus pengetahuan. Dan kita semua tahu angka atau nilai bukanlah cermin yang sesungguhnya dari pengetahuan anak-anak kita. Pendidikan yang menekankan capaian lewat angka hanya akan mengajarkan kepada anak-anak untuk pandai menjawab, bukan pandai bertanya. Padahal yang terpenting di masa kanak-kanak adalah menanyakan segala sesuatu yang tidak jelas dan tak terang untuk mereka.

Maka sebagai orang tua kita seharusnya jauh lebih khawatir kalau anak-anak kita yang masih SD jarang menanyakan ini dan itu tinimbang nilainya hanya segini atau segitu.

Pondok Wiraguna, 30 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (36)

0 komentar

Maaf, Saya Tak Mampu Membenci PKI

Ketika film G30/S PKI mulai di putar di bioskop-bioskop untuk pertama kali, saya masih duduk di bangku SMP. Saya dan teman-teman diwajibkan untuk menonton, maka berbarislah kami dari sekolah menuju bioskop Pusaka yang letaknya tak terlalu jauh dari sekolah kami. Entah kenapa bioskop Pusaka, padahal di sebelah belakang sekolah ada bioskop Bagelen. Kini dua bioskop itu telah tumbang, seperti film G30/S PKI yang tak lagi diputar di TVRI setiap tahun menjelang perayaan hari Kesaktian Pancasila. Film yang kalau tak salah hasil besutan Arifin C Noor ini seingat saya menampilkan Amaroso Katamsi dan Umar Kayam sebagai Suharto dan Sukarno, menvisualisasi pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah tentang betapa kejamnya Partai Komunis Indonesia.

Film ini secara sempurna mengajak kami anak-anak untuk membenci PKI. PKI itu identik dengan ‘menghalalkan segala cara’ untuk mencapai tujuan. Gerwani itu kumpulan perempuan-perempuan binal tanpa perasaan. Secara visual saya waktu itu menangkap pesan yang hendak disampaikan film itu. Ada sebuah impresi mengingat sosok yang ada di film itu mempunyai ‘kedekatan’ dengan saya. Jenderal Ahmad Yani, sejauh diceritakan adalah orang yang lahir di Purworejo. Bahkan ketika saya ke Ngrendeng, ada yang menunjukkan rumah keluarganya. Dan ternyata ada adik kelas saya yang adalah kemenakannya. Demikian pula sosok lain yaitu Sarwo Edi Wibowo, yang ternyata juga orang Purworejo. Dan kelak memang Sarwo Edi kemudian dimakamkan di Purworejo. Tapi sebenarnya film itu tak bisa membuat hati kecil saya membenci PKI.

Jauh sebelum film itu dibuat, saya mengalami dan melihat sendiri derita mereka-mereka yang dituduh terlibat sebagai PKI. Adik kakek saya yang dulu adalah kepala stasiun ternyata diasingkan ke pulau Buru dan anak-anaknya yang masih kecil hidupnya menjadi tidak karuan. Di sebelah rumah saya, ada beberapa rumah besar namun lusuh dan hanya mbah-mbah putri yang tinggal disana, ternyata suami-suami mereka diasingkan juga ke pulau Buru, sebagaian tak pulang lagi. Kemudian ada satu yang bisa pulang dan bebas namun meninggalkan penjara bagi putranya. Seorang yang pintar dan lulusan universitas ternama namun tak bisa bisa bekerja di mana-mana karena tidak lolos uji ‘bersih lingkungan’. Saya juga punya teman sekelas yang pendiam dan tak pintar bergaul, usut punya usut ternyata dia tertekan dengan status bapaknya yang adalah tapol eks pulau Buru.

Di dalam pelajaran yang saya peroleh di sekolah tergambar betapa kejamnya PKI, namun dalam kehidupan sehari-hari saya juga menemukan bahwa pemerintah juga tak kalah kejamnya kelakuannya terhadap para eks PKI. Termasuk kepada mereka-mereka yang tak ada urusannya dengan PKI, melainkan hanya terlahir sebagai anak-anak dari seseorang yang dituduh sebagai PKI. Hari ini, Senin 1 Oktober, andai ini adalah jaman saya sekolah dulu pasti upacara benderanya akan lebih lama karena diperingati sebagai hari Kesaktian Pancasila. Bukan hanya upacara di sekolah, melainkan ada sebagian yang akan diutus untuk upacara di lapangan Kabupaten, lapangan besar yang berada antara pendopo Kantor Bupati dan kantor DPRD. Dan sekali waktu saya ikut upacara itu, yang paling saya ingat adalah banyaknya anak-anak yang pingsan karena tak tahan menahan terik matahari.

Pagi ini saya mengantar anak saya sekolah, namun saya tak sempat menunggui sehingga tak tahu apakah mereka masih memperingati hari ini, hari Kesaktian Pancasila dalam sebuah upacara. Saya juga tidak tahu apa yang diajarkan oleh guru-gurunya tentang Kesaktian Pancasila dan Kekejaman PKI. Namun saya berharap dalam hati agar anak saya tak lagi menerima pelajaran yang saya terima dulu. Pelajaran sejarah yang disusun dan dinarasikan berdasarkan keinginan penguasa untuk terus melegitimasi kekuasaan dirinya sebagai suci karena mempertahankan Pancasila secara murni dan konsekwen. Memakai kedok Kesaktian Pancasila untuk menutupi nafsu dan keinginan untuk terus mempertahankan kekuasaan secara tak elok.

Selamat merayakan hari Kesaktian Pancasila. Pancasila akan benar-benar sakti apabila para penguasa hari ini mampu menyembuhkan luka batin bangsa ini akibat perlakuan yang gegabah dan salah terhadap mereka-mereka yang dituduh sebagai PKI serta anak keturunannya yang turut sengsara tiada tara.

Pondok Wiraguna, 1 Oktober 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (35)

0 komentar


AIR MATA DARAH

Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan .....
Sayang engkau tak duduk di sampingku kawan ...

Lagu Ebiet yang sudah melegenda ini biasanya menjadi lagu latar pada saat televisi memberitakan kabar tentang kejadian bencana.

“Dulu ketika jalan ini masih tanah dan kemudian diaspal, waktu musim kemarau kalau melewati jalan ini mata saya kerap berair, tak tahan terterpa debunya”, demikian ungkap seorang kawan.  Tak lama kemudian dia melanjutkan “tapi sekarang mata bukan hanya berair melainkan pedih dan perih, memerah kalau dikucak-kucak”. Menurutnya jalanan yang kini banyak disemen, meski enak di telusuri namun kala kemarau partikel-partikel debu yang terburai dari jalanan semakin tajam. Partikel debu yang berasal dari semen selain menimbulkan panas di mata juga potensial menyebabkan iritasi.

Jalanan sekurangnya yang saya tahu di Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara kini memang banyak yang agregatnya adalah semen. Meski kerap longsor, jalanan semen yang menurut saya terbaik adalah jalanan yang menghubungkan antara perbatasan Samarinda, sampai ke jembatan Kartanegara yang runtuh itu. Di luar itu jalanan semen yang dikerjakan sepotong-sepotong, kualitasnya tidak baik sebab tak berapa lama lapisan mulus diatasnya cepat terkupas dan menyisakan ‘gronjal-gronjal’ karena tonjolan batu-batu koral.

Jalan memang jadi persoalan, karena jumlah dan panjangnya kalah bertumbuh dengan jumlah kendaraan yang melewati atasnya. Pertumbuhan yang tidak seimbang antara jalan dan kendaraan terlihat dengan bertambahnya titik-titik macet. Kemacetan tidak hanya terjadi di jalan-jalan utama atau jalan poros melainkan sudah merambah ke jalan-jalan penghubung.

Di Samarinda misalnya, perempatan di dekat ruko Pasundan  yang bisa menghubungkan antara Jalan Bhayangkara dan Antasari ( melewati KS Tubun dan Siradj Salman), macet di pagi, siang dan sore hari. Kendaraan tertumpuk di perempatan karena saling berebut untuk mendapat jalan.

Mulailah muncul ‘Pak Ogah’, beberapa bulan lalu saya lihat mereka memakai rompi bertulis relawan lalu lintas. Namun kini tidak lagi, mungkin rompi murahnya itu sudah robek-robek karena sering dicuci. Biasa ada sekitar 4 sampai 6 orang berada disana mencoba mengatur lalu lintas. Meski bekerja sebagai tim, namun pengetahuan akan sistem pengaturan lalu lintas yang dipelajari sendiri kerap kali justru malah menyebabkan kemacetan kian parah. Sistem buka tutup yang tidak padu, timing yang tidak konstan membuat banyak kendaraan tak bisa maju juga tak bisa mundur.

Awalnya para relawan lalu lintas mungkin saja tergerak utk membuat jalanan menjadi lancar. Tapi lama kelamaan ada godaan ‘ekonomisasi’ kemacetan. Jika kemacetan intensitas tinggi maka berada di jalanan untuk membantu mengatur lalu lintas bisa menjadi ‘pekerjaan’ yang mendatangkan uang. Mereka memang belum meminta uang dari pengendara yang lewat, tapi selalu ada satu dua pengendara yang suka rela memberi lembaran rupiah saat terbebas dari jebakan macet.

Dan dimana-mana dalam kemacetan yang kian parah, biasanya polisi enggan berada disana. Mungkin mereka tahu bahwa kemacetan itu bakal susah diatasi. Dan jika ada polisi lalu macet malah tambah parah tentu saja itu akan ‘mempermalukan’ diri mereka sendiri. Jadi ketimbang malu, mungkin mereka lebih memilih berdiam di pos-pos polisi di perempatan lain menunggu untuk menangkap pengendara yang khilaf berbuat kesalahan.

Ebiet mungkin kini tak lagi menulis lagu, namun diam-diam dalam hati saya berharap dia menulis lagi sebuah syair lagu sekurang-kurang sebua revisi untuk lagu berita kepada kawan. Bencana kini tak lagi identik dengan bencana alam, melainkan juga bencana-bencana yang tak kurang dahsyatnya karena ulah manusia, karena perilaku kebijakan.

Dalam sepuluh daftar penyakit yang banyak diderita olah warga Samarinda, tercatat gangguan ISPA berada di peringkat atas. Jika kita berkaca di jalan maka jalanan bukan hanya menyebar debu (terutama kini partikel semen) melainkan karena kepadatannya juga menyebar asap kendaraan yang mengandung polutan.

Di akhir perjalanan menyusuri jalanan, teman saya berkata “Tak lama lagi kita bakal meneteskan air mata darah, karena debu yang terhambur dari jalan bukan hanya serpihan semen melainkan juga serpihan besi yang menjadi tulangan jalan semen ini”.

Pondok Wiraguna, 28 September 2012
@yustinus_esha

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum