• Blockquote

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Duis non justo nec auge

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

Orang Terhormat Dengan Otak Palsu

Rabu, 05 Oktober 2011 0 komentar


Dalam dunia olahraga, turnamen, kompetisi atau pertandingan biasa berlangsung ketat, penuh persaingan dan menguras emosi. Dengan demikian kekerasan, kecurangan atau kelicikan sangat mungkin terjadi entah direncanakan atau terjadi begitu saja. Oleh karenanya fairplay, sportivitas menjadi ukuran penanda untuk menakar apakah seorang olahragawan (pribadi, klub dan kontingen) berkualitas dunia atau berkelas kampungan alias pecundang. Mereka akan dihargai dan diakui bukan hanya karena kemenangan, melainkan karena tekun bekerja keras, bertanding dengan penuh semangat dan berlaku sebagai “orang terhormat” baik di dalam maupun di luar lapangan.

Pada pertandingan sepakbola kita kerap menyaksikan dua klub yang bertanding layaknya bertempur. Mereka bukan hanya berlari kesana kemari membawa dan mengejar bola, melainkan juga menendang dan menanduk lawan, saling sikut, lawan dijegal hingga terjungkal. Bukan sekali dua kali pemain mengerang sambil memegang erat tulang kering karena kesakitan. Tapi usai wasit meniup peluit panjang diakhir pertandingan, kedua tim saling berjabat tangan, berpelukan dan bertukar kaos yang jelas-jelas berbau keringat. Semua sadar di akhir pertandingan selalu ada yang kalah dan menang.

“Tentu saja itu bukan pertandingan sepakbola di Indonesia, dimana ada beberapa pertandingan hanya disaksikan polisi tanpa penonton. Sepakbola kita sering lebih mirip pertunjukan pencak silat atau demonstrasi yang berakhir dengan bakar-bakar ban”, kata Mas Romo.

“Menurut saya fairplay bukan hanya perlu di bidang sport, melainkan dalam semua hal. Dan nampaknya karena rendahnya fairplay atau sportivitas itulah yang membuat bangsa ini tidak bangkit-bangkit dari keterpurukan, meskipun kita punya slogan probangkit misalnya”, sahut Juned.

“Betul, bahkan yang paling menyedihkan perilaku tidak sportif bahkan menjangkit ke dunia akademis, dunia pendidikan kita”, sambung Sabri, “Contohnya baru-baru ini seorang teman, awardingnya dicabut gara-gara intrik atas dasar ketidaksenangan ‘kolega’ lainnya”.

“Kok bisa ya, padahal dalam dunia akademis kan ukurannya kapasitas dan kompetensi. Kelayakan seseorang diukur lewat tes atau ujian. Bukan senang atau tidak senang atas dasar nafsu primitive yang membedakan orang kita dan bukan orang kita. Kalau yang boleh maju, boleh pintar hanya orang yang se-agama dengan kita, se-suku dengan kita, se-angkatan dengan kita, bakal jadi apa negeri ini coba?”, keluh Juned.

“Itulah yang disebut dengan bias birokrasi. Organ atau struktur yang seharusnya mempermudah atau memperlancar urusan malah sering berlaku sebaliknya. Nah tidak ada sector kehidupan di negeri ini yang lepas dari birokrasi yang sayangnya lebih berwatak menindas daripada melayani”, kata Mas Romo. “Struktur ini kerap menandai orang atau kelompok tertentu yang dipandang kritis, menyerang atau meragukannya. Dan siapa yang berani melakukan itu bakal dihambat kepentingannya apabila memerlukan tangan birokrasi untuk mencapainya”.

“Iya, ingat jaman petisi 30 dulu. Seorang pembantu rektor dari universitas swasta ternama bisa terpental dari kedudukannya gara-gara ikut menandatangani nota peringatan untuk Presiden Suharto. Meskipun bekerja di institusi swasta, toh tangan birokrasi mampu memaksa institusi itu menendang keluar dari lingkungannya”, sambung Juned.

“Sungguh memprihatinkan andai benar bahwa “politicking” sudah merasuk dalam dunia pendidikan, dunia akademis yang menekankan obyektifitas dan penghormatan atas nilai-nilai kemanusiaan, ahklak serta moralitas. Apa artinya pencapaian jika itu dicapai dengan otak palsu, kotor karena dipenuhi oleh prasangka dan dorongan primitive untuk membunuh “orang lain” yang ingin dan memenuhi syarat untuk berkembang, mekar dan hendak mendedikasikan dirinya untuk kemajuan generasi mendatang”, tanya Mas Romo penuh kegalauan.

Usai sudah harapan bahwa pendidikan mampu membebaskan bangsa dari keterpurukan andai “selera” masih menguasai hingga menjelma menjadi “birokrasi pengetahuan”. Mesin birokrasi yang dijalankan oleh otak-otak palsu menyebabkan kegagalan dalam menata hubungan, system dan aksi serta wacana dalam membangun sumberdaya manusia. Padahal pendidikan adalah pembebasan dari belenggu nafsu-nafsi primitive untuk membangun peluang kehidupan yang semakin demokratis, terbuka agar kehidupan bersama samakin baik tertata. “Tanpa pencapaian tujuan itu, maka tak lebih kita bagaikan pelari yang melaju kencang tanpa tujuan, masuk dalam pusaran lingkaran setan”, pungkas Mas Romo.

Yustinus Sapto Hardjanto
Sociocultural Networker’s

Pemimpin Bertelinga Tipis

0 komentar


Apa yang diajarkan sejarah kita tentang kepemimpinan?. Kalo direnungkan sebenarnya banyak pelajaran yang bisa dipetik dari para pemimpin negeri. Banyak ajaran mulia, pitutur dan laku yang bisa dijadikan inspirasi oleh penerus bangsa. Namun diluar hal-hal yang baik, menurut Mas Romo, kepemimpinan di negeri ini mengajarkan bahwasanya seorang pemimpin adalah orang yang rajin bicara tapi malas mendengar. Terlebih jika yang berbicara padanya itu bukan siapa-siapa alias orang biasa. Selain malas mendengar, pemimpin juga rajin mengeluh, marah (tersinggung), suka memerintah, mengecam dan gemar mengeluarkan himbauan serta nasehat.

Sontak saja semburan Mas Romo membuat orang-orang disekitarnya kaget. Kalau di jaman Pak Harto, pasti Mas Romo bakal digelari WTS (waton sulaya) atau tukang bicara ngawur, sembarang, nggak pakai aturan. “Mas..mas..kok ngomongnya nggak enak gitu, pasti sampeyan ini LSM ya”, celetuk seseorang berbaju seragam kantoran.

“Pak, bedakan ya antara bicara ngawur dan terus terang. Jangan dicampur adukkan dan apa pula urusannya nyebut-nyebut LSM segala”, sahut Mas Romo.

“Ya pasti LSM kan, soalnya yang sering ngomong sembarangan kan LSM. Kerjaan mengkritik pemerintah melulu. Bikin begini salah, nggak bikin begitu juga salah. Kok rasanya pemerintah gak ada benarnya di mata LSM. Padahal LSM kan seharusnya menjadi mitra pemerintah, mendukung program kerja, visi dan misi pemerintah. Bukan malah menyerang habis-habisan”.

“Ini lagi salah bapak, mencampuradukkan antara ngomong sembarangan dengan kritik. Buka kamus dulu kalau nggak tahu, apa itu kritik. Sebagai warga entah LSM atau bukan, saya punya hak untuk menilai dan bicara”, jawab Mas Romo dengan nada yang terjaga.

“Soal hak bicara, pemerintah memang mengakui. Tapi siapa yang diwakili oleh LSM, jangan jual masyarakat lah”, sahut seseorang berbaju seragam kantoran terus menyerang.

“Yang bilang LSM mewakili masyarakat itu siapa. Wakil masyarakat ya anggota DPR dan DPD. Kalau LSM ya mewakili dirinya sendiri, kecuali ada masyarakat yang datang mengadu karena keluhannya tak didengarkan oleh pemerintah dan wakil-wakilnya. Nah kalau kemudian LSM bicara, tentu bukan bicara mewakili masyarakat melainkan bicara tentang kondisi dan keadaan yang dialami masyarakat”, jawab Mas Romo tetap tenang “Tapi tunggu dulu kenapa dari tadi mempersoalkan LSM, memangnya cuma LSM yang rajin mengkritik pemerintah?. Pegawai pemerintah kan juga doyan mengutuk dan menyumpahi atasannya, cuma nggak dikutip saja oleh wartawan jadi seolah-olah baik-baik saja”.

“Lha ini, coba baca komentar LSM di koran. Mengkritik rencana ini dan itu, kalau diikuti kan bakal tidak ada pembangunan, mau apa kalau daerah ini tetap primitif, ketinggalan seperti perbatasan?”, kata seseorang berseragam kantoran menunjukkan kolom berita di koran.

“Iya, tapi kenapa bapak kok sewot pada saya?”.

“Bicara sampeyan ini persis LSM. Main seruduk dan tidak hormat pada pimpinan pemerintahan. Padahal beliau kan sudah berbuat untuk masyarakat dan dipilih pula oleh masyarakat. Mengkritik beliau berarti mengkritik pilihan masyarakat”.

“Mohon maaf bapak, pikiran sampeyan kok semakin sesat. Jangan-jangan tertutup sama seragam yang bapak pakai itu. Jangan jadikan baju itu sebagai kacamata kuda yang membuat pikiran cuma searah. Maju tak gentar membela sesuatu yang belum tentu benar. Bapak ini abdi masyarakat bukan antek pimpinan, berjamur nanti pantatnya kalau dijilat-jilat terus”, sahut Mas Romo mulai panas.

“Hati-hati sampeyan kalau ngomong. Jangan bikin orang tersinggung”, jawab seseorang berseragam kantoran sambil menjauh.

Mas Romo tak menyahut lagi, dipandanginya langkah seseorang berseragam kantoran itu menjauh darinya. Jauh dilubuk hatinya muncul suara “Sesungguhnya tak ada perubahan atas watak pemerintahan dan birokrasi di negeri ini meski selalu mengumandangkan kata reformasi. Kritik masih selalu dipandang sebagai serangan atas pribadi seseorang. Padahal kritik adalah bagian dari partisipasi dan dialog publik untuk melakukan pengawasan, peringatan dini pada pelaksana pemerintahan agar tidak terjadi kesalahan yang menyengsarakan rakyat di hari kemudian. Memberikan suara untuk seseorang agar terpilih menjadi pemimpin bukan berarti ‘pasrah bongkokkan”, setuju atas apapun yang dilakukan atau direncanakan olehnya. Dosa terbesar kita sebagai bangsa dan warga adalah membiarkan pemimpin kita berbuat sesuatu, tidak mencegah atau mengingatkannya meski itu salah atau kurang tepat menjawab kebutuhan masyarakat”.

Yustinus Sapto Hardjanto
Sociocultural Networker’s

Marah Saja Kalau Tak Sayang Pulsa

0 komentar


Kasak-kusuk di grup BBM teman seangkatan, disebutkan bahwa Karto kini telah menjadi orang sukses. Penampilannya mentereng, jauh melampaui tampilan saat kuliah dulu. Doni yang pernah bertemu dengannya mengatakan “Baunya wangi melebihi Ibu Bupati, kemana-mana disopiri. Tajir abis”.

Tentu saja tidak ada yang menyangka bahwa Karto bakal sesukses itu. Penampilannya saat kuliah dulu tidak ada lebih-lebihnya, bahkan cenderung minus. Tapi toh memang nasib berada di tangan Tuhan, kalau sudah digariskan, hitung-hitungan matematis dan logika menjadi tidak berlaku. Bukankah banyak orang dengan potensi luar biasa, kecerdasan diatas rata-rata namun berakhir dengan tidak menjadi apa-apa.

Mas Romo yang merupakan tokoh yang dituakan teman-teman satu angkatan terkaget saat dihubungi oleh Karto. Lewat perbincangan di telepon, Karto mengabarkan hendak berkunjung ke rumah Mas Romo. “Saya sudah rindu Mas Romo dan ingin bertukar cerita serta meminta pencerahan”, begitu ujar Karto dari seberang sana.

Tanpa pikir panjang Mas Romo menyahut “Datang saja Kar, aku juga pingin ketemu kamu. Aku tunggu ya, tapi jangan lupa oleh-olehnya”.

Beberapa hari kemudian Karto datang ke rumah Mas Romo dengan mengendarai mobil sedan tipe terbaru dari sebuah produk ternama di Eropa. Kali ini Karto datang sendiri tanpa di temani sopirnya. Mas Romo yang menyambut di depan rumah berdecak kagum melihat tongkrongan Karto. Saat menyambut Karto dengan pelukan hangat, Mas Romo mengatakan “Luar biasa kamu, lama tak ada kabar, tiba-tiba muncul sebagai orang sukses”.

“Ah, biasa saja Mas Romo, asal kita jeli dan pintar melihat peluang, hal-hal yang nampaknya sepele bisa jadi uang di negeri ini”, sahut Karto enteng. “Saya ini hanya mengambil sedikit uang dari orang-orang yang jengkel dan marah-marah”, lanjutnya.

Mas Romo tentu saja penasaran dengan jawaban Karto. “Mengambil uang dari orang yang jengkel dan marah, kok bisa sih Kar”, tanya Mas Romo tak habis pikir.

Karto kemudian menceritakan bisnisnya. Bisnis SMS premium yang sengaja menyebar berita-berita bohong, seperti pemberitahuan bahwa seseorang telah menerima undian atau hadiah juga SMS-SMS yang berisi permintaan untuk mentransfer pulsa karena sang pengirim sedang kena masalah.

Mendengar penjelasan Karto, Mas Romo ternyata masih belum paham juga bagaimana SMS-SMS itu bisa menghasilkan uang. “Aku tahu yang kamu ceritakan itu, sebab kadang-kadang di HP saya ini nyasar juga permintaan pulsa dari Alex, Papa, Mama, Tante dan lain sebagainya. Tapi bagaimana itu bisa membuat kamu kaya?”, tanya Mas Romo semakin penasaran.

“Begini Mas Romo, siapapun yang membalas SMS yang dikirim melalui server SMS centre kami bakal dikenai tarif premium, Rp. 2000 per SMS. Nah, mereka yang berulang menerima SMS pemberitahuan omong kosong itu biasanya sudah jengkel setengah mati”, jawab Karto. “Saking jengkelnya mereka berkali-kali akan mengirim balasan dengan sejuta makian. Dan tentu saja kami berterima kasih dengan makian-makian itu, makin banyak makin baik, sebab dengan memaki berkali-kali berarti mereka memberi kami rejeki”, lanjut Karto sambil tersenyum.

Mas Romo geleng-geleng kepala mendengar cerita akal-akalan Karto. “Wah, kamu ini memang kurang ajar, nyari rejeki kok dengan cara yang berbau kriminal gitu Kar”, kata Mas Romo.

“Mas Romo, dalam ilmu jualan ada prinsip 3 H. Haram atau Halal, Hantam”, terang Karto tenang. “Lagi pula apa yang kami lakukan adalah sebuah layanan”, lanjut Karto.

“Layanan”, seru Mas Romo tak bisa menahan jengkel. “Layanan apa maksudmu Kar”, tanya Mas Romo kemudian.

“Layanan untuk menyalurkan kemarahan dan kejengkelan Mas Romo. Itu sebetulnya tujuan utamanya”, jawab Karto tenang. “Sekarang ini kan banyak orang marah dan jengkel terhadap keadaan negeri ini, tapi tak tahu harus marah kemana, sebab tak semua berbakat dan bisa berdemontrasi. Nah, kami menyediakan diri untuk dimaki-maki, tentu saja dengan memancingnya terlebih dahulu”, terang Karto lebih lanjut.

Mas Romo terdiam mendengar penjelasan Karto.

“Nah, maksud kedatangan saya kesini hendak meminta Mas Romo untuk membantu menyusun pesan-pesan singkat yang mampu membuat orang jengkel dan marah sehingga mengeluarkan sumpah serapah berkali-kali. Mas Romo kan jagoan merangkai kata”, mohon Karto sambil tak lupa memuji.
Mendengar permintaan Karto, Mas Romo marah bukan kepalang. Beruntung karena sedang bertatap muka dengan Karto maka Mas Romo tidak perlu marah lewat SMS yang bakal bikin pulsa telepon selularnya tersedot dan membuat kantong Karto semakin tebal.

Yustinus Sapto Hardjanto
Sociocultural Networker’s

Macet, Update Status Saja

0 komentar


Kemacetan tak lagi milik kota-kota metropolitan macam Jakarta, Bandung, Surabaya atau Medan. Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang kini gampang diperoleh lewat kredit membuat kota-kota seluruh Indonesia terancam kemacetan terutama pada jam-jam tertentu. Fenomena bottle neck ditemui dengan mudah ditemui di berbagai penjuru kota. Jalan menjadi penuh karena kendaraan dari berbagai jurusan bertemu di satu jalur.

“Lihat saja di jalur ini”, ujar Mas Romo menunjuk jalur jalan di tepian Sungai Mahakam. “Pada jam-jam tertentu kendaraan menyemut, beriringan panjang merayap seperti ular kekenyangan”. Sambil menyedot kretek kesayangannya, Mas Romo menyatakan bahwa semua berebutan menyeberangi jembatan Mahakam yang panjang tapi sempit. “Jalanan ini menjadi cermin soal siapa kita. Berada di atas jalan ini dengan mudah kita melihat orang-orang yang mau menang sendiri, memacu kendaraannya tak peduli keselamatan orang lain, seolah-olah jalan hanya menjadi miliknya sendiri”, ungkap Mas Romo.

Dino mengamini apa yang dikatakan Mas Romo. Bukan satu dua kali dirinya hampir terkena serangan jantung di jalanan. Motor tiba-tiba nyelonong dari sebelah kiri, berbelok tanpa memberi tanda, muncul dari gang dengan gagah berani dan mengobral klakson meski tahu kalau bunyinya tak bakal mengerakkan rangkaian kendaraan didepannya. “Jalanan kita sekarang ini memang ruang pertunjukkan orang-orang yang tak sayang nyawanya sendiri”, kata Dino mengomentari ungkapan Mas Romo. “Banyak orang sebenarnya selamat bukan karena ketrampilannya berkendara, melainkan karena beruntung saja”, sambung Ahmad yang beberapa bulan lalu patah tangannya karena diseruduk anak-anak SMA yang kebut-kebutan. “Hati-hati di jalanan bukan jaminan keselamatan, sebab banyak pengendara lainnya yang berkendara dengan serampangan. Bertemu dengan mereka bisa membuat kita celaka. Ini buktinya”, lanjut Ahmad sambil menunjukkan bekas luka di pergelangan tangannya.

Jalan memang ruang pertemuan, ada berbagai kepentingan memperebutkan ruang sempitnya. Dan tidak semua menghendaki kelancaran. Sebab tak sedikit pula yang bersyukur apabila jalanan macet, padat merayap. Kumpulan orang yang frustasi di jalanan, tersenggat matahari atau terguyur hujan adalah rejeki alias peluang untuk menghasilkan uang. Pengemis, pengamen, penjual asongan, pencari sumbangan dan marketer lainnya tentu girang kalau jalanan penuh.

“Perempatan jalan, tempat lampu lalulintas berada adalah tempat favorit mereka mengais rejeki. Semakin lama berhenti semakin baik, sehingga koran yang dijajakan bakal cepat habis, itu doa anak-anak penjual koran”, ujar Mas Romo yang kerap menemui anak-anak kecil terkantuk-kantuk dengan koran di dadanya hingga larut malam.

“Lalu bagaimana kita bisa mengurai kemacetan?”, tanya Ahmad pada Mas Romo.

“Pertama ini memang soal infrastruktur, ada ketidakseimbangan antara pertumbuhan kendaraan dengan pertumbuhan jalan baru. Jalan yang ada tidak lagi cukup menampung populasi kendaraan apabila secara bersamaan kendaraan-kendaraan ini berada di jalanan”, kata Mas Romo. “Tapi pada sisi lain juga soal perilaku pembangunan, jalan yang dibangun tidak dipelihara secara rutin sehingga banyak lubang disana sini yang membuat pengendara tidak lancar menelusurinya. Itu masih diperparah lagi dengan banyaknya kendaraan yang diparkir di kanan kiri jalan tanpa perasaan. Banyak orang tak punya garasi tapi ngotot membeli mobil”, lanjut Mas Romo.

“Betul Mas Romo, badan jalan sering dianggap sebagai tempat penitipan kendaraan. Tapi soal kemacetan juga terkait dengan budaya atau perilaku kita berkendaraan. Tidak mau mengalah, mau menang sendiri kerap membuat jalanan jadi stuck, terkunci tak bisa maju juga tak bisa mundur”, kata Dino menyumbangkan pikirannya.

“Kalau begitu, benar dong kita perlu jalan TOL. Tapi kok saat pemerintah berinisiatif membangun jalan TOL banyak yang ribut tak setuju?”, kata Ahmad memberi kesimpulan.

“Wah, itu soal lain Mad. Tidak ada hubungan antara kemacetan jalanan dan rencana pembangunan TOL. TOL yang direncanakan bukan untuk mengatasi kemacetan, melainkan agar kekayaan bumi, sumberdaya alam kita lebih mudah dan cepat dibawa lari keluar”, sahut Dino dengan cepat.
“TOL mungkin memang perlu, sebab ada yang berpikir kurang afdol kalau kota besar tidak mempunyai TOL. Tapi jalan TOL bukanlah jalan yang dibangun oleh pemerintah, melainkan investasi swasta. Jadi pemerintah tak perlu memaksa, andai tidak ada investor yang berminat membangunnya maka itu pertanda bahwa TOL belum diperlukan”, sambung Mas Romo menambah keterangan Dino.

“Oh, gitu to Mas Romo. Lalu kapan kemacetan ini akan berakhir”, tanya Ahmad lagi.

“Jujur saja kalau soal itu saya tak tahu. Kalau saya sih lebih baik kita membiasakan diri dengan kemacetan, kalau perlu menikmatinya sebab persoalan ini masih lama pemecahannya”, jawab Mas Romo.

“Makanya Mad, kalau di jalanan bekali dirimu dengan Smartphone. Jadi kalau terjebak macet, kita masih tetap bisa browsing atau update status”, sambung Dino.

“Macet lagi..macet lageeee ... padahal si Komo gak lewat lho ....” sent by smartphone kreditan, powered by provider yang lemoot mlulu. Begitu update status di dinding facebook Ahmad beberapa hari kemudian.

Yustinus Sapto Hardjanto
Sociocultural Networker’s

Lembaga Swadaya Masyarakat atau Lembaga SUmber Masalah

0 komentar


Istilah LSM sebenarnya contradictio in terminis atau korupsi makna. Sebagai sebuah institusi yang dinamai dengan Lembaga Swadaya Masyarakat , wadah partisipasi publik dalam pembangunan (dalam arti seluas-luasnya) pada kenyataannya jarang yang mampu membiayai dirinya sendiri. Istilah LSM sendiri diperkenalkan oleh regim orde baru, untuk mengeliminir istilah organisasi non pemerintah (Ornop). Disebut sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat dengan harapan kehadirannya mampu menjadi partner atau mitra pemerintah dalam pembangunan.

“Peran LSM dalam pembangunan diakui oleh pemerintah, bahkan secara eksplisit disebut dalam berbagai peraturan dan perundangan. Meski demikian tidak semua pelaksana pemerintahan mampu memandang LSM sebagai mitra, sebagaian masih memandang LSM sebagai lembaga sumber masalah”, kata Mas Romo saat ditanya soal kebiasaan pejabat yang marah-marah karena dikritik LSM.

“LSM itu sejak lahirnya memang cair, tak bisa diatur-atur. Salah jika menempatkan LSM sebagai wadah partisipasi publik secara luas, sebab LSM bisa saja didirikan oleh satu dua orang yang peduli atau punya hobby pada masalah tertentu. LSM kan tidak hanya peduli pada orang atau masyarakat, tapi juga pada binatang dan tumbuhan. Maka tak heran ada LSM yang mati-matian membela Orang Hutan, Badak Jawa, Harimau Sumatra, Penyu Hijau, Pohon Ulin, kantong Semar dan lain sebagainya”, sambung Mas Romo.

“Tapi kenapa ada istilah LSM legal dan LSM liar Mas Romo”, tanya Rudi.

“Ya itu kan istilah yang muncul dari Kesbanglinmas sebagai konsekwensi regim bansos. LSM yang berniat menggali sumber dana lokal (APBD) harus terdaftar di sana, istilahnya biar bisa jadi rekanan. Yang tidak mau mendaftar, entah karena tidak sempat atau tak memenuhi syarat ya bakal dianggap organisasi liar. Tapi ada juga yang sengaja tak mau mendaftar, soalnya pengakuan legal atau tak legal tidak penting. LSM kan bukan badan usaha, hari ini berdiri besok mati tak juga masalah. Lagi pula kalau memang tak berniat untuk mendapat dana dari pemda atau pemerintah, maka tak jadi soal biar nggak terdaftrar”, jawab Mas Romo.

“Kira-kira berapa ya jumlah LSM”, tanya Rudi lagi.

“Wah banyak, bagai cendawan di musim hujan. Ada yang betulan banyak pula yang jadi-jadian. Daerah kita ini layaknya peternakan LSM. Tapi yang kau perlu ingat bahwa LSM itu bukan spektrum tunggal. Banyaknya LSM tidak sekaligus menjadi penanda dari kekuatan masyarakat sipil. Banyak juga LSM yang sebenarnya related government. Didirikan atau diinisasi oleh orang-orang di pemerintahan untuk pra syarat proyek tertentu”, terang Mas Romo.

“Pantas saja ya ada LSM berkelahi dengan LSM lainya”, ujar Rudi.

“Pasti itu, kan ideologinya macam-macam. Ada yang mengusung pembangunan mainstream, adapula yang membawa bendera pembangunan alternatif. Jelas pasti bertabrakan. Tapi tidak masalah ini adalah bagian dari dialektika. Konflik yang sehar justru melahirkan alternative pandangan baru yang lebih komprehensif”, terang Mas Romo.

“Tapi banyak juga yang abu-abu, tidak jelas apa pandangannya tentang pembangunan. Pokoknya kanan kiri oke. Terkadang keras tapi pada waktu yang lain tak bersuara, diam saja malah bermesraan dengan yang bisa dikritiknya”, kata Rudi lagi.

“Mereka paham bahwa dalam berbagai kesempatan, LSM bisa menjadi alat penekan. Bahasa salah kaprahnya advokasi. Main three in one, pukul tiga kali, tagih satu kali lalu selesai urusan. Tapi ya itulah setiap LSM dan orang didalamnya punya gaya main sendiri. Dan semua bisa mengaku LSM, sebab tidak ada badan sertifikasi, alat untuk mengetes mana LSM asli atau palsu juga tak ada”, ujar Mas Romo.

“jadi menurut Mas Romo, LSM itu sebenarnya apa?”, tanya Rudi.

Pertanyaan Rudi sebenarnya sulit sebab definisi LSM selalu saja beda-beda, tak ada standard yang pasti karenanya masing-masing bisa merumuskan sendiri termasuk kode etiknya.

“Secara umum LSM adalah organisasi yang didirikan oleh baik perorangan atau kelompok yang tidak berkaitan dengan pemerintah. Para pendiri biasanya mempunyai kepedulian terhadap permasalahan tertentu dan ingin membantu mengatasinya dengan cara yang mereka yakini. Inilah yang disebut dengan mandat. Dan niat itu diwujudkan dalam serangkaian program atau aksi, baik yang bersifat ke dalam maupun ke luar yaitu pada kelompok atau lapangan yang menjadi titik perhatiannya. Dan semua itu didorong oleh keinginan untuk mendedikasikan semua sumberdayanya pada kepentingan bersama, kepentingan masyarakat banyak atau lebih khusus lagi kepentingan kemanusiaan”, terang Mas Romo panjang lebar.

“Berat juga kalau begitu”, ujar Rudi.

“Sebenarnya memang demikian kalau mau sungguh-sungguh”, pungkas Mas Romo.

Yustinus Sapto Hardjanto
Sociocultural Networker’s

Kaderisasi Koruptor

0 komentar


Saat diminta komentarnya perihal KPK yang terus menerus dihantam dari segala jurusan, Mas Romo hanya menjawab singkat “Para penyerang tak sadar betapa beratnya kerja KPK”. Dan benar memang maha berat kerja KPK. Pertama karena korupsi telah menjelma menjadi penyakit yang kronis, berurat berakar sampai masuk dalam urusan sehari-hari. Kedua, perilaku koruptif selalu menyangkut segerombolan orang, persih seperti kue lapis dimana dalam setiap potongnya terdiri dari beberapa layer. Dan yang ketiga, pencegahan korupsi menjadi tidak populer karena semua merasa sedari kecil sudah dibekali dengan norma dan ajaran suci entah yang berasal dari kebudayaan maupun agama.

“Maka yang menonjol dari KPK hanyalah penindakan, sementara yang berbau pencegahan menjadi tidak populer, jarang diperbincangkan apalagi diberitakan”, ujar Mas Romo. “Akibatnya tindakan KPK berpeluang menimbulkan kontroversi, apalagi jika sudah menyangkut orang atau lembaga yang terhormat”, lanjut Mas Romo.
Nardi yang sedang mengerjakan tugas menulis paper berjudul “Memahami Korupsi Untuk Membasmi” tak berusaha memancing keterangan dari Mas Romo melalui pertanyaan. Dia tahu persis, hanya dengan diam maka Mas Romo pasti akan kembali melanjutkan untaian kata-katanya.

Dan benar saja, karena Nardi hanya diam dan menunjukkan wajah siap mendengarkan, maka Mas Romo melanjutkan analisis panjangnya. “Siapa di negeri ini yang sudi disangka korupsi, apalagi kalau sudah merasa mengabdi untuk bangsa ini”, ujar Mas Romo. “Maka penindakan terhadap orang tertentu selalu menjadi riuh, sebab akan muncul kelompok-kelompok pendukung baik yang terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Semuanya berkeinginan untuk mengatakan betapa KPK salah karena menyangka orang tersebut telah melakukan tindakan tercela”, lanjut Mas Romo.

“Bukankan setiap penindakan terhadap sebuah kasus, selalu memunculkan narasi”, tanya Mas Romo pada Nardi. Kali ini Nardi merasa tidak enak kalau tidak menjawab. “Iya Mas Romo, selalu muncul narasi soal politisasi, dizolimi, dikorbankan dan kriminalisasi kebijakan”, jawab Nardi.

“Ada ribuan kasus, tetapi silang pendapat soal satu kasus saja sudah berlarat-larat. Semua mau terlibat meski berkali-kali menyatakan diri tak mau intervensi. Lihat saja anggota legislatif kita gemar membuat panja, pansus dan lain sebagainya”, tambah Ahmad.

“Kaum eksekutif juga tak kalah genit, sedikit-sedikit bikin tim ini dan itu, yang lebih banyak membuat sebuah kasus jadi semakin ruwet. Belum lagi kalau banyak yang menyoal kinerja dan sepak terjang tim bentukan eksekutif itu. Wah ..tambah ribut”, tambah Nardi melanjutkan keterangan Ahmad.

“itulah sebabnya penanganan korupsi menjadi berlarat-larat. Kasus bertumpuk-tumpuk dan semakin susah diurai. Sementara itu calon-calon koruptor dengan cepat juga bermunculan. Setiap koruptor selalu mendidik kader untuk melanjutkan sepak terjang dan menjaga kepentingannya”, keluh Mas Romo.

“Lho koruptor dikader juga ya Mas Romo”, tanya Nardi heran.

“Lha iya lah ..... coba lihat semua pemilihan ketua ini dan itu selalu ricuh, berebutan orang ingin menjadi calon. Nah disitulah ladang dan lahan korupsi dimulai. Uang bukan hanya dihamburkan dalam pemilihan bupati, walikota, gubernur dan sebagainya, sekarang ini pemilihan ketua perhimpunan mahasiswa saja perlu dana untuk mengamankan suara”, jawab Mas Romo.

“Pantas saja ya, calonnya sibuk sowan kesana kemari, membuat tim untuk menyebar proposal. Menggali dana dari berbagai jurusan tapi minim pertanggungjawaban”, sambung Ahmad.

“Demikianlah adanya, maka jangan sering-sering mengadakan kaderisasi, sebab jangan-jangan kita bukan hanya menghasilkan kader yang militan melainkan juga bajingan yang siap menilep uang negara saat punya kedudukan nanti”, pesan Mas Romo.

“Kalau begitu koruptor seperti pahlawan saja ya, mati satu tumbuh seribu”, guman Nardi.
“Oh, ya Mas Romo, kira-kira ada gak sih jabatan yang tidak diperebutkan sehingga tidak memerlukan uang untuk mendudukinya”, tanya Ahmad lagi.

“Kalau kamu mau, sebenarnya ada. Ketua rukun kematian”, jawab Mas Romo sekenanya sambil berpamitan.

Yustinus Sapto Hardjanto
Sociocultural Networker’s

Jangan Biarkan Mereka Mati

0 komentar


Perbincangan tentang kecelakaan yang menimpa pedangdut Saiful Jamil belum juga usai. Dalam kecelakaan mobil yang disopiri sendiri, Saiful bukan hanya kehilangan istri tercintanya melainkan juga bayi dalam kandungan istrinya. Kecelakaan pada alat angkut memang menduduki peringkat tinggi penyebab kematian di negeri ini. Selain terjadi di darat, kkecelakaan juga kerap menimpa alat angkut di lautan (sungai).

“Benarkah nenek moyang kita pelaut, seperti kerap kita nyanyikan sejak jaman Taman Kanak Kanak dulu?”, tanya Dodi pada Mas Romo yang sedang membaca koran.

“Menurut catatan sejarah demikian adanya. Jejak nenek moyang kita tersebar di berbagai belahan dunia. Dan tentu saja mereka mencapai tempat-tempat itu dengan kapal laut, entah sengaja atau tidak. Mungkin karena tujuannya bukan untuk ekpedisi seperti Columbus , maka catatan atau kroniknya menjadi tidak lengkap. Tapi kenapa kau memprotes lagu nan agung itu?”, terang Mas Romo sambil bertanya.

“Lha, ini masak Mas Romo tidak baca”, kata Dodi sambil menunjuk berita tentang kecelakaan kapal angkutan di halaman koran yang dipegang Mas Romo. “Dan ini .... kabar dari kawan di Surabaya yang mengatakan bahwa barusan KM Kirana XI tujuan Balikpapan terbakar di dermaga Gapura Surya, Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya”, sambung Dodi sambil menunjukkan pesan yang masuk lewat BBM.

“Waduh, kecelakaan kok sambung menyambung. Apa kita ini memang negeri kecelakaan?. Tapi apa hubungannya antara nenek moyang kita yang pelaut dan kecelakaan kapal?”, tanya Mas Romo.

“Kalau nenek moyang kita benar pelaut, berarti kita paham benar urusan kapal dan laut, apa resikonya dan bagaimana menguranginya. Lihat saja berkali-kali kapal yang celaka belum jauh dari dermaga. Yang ini bahkan masih menempel di pelabuhan, belum berangkat. Edan kan?”, kata Dodi.

“Justru itu masalahnya, kita bukan kekurangan pengetahuan lalu jadi abai pada keamanan. Kita justru merasa banyak tahu jadi tidak awas resiko lagi. Bukankah kita sering bilang, biasanya juga begini dan tidak apa-apa. Ini apes saja”, ujar Mas Romo.

“Iya sedikit-sedikit apes. Makanya kecelakaan tidak pernah jadi pelajaran, paling jadi nyanyian saja, itu juga kalau Iwan Fals masih bisa menulis syair”, sahut Dodi mengingatkan lagu ciptaan Iwan Fals tentang tragedi Bintaro dan Tampomas II.

“Untuk urusan nyawa, bangsa kita ini memang paling abai pada “pre caution universal”, kewaspadaan universal. Mestinya sebelum berangkat kan harus dipastikan tidak ada barang berbahaya yang meningkatkan resiko malapetaka dalam perjalanan. Bukan sekali dua kali, kapal terbakar karena kendaraan yang terparkir di geladak bawah”, kata Mas Romo.

“Sedih saya melihat perilaku para pemangku kebijakan soal angkutan. Nyawa kok disamakan dengan barang. Kalau terjadi sesuatu diatas kapal, kelihatan tidak siap. Semua panik dan berlompatan ke dalam air, padahal tidak semua penumpang kan bisa berenang”, keluh Dodi.

Sejarah kelautan adalah sejarah yang panjang. Tetapi yang terjadi justru kosok balik, paradoks. Sejarah panjang tidak menorehkan pengetahuan yang semakin meningkatkan kewaspadaan betapa besar resiko perjalanan angkutan di lautan. Dengan terang dalam pengembangan layanan dikatakan bahwa penumpang adalah raja. Konsumen adalah yang utama untuk dilayani kepentingannya, diangkut dan diantar dengan nyaman dan aman, selamat sampai ke tujuan.

“Bosan saya mendengarkan penjelasan bahwa semua prosedur sudah dilalui, sebelum berangkat sudah diperiksa kelaikannya. Tapi buktinya kecelakaan bahkan terjadi di depan mata mereka yang mengatakan hal itu. Tapi kok nda ada malunya ya. Kalau saja mereka ini Pinokio, pasti hidungnya sudah sepanjang jembatan Suramadu”, kata Dodi geram.

“Kita memang lebih bisa menghafal SOP, Tupoksi, Job Desk atau apapun itu, tapi soal menjalankannya hampir semuanya bisa dikompromikan. Bukan mau menuduh, lembaran rupiah seringkali membuat apa yang tidak layak diberangkatkan ternyata bisa diloloskan mengarungi samudera dalam bahaya. Bukankah biasa kita mendengar kapal tenggelam karena kelebihan muatan?”, sambung Mas Romo.

Dodi terdiam, tak mampu lagi berkata-kata. Dalam diamnya dia membayangkan Presiden SBY mengumumkan bahwa menteri perhubungan di ganti dalam reshuffle kabinetnya. Dan pos menteri perhubungan bukan lagi kursi yang ditujukan untuk membalas jasa baik seseorang pada yang mempunyai hak prerogatif untuk menunjuknya.

Yustinus Sapto Hardjanto
Sociocultural Networker’s

Sekali Berarti Habis Itu Mati alias Bom Bunuh Diri

0 komentar


Huda, nama panggilan dari Nur Huda Ismail menulis sebuah buku dengan judul TEMANKU TERORIS? Saat Dua Santri Ngruki Menempuh Jalan Berbeda. Mantan spesial corespondent untuk harian The Washington Post biro Asia Tenggara itu memang pernah belajar di pondok pesantren Ngruki. Liputan bom Bali dan penelusuran sesudahnya membuat dirinya bertemu dengan Fadlullah Hasan. Fadlullah yang ditahan oleh polisi atas tuduhan terorisme itu adalah kakak kelasnya sewaktu di Ngruki.

Lewat bukunya Huda tidak berpretensi memperdebatkan apa dan siapa terorisme melainkan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk dalam dirinya. Betapa tidak Fadlullah yang dikenalnya bukanlah orang yang gemar berbuat kekerasan, penampilannya jauh dari itu. Saat Huda merasa tidak nyaman dan ingin meninggalkan pesatren, Fadlullah yang menemani dan menyemangati agar bisa terus bertahan.

Mas Romo memang belum seperti Huda yang pintar menulis dan melahirkan banyak buku. Tapi mengalami kegelisahan yang sama, lewat jejaring social media dirinya menerima kabar, pesan dan juga gambar tentang ledakan bom di depan pintu Gereja Bethel Indonesia Kepunton Solo. Konon bom itu adalah bom bunuh diri.

“Mas Romo, apakah ini ada kaitan dengan upaya memancing kerusuhan lanjutan setelah gagal di Ambon”, tanya Mardi sambil tak lupa mengabarkan bahwa baru-baru ini ada juga ledakan bom di pasar Mahardika Ambon.

“Ya, bisa saja kita berspekulasi tentang hal itu. Mereka gagal di Ambon lalu mengalihkan sasaran ke Solo. Solo memang mempunyai sejarah sebagai pemantik kerusuhan di Jawa Tengah. Dulu kerusuhan Anti Cina kerap diawali dari kota itu dan kemudian merembet ke kota lain. Maka sering ada istilah Joglo Semar, Yogja, Solo dan Semarang. Ini adalah axis kunci di Jawa Tengah. Menguncang ketiga kota ini cukup untuk menimbulkan instabilitas”, jawab Mas Romo.

Namun kemudian Mas Romo mengingatkan agar tidak terjebak dalam analisis semacam itu, analisis pengalihan isu dan sebagainya. “Taruhannya terlalu berat jika peristiwa semacam ini hanya disebut sebagai pengalihan isu”, ujar Mas Romo.

“Iya Mas Romo, lebih baik kita berfokus pada ideologi kekerasan yang tak luntur-luntur dari negeri ini. Bom bunuh diri menjadi pesan bahwa pilihan atau jalan kekerasan masih subur di lingkungan kita dan terus dipelihara”, sahut Mardi.

Mas Romo mengamini apa yang dikatakan Mardi. Kekerasan masih menjadi sebuah pilihan untuk mencapai tujuan. Dan dengan bungkus sistem kepercayaan atau religi, jalan kekerasan mendapat legitimasi, pelaku merasa mereka melakukan tugas kemartiran. Darahnya mewangi, jiwanya segera bersanding dengan Allah di surga dengan dianugerahi pendamping nan cantik jelita.

“Secara eksistensial, setiap orang ingin hidupnya berarti terutama berarti bagi Kerajaan Allah. Ini menjadi pilihan bagi orang-orang yang gagal atau sulit membangun makna hidup lewat bidang kehidupan pada umumnya. Pilihan berarti melalui jalan Allah adalah pilihan yang termudah”, ujar Mas Romo.

“Tapi kalau pilihan sekalipun dianggap baik namun dengan cara yang salah, bukankah itu tidak benar Mas Romo”, sergah Mardi.

“Itu adalah perspektif kita yang mempunyai pikiran berlawanan dengan mereka. Andai mereka berpikir seperti kita maka tak ada pembom bunuh diri. Perspektif, pola pikir atau bahkan iman seperti ini yang menjadi tantangan bagi kita untuk mencegahnya. Jika tidak maka ledakan bom atau dengan pola lainnya akan terus terjadi, bagai lingkaran setan yang sulit diurai mana ujung pangkalnya”, terang Mas Romo.

“Tapi kan tetap saja tindakan seperti itu tak bisa dibenarkan”, sahut Mardi.

“Tentu saja, tak ada satupun ajaran baik agama maupun kebudayaan yang menerima pilihan kekerasan seperti itu. Tapi dalam sistem ajaran agama manapun masih saja ada kelompok yang beriman dengan cara matematika, terjebak dalam hedonisme religius, memburu nikmat Allah apapun caranya”, kata Mas Romo.

“Maksudnya apa Mas Romo”, tanya Mardi nampak kebingungan.

“Kira menjalankan apa yang dianggap sebagai perintah Allah dengan harapan dapat pahala. Nikmat kehidupan di surga, dipenuhi segalanya bahkan dikerumuni bidadari yang cantik jelita. Ini kan beriman hitung-hitungan, matematika. Atau kalau dalam ilmu politik disebut sebagai politik transaksional, kita melakukan apa dan kemudian dapat apa. Kalau cara beriman seperti ini masih terus hidup ya kekerasan yang berbau atau dibumbui agama masih akan terus terjadi”, ujar Mas Romo panjang lebar.

Dalam hati Mardi membenarkan penjelasan Mas Romo. Dirinyapun sering berlaku demikian, menjalankan ibadah dengan harapan mendapat tiket free pass ke surga. Tiba-tiba dia teringat pesan singkat yang dikirimkan Belih Sugi sahabatnya sesaat setelah bom Bali meledak. Ahimsa satya sarvaprani hitangkarah (Setialah di jalan nir kekerasan, sehingga semua mahluk bahagia). Mulai hari ini Mardi berjanji akan mendaraskannya sebagai doa.

Yustinus Sapto Hardjanto
Sociocultural networker’s

Belajar Mendengarkan

0 komentar


Bahasa menunjukkan bangsa begitu kata pepatah. Pesannya jelas bahwa sebuah bangsa akan dianggap beradab, berbudaya tinggi apabila mampu bertutur kata dengan baik. Baik artinya kalimatnya tertata rapi, diucapkan dengan intonasi yang terjaga dan memperhatikan tata krama. Tuntutan untuk bertutur kata secara baik dan benar juga semakin terasa apabila seseorang naik jabatan atau naik kelas sosialnya. Semakin tinggi jabatan dan kelas sosialnya, tutur katanya harus semakin lembut, menyejukkan dan tidak membuat orang lain naik pitam.

Maka tak heran, siapapun yang dalam tingkatan tertentu tak mampu mempraktekkannya bakal jadi bahan gunjingan atau tertawaan di belakang punggungnya. “Pejabat kok bicaranya ngawur, grusah-grusuh nda pakai dipikir dahulu”, atau “Gelarnya sih profesor doktor tapi kok ngomongnya kayak pedagang asongan, nda pantas sama sekali” dan masih banyak lagi gerutuan atau bahkan sumpah serapah lainnya.

Ngomong-ngomong soal bertutur kata ini, beberapa hari yang lalu Hasan Anshori berkunjung ke rumah Mas Romo untuk meminta masukkan. Hasan yang kini sudah menduduki pos jabatan di kantor Bupati merasa penting untuk belajar, mencari tip dan trik bicara dengan baik dan benar. Mas Romo dipilihnya karena sejak jaman mahasiswa dulu dikenal sebagai publik speaker, yang mampu menyihir para pendengarnya karena pilihan kata yang tepat dan diramu dalam kalimat yang memikat.
“Sekarang saya ini sudah sering tampil di hadapan publik, sedikit-sedikit wartawan datang untuk melakukan wawancara. Nah biar semakin meyakinkan maka saya datang ke sini untuk berguru, menyegarkan ingatan tentang merangkai kata pada Mas Romo”, begitu kata Hasan saat menjawab pertanyaan Mas Romo yang merasa heran atas kedatangan Hasan.

Mas Romo merasa tersanjung atas maksud dan kedatangan Hasan teman lamanya itu. Namun dalam hati sebenarnya merasa tersandung. Bagi Mas Romo syarat pertama dan utama dalam komunikasi yang baik dan benar adalah kesediaan untuk mendengar dan merasa setara dengan orang yang menjadi lawan bicaranya. Dan di republik ini, amatlah jarang menemukan pejabat (entah rendah atau tinggi) yang sudi dan gemar mendengarkan. Apalagi yang merasa setara dengan bawahan atau masyarakat yang dilayaninya, pasti semakin sulit lagi untuk ditemukan.

Tentu saja Mas Romo tak enak hati menolak permintaan temannya untuk berbagi tips dan trik berkomunikasi secara efektif. “Komunikasi pada dasarnya sebuah proses dari kita untuk menulis raport kepercayaan dan hormat dari orang lain”, kata Mas Romo mengawali penjelasannya. “Maka jangan tergesa-gesa menanggapi sesuatu atau cepat-cepat mengeluarkan pendapat biar dianggap kompeten. Banyak orang kehilangan rasa hormat dan kepercayaan dari orang lain karena terlalu cepat bicara, terlalu mudah membuang kata-kata, tanpa dipikirkan terlebih dahulu apa konsekwensi dari kata-katanya itu”, lanjut Mas Romo.

Hasan menyimak dengan sungguh-sungguh apa yang dikatakan oleh Mas Romo. Dalam hati dia membenarkan betapa sering dirinya berbicara dahulu baru dipikir kemudian. Kalau kemudian menimbulkan gejolak toh bisa diralat atau ngeles dengan mengatakan bahwa orang lain salah memahami apa yang dikatakannya.

“Jadi tidak perlu kita memakai kata-kata yang tinggi untuk menunjukkan betapa kita punya jabatan atau tingkat pendidikan yang jauh diatas rata-rata. Pesan yang benar tidak ditentukan oleh apa jabatan kita dan sampai mana kita sekolah”, ujar Mas Romo mulai mengeluarkan sentilan halus. “Sampeyan tentu memilih bicara sederhana tapi dihormati, daripada tinggi dan penuh istilah canggih tapi malah dibenci atau bahkan dicibir”, lanjut Mas Romo sambil melempar pilihan pada Hasan.

“Tentu saya pilih yang pertama, tapi itu bukan berarti saya gila hormat ya Mas Romo”, sahut Hasan cepat.

“Tantangan buat orang-orang yang punya kedudukan seperti sampeyan sekarang ini semakin berat. Sebab masyarakat semakin bebas berbicara, masyarakat semakin berani menuntut bahkan tak ragu-ragu untuk menunjukkan kemarahannya. Maka jika berlaku tiba saat tiba akal akan sangat berbahaya”, tandas Mas Romo perlahan.

“jadi sebenarnya tak perlu saya memberikan tip dan trik untuk sampeyan, sebab sampeyan ini pejabat bukan pengkotbah atau motivator. Yang penting bicara saja apa adanya, jujur saja serta sabar menghadapi apa yang dikatakan orang banyak. Sebutan pejabat itu hanya berlaku dalam organisasi pemerintah, tapi berhadapan dengan masyarakat sampeyan ini sesungguhnya adalah pelayan. Ingat sebaik apapun yang sampeyan katakan, masyarakatlah yang paling tahu bahwa itu benar atau salah”, ujar Mas Romo.

Hasan hanya terdiam tak memberi tanggapan.

“Silahkan saja sampeyan mau percaya atau tidak. Yang pasti jabatan itu bukan kedudukan yang abadi, jika sudah sampai batasnya maka sampeyan akan kembali menjadi masyarakat biasa. Dan disitulah sampeyan akan menuai hasilnya, apakah semua akan berakhir dengan baik atau tidak”, tukas Mas Romo mengakhiri rentetan nasehatnya.

Yustinus Sapto Hardjanto
Sociocultural Networker’s

AQUA Mengalir Sampai Jauh

0 komentar


Bagian terbesar dari bumi adalah air, demikian juga dengan tubuh manusia. Namun dari jumlah air yang begitu besar di bumi ini hanya sebagian kecil saja yang layak untuk dikonsumsi. Maka kebutuhan akan air bersih, air yang layak dikonsumsi menjadi salah satu kebutuhan utama selain sandang, papan dan pangan. Selain untuk konsumsi, air dalam jumlah yang amat besar juga dibutuhkan oleh sektor pertanian, peternakan/perikanan dan industri.

Bicara soal air bersih, meski mempunyai sumber air yang berlimpah tidak semua daerah di Indonesia mampu menyediakan kebutuhan itu secara memuaskan bagi masyarakatnya. Pemerintah melalui Perusahaan Air Minum (PAM) berusaha memenuhi mandat itu. Namun perusahaan yang usianya barangkali hampir seusia republik ini ternyata tidak semakin pintar dalam menjalankan perannya. Selalu muncul daerah-daerah blank spot, ada saluran pipa tapi airnya tiada. Dibagian lainnya hidup segan mati tak mau, mengalir hanya pada jam tertentu, itupun harus dibantu dengan mesin sedot air.

“Sudah tiga bulan lebih air di rumah tidak mengalir, setetespun tidak”, ujar Arman dengan geram.

“Di tempatku, begitu jam sembilan malam mulailah konser desing mesin pompa. Awalnya sih menganggu tapi lama kelamaan melodinya indah juga”, sahut Jordi sambil tersenyum kecut.

“Dalam artian tertentu, PAM telah menjelma menjadi Perusahaan Angin Melulu. Karena jalur pipanya tak lagi mengalirkan air. Dan berikutnya mereka menganggap manajemen pengolahan air dan distribusinya sebagai angin lalu. Tak nampak ada warta yang mengabarkan institusi ini melakukan peningkatan kwalitas, kecerdasan dan ketrampilannya untuk memperbaiki kinerjanya”, ungkap Mas Romo.

“Betul itu, kalaupun ada kabar biasanya hanya pengumuman dan keriuhan soal penerimaan serta seleksi direkturnya. Namun setelah terpilih tak jelas apa yang dilakukan olehnya”, sambung Arman.

Air PAM (ledeng) memang dirindukan banyak orang tapi banyak juga orang yang naik darah karenanya. Padahal kini rumah konsumennya, air pam kebanyakan hanya digunakan untuk MCK (mandi, cuci dan kakus). Melihat penampilan air yang mengalir lewat pipa, tak banyak lagi yang berani menggunakannya untuk masak dan minum. Kebutuhan air minum dan masak masyarakat kini lebih banyak ditopang oleh AMDK (air minum dalam kemasan).

“Keadaan semakin sulit, kini rumah tangga bersaing dengan kebutuhan usaha rumahan yaitu permandian motor yang muncul di mana-mana”, ungkap Jordi yang rutin memandikan motornya di tempat cuci motor karena susah air di rumahnya.

“Kita ini selalu masih menganggap air berlimpah, namun minim kesadaran bahwa tak semua air bisa kita gunakan. Akibatnya boros dalam penggunaan, terlalu banyak air yang dibuang sia-sia dan tak ada usaha untuk menanam air, menjaga sumber-sumbernya”, terang Mas Romo.

“Ironis ya, apalagi kalau bicara soal perusahaan yang berbasis air. Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan berkembang luar biasa, inovasinya dan sumbangsihnya untuk masyarakat begitu terasa. Mau tak mau ini menimbulkan dikotomi pandangan yang memisahkan antara perusahaan swasta dan perusahaan negara atau daerah. Seolah swasta selalu lebih becus bahkan dalam urusan layanan publik yang sebenarnya dimandatkan untuk perusahaan negara atau daerah”, kata Arman.
Bukan omong kosong memang kalau Perusahaan AMDK lebih inovatif. Dalam waktu sepuluh tahun terakhir ini mereka mampu menjawab keraguan akan kelayakan produksinya untuk langsung diminum. Dan soal harga kini masyarakat bersedia membayar apa yang mereka dulu katakan sebagai lebih mahal dari seliter bensin.

“Kini kita memasuki apa yang disebut sebagai revolusi biru, dimana air menjadi komoditi yang strategis dan banyak diincar oleh perusahaan multinasional. Jika PAM tidak berbenah maka perlahan tapi pasti, satu per satu bakal dicaplok perusahaan luar negeri. Bukan omong kosong lagi jika kelak di rumah kita mengalir air Perancis, air Belanda atau bahkan air Malaysia”, kata Mas Romo sembari memberi contoh layanan air bersih di Jakarta dan Manado yang dioperasikan oleh perusahaan dari Perancis dan Belanda.

Bumi dan apa yang tersimpan didalamnya oleh konstitusi dimandatkan untuk dikelola oleh negara demi kemakmuran rakyatnya. Tapi selalu saja perusahaan swasta multinasional yang lebih pintar dalam mengambil manfaatnya.

“Katong su menikmati air leding....... “ begitu kata bocah di sebuah iklan sambil tak lupa mengucapkan terima kasih pada sebuah perusahaan air minum dalam kemasan yang kini dimiliki oleh perusahaan multinasional dari Perancis.

Yustinus Sapto Hardjanto
Sociocultural Networker’s

Animal Welfare

0 komentar



Ramai diberitakan tentang penganiayaan terhadap orang hutan di daerah Kutai Timur dan Kutai Kartanegara oleh warga. Musababnya adalah masuknya orang hutan ke kawasan perkebunan dan kemudian memakan pepohonan sawit yang dibudidaya di dalamnya. Meski termasuk primata yang cerdas, tentu saja orang hutan tidak mengenal kepemilikan. Apa yang kelihatan bisa dimakan olehnya akan langsung ditelan, tanpa permisi dan meminta ijin terlebih dahulu kepada sang empunya.

Konon pemilik perkebunan jenggah dan marah atas ulah orang hutan yang menghabisi pohon sawitnya. Agar tidak ikut kotor tangannya maka disuruhlah orang-orang kampung (tentu dengan bayaran) untuk meringkus sang pemangsa pohon sawit dan kemudian menghajarnya hingga KO.

“Jelas ini kelakuan tidak adil dan biadab”, guman Mas Romo menanggapi berita koran hari ini. “Apa mereka yang menyuruh dan kemudian menganiaya tidak sadar, bahwa mereka dululah yang merampas ruang hidup orang hutan. Merubah hutan tempat penghidupan orang hutan menjadi ladang”.

Dalam keprihatinan yang dalam, Mas Romo berandai-andai saling bertukar kata dengan Orang Hutan, sebut saja Si Pongo.

“Pong ..saya prihatin dengan kejadian yang menimpa teman dan saudaramu. Kalau boleh bertanya andai ada kesempatan untuk pindah, kau akan memilih pergi kemana?”, tanya Mas Romo.

Si Pongo tak segera menjawab. Yang nampak justru bulir-bulir air mata menetes dari pelupuk matanya sambil diiringi suara sesenggukan kecil, seperti kena flu saja. Setelah agak tenang, Pongo berkata “Kalau boleh saya akan memilih Eropa, Inggris, Jerman atau Perancis. Atau biar tidak terlalu jauh ke Australia saja”.

“Kenapa memilih Eropa Pong”.

“Masyarakat dan hukum disana sudah menghormati peri kebinatangan universal. Kalau kami diperlakukan semena-mena akan ada banyak yang membela. Negara bahkan bisa dikenai sangsi apabila tidak ramah kepada binatang”.

“Kalau Australia, kenapa?. Bukankah kadang mereka tak suka yang berbau Indonesia kecuali Bali”.

“Jangankan jenis seperti saya yang dilindungi. Sapi yang memang digemukkan untuk dipotong saja apabila diperlakukan tidak baik, mereka marah. Buktinya mereka tak sudi mengirim sapi ke Indonesia saat tahu bahwa sapi-sapi mereka disembelih dengan tidak hormat, disiksa lebih dahulu”.

Mendengar alasan Si Pongo, Mas Romo ingat betapa gerakan penyayang binatang di Eropa memang serius. Kelompok penegak hak binatang, berjuang sepenuh hati, bisa sangat keras bahkan rela mati demi binatang. Militansi mereka layaknya pejuang Taliban di Afganistan. Mereka bukan hanya rajin berdemo, tetapi juga memblokade daerah tertentu dan terus melobby para petinggi agar mengeluarkan peraturan yang menjamin kesejahteraan binatang. Europe Group for Animal Welfare adalah kelompok yang dengan keras berjuang untuk membela binatang. Di Perancis ada Brigitte Bardot, bintang film nan sexy tapi garang jika berhadapan dengan para penyiksa binatang.

“Apakah tidak ada tempat yang aman untukmu di tanah Borneo ini”, tanya Mas Romo pada Pongo.
“Sebenarnya ada, tapi tidak bebas karena berupa penampungan. Sebenarnya enak juga semua sudah tersedia. Namun itu bakal membuat urat kami kaku, tak terampil mencari makan dan malas untuk memanjat pohon tinggi. Lagi pula kalau nanti tak ada bantuan dari luar negeri, siapa lagi yang mau membiayai kami?”.

Keadaan memang sulit untuk Si Pongo dan teman-temannya. Meski banyak dipelajari oleh para peneliti luar negeri, nasibnya tak sebaik para doktor yang memperoleh gelar karena lagak laku Si Pongo dan teman-temannya.

Bunyi pesan masuk mengagetkan lamunan Mas Romo. Sebenarnya Mas Romo enggan meninggalkan percakapannya dengan Si Pongo. Namun isi pesan SMS meminta Mas Romo agar segera datang ke sebuah pertemuan. Sebelum bersiap berangkat Mas Romo sempat berbisik “Sebelumnya saya mohon maaf, jangankan untuk kamu jenis binatang. Nyawa kami, manusia, mahkluk yang paling mulia juga tak punya harga di negeri ini”.

Yustinus Sapto Hardjanto
Sociocultural Networker’s

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum