• Blockquote

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Duis non justo nec auge

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

KECERDASAN EKOLOGIS

Jumat, 22 Juli 2011 0 komentar

Apakah ada komunitas atau masyarakat di nusantara ini yang berperilaku menjalani kehidupan secara ramah lingkungan serta teruji selama ratusan tahun. Pasti ada, dan kita bangga karenanya tapi tak sudi untuk mengikutinya. Siapa sih yang ingin hidup seperti orang Badui Dalam, Kajang, Suku Anak Dalam, Dayak di pedalaman dan lain-lain. Kalau mengagumi dan memberi apresiasi secara sungguh-sungguh ya iya saja. Tapi mengikuti perilaku dan gaya hidup mereka, pasti ‘boring’ dan monoton kata anak-anak jaman ini.

Komunitas diatas merupakan contoh dari sebuah kearifan yang didasari atas ‘kecerdasan lokal’. Sejak awal mereka sadar bahwa sumberdaya alam yang ada disekitar mereka ada batasnya. Maka batasan tegas diberlakukan untuk memastikan sumberdaya alam bisa dimanfaatkan dalam jangka panjang seiring dengan pertambahan jumlah anggota komunitas mereka. Masyarakat Dayak misalnya membagi hutan dalam 12 kategori, pembagian atau zonasi yang jauh melampaui apa yang dilakukan kaum environmentalist saat ini. Jika kita selalu berpikir soal kelimpahan maka mereka berpikir soal keterbatasan. Karena terbatas maka jangan serampangan pemanfaatannya. Salah satu suku di Mentawai, sebelum berburu mengadakan sebuah ritual agar mendapat penglihatan jenis binatang apa yang harus mereka buru. Maka membunuh binatang tidak bisa dilakukan begitu ada keinginan. Kesadaran akan keterbatasan membuat sandang, papan dan pangan mereka amat sederhana. Tidak boleh bermewah-mewah. Orang Badui dan Kajang hanya memakai warna pakaian hitam. Rumahpun sudah ditentukan ukuran dan kapan pembangunannya boleh dilakukan.

Interaksi komunitas ini dengan alam sungguh terukur, hal mana tidak dijumpai pada masyarakat kita seumumnya yang tak pernah merasa khawatir atas dampak dari tindakannya terhadap alam, bahkan sering ‘ngeles’ dan berkilah andai terjadi insiden atas apa yang dilakukannya. Kasus lumpur Porong adalah contoh yang paling legendaries. Konsep pembangunan yang berkelanjutkan yang mulai didengungkan sejak tahun 80-an, sesungguhnya adalah konsep gagal dan tak cukup lagi untuk menghadapi permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini. Ini bukan berarti bahwa kita harus kembali menjadi seperti orang Badui atau Kajang lagi, yang tentu saja tak mungkin dilakukan.

Warga dunia, terutama di bagian negara-negara yang maju dan kaya harus lebih bersikap adil. Adil artinya mereka harus mulai mengurangi ‘kerakusan’ dalam mengkonsumsi sumberdaya alam (yang seringkali tidak berasal dari negara mereka) dan menemukan cara atau konsep substitusi dengan memanfaatkan bahan atau sumber yang tidak memperparah kerusakan alam. Industri kelas dunia dengan kemampuan sumberdayanya baik orang maupun manusia-manusia yang sangat pintar harus bisa melahirkan standard operasi industri yang semakin kecil efek negatifnya pada lingkungan atau alam.

Sembari menunggu itu, kita-kita di belahan bumi yang makin mengenaskan ini wajib melakukan ‘capacity building’ untuk menggali pengetahuan local dan merengkuh tingkat kegeniusan local agar setiap interaksi kita dengan alam dan lingkungan didasarkan atas kesadaran bahwa apa yang kita lakukan selalu berdampak pada lingkungan. Kita sejatinya adalah mahkluk konsumsi, maka perilaku sadar lingkungan bisa dibangun mulai dari ‘gaya belanja’ kita. Gerakan konsumen radikal, akan memaksa para produsen untuk menghasilkan produk yang dari sisi dampak terhadap lingkungan bisa dipertanggungjawabkan. Sebagai konsumen dengan tingkat kecerdasan ekologis yang tinggi memang kerap harus bisa menahan diri atau ‘puasa konsumsi’. Membeli dan mengkonsumsi apa yang dibutuhkan . Belanja harus didasarkan atas kebutuhan bukan keserakahan.

Bagi yang kaya raya, untuk apa menumpuk mobil di garasi. Bagi ibu-ibu untuk apa menganti toples dan aneka wadah lain setiap hari raya tiba. Untuk generasi trendi, mengapa harus sering berganti hp tiap kali muncul seri muktahir. Dan untuk apa juga kita memakan binatang-binanatang liar yang dipenuhi aneka mitos soal khasiatnya. Menghentikan kebiasaan yang tidak begitu penting adalah sebuah pengorbanan dari kita untuk membantu alam memulihkan dirinya. Istilah jeda, moratorium atau trade off seharusnya tidak ditanggapi sebagai pelarangan melainkan bukti bahwa kita punya kesadaran bahwa sumberdaya alam itu ada batasnya dan bukan untuk kita semata.

Meski kini soal lingkungan sudah ‘diarusutamakan’ namun sesungguhnya kita masih berada dalam tahapan ‘kebebalan’ kolektif untuk terus merusak bumi. Apa yang kita upayakan, kita diskusikan dan dituangkan dalam kebijakan pemerintah sesungguhnya masih jauh dari apa yang bumi butuhkan.

sALAM cERDAS
@yustinus_esha

Kemilau EMAS Berkubang LUMPUR

0 komentar

Halaman Totabuan, Radar Manado edisi Jum’at 3 September 2010 menurunkan berita dengan judul Dekab Minta Avocet Angkat Kaki. Sejumlah anggota DPRD Bolmong Timur ini menyesalkan sikap dari PT. Avocet Bolaang Mongondow (PT. ABM) yang tidak mengindahkan permintaan warga untuk membenahi jalur jalan Molobog Lanud. Dony Sahe, wakil ketua Dekab bahkan sepakat jika perusahaan asing tersebut angkat kaki dari Boltim. Para wakil rakyat menuduh PT. ABM selalu berkilah dan bersembunyi di balik kontrak karya.

Ancaman dari para anggota Dekab ini menarik, terutama mereka karena mereka masih menyebut PT. ABM sebagai perusahaan asing. Dan lagi-lagi industry ekstraktif di Sulawesi Utara terus menerus jatuh dalam lubang yang sama dalam berhubungan dengan masyarakat. Maka membedah siapa dan bagaimana operasi PT. ABM menjadi penting, dan sekali lagi dengan bantuan (sang maha tahu) google.co.id frasa “PT. Avocet Bolaang Mongondow” dan “CSR PT. Avocet Bolaang Mongondow” bisa memberi gambaran soal itu.
Dari sepuluh hasil pencarian di laman 1, kebanyakan berisi informasi tentang bursa kerja antara tahun 2009 sampai dengan 2010. Hanya ada satu situs web yang berasal dari induk perusahaan itu yang beralamatkan di www.avocet.co.uk. Perusahaan ini berbasis di London, di Asia Tenggara beroperasi di Penjom (Malaysia) dan Lanut/Bakan (Indonesia). Pada bulan Juni 2009 Avocet mengakuisi Wega Mining Asa yang mempunyai proyek di Inata (Burkina Faso Utara), Afrika Barat. Dengan akuisisi itu Avocet juga memperoleh 20 ijin operasi di Burkina Faso, Guinea dan Mali. Dalam operasinya di Indonesia, Avocet mengandeng PT. Lebong Tandai untuk turut sebagai pemegang saham. Pada Mei 2010, PT. Lebong Tandai akhirnya berhasil menguasai keseluruhan saham Avocet di Indonesia dan Malaysia. Dengan pengambilalihan ini maka PT. Lebong Tandai menguasai keseluruhan asset Avocet yaitu PT Avocet Bolaang Mongondouw, PT Avocet Mining Services, PT Gorontalo Sejahtera Mining, PT Arafura Surya Alam, PT Kutai Surya Mining, PT Sago Prima Pratama, PT Sumber Hijau, PT Sumber Pertiwi, Green Specific Resources P/E (“GreenSR”), Green Mineral Resources P/E (“GreenMR”), Gold Specific Resources P/E (“GoldSR”), dan Gold Mineral Resources P/E (“GoldMR”) di Indonesia dan Avocet BV, Avocet Gold Limited, Specific Resources Sdn. Bhd., Cougar Minerals Sdn. Bhd dann Hornbill Gold Sdn. Bhd, di Malaysia.

PT. Lebong Tandai adalah anak perusahaan Merukh Enterprise milik Keluarga Jusuf Merukh, Penguasaha dan politisi kelahiran Rote, NTT dan dibesarkan di Ujungpandang (Makassar). Nama Jusuf Merukh pernah dikaitkan dengan Bre-X Busang, selain itu juga mempunyai saham di PT. Newmont Nusa Tenggara. Lebong Tandai adalah nama sebuah daerah yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Bengkulu Utara. Sejak jaman Belanda dikenal sebagai daerah pertambangan emas, kemudian dari tahun 1981 s/d 1995 beroperasi PT. Lusang Mining. Setelah itu kawasan bekas tambang Belanda dan Pt. Lusang Mining itu ditambang oleh penambang rakyat. Foto-foto, fakta dan scerita Lebong Tandai dulu dan sekarang bisa dilihat http://anokjang.multiply.com/photos/album/65/Lebong_Tandai_at_1932 atau di blog http://ramadiandri10.blogspot.com/2009/01/galeri-lebong-tandai.html.

Oleh sebab itu tidak benar jika saat ini PT. ABM disebut sebagai asing, sebab assetnya kini dalam penguasaan PT. Lebong Tandai, anak perusahaan dari Merukh Enterprise. Benar bahwa dahulu maskapai tambang asing yang banyak mengeruk kekayaan sumber daya alam di Indonesia, tetapi kini maskapai nasional (tentu berskala internasional atau extra nasional – istilah Endi Biaro) telah banyak menguasai kawasan atau ijin penambangan di negeri ini. Dan ini sesuai dengan cita-cita para “Raja Tambang” nasional. Persoalannya apakah mereka akan jauh lebih baik dalam melakukan penambangan, berhubungan dengan masyarakat dan pengelolaan lingkungan?. Fakta, cerita dan pengalaman di berbagai tempat nampaknya belum bisa menunjukkan hal itu.

Dari frase “CSR PT. Avocet Bolaang Mongondow” dari 10 hasil pencarian di laman pertama tidak ada satu keterangan yang langsung merujuk kepada aktifitas CSR. Dari hasil ini menunjukkan bahwa pelaporan program sosial masih belum diberikan porsi yang memadai. Boleh jadi penyelenggaraan program sosial tidak berjalan dengan baik atau bahkan kurang dilakukan. Satu-satu berita positif soal ini adalah bahwa PT. ABM masuk dalam nominasi mining award untuk kategori health and safety bagi karyawan-karnyawannya.

Dalam official website www.avocet.co.uk/screspon.html mereka telah membentuk Community Consultative Committee (CCC) yang merupakan bentuk kemitraan dengan seluruh stakeholder (termasuk aparat keamanan). Komite ini bertujuan untuk memastikan bahwa Avocet sadar dan mengerti aspirasi dan kebutuhan khusus dari seluruh stakeholder guna melakukan operasi yang konstruktif menuju masa depan yang berkelanjutan. Setiap bulan komite ini akan mengadakan pertemuan mengajukan program kepada Avocet. Kemudia Avocet bersama dengan wakil masyarakat bekerja sama untuk menentukan prioritas poyek dan membuat komitmen bersama untuk menyelesaikannya sebelum bergerak pada langkah berikutnya.

Avocet menuliskan telah melakukan inisiatif berikut ini di masyarakat :
• Pemeliharaan dan perbaikan infrastruktur dan jalan di desa sekitar.
• Mendampingi masyarakat ketika terjadi bencana seperti banjir atau longsor.
• Suplay air bersih.
• Menyediakan pendampingan bagi petani baik dilakukan sendiri maupun dengan ahli dari universitas. Dikatakan bahwa hasil tanaman jangung per hektar telah naik 400% setelah pendampingan itu.
• Mengembangkan perkebunan cabe.
• Membangun proyek perikanan di kawasan pelabuhan Jiko.
• Terus menerus melakukan pemberantasan nyamuk di desa-desa sekitar.

Selain hal tersebut diatas Avocet juga menyatakan telah memberikan bantuan baik kesehatan, makanan tambahan maupun bea siswa untuk anak-anak disekitar kawasan tambang. Semua kegiatan ini menurut Avocet dipublikasikan melalui satu TV dan 2 surat kabar local. Setiap bulan juga dibuat bulletin yang dibagikan kepada para stakeholder di tingkat provinsi, kabupaten dan sekitar kawasan tambang.

Sebetulnya kalau berangkat dari apa yang dikatakan oleh perusahaan nampaknya tidak ada masalah, dalam arti perusahaan melibatkan para stakeholder untuk menjawab apa yang dibutuhkan masyarakat. Perusahaan mengkomunikasikan apa yang dilakukan kepada masyarakat. Tapi kenapa para wakil rakyat menghardik mereka untuk angkat kaki dari wilayah operasi mereka saat ini.

Barangkali pemetaan dan penglibatan para stakeholdernya tidak tepat. Kerap kali perusahaan hanya menyasar orang –orang yang (dianggap) punya pengaruh entah karena kedudukan atau kekuasaan. Perusahaan nampaknya hanya “meninabobokan” orang-orang atau kelompok yang berpengaruh pada operasi mereka tetapi abai pada orang-orang yang terkena dampak operasi mereka. Mirip dengan perilaku para pembesar negeri ini, perusahaan juga hanya kerap berjanji-janji tapi tak dipenuhi. Publikasi aktifitas social mereka hanya bagian dari verbalisasi janji, tapi minim bukti. Protokol hubungan dan komunikasi dengan masyarakat juga tidak dirumuskan dengan jelas. Maka jika ada masalah dalam hubungan dengan masyarakat yang terjadi hanyalah improvisasi untuk mengatasinya, entah dengan mengelak, berkilah atau bahkan memukul balik dengan kekuatan aparat.

Selalu bersembunyi dibalik kekuatan hukum negara (ijin usaha pertambangan) tetapi tanpa didukung oleh ‘restu’ masyarakat (social license to operate) hanya akan membuat perusahaan terus bermasalah dan dipermasalahkan. Atau memang sengaja demikian biar perhatian tidak terfokus pada kerusakan lingkungan atau limbah tambang serta kegiatan lain yang berkaitan dengan pemulihan lingkungan. Kembali ke persoalan semula, PT. ABM justru bermasalah bukan hanya dengan warga melainkan juga dengan pelaksana pemerintahan setempat. Adakah ini menunjukkan bahwa perusahaan ini berjalan ‘diam-diam’ menutup rapat segenap aktifitas mereka dari pihak luar atau khalayak ramai. Maka wajar jika banyak pihak akan merasa jangan-jangan nanti “habis manis sepah dibuang”. Bukankah itu yang sering terjadi selama ini, masyarakat tidak menerima hasilnya tetapi menikmati akibatnya yaitu banjir, longsor, debu dan jalan-jalan yang berkubang lumpur di kala hujan. Jadi apa artinya jika daerah ini dikenal karena kilau emasnya, tetapi masyarakat tetap berkubang lumpur senantiasa.

Salam Silau Emas
@yustinus_esha

KAMPUNG TUNGGANG LANGGANG

0 komentar

Mengalami ruang kebersamaan bagi sebagian besar dari kita adalah saat sedang melaju atau berada di jalan. Rentang waktu berada di jalan semakin hari semakin besar seiring dengan perkembangan dinamika perkotaan. Jalan merupakan faktor penentu relasi dan psikologi social masyarakat. Nyaman tidaknya saat berada di jalan menentukan kualitas hubungan social di ruang-ruang lainnya kemudian.

Kemajuan teknologi komunikasi memungkinkan orang berada di jalan tetapi tidak mendiaminya. Kita bisa melaju di jalan dengan kecepatan dan kemacetan seperti apapun tetapi tetap nyaman duduk dalam kabin, disiram dingin AC, berhubungan dengan dunia luar dengan sms, mms, video chat dan blackberry messenger. Sekalipun ada di jalan kita bisa duduk manis dengan layar laptop terbuka dan jari-jari memainkan tuts untuk terus meninggalkan jalan sembari menghubungkan diri dengan dunia luar, berselancar dari satu tempat ke tempat lainnya tanpa gangguan.

Ruang kini tidaklagi berdimensi antropologis-geografis, melainkan lebih berkembang dalam hubungan yang cair tergantung dari koneksi jejaring komunikasi. Ruang yang makin dinamis, ekpasif dan membebaskan ini kemudian menjadi sebuah jebakan yang bisa membuat orang abai atas ruang-ruang fisik di sekitar lingkungannya. Asalkan koneksi internet lancar, orang tak punya kepentingan entah dengan kemacetan atau ketidak lancaran di jalanan. Kerjasama dan hubungan lebih terpelihara di alam maya. Sementara ikatan social dan kepedulian atas jalan misalnya tak terbangun secara sepadan. Padahal di Manado misalnya, gerak dan langkah dinamika kota ini hanya ditentukan oleh hegemoni satu moda yaitu jalan raya. Jalan yang semakin hari semakin ruwet, mendatangkan terror bagi siapa saja yang tak awas melihat tanda-tanda lalulintas. Terkadang tak cukup waktu untuk memikirkan kemana arah yang benar harus diambil. Jalanan Manado pasti membingungkan dan membuat linglung orang-orang yang sudah satu bulan tidak mengunjunginya.

Hubungan social yang menjijikkan di jalanan diungkap oleh Walter Benjamin (1892 – 1940). Dia kecewa dan mengkritik terhadap sikap tak peduli, cuek, saling salup, berebut untuk menjadi yang tercepat tanpa memperdulikan orang lain di jalan yang sama. Apa yang dikritik oleh Benjamin sedang terjadi di jalanan kita sekarang ini. Jalanan makin hari nampak semakin sempit karena jejalan ribuan orang diatasnya dengan aneka moda angkutan. Aneka kelas masyarakat yang tumpah di jalan menjadi sama-sama bergegas, tergesa dan tak memperdulikan yang lain. Jalan bukan lagi penghubung antara ruang yang satu dengan ruang yang lain, Jalan bukan lagi jalinan yang menyatukan pengalaman hidup keseharian kita. Jalan menjadi pengalaman perjuangan, perebutan dan bahkan terror yang menakutkan.

Pertanyaan jalan itu untuk siapa dan apa?. Apakah jalan hanya untuk modil, motor, truk dan bis; atau masih ada ruang untuk pejalan kaki, pengendara sepeda dan pedagang kaki lima?. Lalu jalan untuk apa, melancarkan hubungan, menunjukkan kekuasaan, kesombongan atau makan puji dan gila-gilaan. Andai jalan itu untuk semua orang tanpa membedakan, kenapa mobil mengkilap, berkaca gelap terus bisa melaju dengan cepat karena kawalan foreder dengan sirene yang memekakkan telinga. Watak pejabat tinggi di jalanan memperlihatkan tabiat yang sesungguhnya untuk tidak mau bersentuhan dengan masyarakat.

Sungguh kasihan para ‘peziarah kota’ dan pengembara jalanan karena tak ada ruang bagi mereka untuk membenamkan diri di bentang kota. Menjelajahi arcade dan boulevar sembari menerbangkan imaji di antara ruang ekonomi, social dan budaya. Siapa yang betah menziarahi jalanan di kota ini. Bahkan mereka yang mencari kehidupan dengan menyusuri jalan ini sudah mulai frustasi. Kembali ke sang peziarah, andaipun ingin mereguk aura kota ini dengan menyusuri trotoar pasti celaka yang ditemui. Hampir tak ada trotoar yang beres di kanan kiri jalan. Beberapa terlalu sempit dan seadanya. Terlalu banyak interupsi, entah oleh penutup got yang terbuka atau patah (sudah banyak orang mendapat malu dan bau karena terperosok ke dalamnya), jalan masuk ke rumah atau halaman lainnya, TPS (tempat pembuangan sampah sementara), halte (yang tidak melindungi dari panas maupun hujan), tidak rata atau bergelombang karena kontruksi asal-asal (meski ada juga yang saking pingin bagusnya ditegel dengan keramik licin sehingga banyak orang mau tergelincir) dan lebih aneh lagi di beberapa lajur jalan tengah-tengah trotoar ditanami pepohonan.

Yogyakarta mempunyai arcade jalan yang membentang panjang. Malioboro memelihara semangat cultural jalan sebagai ruang publik, tempat kehidupan, roh dan jiwa kota mengejawantah. Jalan sebagai ruang ekonomi atau ruang transaksi sesungguhnya bukanlah sesuatu yang diharamkan. Sebelum kehadiran moda-moda angkutan sesungguhnya pemilik asli jalan adalah para pejalan kaki. Banyak kejadian bisa terjadi di jalan, menunggu teman, mejeng sore-sore, janjian sambil minum kopi atau hidangan kecil lainnya, menikmati udara pagi dan lain-lain. Tapi kini jalan dan trotoar menjadi panggung tempat kita berkelahi. Tidak pernah ada sebuah komitmen, kesepakatan dan visi bersama tentang jalan dan daerah milik jalan. Semua terus ditentukan secara sepihak, pembangunan atasnya lebih didasari atas tinjauan proyek kontruksi, bukan karena kajian social dan budaya masyarakat yang akan memakainya.

Ketiadaan ruang public yang nyaman di daerah milik jalan membuat mall-mall dan pusat perbelanjaan tumbuh subur di perkotaan. Mall sejatinya sebuah kawasan yang mencomot jalanan, arcade dan plaza dalam satu kompleks secara sistemik. Suasana pasar tradisional, pasar kaget, perdagangan kali lima dan pedagang keliling secara selektif dihadirkan kembali dalam ruang yang nyaman. Memori masa lalu jalan sore-sore, cuci mata, mejeng, nyari jodoh dan lain-lain dihadirkan kembali secara lebih sempurna di mall-mall. Balkon tempat kita berdiri memandang sekeliling hadir di mall-mall. Foodcourt menjadi tempat nyaman untuk memilih aneka makanan dan duduk ngobrol ngalor ngidul. Caffeshop memanjakan pengunjung dengan alunan music dan sambungan wifi. Mall menghadirkan suasana secara selektif secara ketat. Hasilnya kita bak berjalan di plasa dan arcade tanpa gangguan panas, hujan, pengamen, pengemis, tukang semir dan lain sebagainya.

Mall hadir sebagai katedral modernitas tempat kaum perkotaan mereguk kembali spirit dan kesegaran jiwa setelah seharian lelah bekerja. Mall menjadi tempat rekreasi yang tidak pernah membosankan karena terus dikreasi penataannya. Mall di rancang untuk membuat orang terus bergerak, mengelana mengikuti dan memburu selera. Di dalam mall oang bisa menghabiskan hari meski tidak membeli apa-apa. Tapi sebaliknya mall juga menyediakan apa saja yang dibutuhkan dalam satu tempat. Tapi apakah mall mampu mengantikan ruang public yang tergusur dari kesekitaran kita?. Adakah mall merupakan ruang demokratis dan mampu menghapus sekat-sekat kelas aik ekonomi maupun pengetahuan. Adakah kaum yang mengamini ‘saya belanja maka saya ada’ alias shopaholic mampu merasa diri setara dengan orang yang ternganga melihat sepatu karet berharga ratusan ribu.

Mall tidak akan menjadi ruang public. Mall justru hadir untuk menunjukkan perbedaan kelas. Dengan mudah kelompok kelas menengah atas teridentifikasi, entah dari pakaian yang mereka kenakan, gadget yang mereka pegang dan pilihan counter perbelanjaan. Mall justru mematikan minat orang akan ruang public. Memasuki mall membuat kita tidak melihat kenyataan diluar, seperti pengemis, gelandangan dan kaum miskin papa lainnya. Mall mengajar kita untuk semakin tak peduli dan tak mau tahu akan apa yang terjalan di luar disekitar jalanan sana. Selamat datang matinya peradaban perjumpaan dan jangan heran jika sebuah persoalan antara kelompok kecil di jalanan tiba-tiba menjadi ledakan kerusuhan yang melibatkan banyak orang.

Salam Saling Tunggang
@yustinus_esha

RAMAI-RAMAI HIJAU

0 komentar

Entah angin dari mana yang membuat daerah-daerah di bumi nusantara ini menghembuskan slogan goes green. Pendek kata semua rame-rame ber’hijau’ria. Padahal sebelum ini konotasi warna hijau sering diidentikkan dengan keagungan nilai dan etika Islam. Hijau adalah warna dasar kerajaan Arab Saudi. Hijau juga warna dasar bendera lambing Nahdatul Ulama (NU). Ketika masa terakhir pemerintahan Soeharto, sering terdengar istilah ‘ijo royo-royo’ itu artinya masyarakat muslim diakomodir dengan sangat baik didalam pemerintahan Soeharto.

Kini hijau dipakai oleh banyak kepala pemerintah daerah untuk menyatakan bahwa kepemerintahan mereka adalah peduli dan punya komitment besar untuk lingkungan. Menetapkan diri menjadi daerah ‘hijau’ berarti membangun kapasitas daerah untuk memperoleh pendapatan dari usaha-usaha yang tidak merusak lingkungan, atau usaha yang meperhatikan keberlanjutan alam serta masyarakatnya. Dan jika pemerintahan ‘hijau’ ini bisa terwujud maka akan menjadi pemerintahan yang ‘ramah’ alias tidak jahat terhadap alam seisinya termasuk penduduk yang ada didalamnya.

Sekarang pertanyaannya seberapa kuat niat, konsistensi dan ketahanan untuk menaati nilai dibalik kata hijau itu?. Seberapapun gencarnya kampanye soal daerah hijau, toh pada dasarnya semua masih berupa ide, bukan gagasan yang terencana dengan baik dan komprehensif. Hijau tidak boleh skedar disimplifikasikan pada gerakan tanaman sejuta atau bahkan semilyard pohon. Pemerintah kita yang kepalanya kerap berganti-ganti masih butuh waktu panjang untuk melakukan perubahan nilai, budaya dan struktur internal organisasinya.

Menyatakan diri sebagai daerah ‘hijau’ tidak dengan sendirinya kesadaran bahwa pemerintah dan masyarakatnya hadir bersama untuk membawa misi kesejahteraan yang berkelanjutan akan hadir begitu saja. Trophy dan aneka awards green kerap hanya menjadi semacam iklan belaka, cara atau strategi untuk membangun reputasi pemimpinnya. Menyatakan diri menjadi daerah hijau adalah sebuah pilihan etis untuk mengarahkan segenap perangkat daerah, masyarakat dan warga untuk merubah hidup dan perilakunya dalam segala hal agar lingkungan kehidupan, alam dan seisinya terjaga untuk kesejahteraan semua hingga masa ke depan.

Semoga slogan hijau tidak menjadi ironi, hanya terpajang di iklan, baliho, spanduk dan pidato-pidato saja. Menggelikan jika tebaran kata hijau itu berserak bersama dengan tumpukkan sampah yang tak terangkut dimana-mana, berkubang bersama lubang-lubang tambang yang dibiarkan begitu saja, berpeluh dalam desakkan antrian kendaraan yang terjebak dalam kemacetan, menetes dalam pipa air PDAM yang mati hidup dan hanyut dalam genangan air yang tak tahu harus meresap kemana.

Sebelum meneriakkan yel-yel : green yes!!!. Mestinya berkaca lebih dulu melihat adakah mata ini tak lagi ‘hijau’ melihat deretan angka PAD dalam APBD yang bisa masuk ke kantong kanan dan kiri yang ternyata juga berwarna hijau.

Salam Mata Hijau
@yustinus_esha

AGAMA : Inspirasi Bukan Aspirasi

0 komentar

“Ketaatan kami disini bukan karena kesadaran, tetapi karena dipaksa” (Mohammad Khatami)

Praktek pemaksaan ketaatan terhadap Tuhan dibanyak tempat oleh negara memang masih lazim. Kecenderungan seperti ini bahkan semakin menguat di negeri kita pasca reformasi. Muncul banyak kelompok masyarakat yang turut memaksa negara untuk semakin mencampuri urusan privat, hubungan manusia dengan Tuhan. Hak untuk berhubungan dengan Tuhan adalah hak paling dasar yang tidak boleh dicampuri oleh siapapun. Negara hanya berfungsi untuk menjaminnya, memberi rasa aman dan nyaman untuk mengekpresikannya. Berbagai peristiwa kekerasan, diskriminasi dan pelecehan terhadap kelompok tertentu berkaitan dengan ekspresi serta praktek hubungan dengan Tuhan menunjukkan bahwa negara mau memperluas wilayah dan kekuatan kekuasaannya. Negara dan kelompok-kelompok tertentu mendorong campur tangan dalam suatu wilayah yang seharusnya bukan menjadi urusannya. Negara dan kelompok sesungguhnya adalah sistem yang tidak tunggal karena didalamnya ada beberapa unsure sehingga tidak mungkin mereka hadir menjadi ‘wakil Tuhan’ di bumi.

Praktek di banyak wilayah dimana negara atau kekuasaan setempat memegang kendali atau memaksakan ketaatan pada Tuhan hanya akan melahirkan ‘hipokrisi religius’. Simbol dan tanda-tanda religiusitas ada dimana-mana menyembunyikan buruk muka dan segenap penyelewengan di balik ketaatan massal. Apakah bisa dipastikan seseorang yang mengenakan symbol religious seharian penuh, melahap hafal isi kitab suci dan menjalankan ibadah secara teratur dengan sendirinya akan menjadi mahkluk yang taat dan beriman penuh kepada Tuhan?. Sudah banyak kita mendapat contoh atau bahkan melihat perilaku mereka yang gemar memakai symbol-simbol religious tetapi bertindak dan bertutur tanpa adab orang beriman. Padahal siapapun yang secara serampangan bertindak seolah-olah sebagai ‘wakil Tuhan’ sesungguhnya justru dia tengah menista Tuhan.

Kepemerintahan kita dibangun atas legitimasi politik, pemberian mandat melalui pilihan suara rakyat. Dalam pemilu atau pemilukada tidak pernah ada pemberian mandat spiritual atas orang yang kita pilih atau kita beri suara. Dengan demikian mandat para pengelola pemerintahan adalah mengurus warga dalam urusan hidup duniawi. Kita hanya menempatkan mereka menjadi pimpinan tinggi negara atau suatu daerah bukan pimpinan tertinggi spiritual keagamaan. Menyerahkan urusan duniawi dan surgawi kepada satu tangan penguasa hanya akan mengantar kita kepada kekuasaan totaliter yang akan sulit untuk dikoreksi. Dan apabila ini terjadi maka akan sulit untuk diperbaiki lagi, sulit untuk dirubah sebab tidak ada lagi kekuasaan yang lebih tinggi. Pengalaman di Eropa pada masa lalu ketika gereja dan negara bersekutu melahirkan banyak horror dalam kehidupan warganya.

Di beberapa negara, bentuk pemerintahan teokrasi juga masih dipraktekkan. Akibatnya praktek kehidupan kenegaraan tidak lagi didasarkan atas kontitusi. Pemimpin spiritual tertinggi kata dan keputusannya bisa mengatasi konstitusi. Maka praktek partisipasi, kritisisme terhadap kekuasaan dan aspirasi warga menjadi mustahil untuk diwujudkan. Indonesia pasca reformasi juga memunculkan gerakan baik dari kelompok maupun unsur pemerintahan untuk mengaspirasikan teokrasi baik secara terbatas maupun menyeluruh. Modus yang dipilih bermacam-macam atau dalam bentuk yang berbeda-beda. Dalam koridor demokrasi, UU tentang Pornografi misalnya bisa merupakan jalan kecil atau pintu masuk untuk negara mencampuri urusan moralitas warganya. UU ini sesungguhnya menempatkan warga negara sebagai kelompok tertuduh yang bobrok secara moral sehingga perlu ditakut-takuti dengan pasal dan ancaman hukuman. Dalam banyak sisi pembatasan atas gaya berbusana, bertindak dan berpenampilan bagi perempuan sesungguhnya hinaan pada laki-laki yang dianggap selalu ‘bernafsu dan berpikir ngeseks melulu’ apabila melihat perempuan.

Aspirasi teokrasi yang sangat luas, tidak dijabarkan dengan jelas (kabur), penuh dengan idealisasi dan tak disertai dengan argumentasi keilmuan yang bisa dipertanggungjawabkan dalam perdebatan public kemudian bersekutu dengan nafsu berkuasa kelompok atau orang tertentu yang disembunyikan di belakang topeng kesalehan akan menjadi bahaya besar kehidupan bangsa di masa depan. Pragmatisme politik yang memainkan sentiment teokrasi menunjukkan bahwa kehidupan para pemburu kekuasaan menghalalkan segala cara untuk merengkuh kedudukannya. Sebuah sikap dan perilaku yang sesungguhnya ditentang oleh sistem dan ajaran religious apapun.
Adakah sesungguhnya ide-ide teokrasi tak lebih dari wajah keputusasaan dan ketidakmampuan para pengelola pemerintahan untuk menyelesaikan persoalan. Kenapa harus mengurus cara berpakaian, cara berjalan, cara berbicara dan lain-lain kalau untuk mengurus kebutuhan air bersih, sumber energy dan angkutan umum saja tidak becus sampai sekarang. Apa gunanya jika seluruh bangsa ini tiap hari berdoa, mendaras ayat kitab suci, tempat ibadah penuh dimana-mana dan sebagainya tapi kita hidup sengsara. Adakah kalau rakyat kita miskin lalu pemerintah hanya mengatakan sabar, sebab orang miskin lebih berharga di hadapan Tuhan dari pada orang kaya. Lalu jika rakyatnya bodoh, berkilah bahwa orang bodoh akan lebih jauh dari dosa dibanding dengan orang yang pandai.

Sebagai bangsa kita adalah bangsa yang religious, semua orang beragama, sebagian besar taat beribadah tapi toh adab kita sebagian besar tidak mencerminkan hal itu. Dan kenapa kita masih berpikir bahwa pemerintahan teokrasi akan mampu memperbaiki kondisi bangsa ini. Ide seputar teokrasi adalah ide orang-orang gila urusan, orang yang putus asa mencari jalan dan asa untuk memperbaiki kondisi negeri ini. Menjadikan negeri ini sebagai negeri teokrasi tidak akan membuat mata Tuhan berpaling ke negeri ini, mengulurkan tangan-NYA membantu kita menyelesaikan persoalan bangsa ini.

Berhentilah mengkhayal campur tangan Tuhan dalam mengatasi segenap masalah yang membelit negeri ini. Kerja keras penyelenggara pemerintah dan segenap jajaran birokrasinyalah yang seharusnya diutamakan. Hentikan perselingkuhan politik, tegakkan hukum dan fungsi negara untuk melindungi serta mengutamakan kepentingan warganya. Jadikan agama sebagai inspirasi, untuk bekerja sungguh-sungguh, mengabdi kepada pemberi mandat, jujur dalam mengambil keputusan. Jangan bertopeng dibalik aspirasi agama yang justru menghantar warga kepada ketaatan semu, karena terpaksa. Tuhan membenci kemunafikan sekalipun kita bermaksud untuk menyenangkanNYA.

Salam Damai Dalam TUHAN
@yustinus_esha

ENERGI TAI SAPI

Kamis, 21 Juli 2011 0 komentar

Energi fosil yang menjadi primadona pendapatan Indonesia kian lama kian surut. Semua sejak sekolah dasar tahu bahwa energi fosil adalah energi yang tak dapat diperbaharui . Tapi pemimpin kita yang kini sudah bergelar doktor ternyata tak kunjung mempunyai skema operasional untuk mengurangi penggunaan energi fosil dengan mengkonversi ke energi yang terbarukan . Kalaupun ada gerakan atau program, semua masih jatuh dalam jargon belaka serta tak terbukti di lapangan. Ribuan hektar  pohon jarak yang telah ditanam, entah kini untuk apa?.

Kebijakan soal energi memang kerap aneh bin ajaib, melahirkan istilah yang bikin pusing kepala tapi sering juga diiringi tawa. Bayangkan setelah beras miskin, kini ada yang berpikir untuk menamai premium menjadi bensin miskin. Para pengambil kebijakan berpikir bahwa menamai dengan bensin miskin maka orang kaya tak bakal sudi menelannya. Apakah mereka tidak belajar atau pura-pura tak tahu bahwa banyak orang di Indonesia ini menjadi kaya karena menelan orang miskin. Apa sebutan yang tepat untuk pemimpin dengan rencana kebijakan seperti ini, tolol, goblok atau idiot?.

Persoalan energi fosil adalah persoalan besar, yang tidak bisa diatasi dengan aksi-aksi dan seremoni gaya orang kelebihan uang. Benarkah mereka yang kini gencar mengkampanyekan pemakaian sepeda tidak lagi mengkonsumsi bensin?. Apa artinya kalau sepeda hanya dipakai di hari tertentu, pada hari libur, hari dimana mereka memang tidak beraktivitas dengan bensin. Bahkan ada yang hanya untuk naik sepeda mereka berkendara dengan menaikkan sepeda di mobil sampai ke luar kota. Para pemimpin kita sudah bangga kalau hari minggu bersepeda sambil menebar senyum. Padahal sehari-hari hanya untuk mengantar mereka dari rumah kediaman ke kantor perlu empat sampai lima mobil untuk mengawalnya.

Parto jengkel melihat keadaan ini, sejak sepuluh tahun lalu dia secara sadar berusaha memenuhi kebutuhan energi sendiri. Sebagai peternak sapi dia menggunakan kotoran sapi untuk memproduksi biogas. Dengan tekun dia melakukan penelitian dan pengembangan sendiri, sehingga biogas dari tai sapi bukan hanya untuk memasak melainkan juga mengerakkan generator untuk pembangkit listrik. Salah satu penemuan terakhir dari Parto adalah pil energi yang merupakan ekstrasi bahan tertentu. Parto rapat menyembunyikan bahan bakunya.

Pil energi temuan Parto berkhasiat meningkatkan tenaga pengendara sepeda. Siapapun yang mengkonsumsinya dijamin tidak lelah mengayuh sepeda dan setelah itu tak perlu pijatan karena pegal-pegal di kaki. Parto menguji coba pada tukang sayur dan hasilnya luar biasa. Kini para tukang sayur yang biasa naik motor mulai kembali beralih ke sepeda. Produktifitas tidak menurun dan ongkos operasional berkurang. Meski tanpa semua dilakukan diam-diam, akhirnya penemuan Parto bocor di media massa. Wajah dan temuan Parto menghiasi pemberitaan termasuk testimoni dari para tukang sayur.

Parto tidak bermaksud menjadikan temuan yaitu pil energi untuk menjadi produk industri, namun karena permintaan melonjak, mau tak mau partai meningkatkan jumlah produksi semampunya. Kini bukan hanya tukang sayur yang mengkonsumsi pil energi itu melainkan juga para pekerja-pekerja lainnya. Semakin hari permintaan pil energi produksi Parto semakin tinggi sehingga Parto mulai serius menggarap produksinya. Sebaran pengkonsumsi pil energi juga semakin meluas bahkan melewati batas propinsi.

Dampak dari pemakaian pil energi adalah semakin banyaknya sepeda di jalanan. Motor mulai menjadi barang yang diemohi banyak orang. Dealer dan leasing motor, satu persatu mulai rontok dan penjual bensin eceran menghilang dari jalanan. Perusahaan penjualan mobil juga mulai menurun terutama untuk kategori mobil niaga. Dan semakin lama, usaha SPBU juga semakin terancam, omzet penjualan turun drastis. Sebab selain pil, ternyata Parto tidak pelit berbagi ilmu tentang pemanfaatan kotoran sapi baik untuk kebutuhan dapur (biogas) maupun listrik. Mulai muncul kawasan-kawasan pemukiman yang benar-benar mandiri energi.

Bagi banyak orang biasa, Parto adalah pahlawan, tetapi bagi sekelompok orang yang dulu kaya dan kini terongrong oleh upaya Parto, dia dianggap sebagai sumber penyakit yang mematikan. Maka asosiasi dagang dan usaha yang dirugikan oleh kebaikan Parto mulai mendekati pemerintah agar mengambil tindakan pada Parto, kalau perlu menghentikan usaha pembuatan pilnya. Mereka menghembuskan isu bahwa usaha itu illegal, tidak berijin dan produknya tidak diuji secara labolatoris.  Bahkan mereka juga melempar isu bahwa pil itu berbahaya karena termasuk dalam kategori obat perangsang, semacam anabolic streoid yang berbahaya jika dikonsumsi dalam waktu jangka panjang.

Parto tidak bergeming, pemerintah juga tidak bisa bertindak. Sebab diam-diam Balai Pengawasan Obat dan Makanan telah memeriksa pil energi Parto. Dalam pemeriksaaan laboratorium mereka tidak berhasil menemukan zat-zat yang berbahaya. Kalaupun tersisa tanda tanya itu karena mereka tidak bisa mengenali bahan dasarnya apa. Karena gagal memakai kekuatan pemerintah untuk menekan Parto, maka kelompok yang terganggu kepentingannya itu melakukan lobby-lobby internasional. Kelompok investasi dan negara-negara investor yang ternyata juga merasakan dampak pil energi Parto sepakat untuk mengalang kekuatan, menekan pemerintah Indonesia untuk melakukan investigasi atas pil energi yang diproduksi oleh Parto.

Dalam sebuah pertemuan multilateral, para pemimpin negara-negara termasuk  Indonesia akhirnya memutuskan untuk membuat badan investigasi bagi produk pil energi. Parto tenang-tenang saja menghadapi itu semua. Dia tidak mempunyai beban apa-apa sebab semua temuannya tidak dimaksudkan untuk memperkaya dirinya sendiri. Kalaupun nanti dilarang toh tak ada ruginya bagi dia. Pemerintah Indonesia sebenarnya setengah hati mendukung keberadaan tim investigasi, namun tak bisa menolak karena berbagai kepentingan. Salah satunya adalah khawatir dengan penjadwalan bantuan dari negara-negara donor.

Tim investigasi datang dan meneliti pabrik sederhana tempat Parto memproduksi pilnya. Tidak ada temuan yang mencurigakan Selain sebuah ruang yang terkunci dan tak pernah diketahui oleh orang, selain Parto sendiri. Awalnya Parto keberatan ketika mereka memaksa untuk masuk dan melihat ke dalam. Namun akhirnya Parto menyerah, lalu menyerahkan kunci kepada anggota tim untuk masuk ke dalamnya, tanpa diantar Parto. Tim membuka pintu lalu menghilang dalam kegelapan. Namun tak lama berselang mereka keluar dengan muka tidak karuan, beberapa bahkan tak mampu menahan mual hingga muntah di lantai. Ruang rahasia dan bahan rahasia yang baunya memualkan, begitu temuan yang paling mencurigakan dari tim investigasi.

Tim investigasi membawa temuan kepada kepala pemerintahan, mereka memaksa agar Parto dihadirkan dalam panel untuk memberikan penjelasan tentang bahan yang mencurigakan sebagaimana tersimpan di ruang rahasianya. Akhirnya Parto di panggil ke Jakarta dan tentu saja Parto gembira karena ini adalah kali pertama dia pergi kesana serta gratis pula. Singkat cerita di hadapan panel yang terdiri dari tim investigasi, kepala pemerintah dan para pejabat senior, Parto langsung diminta membeberkan rahasia pil energinya. Awalnya Parto bersikukuh tidak mau membeberkan rahasianya, dia hanya mengatakan tidak ada bahan yang berbahaya yang disembunyikan olehnya.  Tapi mereka terus memaksanya. Akhirnya Parto menyerah dan kemudian maju ke podium untuk menyampaikan pengakuannya.

Semua hadirin bertepuk tangan kala dia maju ke depan. Mereka semua merasa bahwa akan ada kemenangan besar dan usaha mereka akan kembali mekar. Dan diatas podium yang terhormat, Parto mulai bicara “ Saya tidak menyembunyikan sesuatu, saya hanya menyembunyikan ketakutan saya sendiri atas bahan utama pil itu. Saya khawatir kalau orang akan marah ketika mereka tahu pil itu terbuat dari apa. Jadi saya minta jaminan keamanan atas diri saya dan keluarga kalau saya harus mengatakan bahan dasar pil itu”.  Permintaan Parto disanggupi oleh kepala pemerintahan. Kemudian Parto melanjutkan pengakuaannya. “Ruang yang saya rahasiakan memang penyimpan bahan pil, saya tidak beri lampu dan tak ada orang lain boleh masuk ke dalamnya. Itu sebenarnya adalah tai sapi yang saya fermentasi. Jadi pil energi ini sebenarnya terbuat dari tai sapi”, ungkap Parto mengakhiri pengakuannya.

Semua terkaget dengan pengakuan Parto dan tim investigasi tidak bisa menyangkal hal itu karena merekalah orang yang pertama merasakan baunya selain Parto.  Diam-diam mereka kagum atas usaha dan inovasi Parto. Dan demi asas keadilan mereka tak lagi melakukan tuntutan. Di akhir pertemuan mereka sepakat untuk menutup rapat rahasia ini. Dalam konperensi pers, Kepala Pemerintahan secara singkat mengatakan “Kami telah mencapai kesepakatan, bahwa tidak ada sesuatu yang membahayakan dari apa yang dilakukan dan dihasilkan oleh Parto. Kami menghargai upayanya dan memuji inovasi temuannya. Dan kami sepakat bahwa informasi lainnya akan dibuka tiga puluh tahun ke depan demi stabilitas dan keamanan nasional”.

Salam bau tai
@yustinus_esha

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum