KECERDASAN EKOLOGIS

Jumat, 22 Juli 2011

Apakah ada komunitas atau masyarakat di nusantara ini yang berperilaku menjalani kehidupan secara ramah lingkungan serta teruji selama ratusan tahun. Pasti ada, dan kita bangga karenanya tapi tak sudi untuk mengikutinya. Siapa sih yang ingin hidup seperti orang Badui Dalam, Kajang, Suku Anak Dalam, Dayak di pedalaman dan lain-lain. Kalau mengagumi dan memberi apresiasi secara sungguh-sungguh ya iya saja. Tapi mengikuti perilaku dan gaya hidup mereka, pasti ‘boring’ dan monoton kata anak-anak jaman ini.

Komunitas diatas merupakan contoh dari sebuah kearifan yang didasari atas ‘kecerdasan lokal’. Sejak awal mereka sadar bahwa sumberdaya alam yang ada disekitar mereka ada batasnya. Maka batasan tegas diberlakukan untuk memastikan sumberdaya alam bisa dimanfaatkan dalam jangka panjang seiring dengan pertambahan jumlah anggota komunitas mereka. Masyarakat Dayak misalnya membagi hutan dalam 12 kategori, pembagian atau zonasi yang jauh melampaui apa yang dilakukan kaum environmentalist saat ini. Jika kita selalu berpikir soal kelimpahan maka mereka berpikir soal keterbatasan. Karena terbatas maka jangan serampangan pemanfaatannya. Salah satu suku di Mentawai, sebelum berburu mengadakan sebuah ritual agar mendapat penglihatan jenis binatang apa yang harus mereka buru. Maka membunuh binatang tidak bisa dilakukan begitu ada keinginan. Kesadaran akan keterbatasan membuat sandang, papan dan pangan mereka amat sederhana. Tidak boleh bermewah-mewah. Orang Badui dan Kajang hanya memakai warna pakaian hitam. Rumahpun sudah ditentukan ukuran dan kapan pembangunannya boleh dilakukan.

Interaksi komunitas ini dengan alam sungguh terukur, hal mana tidak dijumpai pada masyarakat kita seumumnya yang tak pernah merasa khawatir atas dampak dari tindakannya terhadap alam, bahkan sering ‘ngeles’ dan berkilah andai terjadi insiden atas apa yang dilakukannya. Kasus lumpur Porong adalah contoh yang paling legendaries. Konsep pembangunan yang berkelanjutkan yang mulai didengungkan sejak tahun 80-an, sesungguhnya adalah konsep gagal dan tak cukup lagi untuk menghadapi permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini. Ini bukan berarti bahwa kita harus kembali menjadi seperti orang Badui atau Kajang lagi, yang tentu saja tak mungkin dilakukan.

Warga dunia, terutama di bagian negara-negara yang maju dan kaya harus lebih bersikap adil. Adil artinya mereka harus mulai mengurangi ‘kerakusan’ dalam mengkonsumsi sumberdaya alam (yang seringkali tidak berasal dari negara mereka) dan menemukan cara atau konsep substitusi dengan memanfaatkan bahan atau sumber yang tidak memperparah kerusakan alam. Industri kelas dunia dengan kemampuan sumberdayanya baik orang maupun manusia-manusia yang sangat pintar harus bisa melahirkan standard operasi industri yang semakin kecil efek negatifnya pada lingkungan atau alam.

Sembari menunggu itu, kita-kita di belahan bumi yang makin mengenaskan ini wajib melakukan ‘capacity building’ untuk menggali pengetahuan local dan merengkuh tingkat kegeniusan local agar setiap interaksi kita dengan alam dan lingkungan didasarkan atas kesadaran bahwa apa yang kita lakukan selalu berdampak pada lingkungan. Kita sejatinya adalah mahkluk konsumsi, maka perilaku sadar lingkungan bisa dibangun mulai dari ‘gaya belanja’ kita. Gerakan konsumen radikal, akan memaksa para produsen untuk menghasilkan produk yang dari sisi dampak terhadap lingkungan bisa dipertanggungjawabkan. Sebagai konsumen dengan tingkat kecerdasan ekologis yang tinggi memang kerap harus bisa menahan diri atau ‘puasa konsumsi’. Membeli dan mengkonsumsi apa yang dibutuhkan . Belanja harus didasarkan atas kebutuhan bukan keserakahan.

Bagi yang kaya raya, untuk apa menumpuk mobil di garasi. Bagi ibu-ibu untuk apa menganti toples dan aneka wadah lain setiap hari raya tiba. Untuk generasi trendi, mengapa harus sering berganti hp tiap kali muncul seri muktahir. Dan untuk apa juga kita memakan binatang-binanatang liar yang dipenuhi aneka mitos soal khasiatnya. Menghentikan kebiasaan yang tidak begitu penting adalah sebuah pengorbanan dari kita untuk membantu alam memulihkan dirinya. Istilah jeda, moratorium atau trade off seharusnya tidak ditanggapi sebagai pelarangan melainkan bukti bahwa kita punya kesadaran bahwa sumberdaya alam itu ada batasnya dan bukan untuk kita semata.

Meski kini soal lingkungan sudah ‘diarusutamakan’ namun sesungguhnya kita masih berada dalam tahapan ‘kebebalan’ kolektif untuk terus merusak bumi. Apa yang kita upayakan, kita diskusikan dan dituangkan dalam kebijakan pemerintah sesungguhnya masih jauh dari apa yang bumi butuhkan.

sALAM cERDAS
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum