• Blockquote

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Duis non justo nec auge

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (64)

Kamis, 18 Oktober 2012 0 komentar


Republik Motor

Dalam 10 tahun terakhir penetrasi kendaraan bermotor roda begitu luar biasa. Hampir tak ada satu pun wilayah di Indonesia yang tidak terjangkit wabah berkendara motor. Kalau di tahun 80 sampai 90-an yang bisa menikmati kredit bermotor adalah para guru atau pegawai negeri, memasuki tahun 2000-an hampir semua orang bisa membawa pulang motor kreditan. Kredit motor diobral, outletnya mungkin lebih banyak daripada gerobak tukang martabak. Kini bahkan untuk membeli motor cash jadi sulit, karena penjual lebih memilih calon pembeli dengan cara kreditan.

Booming kendaraan roda dua adalah lonceng kematian bagi kendaraan penumpang umum, terutama yang beroperasi di dalam kota, antar kecamatan atau desa. Penumpang yang tersisa hanyalah anak-anak sekolah yang belum dikreditkan motor oleh orang tuanya atau ibu-ibu paruh baya yang berjualan di pasar-pasar dan tak berniat belajar mengendarai motor.

Jaman kedigdayaan motor roda dua dimulai oleh jenis bebek. Para produsen silih berganti mengeluarkan seri demi seri hingga kemudian muncul jenis skuter otomatic (Skutic). Bebek dan skutic yang awalnya lebih digambarkan sebagai motor perempuan kini dinaiki oleh siapa saja. Motor-motor ini merajai jalan raya. Pagi, siang, sore dipakai untuk pergi bekerja, sekolah, belanja malamnya dipakai kebut-kebutan oleh anak-anak motor (amor).

Saya yakin kalau dihitung maka jumlah motor bisa jadi dua kali dari jumlah rumah. Motor menjadi kebutuhan primer rumah tangga.  Motor juga bukan lagi ukuran kesejahteraan, karena masyarakat membeli motor bukan sebagai akibat kelebihan uang melainkan karena kebutuhan. Akan tetapi lain ceritanya apabila yang kita punyai adalah motor gede (moge). Mereka yang tak punya motor akan mengeluarkan ongkos yang lebih besar untuk biaya transportasi dan juga kerugian waktu. Mau keluar  harus naik ojek dan kemudian disambung dengan kendaraan umum yang pada jam-jam tertentu malas jalan karena sepi penumpang. Pendek kata sekarang ini rumah tangga tanpa motor bakal kesulitan dalam mobilitas.

Sayangnya pertambahan motor (baik roda dua maupun roda empat) yang berlipat-lipat tak dibarengi dengan pertambahan jumlah jalan. Jalanan selama lebih dari 10 tahun relatif tetap panjang dan lebarnya. Alhasil kemacetan bukan lagi monopoli kota besar macam Jakarta. Manado misalnya yang dulu hanya macet menjelang hari Natal atau malam tahun baru, kini di beberapa titik kemacetan adalah sebuah rutinitas. Demikian juga dengan Kota Samarinda, dari tahun ke tahun titik-titik macet bertambah banyak. Kemacetan yang rutin terjadi di pagi, siang dan sore hari.

Dalam kemacetan adalah watak para pengendara motor mencari celah agar tetap bisa terus maju. Jika tak ditemukan celah maka trotoarlah menjadi korban. Dengan perkembangan jumlah kendaraan bermotor, trotoar memang menjadi bagian jalan yang paling merana, tak lagi dilalui para pejalan kaki. Di jalanan yang macet dan trotoarnya tidak dirampok oleh PKL menjadi tempat jualan, maka disitulah roda-roda sepeda motor akan menjejakkan langkahnya. Trotoar kemudian menjadi jalan pintas agar sepeda motor terus melaju kala jalanan macet.

Pertumbuhan sepeda motor mungkin sudah sulit untuk direm. Rantai niaga di bisnis kendaraana roda dua ini sudah sedemikian panjang serta melibatkan banyak orang. Pembelipun memberlakukan motor bukan lagi sebagai barang mewah. Karenanya banyak pula yang gemar gonta-ganti motor kalau sudah bosan memakai tipe atau jenis lama.

Saya mulai menaiki motor setelah kenyang dan cape naik sepeda. Tapi anak-anak atau orang-orang sekarang tidak lagi melalui jenjang dari naik sepeda kemudian naik motor. Banyak yang by pass, bukan dari penunggang sepeda lagi melainkan langsung menjadi pengendara motor. Akibatnya banyak yang tak paham soal sopan-santun berkendara di jalanan. Sedikit sekali yang punya kerendahan hati kala mengendarai sepeda motor.

Pengendara sepeda motor adalah raja jalanan, penguasa jalan raya. Dengan ketrampilan mengendara seadanya, tak segan-segan mengeber motornya serasa jalanan adalah sirkuit motoGP.  Belum lagi tabiat para pengendara yang gemar mencari perhatian, sengaja membuat suara mesin motornya bagaikan deru bunyi mesin traktor, keras melengking memekakkan telinga. Jalanan yang berisik dan ramai tak juga membuat pengendara waspada serta ingat orang lain. Tak sedikit motor berjalan beriringan, menelusuri jalanan sambil berbincang antara pengendara satu dengan lainnya seakan tak punya waktu untuk duduk dan bicara bersama. Memang banyak pengendara yang terlalu percaya diri di jalan raya, seperti tak berhenti saat menerima telepon, atau bahkan ada yang membalas sms dan bbm sambil tetap berjalan. Perilaku percaya diri namun tak tahu diri ini dengan mudah ditemukan pada jalanan di mana saja.

Pada akhirnya inilah negeri kita, yang bercita-cita menjadi negeri demokratis setelah reformasi, namun lebih dahulu dicapai justru perwujudan republik ini menjadi republik motor.

Pondok Angkringan, 11 Oktober 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (63)

0 komentar


Mati Pikiran

Bertahun mengeluti sebuah issue, berusaha melakukan perubahan dengan berbagai cara, membangun jejaring dalam berbagai level. Dan setelah dilihat ternyata tidak terlalu banyak perubahan, keadaan masih begitu-begitu saja. Kenyataan seperti ini tiba-tiba bisa saja membuat kita lelah atau sering disebut sebagai burn out.

Istilah burn out diperkenalkan kepada saya sewaktu menjadi petugas penjangkau (outreach worker’s) untuk program pendidikan penyadaran dalam bidang kesehatan pada kelompok khusus. Tidak banyak tujuan yang hendak dicapai selain berharap agar kelompok sasaran mempunyai pengetahuan yang benar tentang masalah kesehatan dan mencari pengobatan pada petugas kesehatan yang seharusnya. Namun tujuan yang sederhana itu seakan menabrak tembok praktek dan perilaku kesehatan selama ini.

Aspek atau seluk beluk tentang sehat dan tidak sehat dalam masyarakat dan kelompok tertentu ternyata dipenuhi dengan mitos-mitos. Sakit atau gejala tertentu bisa disembuhkan dengan barang tertentu yang sesungguhnya bukan obat. Sakit bisa dicegah dengan cara tertentu, meski cara itu sama sekali tak berhubungan dengan aspek medis. Dan mereka mempercayai ini sehingga setelah melakukan ‘ritual’ tertentu percaya bahwa penyakit tak akan hinggap dan mengenai dirinya.

Melawan mitos, kepercayaan yang salah namun ‘diimani’ sebagai benar bukanlah soal yang gampang. Wawasan, pengetahuan dan ketrampilan memang perlu, namun yang terutama justru ketekunan dan kesabaran untuk terus bertahan. Merubah apa yang diyakini seseorang dan kemudian menjadi dasar perilaku mudah diterangkan secara teoritik, namun dalam prakteknya banyak keberhasilan yang terjadi seolah hanya karena ‘berkat Tuhan’.

Saya meyakini bahwa burn out banyak menimpa mereka-mereka yang bekerja atau mengabdikan diri dalam bidang sosial politik. Orang-orang dengan cita-cita besar dan bersih, yang banyak melupakan dirinya untuk mengurus orang lain dan masyarakat demi kehidupan yang lebih baik. Dengan ketulusan dan ketekunan mereka bekerja selama bertahun-tahun, mengalami guncangan-guncangan. Kerap kali keberhasilan sudah nampak di depan mata tapi tiba-tiba menghilang, begitu berulang kali. Tibalah pada saat refleksi, melakukan analisis SWOT dan ternyata tidak banyak perubahan yang bisa dicatat sebagai keberhasilan. Menghela nafas panjang dan capek yang tersisa tanpa hiburan.

Coba tanya pada mereka yang bergerak dalam bidang anti korupsi. Runtuhnya regim Suharto membawa angin segar, keyakinan bahwa korupsi di birokrasi akan menurun dan terbukti tidak, otonomi daerah justru membuat korupsi makin marak. Kemudian lewat rangkaian perjuangan, muncullah KPK. Kekuatan KPK membawa optimisme baru, bahwa korupsi bakal menurun, pekerja anti korupsi memperoleh energi baru. Tapi dari hari ke hari KPK tak pernah tenang, perjuangannya melawan korupsi selalu diganggu oleh berbagai macam hal.

Keberhasilan yang samar-samar tentu akan membuat pegiat apapun menjadi kehilangan semangat, pesimis bahkan kemudian menjadi apatis. Jika kemudian tak mampu menemukan energi baru, lilin kecil yang kembali akan menumbuhkan terang dalam dirinya, maka bisa saja rasa capek akan membuatnya berhenti, putar haluan dan mencari jalan yang lain.

Saya memahami jika kemudian seseorang meloncat dari satu hal ke hal lain karena alasan pencapaian. Perubahan dari satu jalur pada jalur lainnya. Banyak orang yang tadinya memilih jalur jalanan kemudian berpindah ke jalur kantoran. Adakah mereka akan disebut penghianat?. Menurut saya tidak andaikan keputusan itu diambil dengan sebuah pertimbangan untuk beroleh manfaat yang lebih besar baik bagi dirinya maupun masyarakat yang diabdinya.

Membiarkan ketidakpastian, kebosanan, perasaan tidak berarti dan kesia-siaan dalam perjuangan tanpa penyelesaian baik dengan cara istirahat (tetirah) untuk memperoleh energi baru atau kemudian meloncat pada bidang atau jalur lain yang lebih potensial tentu hanya akan membuat mati pikiran.

Saya kemudian jadi ingat pesan seorang kawan yang mengatakan istilah NKRI harga mati adalah salah satu contoh dari gejala mati pikiran. Mati pikiran karena mau menjaga keutuhan NKRI hanya dengan satu kata yaitu harga mati, padahal yang diperlukan justru harga hidup. Apa artinya NKRI tetap utuh jika untuk menjaga keutuhannya dibutuhkan kematian banyak rakyatnya.

Pondok Angkringan, 11 Oktober 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (62)

0 komentar


Pordjo

Kota ini makin sepi saja, tidak banyak kemajuan. Lihat toko-toko di depan sana banyak yang tutup dan terbiar menjadi sarang hantu.  Begitu kata teman SMP saya dulu ketika saya menemuinya di toko kelontong tempatnya berjualan. Lain lagi cerita sopir angkot yang saya tumpangi, dia mengatakan sepertinya lebih enak mencari uang di rantau dari pada disini. “Demi lembaran rupiah saya harus ‘mendelik-mendelik’ sepanjang jalan, itupun belum tentu dapat penumpang”, begitu katanya. Mendelik itu artinya memelototkan mata terus, memperhatikan kalau-kalau ada penumpang di pinggir jalan atau di mulut gang.

Ketika duduk-duduk di depan toko teman, saya memperhatikan deretan toko di depannya. Dan memang benar, persis di depan saya duduk dulu adalah dua toko buku yang berjejer. Kini satu sudah tutup dan yang satunya meski tetap memakai nama yang sama ternyata sudah ganti jualannya yaitu jamu dan pulsa. Dan jalanan yang dulu setahu saya begitu ramai kini lengang. Becak dan dokar tak lagi lalu lalang, mereka lebih suka menunggu di pojok perempatan ketimbang berkeliling mencari penumpang. Tak heran jika kemudian tukang becak, tukang dokar bahkan sopir angkot menjadi kenal siapa penumpangnya.

Ketika jam menunjukkan pukul 9 malam, saya meminjam motor untuk berkeliling kota. Tak butuh waktu yang lama untuk bisa menyusuri jalanan utama kota. Lega rasanya menyusuri jalanan di malam hari, tak banyak kendaraan hilir mudik. Keramaian hanya ada di alun-alun besar depan dan belakang Pendopo Bupati. Di alun-alun depan banyak orang berjualan makanan dan minuman di sepanjang trotoar yang mengelilinginya. Ada wahana permainan semacam becak berhias lampu-lampu yang bisa ditumpangi keliling alun-alun. Jumlahnya ada 10 lebih namun sebagian besar terparkir.

Di alun-alun belakang ada pasar malam dengan wahana-wahana yang mirip atau kurang lebih sama ketika saya masih kecil dulu. Ada kincir, ombak banyu, tong setan dan istana setan. Tapi pengunjungnya tak lagi seramai jaman dahulu. Alun-alun yang dahulu adalah tempat pertandingan sepakbola itu kini dikelilingi oleh kios-kios permanen, sehingga orang-orang baru tak akan tahu kalau dibalik kios-kios itu sebenarnya ada lapangan. Yang menarik di salah satu sisi alun-alun itu kios yang menutupi adalah kios tukang cukur, dan sampai jam 9 malam lebih masih banyak orang memotong rambut. Sebegitu sibukkah orang-orang ini hingga harus memotong rambutnya di malam hari, atau malu kalau harus pergi di siang hari, entahlan.

Sebelum pulang saya menelusuri jalan utama yaitu jalan Ahmad Yani, jalanan begitu sunyi. Memang ada orang –orang berjualan semacam angkringan namun jaraknya berjauhan. Tak ada lagi toko yang buka, baru nanti di dekat perempatan terlihat lebih terang karena ada swalayan waralaba yang buka 24 jam.

Begitulah cerita dari kota kelahiran saya, Purworejo yang konon kerap dibilang sebagai kota pensiunan karena sunyi senyap. Hampir tak terlihat derap industri di kota ini. Setahu saya hanya ada pabrik kain mori dan es batu yang cukup kasat mata. Dulu memang ada pabrik rokok, tapi rokok linting, klembak menyan (rokok siong) yang kemudian lenyap ditelan jaman. Tak ada lagi yang sudi merokok klembak menyan karena berbau ‘setan’.

Padahal ini adalah kota tua. Buktinya ada satu gang yang dinamai gang Afrikan. Gang ini menandai kehadiran pasukan kolonial berbadan tegap dan berkulit hitam. Sebenarnya mereka adalah tentara Gurkha, tapi penduduk mengira mereka orang Afrika. Di sini juga ada tangsi besar, komplek tentara Kostrad 412. Di jaman saya kecil dulu, kerap saya menyaksikan mereka berlatih perang disawah-sawah belakang rumah. Saat itu mereka dipersiapkan untuk ikut dalam pendudukan Timor Timur.

Menenggok sejarahnya, kota ini melahirkan orang-orang besar. WR. Supratman dilahirkan disini di desa Somonggari, desa yang dikenal menghasilkan manggis dan durian. Dulu durian dan manggis dari desa ini dikirim hingga ke Jakarta. Tapi kini pohon-pohon tua yang tak lagi produktif banyak dipotong untuk diambil kayunya, sementara pohon-pohon baru pengantinya tidak ditanam. Jenderal Ahmad Yani juga lahir di kota ini tepatnya di Ngrendeng. Bahkan Ibu Negara saat ini punya hubungan dengan kota ini, karena Sarwo Edi, bapaknya lahir dan dimakamkan disini.

Tapi saya yakin SBY mungkin tak kenal dan tak ingat kota ini. Meski dulu sempat sekolah di Magelang, perbatasan di sebelah utara. Andai dia ingat tentu tak sulit untuk menenggok atau singgah di kota ini. Toh berkali-kali SBY datang dan menginap di Yogyakarta yang adalah perbatasan di sebelah timur. Tak butuh waktu yang lama jika SBY mau datang dengan mengendarai helikopter, andai tak mau datang mengendarai mobil atau kereta api.

Saya mencoba paham saja, mungkin Presiden, Menteri dan Gubernur enggan datang mengunjungi kota ini karena tak tahu hendak berbuat apa. Dalam rencana pembangunan yang sempat saya lihat di rak buku adik saya, saya menemukan sebuah rencana pembangunan besar-besaran yang berpotensi merubah wajah kota ini. Rencananya adalah pembangunan marina di pantai selatan. Laut memang tidak menjadi perhatian padahal perbatasan bagian selatan kota ini adalah lautan lepas dengan segala potensinya. Tapi apa mau dikata rencana pembangunan belum juga jalan tapi sang bupati keburu masuk bui. Dan yang lebih mengejutkan konon sang bupati ini memilihara dua ekor macam jawa di halaman belakang rumah dinasnya.

Berpuluh tahun saya meninggalkan kota ini, dulu saat saya pergi sebutan yang termahsyur adalah kota pensiunan, dan setelah lama pensiun kini kota ini telah menjadi kota mati.

Pondok Angkringan, 16 Oktober 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (61)

0 komentar


Jangan Kaget dan Heran

Pagi ketika nyawa belum genap alias sudah terbangun tapi mata masih ‘kriyep-kriyep’, saya melangkah menuju depan televisi. Beruntung sudah ada segelas kopi mix di meja, seteguk dua teguk membuat tenggorokan terasa lega dan siap menghirup sebatang rokok kretek berfilter.

Di layar televisi yang menyajikan program berita selebriti tengah menayangkan kabar tentang seorang yang konon berprofesi sebagai model, mengendarai mobil honda jazz dan menabrak 7 orang di jalanan. Model itu ternyata hanya mengenakan pakaian dalam saat mengemudikan mobil. Konon kabarnya dia mengalami halusinasi akibat mengkonsumsi zat adiktif.

Tak lama kemudian di sebuah grup BBM yang saya ikuti ada kiriman gambar dari model itu yang lagi-lagi katanya diambil sesaat sesudah dia sadar (siuman). Dan gambar yang diklaim sebagai asli oleh pengirimnya memang menunjukkan model itu hanya mengenakan bra dan celana dalam. Ramai anggota grup membahas masalah ini, namun saya tak berminat untuk ikut meramaikannya.

Atas kejadian seperti ini, Mbah saya biasanya mengatakan ini adalah goro-goro, pratanda kalau dunia mulai ‘bubrah’. Jadi jangan kaget dan juga tak perlu heran. Saya mencoba untuk tidak mudah kaget dan tak mudah heran agar tidak mudah terserang penyakit jantung dan terbawa-bawa dalam mimpi. Toh, sebenarnya peristiwa yang mengagetkan dan mengherankan silih berganti terjadi sehingga menjadi biasa.

Siapa coba yang tidak kaget dan heran melihat ada anggota DPR yang masih muda tapi korupsinya luar biasa. Siapa yang tidak heran ada politisi yang menjadi bintang iklan anti korupsi tapi kemudian jadi tersangka. Siapa yang tidak kaget dan heran ada seorang politisi senior, terhormat di kalangan agamawan kemudian ternyata ketahuan menyuap. Siapa yang tak keget dan heran melihat seseorang yang baik di depan publik ternyata gemar menampar istrinya. Dan terakhir misalnya tentu saja semua orang harus kaget dan heran ketika seorang pelajar yang ikut tawuran menyatakan puas karena telah membunuh lawan tawurannya.

Jadi betul kata Mbah saya agar tidak mudah kaget dan heran, persoalannya kalau kita kerap duduk di muka televisi, hal-hal yang menyebabkan kekagetan dan keheranan akan muncul silih berganti, menit demi menit. Jadi kalau kita ikuti terus tentu jantung akan bekerja keras dan perasaan kita akan terus teraduk-aduk. Bukan hanya hal-hal nyata saja yang membuat kita kaget dan heran, cerita-cerita sinetron di televisi misalnya juga menyajikan hal yang berefek sama. Misalnya mana ada haji yang berurai air mata memohon doa pada Allah agar membatalkan keberangkatan seorang haji lainnya.
Namun tidak kaget dan tidak heran bukan berarti tak memberi perhatian. Kepedulian dan perhatian tetap diperlukan, mengingat kejadian-kejadian tadi mungkin saja mengenai orang-orang yang kita kenal, orang-orang yang dekat atau bahkan bersaudara dengan kita. Di jaman yang berjalan semakin cepat dan tidak linear lagi ini saya merasa tugas sosial kita semakin berat. Banyak kali kita tersadar merasa ada yang salah disekitar kita ketika sesuatu telah terjadi. Banyak orang sadar telah menjadi korban lingkungan entah lingkungan pergaulan maupun lingkungan tempat tinggal, tapi tak banyak yang punya niat untuk memupuk modal sosial dalam lingkungannya.

Novi demikian nama model yang menabrak 7 orang itu konon adalah seorang perantau di Ibukota, tinggal sendiri dalam apartemen dan tidak mempunyai banyak teman. Hidup sendiri, berjuang untuk eksis dan tinggal di lingkungan yang tidak memperdulikan satu sama lain tentu saja membuat dirinya tertekan kala mengalami masalah. Dan berat tidaknya masalah tidak tergantung pada masalah itu sendiri melainkan pada kekuatan seseorang untuk menghadapinya. Kekuatan yang tidak semata-mata berasal dari dirinya melainkan juga dari lingkungan atau lingkaran paling dekat. Jika ini tida dipunyai maka beban akan ditanggungnya sendiri. Adalah sebuah kecenderungan manusiawi bagi seseorang untuk ingin lepas (melupakan sesaat) dari beban secara cepat. Caranya tentu saja bermacam-macam, ada yang positif dan ada pula yang negatif. Dan Novi misalnya lebih memilih untuk melepaskan beban sembari menikmati hidup dengan mengkonsumsi zat adiktif.

Berhadapan dengan masalah, saya ingat ajaran yang disampaikan oleh dosen psikospiritual yang mengatakan hidup sesungguhnya adalah perjalanan dari satu masalah ke masalah lainnya. Tugas kehidupan kita adalah mengatasi masalah itu sehingga lebih kuat, lebih terampil dan kemudian mampu pula untuk mengatasi masalah di luar diri kita (lingkungan dan masyarakat atau orang lain). Dengan demikian masalah harus dihadapi dengan cara yang baik dan benar, bukan dengan mengkompensasi dengan masalah lainnya.

Refleksi saya atas berbagai permasalahan yang muncul dari pelbagai pemberitaan mengafirmasi bahwa yang dikatakan oleh dosen saya dulu itu memang benar. Kita kerap lari dari masalah dengan cara yang kemudian menimbulkan masalah baru sehingga membuat banyak orang terkaget-kaget dan terheran-heran.

Pondok Angkringan, 15 Oktober 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (60)

0 komentar


Hotel dan Sepeda

Dengan menumpang taksi, saya pergi menuju University Club UGM, setelah sampai disana ternyata Univercity Club itu adalah sebuah hotel, milik universitas Gajah Mada. Selama menginap dan berkegiatan di sana saya tak sempat terlalu banyak mengenal sekelilingnya. Namun ada yang menarik, setiap kali saya keluar ke halaman ssebelah samping untuk merokok, di jalan saya melihat banyak anak-anak muda (mahasiswa/wi) menaiki sepeda. Sepedanya seragam dan didepannya ada keranjang untuk menaruh tas.

Dalam hati saya menduga-nduga bahwa sepeda itu adalah sepeda sewaan yang hanya boleh dipakai di kompleks UGM. Seru juga melihat lalu lalang sepeda di jalan raya, terkadang ada sepasang mahasiswa dan mahasiswi berkendara sambil bersenda gurau, saling selip dan kejar-kejaran dengan sepeda, romantis sekali.

Saya tak hendak membanding-banding UGM dengan universitas lainnya, entah yang lebih baik atau yang lebih buruk. Tapi sebuah universitas kemudian memiliki wisma dan hotel sendiri serta terbuka digunakan oleh masyarakat umum (pihak luar) adalah sebuah ide yang baik. Konon untuk biaya pendidikan perlu ongkos yang besar. Dan pemerintah juga masyarakat (peserta) belajar belum tentu mempunyai kemampuan yang cukup untuk memenuhinya. Nah, universitas tempat ahli dari segala ahli berkumpul tentu saja perlu berupaya untuk menggali pendanaan melalui usaha-usaha produktif.

Selama beberapa hari menginap di UC UGM, saya melihat bahwa tingkat huniannya lumayan tinggi. Ada bermacam-macam orang yang tinggal dan menginap disana. Mungkin saja ada mahasiswa dari luar negeri yang belum menemukan kost, atau para peneliti dari luar Yogya yang butuh untuk melakukan kajian pustaka di UGM, ada juga dosen terbang dan lain sebagainya. Ruangannya juga selalu terpakai, ada yang dipakai seharian ada juga yang dipakai pagi hingga sore, tapi ada juga yang memakai untuk acara malam hari. Pendek kata secara sekilas usaha hotel seperti ini adalah bisnis yang sehat atau menguntungkan.

Kemudian soal sepeda tadi, pemakaian sepeda dalam kampus jelas mendukung program untuk mengurangi pemanasan global. Mahasiswa atau mahasiswi tidak perlu membawa motor atau mobil masing-masing satu untuk tiap orang. Aktivitas di kampus memang kerap mengharuskan seorang mahasiswa/wi berpindah dari satu area ke area yang lain. Kampus biasanya luas sehingga kalau berjalan kaki selain membuang waktu juga bisa membuat kaki lecet dan pegal-pegal. Naik sepeda adalah jawabannya. Dengan naik sepeda selain mengurangi polusi bisa juga membuat badan tetap sehat dan kaki tetap kuat.

Saya tidak sempat tanya apakah sepeda-sepeda itu disewakan dan kalau ya berapa ongkosnya. Namun menurut saya mungkin mencari keuntungan dari penyewaan sepeda bukan tujuan yang utama. Pemakaian sepeda bertujuan untuk mengurangi pemakaian kendaraan bermotor dalam kampus. Dengan berkurangnya kendaraan bermotor dalam kampus maka lingkungan kampus akan semakin sehat, bersih dan minim polusi.  Oleh karenanya usaha memasyarakatkan sepeda dalam kampus bukan bertujuan memperoleh keuntungan finansial melainkan memperoleh keuntungan jasa lingkungan yaitu udara bersih dan lingkungan tidak bising.

Dua contoh yang selama beberapa hari saya lihat sekilas itu menunjukkan bahwa universitas perlu mengambil langkah nyata untuk mengefektifkan seluruh sumberdayanya guna membangun sebuah sistem dan suasana pembelajaran yang mendukung untuk seluruh civitas academicanya. Keberadaan hotel di kampus, membuat kegiatan-kegiatan tidak perlu dilakukan di jauh, membuat mereka yang perlu mengakses area kampus tidak berada terlalu jauh dari kampus. Sementara keberadaan sepeda yang bisa dipakai siapa saja dalam area kampus akan membuat kampus lebih nyaman dan tenang sehingga mendukung proses belajar dan mengajar.

Ada banyak kampus besar di negeri ini dengan jumlah mahasiswa yang juga besar. Bayangkan saja jika populasi sepeda pengguna di tiap-tiap kampus juga besar maka kampus menyumbang jasa yang besar untuk turut serta mengurangi laju pemanasan global. Dan jumlah sumbangan kampus itu siapa tahu kelak bisa ‘diuangkan’ dengan cara atau skema dana penjualan karbon. Jika kemudian bisa maka dana itu bisa dimanfaatkan untuk memberi beasiswa bagi mahasiswa-mahasiswi dari keluarga yang tidak mampu. Andai ini terjadi maka sempurnalah sebuah universitas karena tidak saja memberikan lingkungan yang berkualitas untuk belajar melainkan juga memberi kesempatan kepada banyak orang untuk turut belajar tanpa pusing-pusing memikirkan uang semesteran.

Pondok Angkringan, 17 Oktober 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (59)

0 komentar


Kemiskinan Vs Modernitas

Seorang bapak di Gunung Kidul terjun ke gua vertikal untuk mengakhiri hidupnya. Jasadnya ditemukan oleh kru film yang tengah melakukan shooting di dasar gua. Usut punya usut bapak itu mengakhiri hidupnya karena putus asa karena tak mampu memenuhi permintaan anaknya. Sang anak minta dibelikan motor dan hp.

Gunung Kidul sejauh saya ingat dan kenal adalah daerah yang sering menderita kekeringan. Tanahnya keras, karena sebagian besar adalah batu karang sehingga hanya jenis tanaman tertentu saja yang sanggup hidup disana. Fakta tentang kesulitan air dan perjuangan warga untuk mendapatkannya direkam dengan baik dalam film semi dokumenter berjudul Guyang yang diproduksi oleh Bingkai Yogyakarta.

Sewaktu mengikuti Kelas Pendidikan Atas (KPA) di Kolese Petrus Canisius Mertoyudan, saya dan teman-teman seangkatan berkemah di pantai Sundak, salah satu pantai yang ada di Gunung Kidul. Pantainya memang eksotis, karena tebingnya tinggi-tinggi dan dinding tebing itu membentuk gua-gua karena benturan ombak laut Kidul yang terkenal ganas. Konon dibagian-bagian tertentu tebing itu ada aliran air tawar yang jernih karena tersaring oleh bebatuan. Di bawah tanah yang tandus di Gunung Kidul tersimpan alur sungai jernih namun jauh dibawah sana.

Melihat profil alam Gunung Kidul maka dengan segera kita akan tahu betapa sulitnya perjuangan orang-orang setempat untuk mencari air, baik untuk kebutuhan keluarga maupun ternaknya. Di beberapa tempat ada jombor atau situ, tempat menampung air hujan yang kemudian bisa dimanfaatkan untuk mencuci dan memandikan ternak selama beberapa waktu. Air di situ lama kelamaan akan menguap dan semakin kotor, tapi tak ada pilihan lain sampai kemudian kering sampai tanahnya terbelah-belah.

Apa yang tergambar diatas adalah kondisi geografi daerah yang disebut sebagai Gunung Kidul. Daerah yang meski gersang namun kehidupan masyarakatnya tidak dengan sendirinya juga gersang. Anak-anak Gunung Kidul tentu saja sama dengan anak-anak di tempat lain, gemar menonton Smash dan juga Cheribelle. Mereka doyan juga memakai gadget yang terbaru dan pingin bergaya keliling kampung dengan mengendari motor matic.

Dulu, sebagai mana yang saya alami. Kehidupan dan keinginan anak-anak di desa dengan anak di kota akan berbeda. Saya yang adalah anak desa, jauh ketinggalan pengetahuan tentang games. Karena tidak tahu maka saya tak ingin. Tapi kondisi itu jauh berbeda dengan anak-anak di masa ini. Siaran televisi bisa diterima dimana-mana, salurannya juga banyak. Internet juga masuk hingga ke desa-desa, maka online-pun bisa dilakukan dari tengah sawah, kebun dan atas bukit. Jadi gap atau jarak pengetahuan antara anak desa dan anak kota tak lagi berbeda jauh.

Jarak antara anak kota dan anak desa kini terpangkas oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Meski mungkin tidak bisa menonton secara langsung boyband manggung, anak-anak di desa tetap saja bisa mengelu-elukannya lewat streaming di youtube, berhubungan melalui twitter dan fanspage di facebook.

Pengetahuan yang setara tentu saja menghasilkan keinginan yang hampir sama. Sebagaimana anak-anak kota, anak desapun bisa menggilai gadget, pingin punya ini dan itu. Keinginan yang mungkin tidak dipahami dan dimengerti oleh orang tua mereka yang gaptek. Pasti orang tua di kampung pusing mendengar istilah android, touchscreen, keypad, bbm, whatapps dan seterusnya.

Soal lain dulu di jaman saya kecil, sebagai anak desa bahagia sekali jika orang tua membelikan sepeda. Sepeda jengki, merek phoenix buatan China. Tapi sekarang ini tentu saja bukan sepeda lagi ukurannya melainkan sepeda motor dan bukan sembarang motor melainkan yang matic. Sayang yang namanya keinginan itu tak memilih-milih untuk hinggap. Siapa saja tak peduli kaya atau miskin sama-sama bisa punya keinginan yang sejenis.

Dahulu ada istilah ‘pungguk merindukan bulan’ yang kurang lebih berarti orang nggak mampu merindukan sesuatu yang diluar kemampuannya. Tapi sekarang ini tak berlaku lagi, sebab penjual memberikan jalan dan pilihan yang membuat orang bisa mencicil pelan-pelan. Penjual tahu kalau semua harus dibayar cash tak bakal banyak barang yang terjual. Sulit menunggu orang menabung dahulu hingga kemudian cukup untuk membeli apa yang diinginkan.

Kasus yang terjadi di Gunung Kidul ibarat pepatah adalah anak polah bapak kepradah. Polah anak membuat orang tua tak sanggup menahan beban. Barangkali bapak itu amat menyayangi anaknya dan merasa selama ini belum mampu memberi kebahagiaan padanya. Maka ketika anak meminta sesuatu dan bapaknya tak tahu harus memenuhi dengan cara apa dirinya begitu putus asa. Tidak ada banyak pilihan yang mampu membuatnya memenuhi keinginan anaknya. Pilihan satu-satunya adalah tidak lagi mendengarkan permintaan anaknya dengan mengakhiri hidupnya sendiri.

Persoalan bapak yang tak mampu memenuhi permintaan anaknya, bukanlah persoalan pribadi melainkan persoalan bangsa ini. Kita mungkin memang gagal untuk memberikan pendidikan yang mampu membuat anak-anak mengukur kekuatan dan kemampuan orang tuanya untuk memenuhi keinginannya. Pendidikan kita telah gagal menciptakan generasi yang merasa percaya diri dan berarti bukan karena motor dan hp.

Pondok Angkringan, 12 Oktober 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (58)

0 komentar


DKI 1 dan 2

Hari ini tanggal 15 Oktober 2012, pasangan Jokowi – Ahok dilantik secara resmi untuk memimpin Jakarta dalam lima tahun ke depan. Acara pelantikan ini terasa meriah karena sambutan dari para pendukung Jokowi dan Ahok yang terus mengantar dan mengawal pasangan ini hingga resmi menyandang seragam DKI 1 dan 2.

Meski riuh dalam tahapan demi tahapan, pemilukada DKI bisa dipandang sebagai pemilukada yang damai diantara pemilukada-pemilukada lainnya. Hampir tidak terdengar kekerasan yang vulgar dan brutal antar pendukung. Mereka yang kalah juga dengan cepat mengakui kekalahannya dan balik mendukung atau sekurang-kurangnya menerima dengan rela kemenangan pasangan lainnya.

Keramaian Pemilukada DKI lebih diakibatkan oleh pertarungan antar partai dalam mengusung calon-calonnya. PDI dan Gerindra misalnya mencalonkan orang dari ‘luar’ DKI, dan menyandingkan pasangan gado-gado dari sisi etnik dan agama. Adalah pantas jika kemudian kehadiran pasangan ini sedikit menimbulkan ‘keributan’. Dan begitulah normalnya pemilukada, pokok pertama yang diributkan memang tidak jauh-jauh dari isu etnis dan agama. Hingga detik kemenangan Jokowi – Ahok memang masih ada yang menyoal tentang agama, tapi itu tak lebih dari sekedar suara yang harus disuarakan oleh kelompok tertentu. Kelompok itu harus menyuarakan hal yang demikian karena kalau tidak maka akan kehilangan citra diri. Jadi sebenarnya isu agama tidak penting sama sekali, suara yang mempersoalkannya sama sekali tidak mewakili suara publik Jakarta yang terbukti sangat beradab.

Saya yang bukan warga Jakarta ikut merasa gembira sekaligus bangga akan pencapaian masyarakat Jakarta dalam pemilukada gubernur kali ini. Bahwa pada awal-awalnya ada tokoh tertentu yang merasa mewakili Allah untuk menebar nubuat, itu yang tidak patut ditiru oleh tokoh lain kalau masih ingin jadi orang terhormat. Kredit yang tinggi tentu saya berikan kepada Fauzi Bowo, sosok yang sebelumnya dicitrakan sebagai tidak ramah dan tidak gentlemen. Namun terbukti dia mampu menunjukkan diri sebagai seorang ‘mantan’ yang terbaik dari antara mantan-mantan pemimpin lainnya.

Fauzi bowo dengan cepat mengakui kelebihan lawannya dalam pemilukada DKI sesaat setelah berbagai quick count memenangkan pasangan Jokowi – Ahok. Padahal biasanya pasangan yang kalah sibuk menangkis bahwa quick count bukanlah cermin perolehan suara yang sesungguhnya. Tapi Fauzi Bowo tidak demikian, dia mengakui hitungan quick count seraya mengucapkan terima kasih kepada para pendukungnya. Fauzi sadar dalam setiap kompetisi selalu ada pemenang, apapun kebaikannya kalau tidak mampu meyakinkan pemilih maka harus menerima kenyataan itu.

Sejauh saya lihat justru setelah dinyatakan kalah Fauzi Bowo tampil lebih terbuka, lebih ramah dan mengumbar senyum. Sama sekali tidak terlontar niat dari dirinya untuk mempersoalkan kemenangan Jokowi – Ahok. Tim kampanyenya juga langsung menghilang tidak lagi kelihatan berkoar-koar di media. Padahal lagi-lagi ini biasanya, begitu calonnya kalah tim kampanye akan maju dan mulai menyusun rencana untuk mengajukan gugatan ke MK. Ada atau tidak ada bukti nda soal yang penting maju dan hambat kemenangan calon lainnya.

Saya tidak tahu apakah ini tanda bahwa kematangan demokrasi telah mulai dicapai. Tapi menurut hemat saya, Jakarta memang harus memberikan contoh yang baik dalam pertarungan demokrasi. Partai-partai yang berpusat di Ibukota harus mampu menunjukkan dirinya sebagai lembaga atau institusi yang secara politik bisa mempengaruhi masyarakat. Pertama dengan memilih pasangan calon bukan semata-mata karena popularitas melainkan juga karena kinerjanya selama ini yang mampu menjawab kebutuhan warga utamanya yang paling lemah. Kedua, partai sebagai mesin politik mampu mengendalikan konstituennya agar bertindak baik dan benar dalam menghadapi kemenangan dan juga kekalahan.

Segenap kerusuhan atau kekerasan yang terjadi di berbagai pemilukada menjadi tanda awas bagi partai-partai untuk tak sekedar memilih atau mengusung calon yang bisa membeli perahu partai tapi tak diinginkan oleh konstituennya. Partai lebih memilih calon dengan pertimbangan kepentingan partai itu sendiri minus kepentingan masyarakat banyak.

Saya rasa daerah-daerah yang akan melakukan pemilukada pada tahun depan, harus belajar dari Jakarta. Partai maupun kelompok lain yang hendak mengusung calon-calonnya agar tidak terjebak dalam pragmatisme politik sesaat seperti mengembungkan kas partai misalnya. Pemilukada merupakan investasi dari sebuah partai apabila mampu mengusung dan memenangkan calon secara baik dan benar. Jika demikian maka di pemilu legislatif dan presiden 2014 tak lagi perlu khawatir bahwa suaranya akan menurun.

Pondok Angkringan, 15 Oktober 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (57)

0 komentar


Dari Bung ke Bang
Lelaki di Ambon akan dipanggil Bung dalam pergaulan sehari-hari. Demikian pula dengan perempuan yang akan dipanggil dengan sebutan Usi.  Kebiasaan itu kemudian berubah setelah konflik Ambon. Kini di kelompok Muslim, laki-laki dipanggil dengan Bang dan perempuan dipanggil dengan Caca. Begitulah cerita dari seorang kawan yang kini menjadi Ketua MUI di Kota Ambon. Cerita ini tentu saja sebuah cerita keprihatinan, betapa setelah proses perdamaian di Ambon, justru menghasilkan segregasi yang kian mengental antara kelompok non muslim dan muslim. Tentu saja yang disebut dengan non muslim itu identik dengan kristen.

Kabar gembiranya kesadaran atau refleksi bahwa perdamaian di Ambon belum tuntas atau bahkan menyimpan bara yang kelak bisa meletupkan konflik kembali tidak muncul hanya dalam diri Pak Kyai muda ini saja. Ada rekan-rekannya dari kelompok agama lainnya yang juga mempunyai kesadaran yang sama dan saling bahu membahu untuk tetap meneruskan langkah menuju perdamaian Ambon yang substantif.

Konflik memang bisa berhenti atau mengalami jeda dan kemudian dianggap sebagai damai dengan cara memisahkan, memberi batas atau sekat. Keadaan damai karena segregasi, resikonya jika kelompok ini berada dalam satu wilayah administratif maka semua hal mesti dibagi. Alhasil dalam pemilihan ketua daerah misalnya, jika walikotanya berasal dari kelompok A maka wakilnya mesti dari kelompok B. Jika periode ini dipimpin oleh kelompok A maka periode berikutnya dipimpin oleh kelompok B.

Mungkin tidak terlalu menjadi soal jika kedudukan itu bisa dibagi dua, tapi bagaimana dengan jabatan-jabatan lain yang tidak selalu bisa dibagi adil dan merata . Misalnya jika anggota DPRD-nya berjumlah 35, nah bagaimana membaginya. Kerumitan tentu saja tidak saja berada dalam gedung DPRD melainkan juga di dalam tubuh partai, terutama pada partai-partai yang non sektarian.

Saya ingat cerita yang sama meski tidak dilatari oleh konflik. Saat Gorontalo menjadi bagian dari Sulawesi Utara, ada semacam kesepakatan bahwa kalau gubernurnya kristen maka wakilnya harus muslim dan begitu sebaliknya. Atau kalau tidak, misalnya gubernur dan wakilnya adalah kristen maka ketua DPRD-nya harus muslim. Hal ini berlaku pula untuk pemilihan komisi-komisi yang dibentuk di daerah seperti KPU dan lain-lainya. Setiap kali proses dimulai selalu ada perbincangan tentang kuota, berapa kristen berapa muslim.

Kuota seperti itu seolah-olah adalah jalan termudah untuk mengatasi atau mencegah terjadinya benturan antar kelompok. Mungkin benar tapi hanya untuk sementara. Toh dalam realitasnya komunitas muslim dan komunitas kristen bukanlah entitas yang tunggal. Didalam masing-masing kelompok itu ada faksi-faksi yang juga berpotensi menimbulkan friksi tertentu. Dan sesungguhnya jabatan, kedudukan dan keanggotaan dalam lembaga-lembaga kepemerintahan tidak didesain berdasarkan kuota melainkan berdasarkan kompetensi dari yang mendudukinya (the right man on the right place). Maka model kuota-kuota-an ini dalam jangka panjang justru menyingkirkan mereka-mereka yang seharusnya duduk atau tepat berada dalam kursi tertentu tidak bisa mendudukinya karena tidak ada kuota untuk dirinya.

Maka tidak salah jika kemudian rekan saya di Ambon menjadi begitu gelisah. Perdamaian di Ambon belum menyatukan kelompok yang bertikai kembali hidup bersama, membangun kehidupan bersama, bahu membahu sehingga keadaan makin baik.  Bagaimana kehidupan dan perdamaian yang hakiki akan tercapai kalau mereka yang berada di tempat yang sama ternyata tidak bersama-sama ‘meng-ada’. Orang di Ambon barangkali hidup bersama, tapi tidak dalam kebersamaan.

Namun Ambon tidak kekurangan “provokator perdamaian” baik dari kelompok kristen maupun muslim yang bekerja bersama-sama, bahu membahu mengembalikan Ambon kembali jadi Ambon Manise. Hanya saja perlu waktu dan energi yang besar untuk membuat semua orang Ambon kembali menyanyikan lagu “Katong Samua Basudara”.

Pondok Angkringan, 14 Oktober 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (56)

0 komentar


Ciyuusss ....Miapah Cih?.

Untuk mampu berkata-kata dengan jelas setiap anak mesti belajar mengkoordinasikan antara telinga dan mulut agar mengeluarkan bunyi yang sinkron atas kata yang dimaksud. Ada anak-anak yang mampu langsung mengeluarkan kalimat-kalimat yang jelas, tapi kebanyakan tidak. Selalu saja ada kata-kata tertentu yang tidak genap ucapannya. Misalnya susu dikatakan dengan cucu, nyunyu dan seterusnya. Bahkan terkadang jauh sekali, saya ingat anak saya tidak pernah berhasil menyebut selimut. Dia selalu mengatakan ‘biyuk’ ketika meminta selimut.

Kata-kata seperti mamam untuk makan, pakpung untuk mandi, alan-alan untuk jalan, grung-grung untuk motor adalah kata yang muncul dari karya dan gaya bicara anak-anak kecil. Mereka yang usianya udah lebih dari 5 tahun biasanya akan dimarahi oleh orang tuanya apabila masih berkata dengan pilihan kata seperti itu.

Namun senyatanya perkembangan kata tidak selalu terkait dengan usia. Kini di media sosial mulai muncul jenis kata-kata yang seolah menunjukkan para penggunanya tengah mengalami regresi. Sekurang-kurangnya ini terlihat dalam pilihan kata ketika sedang ‘berkicau’.

Contohnya kata ciyus, awalnya saya bingung soal apa maksud kata ini. Terbayang di benak saya ini adalah gaya bahasa anak alay dan lebay untuk mengatakan see you soon. Tapi setelah saya perhatikan konteksnya nampak bukan itu yang dimaksud. Setelah mulai banyak yang memakai akhirnya saya tahu kalau ciyus itu adalah penganti kata serius. Lalu ada lagi kata miapah, yang konon meringkas kata demi apa.

Sebenarnya seru juga melihat perkembangan kata di twitter atau media sosial lainnya. Tapi khusus untuk twitter, ringkas meringkas kata memang penting mengingat ada batas jumlah kata untuk satu kali kicauan. Batasan ini yang kemudian membuat banyak orang yang kreatif mencipta kata baru agar timeline tak penuh dengan singkatan yang biasa-biasa saja.

Masalahnya jika kemudian bahasa kicauan ini dibawa ke bahasa percakapan vis a vis, percakapan tatap muka. Betapa orang yang tidak masuk warga twitland akan terkejut-kejut mendengar gaya bicara dengan bahasa twitter. Saya sendiri pernah merasakan pengalaman terganggu oleh sahutan-sahutan dengan memakai gaya di twitter. Bagi saya rasanya aneh bin ajaib kalau dalam percakapan tatap muka seseorang memakai gaya bicara layaknya di timeline.

Mungkin saya terlalu dunggu untuk ikut perkembangan dunia cakap bercakap, tapi saya masih belum dunggu untuk melihat betapa orang terganggu konsetrasi juga suasana hatinya kala berbicara serius kemudian ada yang menyahut “terus gue harus bilang wow gitu”. Pembicaraan terus berhenti, sepertinya gara-gara sahutan model begitu seseorang itu langsung hilang nafsunya untuk meneruskan pembicaraan.

Maka menurut saya setiap orang bukan hanya perlu kecerdasan intelektual, emosional, spiritual dan finansial belaka melainkan juga kecerdasan oral, kecerdasan dalam berbicara. Bukan asal main sruduk, seperti me-retweet kicauan orang lain. Atau layaknya memberi jempol pada status di facebook.

Perbincangan tatap muka selalu bukan hanya melibatkan ucapan yang terdengar lewat mulut tapi juga ekpresi dan bahasa tubuh serta konteks hubungan langsung tanpa sekat. Itu akan berbeda dengan perbincangan di dalam dunia maya yang mana selalu ada batas juga jeda.

Saya tentu saja tidak berhak melarang siapapun untuk mengatakan ciyus atau miapah pada saya, tapi kalau boleh saya mohon jangan sekali-kali ucapkan itu kala bertatap muka dengan saya. Sorry to say dan mohon maaf sebelumnya kalau ada ludah terlontar dari mulut saya.

Pondok Angkringan, 13 Oktober 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (55)

0 komentar

Antara Logika dan Logistik

Minggu kedua bulan Oktober 2012 saya mengikuti kegiatan refleksi dan proyeksi dari jejaring antar iman se Indonesia. Sebuah pertemuan yang kemudian membuat saya mengingat lagi pertemuan pertama yang dilakukan 12 tahun lalu di Malino, Sulawesi Selatan. Di tempat yang dingin itu berkumpul para pendekar-pendekar antara lain Th. Sumartana, Julius Siranaymual, KH. Arifin Assegat, Kyai Dian Nafi, KH. Ahmad Tohari, Mansyur Faqih dan lain sebagainya. Semua sepakat bahwa Indonesia tengah menghadapi ancaman disintegrasi karena masyarakat gagal merayakan perbedaan. Setelah pertemuan Malino pertemuan serupa terus diadakan, sekurangnya telah 5 atau 6 kali, kelompok jejaring interfaith ini berkumpul.

Satu demi satu para pendekar surut dan pendeka-pendekar baru mulai bermunculan mesti level dan pengaruhnya belum setinggi para pendahulunya.Jejaring serupa juga bermunculan di berbagai tempat dan itu merupakan sebuah angin sejuk, betapa banyak orang dan kelompok yang mencintai takdir bangsa ini sebagai bangsa yang kaya akan keberagaman.

Saya tak selalu ikut dalam pertemuan refleksi dan proyeksi secara rutin, setelah pertemuan pertama, kemudian saya ikut lagi pertemuan yang entah keberapa yang dilaksanakan di Banjar Baru Kalimantan Selatan, hingga kemudian ikut dalam pertemuan terakhir di University Club Hotel UGM. Ada banyak muka-muka baru, tetapi masih banyak tersisa muka –muka lama yang mulai menua. Isu hubungan antar iman secara luas adalah isu yang muncul bersama dengan lahirnya agama-agama. Agama yang lahir untuk membawa pembebasan dan kebebasan dalam prakteknya banyak menimbulkan perpecahan entah karena ajaran teologi, penghayatan atau tafsir penganutnya atas kitab suci maupun praktek-praktek lain yang terkait dengan politik dan ekonomi.

Persoalan ini kemudian menjadi persoalan yang mengakar yang tidak mudah untuk diselesaikan. Kalau disebut penyakit, maka ini merupakan sakit yang kronis dan berat serta mengandung komplikasi, akibatnya treatment pada satu gejala tertentu bahkan bisa memperberat gejala yang lain. Makanya saya tak heran jika banyak muka-muka lama bertahan, bertekun untuk terus berusaha menemukan formula terbaik yang bisa memberi sedikit kesembuhan atas penyakit jaman ini. Mereka adalah pejuang yang berjalan dalam senyap. Issu interfaith mau tak mau membuat kita sendiri melakukan otokritik atas agama yang kita anut. Sesuatu yang mungkin saja membuat kita tidak populer dalam lingkungan sendiri tetapi juga dicurigai oleh kelompok lainnya.

Hormat dan salut saya untuk mereka yang tidak lelah berjuang dalam rentang waktu yang lama. Bertahan untuk terus optimis dan punya energi meski keberhasilannya nampak tidak terlalu banyak. Catatan-catatan keberhasilan nampaknya bernada anekdotal, berhasil disini, dalam rentang waktu tertentu tapi kemudian bisa lenyap tanpa bekas. Sulit menduplikasi dan mereplekasi keberhasilan-keberhasilan di satu tempat untuk bisa diterapkan di tempat lainnya. Saya sendiri selalu senang hadir dalam pertemuan seperti ini meski tak bisa lagi serius dan fokus menemukan jalan dan alternatif pemecahan untuk berbagai masalah yang dikumpulkan dan ditemukan berbagai tempat. Tapi saya selalu sepakat bahwa bangsa ini saat ini sekarat karena kegagalan menyikapi perbedaan dengan dasar kemanusiaan.

Ada terang disana sini, ada optimisme yang tetap terjaga dan ada silaturahmi yang semakin meluas antar para pejuang dan aktor (sekaligus provokator) perdamaian. Secara logika jejaring ini tak menemui persoalan yang substansial. Semua sepakat dan saling mendukung gerakan pada wilayah dan lapangan masing-masing. Persoalan yang besar justru selalu muncul pada sisi logistik. Jejaring semacam ini hidup dari prinsip ‘bantingan’ dengan sumberdaya yang terbatas. Sisi positifnya mungkin menjadi mandiri dan tak terikat pada pihak (sponsor atau donor) lain. Tapi lantaran persoalan yang dihadapi begitu besar maka model ‘urunan’ akan membuat gerak jejaring ini menjadi terbatas dan terkendala. Persoalan yang didepan mata yang butuh respon cepat kerap tak bisa ditangani dengan segera.

Sudah lebih dari 16 tahun, saya memberi perhatian pada persoalan fund rising, tetapi selama 16 tahun itu pula saya kebingungan soal model atau jenis fund rising apa yang tepat untuk gerakan seperti ini. Memproduksi uang dengan usaha sendiri jelas sulit karena pegiat gerakan biasanya tidak terampil memproduksi ini dan itu yang bisa menghasilkan uang dalam jumlah yang cukup besar. Mencari sosok figur yang kaya, bersih, baik tanpa pamrih dalam memberi uang juga mustahil untuk dilakukan.

Persoalannya apa untungnya bagi orang itu menginvestasikan dananya pada gerakan ini. Mengambil dana CSR dari perusahaan besar tentu juga bermasalah karena tidak semuanya akan bersepakat. Di akhir pertemuan selalu ada rangkaian persoalan penting yang bisa disimpulkan serta alternatif langkah untuk menyelesaikannya. Namun lagi-lagi hingga pertemuan berakhir urusan logistik selalu tidak jelas juntrungannya.

Mungkin memang hanya Tuhanlah yang bisa menyelesaikan, sayang rencana Tuhan selalu saja merupakan sebuah misteri.

Pondok Angkringan, 13 Oktober 2012
@yustinus_esha

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum