Republik Motor
Dalam 10 tahun terakhir penetrasi
kendaraan bermotor roda begitu luar biasa. Hampir tak ada satu pun wilayah di
Indonesia yang tidak terjangkit wabah berkendara motor. Kalau di tahun 80
sampai 90-an yang bisa menikmati kredit bermotor adalah para guru atau pegawai
negeri, memasuki tahun 2000-an hampir semua orang bisa membawa pulang motor
kreditan. Kredit motor diobral, outletnya mungkin lebih banyak daripada gerobak
tukang martabak. Kini bahkan untuk membeli motor cash jadi sulit, karena
penjual lebih memilih calon pembeli dengan cara kreditan.
Booming kendaraan roda dua adalah
lonceng kematian bagi kendaraan penumpang umum, terutama yang beroperasi di
dalam kota, antar kecamatan atau desa. Penumpang yang tersisa hanyalah
anak-anak sekolah yang belum dikreditkan motor oleh orang tuanya atau ibu-ibu
paruh baya yang berjualan di pasar-pasar dan tak berniat belajar mengendarai
motor.
Jaman kedigdayaan motor roda dua
dimulai oleh jenis bebek. Para produsen silih berganti mengeluarkan seri demi
seri hingga kemudian muncul jenis skuter otomatic (Skutic). Bebek dan skutic
yang awalnya lebih digambarkan sebagai motor perempuan kini dinaiki oleh siapa
saja. Motor-motor ini merajai jalan raya. Pagi, siang, sore dipakai untuk pergi
bekerja, sekolah, belanja malamnya dipakai kebut-kebutan oleh anak-anak motor
(amor).
Saya yakin kalau dihitung maka
jumlah motor bisa jadi dua kali dari jumlah rumah. Motor menjadi kebutuhan
primer rumah tangga. Motor juga bukan
lagi ukuran kesejahteraan, karena masyarakat membeli motor bukan sebagai akibat
kelebihan uang melainkan karena kebutuhan. Akan tetapi lain ceritanya apabila
yang kita punyai adalah motor gede (moge). Mereka yang tak punya motor akan
mengeluarkan ongkos yang lebih besar untuk biaya transportasi dan juga kerugian
waktu. Mau keluar harus naik ojek dan
kemudian disambung dengan kendaraan umum yang pada jam-jam tertentu malas jalan
karena sepi penumpang. Pendek kata sekarang ini rumah tangga tanpa motor bakal
kesulitan dalam mobilitas.
Sayangnya pertambahan motor (baik
roda dua maupun roda empat) yang berlipat-lipat tak dibarengi dengan
pertambahan jumlah jalan. Jalanan selama lebih dari 10 tahun relatif tetap
panjang dan lebarnya. Alhasil kemacetan bukan lagi monopoli kota besar macam
Jakarta. Manado misalnya yang dulu hanya macet menjelang hari Natal atau malam
tahun baru, kini di beberapa titik kemacetan adalah sebuah rutinitas. Demikian
juga dengan Kota Samarinda, dari tahun ke tahun titik-titik macet bertambah
banyak. Kemacetan yang rutin terjadi di pagi, siang dan sore hari.
Dalam kemacetan adalah watak para
pengendara motor mencari celah agar tetap bisa terus maju. Jika tak ditemukan
celah maka trotoarlah menjadi korban. Dengan perkembangan jumlah kendaraan
bermotor, trotoar memang menjadi bagian jalan yang paling merana, tak lagi
dilalui para pejalan kaki. Di jalanan yang macet dan trotoarnya tidak dirampok
oleh PKL menjadi tempat jualan, maka disitulah roda-roda sepeda motor akan
menjejakkan langkahnya. Trotoar kemudian menjadi jalan pintas agar sepeda motor
terus melaju kala jalanan macet.
Pertumbuhan sepeda motor mungkin
sudah sulit untuk direm. Rantai niaga di bisnis kendaraana roda dua ini sudah
sedemikian panjang serta melibatkan banyak orang. Pembelipun memberlakukan
motor bukan lagi sebagai barang mewah. Karenanya banyak pula yang gemar
gonta-ganti motor kalau sudah bosan memakai tipe atau jenis lama.
Saya mulai menaiki motor setelah
kenyang dan cape naik sepeda. Tapi anak-anak atau orang-orang sekarang tidak lagi
melalui jenjang dari naik sepeda kemudian naik motor. Banyak yang by pass,
bukan dari penunggang sepeda lagi melainkan langsung menjadi pengendara motor.
Akibatnya banyak yang tak paham soal sopan-santun berkendara di jalanan.
Sedikit sekali yang punya kerendahan hati kala mengendarai sepeda motor.
Pengendara sepeda motor adalah
raja jalanan, penguasa jalan raya. Dengan ketrampilan mengendara seadanya, tak
segan-segan mengeber motornya serasa jalanan adalah sirkuit motoGP. Belum lagi tabiat para pengendara yang gemar
mencari perhatian, sengaja membuat suara mesin motornya bagaikan deru bunyi
mesin traktor, keras melengking memekakkan telinga. Jalanan yang berisik dan
ramai tak juga membuat pengendara waspada serta ingat orang lain. Tak sedikit
motor berjalan beriringan, menelusuri jalanan sambil berbincang antara
pengendara satu dengan lainnya seakan tak punya waktu untuk duduk dan bicara
bersama. Memang banyak pengendara yang terlalu percaya diri di jalan raya,
seperti tak berhenti saat menerima telepon, atau bahkan ada yang membalas sms
dan bbm sambil tetap berjalan. Perilaku percaya diri namun tak tahu diri ini
dengan mudah ditemukan pada jalanan di mana saja.
Pada akhirnya inilah negeri kita,
yang bercita-cita menjadi negeri demokratis setelah reformasi, namun lebih
dahulu dicapai justru perwujudan republik ini menjadi republik motor.
Pondok Angkringan, 11 Oktober 2012
@yustinus_esha