• Blockquote

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Duis non justo nec auge

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

UMBUL-UMBUL

Rabu, 07 September 2011 0 komentar


Empat bulan lalu Ardi bersama keluarganya pindah rumah, ke tempat tinggal yang kini adalah miliknya sendiri. Bertahun-tahun Ardi, Esta istrinya dan Doni anak semata wayangnya berpindah dari satu rumah ke rumah kontrakkan lainnya. Ardi memilih mencicil rumah di komplek perumahan rakyat “Hijau Asri” karena lingkungan di sana masih alami. Bunyi jengkerik terdengar di sore hari. Kala pagi saat matahari menyembul, udara juga terasa segar dan membangkitkan semangat untuk menyambut hari.
Istri dan anaknya terlihat sangat menikmati “istana” baru mereka. “Ah, serasa kita tinggal di kampung”, kata istrinya, membandingkan tempat tinggal mereka kini dengan kampung halamannya. Kampung yang terletak di sudut kota kecil di bawah lereng gunung yang selalu berkabut.
“Mah…mah..capung, belalang...itu kupu..kejar mah…kejar”, begitu sering kali Doni berteriak kala bermain di halaman depan.
“Selamat siang, sedang sibuk tanam-tanam ya Pak”, sapa seseorang. Ardi yang sedang menanam mangga okulasi menenggok dan mendapati Pak RT, berdiri dengan senyum khas di hadapannya.
“Oh, Pak RT….mari pak, silahkan duduk”, kata Ardi menyilahkan Pak RT duduk di bale-bale bambu yang sengaja di datangkan dari kampung halamannya.
“Terima kasih, di sini saja Pak..tidak lama kok”, jawab Pak RT.
“Saya hanya ingin memberitahukan kebiasaan kami di sini untuk memasang umbul-umbul di halaman depan menjelang 17 Agustus”, kata Pak RT.
“Umbul-umbul” guman Ardi dalam hati. Sama sekali tak terpikir dalam benaknya untuk memasang umbul-umbul di halaman rumahnya, yang ada di benaknya cukup sebuah bendera. Bendera yang selalu di beli setiap tahunnya karena yang lama entah selalu terselip dimana.
“Ehm…baik Pak, nanti akan saya usahakan”, ujar Ardi.
Mendengar jawaban Ardi, Pak RT tersenyum dan kemudian pamit “Baik, pak…kalau begitu saya akan ke tetangga sebelah”.
Ardi kembali meneruskan tanam-tanam pohon buah yang di beli di toko pertanian yang kini banyak bermunculan di kotanya, kota yang sedang demam dengan aneka slogan hijau alias green. Setelah selesai menanam semua bibit buah yang dibelinya, Ardi beristirahat di depan rumah. Duduk-duduk di bale-bale bambu yang sesekali berdecit saat Ardi mengeser pantatnya. Sambil menghisap kretek kesukaannya, dihirupnya pelan-pelan kopi buatan istrinya yang mulai mendingin. Setiap pagi, Esta istrinya selalu membuatkan segelas kopi besar dan menaruh di meja yang ada di teras, sebelum pergi mengantar dan menemani Doni belajar di playgroup tak jauh dari kompleks perumahan mereka.
Tak lama kemudian istrinya pulang bersama Doni yang bernyanyi-nyanyi riang. Bukan karena senang di sekolah melainkan kala pulang, mamanya membelikan es krim kesukaannya. Doni memang punya kebiasaan, menjilat-njilat es krim sambil bersenandung riang.
“Weh, jago …. Belajar apa tadi di sekolah?”, tanya Ardi sambil mengusap kepala Doni penuh dengan rasa sayang. Tapi Doni tak menjawab karena masih asyik menikmati jilatan terakhir cup es krimnya.
“Belajar menyanyikan alphabet Pah”, jawab Esta mewakili Doni. Mereka kemudian duduk-duduk bercengkrama di teras depan rumahnya yang tetap sejuk meski matahari mulai meninggi.
“Pak RT tadi ke sini”, kata Ardi memberitahu istrinya.
“Oh, ya..kenapa pah?”, tanya istrinya.
“Dia meminta kita memasang umbul-umbul di depan rumah, katanya itu kebiasaan warga disini menyambut peringatan 17 Agustus”, jawab Ardi.
“Ah, bikin repot saja, apa hubungannya umbul-umbul dengan peringatan kemerdekaan?”, kata Esta mengomentari pemberitahuan Ardi.
Dalam hati Ardi setuju dengan pernyataan istrinya, memang tak ada hubungan yang substantif antara umbul-umbul dengan makna kemerdekaan.
“Dari dulu peringatan kemerdekaan memang terlalu dangkal”, guman Ardi dalam hati.
Ingatannya kemudian melayang ke keramaian-keramaian yang menyertai peringatan hari kemerdekaan. Aneka lomba seperti lari karung, makan kerupuk, lari kelereng dan lain sebagainya begitu terus berulang setiap tahun. Panjat pinang juga merupakan keramaian yang paling digemari dan menimbulkan kelucuan-kelucuan. Namun sejatinya Ardi tak setuju, sebab banyak pohon pinang yang ditumbangkan, sementara untuk menumbuhkan pinang dengan batang sampai 10-an meter butuh waktu bertahun-tahun.
“Doni…. Ayo ganti baju dulu nak”, teriak Esta, istri Ardi saat melihat Doni mulai berguling-guling di rerumputan yang menghijau di halaman rumah. Ardi terjaga dari lamunannya dan bergegas menuju tempat Doni bermain, diangkatnya tubuh munggil Doni dalam gendongan. Doni terkekeh senang karena digendong oleh papanya. Mereka kemudian masuk ke dalam rumah dan melupakan perbincangan tentang umbul-umbul yang diberitahukan oleh Pak RT.


Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ardi sudah bangun untuk bersiap-siap berangkat ke luar kota melakukan liputan. Proposal rencana liputan yang diajukannya untuk sebuah kantor berita luar negeri diterima. Dalam tiga hari ke depan, Ardi akan melakukan liputan perayaan adat satu komunitas pada tengah-tengah masa puasa. Bunyi klakson mobil sewaan tepat terdengar ketika Ardi menyelesaikan segala persiapannya.
“Aku berangkat dulu ya ma, Doni..baik-baik jaga mamah ya, jangan nakal”, Ardi pamit dan memberi pesan kepada anak istrinya yang juga turut terbangun. Setelah memeluk dan mencium anak-istrinya, Ardi segera keluar menuju mobil yang telah menunggunya. Sebelum masuk mobil dan menutup pintu, Ardi melambaikan tangan kepada Doni anaknya yang berdiri di samping ibunya tepat di pintu depan rumah.
Mobi perlahan meninggalkan kediaman Ardi, menembus pagi yang mulai menjelang. Jalanan masih terasa sepi, sesekali mereka berpapasan dengan penjual sayur yang hendak menjajakan dagangannya di dalam kompleks perumahan. Ardi bukanlah orang yang senang tidur kala berkendara, oleh karenanya dalam perjalanan dia mengisi waktu berbincang dengan sopirnya.
“Kok belum dipasang bendera di spion Pak”, tanya Ardi memancing perbincangan.
“Wah, sepertinya sudah tidak model pak, ini saya pasang stiker merah putih saja”, jawab sopir sambil menunjuk pojok kaca pintu depan.
“Oh..iya..ya ..stiker lebih awet ya pak”, kata Ardi.
“Iya mas, biar kelihatan nasionalis”, jawab sopir sambil terkekeh.
“Kasihan mas, itu penjual umbul-umbul tidak laku dagangannya, habis bertepatan dengan puasa”, kata sopir. “Orang kebanyakan lebih berpikir membeli hidangan buka puasa, dari pada umbul-umbul atau bendera untuk merayakan hari kemerdekaan”, lanjutnya kemudian.
Mendengar umbul-umbul, Ardi jadi teringat permintaan Pak RT untuk memasang umbul-umbul di depan rumahnya. Tapi Ardi tak terlalu risau sebab di kanan kiri jalan belum pula terlihat umbul-umbul atau hiasan merah putih. “Sepertinya Agustusan kali ini tidak semarak ya Pak”, kata Ardi pada sopir.
“Iya Mas semua berpikir bagaimana untuk lebaran nanti. Pokoknya daripada beli umbul-umbul atau bendera, lebih baik beli baju saja”.
“Betul, lagi pula kemerdekaan mestinya tidak perlu dirayakan sebab yang terpenting justru dirasakan”, ujar Ardi.
“Setuju Mas, sepertinya makin lama kita ini tidak makin merdeka, hidup semakin susah, apa-apa mahal”, keluh sopir, “Sama saja tidak ada beda dari orde lama, orde baru sampai orde reformasi, malah sekarang lebih cocok dibilang orde repotnasi”.
“Begitulah pak demokrasi, pemerintah mulai melepaskan banyak wewenangnya pada pasar”, kata Ardi bermaksud memberi pengertian.
“Lha tapi jadinya seperti tidak ada pemerintah saja. Pemimpin kita ini kebanyakan cuma muncul dan ngomong di TV…nda ada kerjanya, sampai harus didesak-desak masyarakat”, tukas sopir dengan ketus.
“Wah, melek politik juga ini pak sopir”, batin Ardi.
Karena obrolan yang mengasyikkan, perjalanan menjadi tak terasa. Setelah menempuh jarak hampir dalam waktu 2,5 jam, akhirnya Ardi sampai ke lokasi liputan. Belum terlihat kesibukan atau tanda-tanda akan adanya sebuah acara besar. Untuk menunggu tibanya waktu, Ardi mengajak sopir beristirahat di sebuah kedai yang cukup besar. Ardi dan sopir ternyata sama-sama tidak berpuasa.
“Ayo pak, kita ngopi-ngopi dulu, sepertinya acara bakal tertunda” ajak Ardi pada sopir. Sopir mengiyakan tanpa menjawab lantaran badannya memang terasa mulai penat.
Tak berapa lama kemudian, tanda-tanda kesibukan mulai kelihatan. Lapangan tempat acara yang tidak jauh dari tempat Ardi beristirahat mulai terlihat ramai. Orang-orang datang dari segala penjuru dengan berbagai macam atribut. Ardi meminta sopir menunggu di kedai dan kemudian dia bergegas mencari panitia untuk melakukan wawancara. Setelah cukup, Ardi kemudian mengambil foto-foto kegiatan sambil sesekali mewawancarai pengunjungnya.
Matahari terasa menyengat dan keramaianpun mulai pudar. Dari keterangan yang didapat lewat panitia, rangkaian acara akan lebih banyak dilakukan di malam hari. Ardi memutuskan untuk kembali ke kedai dan mengajak sopir untuk mencari penginapan.
“Ayo, pak, kita cari penginapan dulu, biar bapak bisa istirahat dan saya akan mulai menuliskan berita”, kata Ardi mengajak sopir meninggalkan kedai.
Selama tiga hari tanpa mengenal lelah, Ardi dengan penuh semangat mendokumentasikan berbagai hal yang ditemui dalam upacara adat masyarakat setempat. Informasi baik catatan maupun gambar cukup untuk membuat satu rubrik reportase khusus. Dan pada hari keempat, pagi-pagi benar, Ardi dan sopir meninggalkan daerah itu. Saat memasuki kawasan perumahaannya Ardi melihat kanan-kiri jalanan mulai diramaikan dengan umbul-umbul. Dan rangkaian umbul-umbul menghilang persis di depan rumahnya. Ardi memang belum memasang umbul-umbul, dia juga tidak memberi pesan apapun pada istrinya tentang soal itu.
“Wah, semarak sekali pemukiman bapak ini. Penuh umbul-umbul, warna-warni seperti hendak kedatangan presiden untuk meresmikan proyek pembangunan”, kata sopir. “Rumah bapak saja yang nampak sepi-sepi, lain daripada yang lain”.
Ardi tersenyum dan berkata “iya pak lupa saya memasangnya”.
Dan setelah membayar semua ongkos sewa, Ardi mengucapkan terimakasih kemudian melangkah masuk ke rumahnya. Istri dan anaknya tidak di rumah, tapi seperti biasa diatas meja teras, segelas kopi telah menunggunya. Ardi mengeluarkan rokok kretek kegemarannya, menghisapnya dalam-dalam sambil menghirup kopi yang masih tersisa hangatnya.


“Selamat pagi pak”.
Sebuah sapaan mengejutkan Ardi dan ternyata Pak RT telah berdiri di hadapannya.
“Oh, Pak RT, mari pak”.
“Biar saja Pak, saya nda lama kok, cuma mau mengingatkan kalau bapak belum memasang umbul-umbul”, kata Pak RT.
“Oh, iya pak”, kata Ardi tersipu. “ Saya belum sempat memasang, karena harus ke luar kota”.
“Iya, pak saya maklum dengan tugas bapak, tapi kalau bisa segera, karena besok adalah hari perayaannya”, kata Pak RT mendesak.
“Begitu saja pak, saya pamit dulu, mau bikin persiapan di lapangan”.
“Silahkan pak, terima kasih sudah mengingatkan dan maaf saya tidak bisa membantu”, jawab Ardi sambil mengantar Pak RT sampai ke pinggir jalan.
Setelah Pak RT pergi, Ardi bergegas masuk rumah, ditaruhnya segala perlengkapan yang dibawa untuk liputan hari yang lalu. Setelah berganti baju dan membersihkan diri, Ardi berbaring-baring di kamar tidur, sambil membaca buku kiriman temannya yang berjudul “Temanku Teroris?”.
“Umbul-umbul…awas…awas….umbul-umbulnya roboh…awasssss”, begitu Ardi berteriak-teriak. Istrinya yang sedang menyuapi anaknya, segera berlari ke kamar untuk melihat apa yang terjadi.
“Mas..mas….bangun..mas, kenapa teriak-teriak”, kata istrinya sambil menguncang-nguncang tubuh Ardi agar terbangun.
Ardi terkaget lalu terbangun sambil mengucak-ucak mata dia bertanya “Eh..kenapa mah, tertidur aku tadi”.
“Iya tapi papah itu teriak-teriak..menyebut umbul-umbul terus”.
“Oh..iya aku mimpi ..umbul-umbulnya roboh”.
“Nah..itu semua gara-gara papa tidak memasang umbul-umbul meski pak RT berkali-kali mengingatkan”, tebak istrinya atas penyebab dari mimpi Ardi.
“Oh, iya…. Jam berapa sekarang, beli umbul-umbul yuk”.
“Papa..papa..sudah malam ini..lagian mana ada lagi yang jualan, kalau kainnya barangkali ada tapi batang bambu untuk memasangnya?”.
“Ah..ya sudah kalau begitu kita tidur lagi aja biar besok pagi-pagi bisa bangun cepat”, kata Ardi sambil merebahkan badannya kembali di kasur.
“Maksudnya papa mau beli besok, pagi-pagi sekali”.
“Tidak, tapi kita bertiga besok akan pergi pagi-pagi dari rumah…berjalan saja kemana gitu. Pokoknya kita harus sudah tidak ada di rumah, siapa tahu Pak RT akan datang untuk kembali mengingatkan soal umbul-umbul”.
“Lho, kenapa harus pergi pa?”.
“Pertama besok kan libur, dan Doni senang kan diajak jalan-jalan dan kedua kita lewatkan hari peringatan kemerdekaan di luar rumah”.
“Ya sudahlah…tapi gimana soal umbul-umbul”.
“Ketika kita pulang di sore hari…umbul-umbul sudah tidak penting lagi”, jawab Ardi singkat sambil memeluk bantal yang dijadikan guling olehnya.

KAPAN JAMAN AKAN MERDEKA?

0 komentar


“Jika kau berpikir negeri ini telah merdeka, maka pikirkanlah kembali agar tak kecewa nanti”.

Kata-kata itu terus menyelubungi Burhan yang beberapa hari ini susah tidur di malam hari. Layaknya orang imsonia, setiap malam Burhan berjuang untuk memejamkan matanya. Tapi meski telah berusaha, matanya selalu gagal terpejam, seakan ada batang korek garis menyangga kelopak matanya agar tidak bertemu. Setelah lembar koran habis dibaca dan bosan menatap layar televisi, Burhan duduk diam di sofa yang ada di ruang tamu rumahnya. Namun dalam kegelapan pikirannya justru semakin liar melanglang buana. Apa yang dibaca dan disaksikan kembali berkelebat hingga semakin susah baginya untuk menggapai kantuk.
Aneka peristiwa dan berita justru mengintimidasi perasaan Burhan. Hatinya teriris pilu menyaksikan berbagai sajian berita yang berisi peristiwa-peristiwa nan menyesakkan dada. Silih berganti bumi nusantara ditimpa berbagai laku yang jauh dari cerita keagungannya di masa lalu. Nusantara kini tak seharum mawar dan melati.
“Mengapa semakin hari, semakin busuk buah yang dihasilkan negeri ini. Kenapa Tuhan membiarkan nusantara terpuruk, padahal sebagian besar penduduknya amat rajin memuji dan memuliakan namaNYA”, tanya Burhan dalam hati entah kepada siapa.
“Kenapa, berita membuatmu jadi gundah gulana”, tiba-tiba terdengar suara entah dari mana.
Burhan mencari sumber suara, ditebarkannya pandangan pada sudut-sudut ruangan, tapi tak ada seorangpun disana. Padahal suara itu terang sekali dan posisinya jelas tak jauh dari tempat duduknya. Tapi tak ada siapa-siapa selain diri Burhan sendiri dalam ruangan itu.
“Sudahlah, tak usah kau cari tahu siapa aku. Jawab saja pertanyaanku tadi”, kata suara itu kemudian seperti paham bahwa Burhan tengah mencari-cari dimana asal suara itu.
“Ya tentu saja aku gundah, karena aku adalah bagian dari negeri ini. Negeri yang kucintai dengan sepenuh hati”, jawab Burhan. “Jadi meski aku tak punya tanah, yang bisa dirampas oleh pembangunan atau investasi, bukan berarti aku tak bisa merasakan kesedihan mereka-mereka yang kehilangan tanah tempat gantungan hidupnya”.
“Bukankah itu sebuah kemestian yang harus terjadi. Pemimpinmu rajin mengundang investasi dan investasi apa lagi yang terbaik di negeri ini kalau bukan menggali harta karun yang tersembunyi di perut bumi”.
“Iya… negeri ini memang kaya, tapi kenapa kalau hanya untuk memperkaya diri dan menebalkan kantong pendapatan negeri, harus menggusur mereka-mereka yang hidupnya susah?”, tanya Burhan.
“Wah, aku tak bisa menjawab itu …. Tanya saja pemimpinmu yang gemar mengampangkan sesuatu, tak mau berpikir panjang dan doyannya hanya berurusan dengan masyarakat lemah”.
Burhan tercenung, betapa benar yang dikatakan oleh suara itu. Negeri ini seolah tanpa pemimpin, rakyat ibarat anak tanpa orang tua, anak yatim piatu. Meski bukan lagi jaman perang, banyak orang hidup layaknya pada jaman perang. Harus awas menebar pandangan sebab begitu lenggah sedikit saja barang dagangan bakal hilang disita oleh petugas trantib.
Mereka yang kaya dan punya kekuasaan, dengan mudah mendapat dukungan entah berupa tambahan modal maupun potongan pajak penghasilan. Sementara mereka-mereka yang hartanya terbatas, berjuang untuk mempunyai simpanan selalu diracuni oleh mimpi untuk cepat memperoleh kekayaan, membiakkan uangnya yang tak seberapa. Para pemimpi inilah yang selalu menjadi korban penipuan entah yang berbau investasi serba cepat maupun penggadaan uang dengan asap kemenyan.
“Kenapa kamu terdiam”, tanya suara itu ketika Burhan diam membisu.
“Aku semakin bingung dan tak paham dengan keadaan ini. Sudah 66 tahun negeri ini merdeka tapi betapa sulitnya menemukan arti kemerdekaan itu”, jawab Burhan.
“Kalian itu merdeka dari apa?. Dari penjajahan?”.
“Iya, bukankah penjajah telah lama keluar dari negeri ini, angkat kaki karena kalah dalam peperangan”, jawab Burhan.
“Secara teknis memang begitu, tapi bukankah penjajahan tidak selalu berwajah perang, melainkan juga bisa berwajah dagang, investasi atau bahkan perjanjian antar negeri”.
“Ya, nampaknya memang begitu. Penjajah bersenjata memang telah pergi dari negeri ini. Tapi tak berarti penjajahan telah menghilang. Bahkan kini antar sesama warga negeri juga saling menjajah”, ujar Burhan mengamini pernyataan suara.
“Peradaban negeri ini memang peradaban tipu-tipuan. Yang kaya menipu yang miskin. Yang berkuasa memperdaya yang lemah. Politik kalian memang politik hitam”.
Burhan jadi ingat pelajaran politik yang diperoleh di lobby-lobby hotel, café dan warung kopi. Politik adalah soal kesepakatan, aku berbuat apa dan dapat apa. Politik adalah matematika tanpa angka, begitu yang sering dikatakan oleh kawannya yang adalah seorang politisi muda, pemimpin partai yang menduduki jabatannya lewat sebuah kudeta. Politik memang hitam, meski dalam pidato di hadapan publik para politisi selalu menyampaikan kata-kata indah, namun dalam bilik-bilik kesehariannya yang ada dalam benak mereka hanya uang..uang dan uang.
“Kamu harus paham …. Politik tanpa uang tak ada artinya. Sekalipun kau punya visi dan misi yang luar biasa, namun tanpa dukungan amunisi semuanya akan sia-sia. Tak akan ada seorangpun yang memberikan mandat atau suara untukmu”, kata suara yang seakan memahami kegundahan Burhan.
“Tapi kan seharusnya tidak seperti itu”, protes Burhan.
“Ya, seharusnya memang tidak seperti itu, tapi ketika tidak ada yang memperjuangkan laku yang sebaliknya, maka politik busuklah yang akan bekerja. Sesuatu yang biarkan busuk namun selalu terbiasa ditemui lama kelamaan aroma busuknya akan hilang. Kebusukan bahkan kemudian dianggap sebagai keharusan. Maka politisi yang tidak busuk bakal di anggap abnormal”, kata suara panjang lebar.
“Sahur..sahur…sahur..sahur….”, teriakkan sekelompok anak muda yang melintas di jalan depan rumah, mengagetkan Burhan. Dengan iringan berbagai bebunyian gerombolan anak-anak muda itu berkeliling kampung menyusuri gang demi gang, membangunkan orang agar tidak lupa makan sahur yang tak lama lagi akan berakhir waktunya.
Burhan melihat jam, “Upps….. sudah jam 3 pagi”, kata Burhan dalam hati. Selepas hilangnya musik sahur, ruangan terasa sepi. Suara yang tadi menemani Burhan telah menghilang entah kemana. Hanya dingin dan semilir angin dini hari yang tersisa, perlahan menyapu wajah Burhan. Namun kantuknya belum juga datang. Tangan dan kaki Burhan mulai terasa gatal akibat serangan nyamuk yang cepat berkembang di awal musim kemarau. Tak tahan dengan gatal yang menyerang, Burhan melangkahkan kakinya menuju kamar, merebahkan diri diatas kasur dan menyelimuti tubuhnya dengan selembar kain tebal.
HP Burhan berbunyi, pertanda sebuah pesan singkat masuk. Diraihnya HP butut buatan China dan dibukanya pesan yang barusan masuk. Tertulis dalam pesan itu “Selamat pagi Mas Bro, selamat menyambut hari kemerdekaan. Semoga sampeyan kian hari kian merdeka”.
Burhan tak tahu siapa yang mengirim pesan itu, karena tak ada nama yang menyertainya. Nomor yang dipakai untuk mengirim juga belum tersimpan dalam daftar kontaknya. Karena merasa tak mengenal secara pribadi maka Burhan tak hendak membalas ucapan yang datang kepagian itu.
“Merdeka apanya ….. kalau semakin hari keadaan justru semakin buruk”, gerutu Burhan dalam hati. “Optimisme di negeri ini hanya ditumbuhkan oleh para analis ekonomi, terutama mereka-mereka yang bergelut di sektor investasi keuangan”, lanjutnya masih dalam hati.
Burhan ingat persis, bahwa para ekonom di negeri ini selalu menolak mengatakan negeri ini berada di jurang negara gagal. Bagaimana mau dibilang berada di ambang gagal kalau pertumbuhan ekonominya selalu di atas 6 %. Saat dilanda krisis, ekonomi negeri ini tidak tumbuh minus dibandingkan dengan negeri tetangga. “Fundamental ekonomi kita stabil dan kuat menghadapi tekanan krisis dari belahan bumi lain”, begitu mantra yang selalu diucapkan para ekonom.
“Terlalu sederhana arti negara jika hanya diserahkan pada ekonom belaka”, kali ini suara Burhan mulai terdengar meski pelan dan tak tahu berkata pada siapa.
“Para ekonom lupa, jika krisis di negeri lain tidak terlalu berpengaruh ke negeri ini, sebab fundamen ekonomi kita adalah ekonomi domestik. Jadi selama rakyat doyan makan dan belanja meski harus utang kanan dan kiri, ya tetap saja ekonomi akan tumbuh, tapi itu ekonomi jeruk makan jeruk”, ujar Burhan layaknya seorang analis jagoan.
“Pemilihan umum mulai dari legislatif, presiden sampai dengan kepala daerah, itulah yang menopang belanja masyarakat. Menjelang pemilihan bahkan setahun sebelumnya banyak uang beredar tidak karuan, terhambur sampai sudut-sudut gang sempit. Dan semua itu dibelanjakan maka konsumsi publik sepertinya terjaga”, begitu lanjutnya.
Sinar mentari pagi mulai mengintip dari sela-sela jendela, hangatnya juga mulai terasa. Kantuk Burhan tak juga tiba dan usaha untuk menggapainya jelas semakin sulit, sebab jalanan mulai ramai. Bunyi-bunyian semakin keras terdengar, mulai dari kamar mandi sampai dapur rumahnya yang kian riuh.
Burhan bangkit dari tempat tidurnya, ke kamar mandi untuk mencuci muka dan gosok gigi dan kemudian pamit keluar menuju warung favoritnya untuk ngopi dan sarapan pagi. Saat di warung tiba-tiba saja muncul niatnya untuk membalas SMS ucapan yang diabaikannya tadi.
Jemarinya bermain di keyboard HP yang mulai pudar tanda-tandanya, dituliskannya “Terima kasih prend, hari ini aku memang merdeka karena masih menikmati kopi dan nasi kuning di pagi hari. Dan merdekaku mungkin akan terus terjaga andai aku berhasil mematikan televisi dan tak tergoda untuk membaca koran berita hari ini”.

GOOGLING

0 komentar


Pagi, ketika hampir sebagian besar orang bergegas cepat agar tidak terlambat masuk kantor atau sekolah, Budi justru berleha-leha duduk di teras depan membaca koran yang dilempar dari luar pagar oleh pengantarnya. Sebagai pekerja tidak tetap, Budi memang tidak dikejar oleh waktu, hari-harinya terasa longgar. Begitu juga dengan agenda hari ini, hanya satu yang terbersit dalam benak Budi, yaitu pergi ke warnet untuk googling. Google adalah sahabat terdekat Budi, jadi jangan tanya apa itu internet sebab Budi akan malas menjelaskannya. Persis sama dengan Andra temannya yang sering berkata
“Kalau cari sesuatu jangan diinternet, tapi di google saja karena jauh lebih cepat”.
Sebagaimana Andra, Budi tak peduli dengan cemooh orang yang kerap mentertawakan prinsip google mereka. Dan meski Budi tahu bahwa tak akan ada google tanpa internet, toh tetap saja dia tak mau memperharui imannya, bahwa google memang cepat dan internet cenderun lemot. Gara-gara keteguhannya mempertuhankan google, lama kelamaan teman-temannya terpengaruh juga. Kini mereka jarang menyebut internet, berselancar di dunia maya tak lagi disebut main internet melainkan googling.
Tepat jam sembilan pagi, Budi melangkahkan kaki meninggalkan rumah menuju warnet yang letaknya tak jauh dari kediamannya. “Brownies Net” adalah warnet favorit Budi, selain tarifnya moderat di biliknya tidak dilarang untuk merokok. Googling dengan rokok ditangan membuat Budi leluasa menelusur dunia maya, tidak terganggu oleh mulut yang asam gara-gara tidak mengepulkan asap.
“Eh, mas Googling…. Welcome bro…. sudah beberapa hari nggak terlihat”, sapa penjaga warnet yang hafal betul kebiasaan Budi.
“Keluar kota saya beberapa hari lalu”.
“Travelling terus ya mas ….. kenapa nda mendirikan biro jasa perjalanan saja biar tambah sering menghilang”.
“Bukan jalan-jalan tapi meeting, biasa bertukar gagasan untuk memperbaiki negeri ini”, jawab Budi sambil tersenyum.
“Sampeyan memang top mas …. Sedikit-sedikit meeting, apa gak pening kepala mas”.
“Iya juga …. Tapi ada obatnya kok yang manjur “.
“Googling ya mas” tebak penjaga warnet.
“Nah, itu dia… ternyata kamu sudah tahu juga”.
“Oh..ya silahkan mas, bilik no 13 saja …baru monitornya mas…lebih terang dan tajam”, kata penjaga warnet.
“Oke ..trima kasih ..sudah memberi nomor sial, tapi nda masalah buat saya”, jawab Budi tersenyum sambil melangkahkan kaki menuju bilik nomor 13 sebagaimana ditunjukkan penjaga warnet.
Dan memang benar, monitornya memang baru . Nampak jelas benar merknya yang berasal dari Negeri Gingseng Korea. Budi segera menghidupkan komputer di hadapannya dan kemudian log-in memakai ID dengan tarif yang telah di beri diskon khusus oleh pemilik warnet. Dan segera Budi menulis www.google.co.id di browser favoritnya yang mampu menampilkan beberapa jendela tanpa kehilangan halaman navigasinya.
Budi memasukkan entri sex pada kolom pencarian, hampir 3 juta halaman web yang mengandung kata itu. Kemudian dia melanjutkan dengan kata god, dan hasilnya halaman dalam jumlah yang hampir sama di index oleh google.
“Tuhan dan seks ternyata bersaing memperebutkan ruang di dunia maya”, batin Budi dalam hati. “Ah, tapi seks kan netral jadi tak harus dipertentangkan dengan Tuhan”. Lanjutnya.
Budi kemudian memasukkan entri porno dalam mesin pencari. Hasilnya luar biasa, hampir 10 juta halaman porno diindex oleh mesin pencari.
“Gila ternyata porno menjadi penguasa utama dunia maya”, kata Budi lirih.
Iseng-iseng budi membuka salah satu halaman yang diindex oleh mesin pencari. Tag-nya jelas-jelas sangat porno. Budi mengklik link itu agar terbuka pada tab berikut di browsernya. Link yang dipromote amat porno ternyata halaman yang isinya justru pesan dan buku-buku berbau religius.
“Luar biasa, bahkan untuk mengantar kepada perihal berbau religius, pemilik situs mesti harus memasang tag porno di mesin pencari agar menarik pengunjung” pikir Budi.
“Jadi andai semua situs yang mengandung atau di tag dengan kata porno, di blok maka akan banyak pula perihal yang mulia, suci dan penuh ajaran moral bakal menghilang dari mayantara”.
Budi jadi teringat pada otoritas negara yang mengurusi perihal lalu lintas informasi yang berkaitan dengan IT. Dengan niat mulia ingin melindungi generasi muda bangsa, segala hal yang berbau porno bakal di blok agar tak bisa muncul di layar gadget para pengila informasi. Namun rupanya niat yang walau mulia ternyata tak mudah dilakukan. Sebab ternyata begitu kata porno di blok banyak situs-situs lainnya ikut pingsan dan tak bisa diakses. “Ups..your page is broken”.
Hampir tiga jam, Budi berkutat di depan layar monitor. Matanya mulai berair, capek dan pedih karena bilik mulai dipenuhi dengan asap rokok. Saat meluruskan bagan di kursi, penjaga warnet datang membawa segelas kopi.
“Minum mas… masih anget dan gratis”, katanya sambil tersenyum.
Budi segera meraih cangkir yang diletakkan di samping keyboard. Dihirupnya perlahan, dan hangat kopi merambat pelan di tenggorokannya, harum aromanya sejenak membuatnya serasa tenang. Kopi dan rokok adalah paduan resep yang tepat untuk memancing kerja otak agar tetap bersemangat. Dan tak lama kemudian, alarm googling kembali memanggil dan membimbing jemari Budi untuk kembali menelusuri halaman-halaman web mencari apa yang dimaui oleh pikirannya.
Jemari Budi segera menari, dituliskannya entri spirituallity pada kolom pencarian. Mesin pencari mulai bekerja dan tersajilah halaman berisi perihal spiritualitas. “Cukup banyak ternyata”, gumannya dalam hati.
Budi mulai menjelajah halaman demi halaman, meneliti isinya dan siapa yang mengelola situsnya. Ternyata tak banyak lembaga resmi keagamaan yang menebar ajaran lewat jejaring maya. Padahal peluang, kesempatan dan jangkauan “kerasulan” lewat dunia maya jauh lebih luas dan terbuka lebar. Lingkaran pengaruh mayantara juga terbukti mujarab. Bukankah banyak orang, pemikiran, gagasan dan ajaran menjadi dikenal karena muncul dan bermula dari dunia maya.
“Apakah ini pertanda bahwa lembaga keagamaan resmi sudah membeku, nyaman dalam kemapanan dan hanya gemar mengkritik kemajuan jaman sebagai mengancam kehidupan kaum beriman. Jangan-jangan semua itu hanya pertanda bahwa mereka tidak mampu menyesuaikan dengan kemajuan jaman”, pikir Budi.
Layar nampak berkedip-kedip pertanda ada seseorang menghubungi Budi melalui chat box. Dan Budi segera mengklik tanda adanya ajakan untuk berbincang. Ternyata Dullah teman lamanya di mayantara menunggu dalam bilik perbincangan.
“Pa kabar mas Bro …. Googling forever yo”, begitu pesan Dullah.
“Oey … Pak Boss …. Lagi mau sembahyang di katedral virtual..he…he…”.
“Wah…mulai mendapat panggilan iman rupanya?”.
“Begitu memang rupanya … ternyata kerinduan pada Tuhan itu sifat bawaan”.
“Dalem ini mas Bro …..”.
“Lha iya lah …. He..he…”.
“Teruskan dulu Mas Bro …. Nanti di bagi ya hasil pencariannya”.
“Sip Pak Boss yang penting siap-siap untuk menerima pencerahan”.
Budi menutup chat boxnya dan kemudian meneruskan googling untuk mencari tempat-tempat tujuan wisata spiritual. Ternyata banyak negara menikmati devisa berlimpah dari kunjungan para peziarah. Sebagian besar negara itu ternyata justru berada di Eropa, Perancis dan Italia ternyata banyak menerima kunjungan para peziarah yang rindu untuk menghirup aroma spiritualitas, memuaskan dahaga kerinduan pada Tuhannya.
Di bandingkan dengan negara lain, sebenarnya Nusantara banyak menyimpan tempat untuk diziarahi, tempat-tempat yang bisa memuaskan dahaga spiritual. Hampir setiap daerah mempunyai petilasan yang ramai dikunjungi orang pada waktu-waktu tertentu. Setiap tempat mempunyai tuah yang tersendiri, ada yang melancarkan rejeki, jodoh, kesehatan, olah jiwa bahkan sampai mendapatkan kesaktian.
“Tapi kok nda ada keterangan berapa besar devisa yang didapat dari tempat ziarah di Nusantara”, pikir Budi.
“Apakah tak ada yang melihat potensi ini atau merasa urusan spiritual tak pantas untuk diperjualbelikan”.
“Ah … toh sebenarnya wajar saja, bukankah banyak lembaga dan orang mendapat rejeki karena berjualan Tuhan?”.
Budi terus berdialog dengan dirinya sendiri, mengungkap tanya dan berusaha menjawabnya pula. Tanya dan jawab silih berganti muncul dalam diri Budi, andai ini terjadi dalam ruang diskusi pasti ramai sekali suasananya. Tapi semuanya terjadi dalam diam dan sepi meski hati berkecamuk. Setelah sekian lama berdebat dengan dirinya sendiri, akhirnya Budi memutuskan untuk melakukan revolusi sunyi melalui google. Dikumpulkannya segenap keterangan tentang tempat-tempat ziarah di nusantara, lengkap dengan foto dan peta lokasinya sejauh yang ada dalam google map.
Budi berencana dengan semua informasi yang dikumpulkannya hendak membuat dan mengelola sebuah situs bertajuk www.nusantaraspiritualcentre.net yang akan memuat seluk beluk dunia dan tempat-tempat ziarah di nusantara. Cita-cita Budi tidak muluk-muluk, lewat situsnya dia berharap ketika seseorang di manapun dia berada, melakukan pencarian dengan tag spiritual maka sebagian besar halaman yang tersaji adalah tempat-tempat ziarah di nusantara.
“Malam mas Bro …. Masih googling nih?” begitu sapaan Dullah yang kembali muncul di chat box.
“Masih Pak Boss …tapi dah mau out….mulai kabur ni mata”.
“Iya mas Bro … istirahat dulu …… jangan bertempur dengan google, nda bakal kalah dia”.
“He..he… iya nda ada capek-capeknya ini si Pak De Google”.
“Bagi dong …temuannya Mas Bro”
“Ah….cuman mimpi aja yang ketemu hari ini”.
“Mimpi?”.
“Iya…mimpi …. Mimpi tentang Nusantara yang bakal jadi pusat perziarahan dunia”.
“Wadauw ….mantep bener ini mimpi Mas Bro, pertamax dah… kalau begitu sampai jumpa dalam mimpi ya Mas Bro”.
“Lanjut ….. nice dream ya..ha…ha…..”.
Dan kemudian Budi log out ketika chat boxnya kelihatan in-active. Setelah membayar ongkos koneksinya dan sedikit berbasa-basi dengan penjaga warnet, Budi melangkahkan kaki menuju rumahnya. Sepanjang jalan Budi terus menaburkan impiannya dan tak lupa Budi berdoa agar google turut membantu mewujudkan mimpinya.

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum