• Blockquote

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Duis non justo nec auge

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (14)

Rabu, 12 September 2012 0 komentar

Ada Apa di Balik Palang Merah dan Bulan Sabit Merah

Membincang perlu tidaknya anggota DPR RI melakukan studi banding ke luar negeri kalau tidak hati-hati bisa berakhir dengan caci maki dan sumpah serapah. Sekilas melalui amatan pada pemberitaan media, sebagaian besar kunjungan luar negeri dipandang tidak efektif, tidak tepat sasaran dan cenderung mengkamulfase ‘nafsu pelesir’ dengan alasan melakukan tugas negara.

Persatuan Pelajar Indonesia di luar negeri bahkan secara aktif melakukan pemantauan, dan berkali-kali mereka bisa ‘mempermalukan’ anggota DPR RI yang berkunjung ke negara dimana mereka belajar. Di Australia misalnya, anggota PPI membongkar tentang betapa anggota DPR RI tidak sadar internet terbukti mereka tak tahu alamat email, entah dirinya maupun fraksi, komisi dan seterusnya. Di Perancis, anggota DPR RI lebih mementingkan foto-foto di menara Eiffel dan belanja di butik-butik ternama. Di Belanda, mereka lebih dahulu mengunjungi ‘red light area’.

Konon beberapa kali anggota DPR RI tertangkap basah, mengagendakan kunjungan ke satu negara tertentu, tapi ternyata lebih banyak menghabiskan waktu di negara lainnya. Keberatan lain yang kerap muncul dari PPI adalah kenyataan bahwa beberapa kali kunjungan anggota DPR RI ke suatu negara waktunya tidak tepat yaitu disaat hari libur. Dengan demikian otomatis mereka tidak akan disambut atau ditemui oleh pihak-pihak yang berkompeten.

Saya tidak dalam posisi setuju ataupun tidak pada studi banding anggota DPR RI. Adalah hak dari setiap lembaga, institusi maupun badan pemerintah atau negara untuk menentukan apa yang penting bagi dirinya. Dalam bidang peningkatan kapasitas, studi banding adalah mata kegiatan yang wajar diprogramkan. Studi banding adalah sarana yang cepat dan tepat untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, wawasan yang berguna untuk melakukan pembandingan antara apa yang terjadi di daerah/negara kita dengan hal yang sama di daerah/negara lain.

Pengalaman positif tentang studi banding, saya alami sendiri dalam paruh waktu antara 2006 – 2007, dimana saat itu saya hendak melakukan program KIE untuk penyadaran dan pencegahan HIV/AIDS di kalangan pekerja industri pabrik dan industri hiburan. Karena belum pernah ada yang melakukan kegiatan itu di Sulawesi Utara, maka saya melakukan studi banding ke Holine Surya Surabaya dan Lentera PKBI Yogyakarta. Hasil belajar selama satu minggu di Surabaya dan Yogya kemudian saya rangkum jadi panduan untuk melakukan ‘outreaching’ pada kelompok pekerja pabrik dan pekerja seks komersiil di Kota Manado dan Bitung.

Studi banding itu sangat berguna bagi saya dan teman-teman petugas lapangan untuk melakukan penjangkauan guna melakukan pendidikan dan penyadaran tentang pencegahan penularan HIV/AIDS. Saya kira tujuan studi banding pada kelompok manapun sama saja, dimana hasilnya akan berguna untuk meningkatkan kinerja atau capaian atas kegiatan atau produk yang akan dihasilkan lewat aktivitas dan tanggungjawab yang diembannya.

Anggota DPR RI biasanya melakukan studi banding kala hendak melahirkan UU dalam bidang tertentu. Di sini sering kali muncul persoalan, terutama soal urgensi studi banding itu, muncul gugatan soal penting tidaknya studi banding dilakukan. Bidang yang hendak diatur oleh UU, biasanya bidang yang sudah menjadi kajian banyak pihak, tersedia literatur bahkan ahli-ahli yang mengerti dan kompeten tentang hal itu. Sehingga masukkan atau pemahaman yang lebih dalam tentang materi atau pokok UU bisa didapat dari pihak lain atau tersedia. Ada semacam anggapan bahwa studi banding mesti dilakukan dalam setiap kajian untuk perubahan atau penyusunan UU, dengan demikian studi banding tidak berbasis pada kebutuhan melainkan ‘kebiasaan’.

Persoalan lain, revisi atau pembuatan UU baru, terkesan juga muncul bukan karena kebutuhan, malainkan karena kepentingan politik tertentu. Karena DPR RI salah satu tugasnya adalah membuat UU, maka semacam ada keharusan untuk setiap saat melahirkan UU baru, penting atau tidak penting, diperlukan atau tidak, itu bukan masalah. Kinerja anggota DPR RI dihitung dari jumlah UU yang dihasilkan bukan karena mutu UU. Tak heran jika kemudian muncul banyak UU yang bertentangan dengan Konstitusi atau UU yang bertabrakkan dengan UU lainnya.

Lebih fatal lagi malah muncul UU yang mau menjaga atau melindungi lingkungan hidup misalnya, namun nyatanya malah mendorong percepatan kerusakan lingkungan secara legal. Akhir bulan Agustus dan awal bulan September 2012 ini ramai dibicarakan tentang studi banding anggota DPR RI ke Denmark. Studi banding yang bertujuan untuk menjajagi kemungkinan pengantian logo Palang Merah Indonesia menjadi Bulan Sabit Merah Indonesia. Entah apa urgensi pengantian logo itu.

Apakah benar Palang Merah misalnya merepresentasikan ‘ideologi kelompok tertentu’?. Tentu saja kelompok masyarakat Kristen yang dianggap minoritas di Indonesia. Kalau benar karena hal ini berarti motif dibalik pengantian logo adalah perasaan ‘tidak sreg’ dari segelintir orang saja, atau bahkan salah sangka tanpa alasan. Pertanyaannya apakah Bulan Sabit Merah juga bukan merupakan representasi dari kelompok tertentu?. Ini malah lebih jelas tinimbang Palang Merah. Toh sepanjang berdirinya Palang Merah di Indonesia, pimpinan tertingginya jelas-jelas bukan representasi orang Kristen. Apakah Marie Muhammad dan kemudian Yusuf Kalla diragukan kemuslimannya kala memimpin PMI?.

Saya paham jika kemudian studi banding dalam soal PMI dipersoalkan oleh banyak pihak. Sebab adakah sebelumnya sudah didahului oleh examinasi atau review atau penilaian atas PMI?. Mana eksekutive review, legislative review dan judicative review atasnya?. Kenapa DPR perlu repot-repot berinisiatif untuk studi banding kalau tidak ada kelompok atau lembaga yang mengajukan examinasi tentang PMI di MK. Kalau PMI tidak menabrak kontitusi kenapa mesti diganti?.

Berkali-kali DPR RI dihantam urusan remeh temeh yang kemudian di studi bandingkan, seperti misalnya pramuka yang sampai harus belajar ke Afrika Selatan sana. Pilihan studi banding seperti inilah yang membuat masyarakat sinis pada semua studi banding yang dilakukan DPR RI. Tak heran jika kemudian banyak yang mencari celah-celah yang bisa dipakai untuk ‘mencela’ studi banding itu.

Seperti dalam kasus Denmark, yang beredar justru gambar anggota DPR RI plesiran menyusuri sungai di Denmark. Padahal bisa jadi menyusuri sungai itu penting, sebab di Indonesia banyak sungai yang tidak disusuri. Kalau kemudian DPR RI mampu membuat sungai di Indonesia bisa disusuri seperti di Denmark, Belanda dan Italia maka anggota DPR RI periode berikutnya tak perlu jauh-jauh ke luar negeri sana untuk bersampan dan berperahu di sungai. Dalam soal lambang PMI saya berusaha untuk menyingkirkan kemungkinan ‘sentimen’ agama di balik lambang itu.

Sebab jika memang benar ada sentimen itu maka betapa bodoh dan tololnya kita menafsir seperti itu. Tafsir yang menunjuk bahwa kita masih sangat primitif dalam berurusan dengan Tuhan dan Agama. Kalau persoalan seperti ini dibiarkan dan terus berkembang saya khawatir besok-besok muncul UU tentang Binatang Peliharaan, dimana orang muslim hanya boleh pelihara kucing, sementara yang lainnya boleh memelihara kucing dan juga anjing. Dan jangan-jangan nanti pohon juga dibagi antara pohon muslim dan non muslim. Tapi, sekali lagi semoga semua bukan karena itu, melainkan karena ‘bussines as usual’, urusan UUD alias Ujung-Ujungnya Duit.

Konvensi Geneva mengisyaratkan hanya ada satu pemakaian lambang di tiap negara, entah itu Palang atau Bulan Sabit. Konsekwensinya hanya ada satu yang dibiayai negara. Siapa yang tidak memakai lambang resmi negara harus mencari pembiayaan sendiri. Lambang palang merah resmi dipakai Indonesia sejak tahun 59-nan. Dengan demikian PMI-lah yang selama ini mendapat dukungan pendanaan dari pemerintah entah lewat skema APBN, APBD maupun skema kerjasama G to G lainnya.

Saya tidak tahu persis kapan Bulan Sabit Merah mulai masuk dan ada di Indonesia, namun kemungkinannya setelah PKS berdiri dan kemudian eksistensinya makin terang saat bencana Tsunami di Aceh. Mungkin kini Bulan Sabit Merah kepengurusannya telah ada di semua wilayah Indonesia, bekerja dan mengabdi kepada bangsa serta negara. Namun tidak mendapat dukungan dari negara sehingga barangkali kurang bisa bekerja secara maksimal.

Nah, jika kemudian Palang Merah dilebur menjadi Bulan Sabit Merah maka anggaran negara akan masuk ke Bulan Sabit Merah, dan jadilah Bulan Sabit Merah menjadi organisasi resmi yang benderanya dikibarkan oleh NKRI. Maka jika kemudian inisatif menganti logo PMI berhasil dilakukan, maka sesungguhnya DPR RI telah melakukan ‘pembunuhan sejarah’ pada PMI. PMI sebenarnya ada jauh sebelum Indonesia merdeka, organisasi yang seolah mengusung lambang ‘salib’ itu dari berdiri hingga hari ini tak pernah membeda-beda kan untuk menolong orang, entah agama atau sukunya apa, semua diperlakukan sama.

Organisasi ini seandainya bisa diberi gelar pahlawan, sebenarnya sudah memenuhi syarat, tapi jelas bahwa mereka ada dan bekerja bukan untuk mencari gelar itu. Inisiatif DPR RI dalam soal logo PMI semakin membuktikan bahwa para wakil rakyat tak mampu menentukan prioritas apa yang penting dan tidak penting untuk negara ini. Para wakil rakyat masih cari-cari ‘pekerjaan’ disaat pekerjaan penting masih menumpuk. Saya ingat kata-kata ‘indah’ yang kerap dikutip oleh seorang teman, bahwa kepintaran selalu ada batasnya namun kebodohan tidak.

Nah, soal logo PMI ini menunjukkan bahwa kita terus memelihara kebodohan yang tiada batas itu. Kita bahkan lebih bodoh dari keledai yang tidak akan terperosok dua kali dalam lubang yang sama.

Pondok Wiraguna, 11 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (13)

0 komentar

Ndeso Ala Jokowi

Joko Widodo, Walikota Solo yang kemudian populer dengan sebutan Jokowi dari sisi manapun bukanlah sosok yang istimewa. Penampilannya yang biasa saja, gaya bicara yang cenderung ‘klemak-klemek’ tak menunjukkan sosok pemimpin yang biasa ada dalam gambaran kita. Namun justru karena ‘biasa-biasa’ saja itulah kemudian Jokowi justru menjadi ‘luar biasa’. Cerita yang ‘biasa’ justru menjadi ‘luar biasa’ sebenarnya kisah yang biasa saja dalam dunia kepemimpinan.

Mahatma Gandi menjadi inspirasi yang luar biasa karena ‘kesederhanaan’ dengan tampil dan berlaku biasa. Memakai produk bikinan bangsa sendiri (yang dibuat sendiri), memakan makanan yang dihasilkan oleh masyarakatnya sendiri. Mother Theresa, yang kemudian menjadi ‘orang suci’ juga karena perbuatan yang biasa, yaitu menolong orang yang sekarat agar mati sebagaimana layaknya manusia, mati di rumah, bukan di pinggir jalan. Jokowi sebagai pemimpin sadar betul bahwa masyarakat tidak butuh pemimpin dengan cita-cita besar, rencana besar. Sebab dalam konteks pembangunan sudah ada departemen, lembaga dan lain sebagainya yang isinya orang-orang pintar merencanakan hal itu. Tugas pemimpin mendengar masukkan, memikirkan dan membuat keputusan, mendukung atau tidak.

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang ‘memanusiakan, orang atau masyarakat yang dipimpinnya. Masyarakat butuh bukti bahwa pemimpinnya ‘memanusiakan’, tidak perlu melalui rangkaian program yang keren dan wah, seperti pakta integritas, land of integrity dan clean and green city, dll. Cukup buktikan bahwa pemimpin bukanlah orang yang zalim, dengan menggusur pedagang kecil tanpa ha-hi-hu, mengusir dengan pentungan., merobohkan lapak dengan traktor.

Cukup dengan menjadi ‘orang tua, teman atau sahabat’ yang mau ditemui dan menemui, bukan hanya menyahut di koran atau televisi. Rakyat atau masyarakat perlu bukti, bukan hanya sekedar slogan yang indah dan terpasang di baliho-baliho yang ada di halaman kantor, pinggir jalan dan lapangan. Pemimpin yang melayani terbukti lewat pembuatan KTP yang tak perlu waktu berbulan-bulan, melainkan menit. Bukan sekedar gratis tapi juga cepat dan tidak berbelit-belit. Pemimpin yang mengayomi, terbukti lewat ruang-ruang terbuka hijau, rindang, enak dan nyaman untuk mengaso di kala hari panas, menikmati mentari sore hari dan malamnya bukan menjadi tempat ‘adu mesum’.

Di luar segala macam proyeksi dan proyek pencintraan, dari Solo nama Jokowi moncer lewat aneka pemberitaan. Tingkah lakunya sebagai Walikota yang mencerminkan ‘dirinya sendiri’ membuat programnya tidak neko-neko. Jokowi menjadi antitesis dari banyak sosok yang ketika menjadi pemimpin berlaku menjadi ‘orang lain’. Segala sesuatunya mulai berubah, mulai dari cara jalan, cara bicara, cara makan, cara menyapa orang lain, bahkan senyum dan tawapun diatur. Sosok yang menjadi kaku karena dibentengi oleh berbagai kaidah-kaidah laku pemimpin yang dicipta oleh para penasehatnya.

Nama Jokowi semakin meroket ketika dicalonkan menjadi gubernur DKI Jakarta dan kemudian mampu meraup suara terbanyak pada pemilukada putaran pertama. Jakarta, kota ultra metropolitan, tempat segala kemajuan, garda terdepan dari gaya hidup ternyata memberikan suaranya untuk sosok ‘ndeso dan katrok’. Sosok yang jelas sangat biasa saja untuk masyarakat Jakarta. Maknanya jelas bahwa masyarakat sebenarnya rindu pemimpin yang sederhana, jujur dan apa adanya. Soal apa yang diperlukan oleh Jakarta, ada berjibun cerdik pandai yang sangat paham dan mampu membantu merumuskan aneka program dan proyek yang diperlukan oleh Jakarta dan warganya.

Pemimpin yang tidak berpretensi untuk membangun ‘monumen kedirian’ akan terbuka terhadap masukkan dan kebutuhan warganya. Kemenangan Jokowi di putaran pertama pemilukada DKI Jakarta barangkali mengejutkan bagi mereka yang mendukung ‘status quo’, pendukung kemapanan. Bagaimana mungkin seorang yang gemar ‘blasak-blusuk’ bakal memimpin Jakarta, andai dia kemudian menang di putaran ke dua.

Orang mungkin khawatir jika kemudian wajah birokrasi di DKI Jakarta akan berubah. Perubahan yang mungkin saja akan merugikan atau mengeser kelompok-kelompok kepentingan tertentu yang selama ini telah menikmati keuntungan dan ingin terus menikmatinya. Serangan demi serangan yang dilancarkan ke kubu Jokowi pasca kemenangan pada putaran pertama pemilukada DKI Jakarta barangkali tidak berasal dari kubu lawannya. Melainkan dari kubu yang kemungkinan besar akan dirugikan andai kemudian Jokowi berhasil memimpin Jakarta. Kubu yang tidak selalu berasal atau ada dalam pemerintahan.

Adalah normal dalam hajatan pemilihan muncul kampanye-kampanye hitam. Menyoal dari yang masuk akal sampai yang mengada-ada. Yang terpenting justru bagaimana pihak yang diserang menanggapi ocehan-ocehan yang bebas berkeliaran di luaran. Dan dari Jokowi, saya kira kita bisa belajar bagaimana menanggapi serangan dengan proporsional. Tidak juga cuek bebek namun tak juga kebakaran jenggot. Tidak semua serangan harus ditanggapi atau dihadapi secara khusus, misalnya lewat pidato atau konperensi pers. Apalagi jika serangan itu berasal dari sumber-sumber yang tidak jelas.

Dan saya berharap, SBY sebagai presiden RI bisa belajar dari Jokowi untuk tak terlalu reaktif dalam menghadapi serangan dan juga kritikan. Tak ada gunanya meski ganteng, santun dan tinggi besar apabila dalam berbagai kesempatan sering marah-marah gara-gara persoalan yang tidak penting.

Pondok Wiraguna, 7 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (12)

Selasa, 11 September 2012 0 komentar


Be Your Self, Do It Now

Jadilah diri sendiri dan kerjakan mulai saat ini juga. Pesan yang berisi semangat untuk menjadi yang ditujukan pada diri sendiri itu tertulis dalam selembar kertas yang kemudian ditempel pada dinding dekat meja belajar seorang teman. Masih ada pesan lain tapi saya tak terlalu ingat.

Menjadi diri sendiri adalah tema penting dalam sessi-sessi pengembangan diri. Intinya mau mengingatkan bahwa setiap orang unik, mempunyai kekhasan yang tak dipunyai oleh orang lain, mempunyai penanda yang bisa menjadi pembeda dan seterusnya.  

Sewaktu mengikuti pendidikan rohani (spiritualitas) di salah satu tarekat religius sessi awal yang harus saya ikuti adalah Who Am I. Dalam sessi ini saya diajak berproses untuk mengenali diri saya dan bagaimana saya mengambarkan diri saya sendiri. Proses pengenalan diri dilakukan dengan mengulang kembali perjalanan hidup (to journey my life). Apa yang saya ingat dalam rentang waktu tertentu, kapan saya mulai menyadari ‘keberadaan’ diri.

Perjalanan yang akan memberikan peta tentang apa yang saya suka dan tidak saya suka, apa saja yang mempengaruhi hidup saya entah itu orang, peristiwa, buku, film dan apapun. Apa yang tertanam paling dalam dalam diri saya, hal-hal baik maupun hal-hal yang menganggu. Soal hal-hal baik itu tidak jadi masalah, tapi banyak ‘batu karang’ sebenarnya tersimpan dalam diri kita yang menghambat ‘aktualisasi diri’. Batu karang bisa berupa trauma, ketidakpuasan, dendam dan kebencian, yang terus menganggu.

Hal-hal dan perasaan buruk disebut batu karang karena telah mengeras dalam diri kita, menuntun perilaku dan sikap kita atas sesuatu, menganggu dan kadang menyakitkan. Maka kita perlu berdamai dengannya. Tidak ada peristiwa atau kejadian di masa lalu yang tidak mengenakkan akan hilang dari benak kita. Hard disk dalam diri kita tidak bisa di – erase atau di reset terkecuali kita ingin kehilangan semua ingatan.

Bagian terpenting dari menjadi diri sendiri adalah berdamai dengan masa lalu. Menerima dengan tangan terbuka segenap pengalaman entah yang mengenakkan atau yang tidak di masa yang lalu. Kita tetap akan ingat bahwa di masa lalu misalnya kita pernah benar-benar dipermalukan, tapi ingatan itu hari ini tak akan membuat  hati kita panas mendidih saat bertemu dengan orang yang terlibat didalamnya. Kita di masa lalu mungkin pernah bersalah pada orang tertentu, namun kini tak lagi membuat kita menghindar bertemu dengannya.

Kembali pada persoalan menjadi diri sendiri, banyak orang salah sangka atau bahkan menjadi dilemahkan. Menjadi diri sendiri atas salah satu cara adalah mengenal diri apa adanya. Banyak orang menemukan dirinya lemah, tidak berkualitas, sehingga menjadi diri sendiri berarti terima nasib, ya sudah begini saja, toh saya tidak berbakat apa-apa. Padahal menerima diri apa adanya adalah titik berangkat, bukan melemah. Misalnya karena saya pendek maka saya tak akan bisa main basket. Karena kecil saya tak akan bisa pemimpin dan seterusnya.

Menerima diri apa adanya sebagai titik berangkat adalah sebuah kesadaran akan adanya ruang terbatas dalam diri kita yang tidak bisa kita ubah. Namun di balik itu ada sebuah potensi yang kita bisa gali. Karena tidak dikarunia suara bawaan yang merdu, maka agar bisa menyanyi dengan baik saya mesti belajar notasi adna berlatih vokal dengan rajin. Dan seterusnya.

Menerima diri adalah langkah penting sebab banyak orang terhambat kemajuan hidupnya, tak mampu menjadi yang terbaik karena menemukan dirinya ‘kurang’ dan terus menyesalinya sambil berandai-andai kalau saja ini dan itu. Hidup menjadi orang yang terus menerus mengeluh. Wajahnya yang mungkin saja ganteng atau cantik menjadi buram karena memasang topeng muka susah.

Hari ini menjadi diri sendiri bukanlah persoalan yang mudah. Sebab kita hidup dalam jaman dimana citra terus diciptakan. Standar soal ini dan itu ada dalam segala sesuatu. Kita menjadi imagi dari jaman, lingkungan pergaulan, tempat kerja dan apapun yang melingkupi kita. Tak heran jika kemudian sebagaian besar dari kita hidup menurut trends, ikut arus, mengalir saja berdasar apa yang sedang terjadi di sekitar kita.

Entahlah, teman saya itu sudah menjadi dirinya sendiri atau belum. Namun yang patut saya kagumi adalah dia menulis perintah pada dirinya sendiri, menyadari bahwa menjadi diri sendiri adalah proses yang terus menerus harus dilakukan. Dan kesadaran itulah yang terpenting agar kita tidak ikut arus, terseret atau bahkan tenggelam dalam pusarannya.

Pondok Wiraguna, 8 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (11)

0 komentar

AGAMA, BUDAYA dan SUMBER DAYA ALAM

Sebuah Mimpi Tinggal Landas “Dulu air sungai ini jernih sekali, dasar sungai dan ikan di dalamnya kelihatan dari sini”.

Cerita tentang anak sungai Berambay jadi pembuka kisah perjalanan Amai Pesehu (71 tahun) keluar dari Apokayan[1] hingga ke Dusun Berambai. Sambil duduk pada jembatan kayu di atas anak sungai Berambay yang kian keruh, Amai menceritakan kisah perjalanan hidupnya dengan lancar. Tahun 1990, bersama 36 keluarga lainnya Amai datang ke Berambai dari Datah Bilang. Mereka membuka ladang dan memulai hidup baru diatas belukar atas ijin pemilik sebelumnya. Keberkahan datang dengan pemekaran desa Separi, Dusun Berambai kemudian menjadi bagian dari kelurahan Bukit Pariaman. Tanah dan kebun yang mereka olah juga masuk dalam program sertifikasi. Kehidupan yang mulai tertata, terganggu dengan datangnya maskapai pertambangan batubara. Tanah kebun yang mereka olah bertahun-tahun masuk dalam wilayah konsesi dari PT. Mahakam Sumber Jaya. Bahkan persis terletak disamping kanan dan kiri jalan hauling, tempat truk-truk raksasa lalu lalung mengangkut batubara dari lokasi galian menuju stock pile.

Persoalan segera muncul, masyarakat tetap ingin berkebun tetapi perusahaan tidak menghendaki. Demo warga di lokasi kebun dianggap sebagai pendudukan dan upaya untuk menutup serta menghalang-halangi operasi tambang. Bukannya dialog yang terjadi, perusahaan justru memanggil aparat bersenjata lengkap dan kemudian menangkapi warga. Kini Amai Pesuhu dan beberapa warga lainnya berstatus sebagai tersangka atas tuduhan menghalang-halangi operasi pertambangan. [2]

Kisah Amai Pesuhu dan warga dusun Berambay lainnya hanyalah bagian kecil dari cerita derita tanpa akhir beberapa kelompok migran Dayak Kenyah yang keluar dari Apokayan untuk mencari penghidupan yang lebih baik, lebih dekat dengan pusat pemerintahan, pusat kesehatan dan pendidikan. Namun cita-cita besar mereka bahkan kian hari kian menjadi suram. Kisah Amai Pesuhu seakan membenarkan adanya ‘kutuk migrasi Kenyah’ yaitu perjalanan yang tak henti karena selalu kalah dan tersingkir[3].

Bandingkan dengan kisah para migran lain yang berasal dari luar pulau Kalimantan. Dengan pandangan sekilas saja, disepanjang kanan-kiri jalan antara Balikpapan – Samarinda, atau Samarinda – Sanggata dengan mudah akan terbaca deretan nama-nama kabupaten atau daerah di pulau Jawa dan Sulawesi tertulis gagah serta jelas di papan nama tempat usaha. Mulai dari warung Kediri, Jombang, Nganjuk, Tahu Sumedang, Mie Yogya, Siomay Bandung, Sate Padang, Mie Aceh, Soto Maros, Coto Makassar dan Coto Jeneponto serta lain-lainnya. Nampak dengan jelas bahwa masyarakat pendatang berhasil dan menguasai perekonomian di Kalimantan Timur. Dan sejatinya bukan hanya bidang ekonomi, bidang politik dan pemerintahanpun juga demikian. Kalimantan Timur adalah daerah kosmopolitan, tempat pertemuan masyarakat dari berbagai wilayah di Indonesia untuk mencari nafkah dan mengeruk kekayaan yang terkandung dalam tanahnya.

Dayak dan Imaji Para Elit

Marjinalisasi masyarakat Dayak[4] sebagai komunitas asli Kalimantan adalah cerita lama.  Bermula dari masa kerajaan, disusul masa kolonial dan terus berlanjut dalam masa-masa orde baru serta belum hilang jejaknya pada masa orde reformasi. Sejak jaman kolonial para peneliti Belanda membangun analisis dari bahan-bahan yang mereka kumpulkan secara tergesa-gesa dan bias sehingga menghasilkan pandangan yang mencitrakan bahwa komunitas Dayak adalah pemburu kepala manusia, penyuka rajah, perambah hutan, mendiami rumah panjang dan tidak beragama (animis primitive).

Pandangan ini semakin diperburuk oleh para penyebar agama (misionaris dan pendakwah) yang menyebut masyarakat Dayak sebagai kafir. Sebuah buku tentang Sejarah Gereja Kemah Injil (1995) dengan ekplisit menjuluki orang-orang Dayak Kalimantan Timur dengan keyakinanannya sebagai kafir. Selain julukan ‘kafir’ begitu banyak stereotype ditebarkan dan dikembangkan yang sangat jelas memandang dan menempatkan orang Dayak sebagai tak beradab, terpencil, terasing hingga harus di-’peradab’-kan. Upaya peng’agama’an masyarakat Dayak agar memilih menjadi Kristen atau Islam dengan sendirinya membuat kebudayaan mereka menjadi luntur.

Proyek untuk memajukan masyarakat Dayak berlanjut dengan program Respen atau Resetlement penduduk. Masyarakat Dayak yang tinggal di Lamin, rumah panjang kemudian dikumpulkan dalam satu wilayah administratif dalam bentuk desa baru. Mereka kemudian tinggal dalam rumah individual dan ladang permanen untuk meninggalkan model perladangan berpindah. Mereka dibawa keluar dari kawasan hutan belantara, tanah yang mereka jaga dengan alasan untuk mencapai kemajuan. Dan kelak diketahui, tanah dan hutan yang mereka tinggalkan kemudian dibagi-bagikan kepada para pemegang HPH. Kala sektor jasa mulai dilirik oleh pelaksana pemerintahan, maka pariwisata menjadi salah satu pilihan utama. Dengan niat bisa meniru keberhasilan Bali dalam mengembangkan dunia pariwisata maka pemerintah daerah mulai aneka program dan kegiatan dilakukan untuk menggalakkan serta meningkatkan kunjungan wisatawan. Di Kalimantan Timur, peradaban (budaya dan kesenian) masyarakat Dayak yang dulu dihabisi kemudian dikais-kais kembali. Beberapa kampung masyarakat Dayak di Samarinda dan Kutai Kartanegara kemudian disebut sebagai desa wisata (desa budaya).

Salah satu contoh yang paling monumental adalah Desa Pampang di Samarinda. Kenyataan ini membuat Pui Bubun, tetua kampung Long Anai keheranan sebab pemerintah kini getol mendorong anak-anak muda menarikan tarian yang dulu dilarang karena dianggap sebagai tarian orang kafir. Revitalisasi kebudayaan Dayak sebagai sebuah proyek terus berlanjut. Kebudayaan dan simbol-simbol Dayak menjadi ikon utama Kalimantan Timur. Artefak dan penanda kultural Dayak dominan sebagai hiasan fasilitas dan bangunan publik serta pemerintahan. Rumah jabatan Gubernur bahkan dinamai Lamin Etam[5], dihiasi dengan Blawing dengan burung Enggang bertengger di puncaknya. Perayaan Erau yang dulunya adalah upacara dan keramaian saat pengangkatan Raja (Sultan) Kutai Kartanegara Ing Martadipura dan kemudian diteruskan sebagai perayaan Hari Ulang Tahun Kota Tenggarong di jaman kemerdekaan, budaya Dayak dalam bentuk tarian dan upacara yang merupakan acara tambahan malah terlihat lebih menonjol.

Misi dan muhibah kesenian keluar negeri juga menjadikan kesenian Dayak sebagai andalannya. Namun, simbol-simbol penanda Dayak yang akrab dengan modernitas dalam ruang publik ternyata tak merubah pandangan atau persepsi pemerintah dan masyarakat umum yang tetap mengurung masyarakat Dayak dan kebudayaannya dalam kategori unik dan eksotik. Kesenian Dayak tetap dipandang sebagai kesenian atau kebudayaan pedalaman yang tertinggal jika dibandingkan dengan kebudayaan pesisir. Berjuang

Dalam Senyap Era otonomi daerah dipakai sebagai momentum oleh masyarakat Dayak untuk bangkit melakukan perlawanan damai terhadap berbagai perlakuan yang meminggirkan mereka selama ini. Muncul berbagai organisasi berbasis masyarakat Dayak. Pemekaran daerah juga melahirkan kabupaten yang bisa diklaim ‘kabupaten Dayak’ seperti Kutai Barat, Malinau dan Tana Tidung serta kemudian akan disusul oleh Mahakam Hulu. Fenomena seperti ini bukanlah hal yang aneh atau ganjil, di pelbagai tempat juga terjadi gejala yang sama. Hanya saja semua ini belum menghasilkan perubahan yang mampu menghapus luka dan derita lama. Kehadiran organisasi berbasis masyarakat, paguyuban yang seharusnya menjadi wadah silaturahmi dan perjuangan bersama, malah berkembang menjadi alat politik dan ekonomi kelompok yang terbatas. Demikian pula jabatan-jabatan tinggi yang kemudian diduduki oleh putera-putera Dayak ternyata tak juga menghasilkan keberpihakan pada masyarakat Dayak di tingkatan akar rumput.

Mencermati pemberitaan media dari ke hari ke hari, semakin banyak masyarakat melakukan aksi, mengadu kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Kepala Daerah, perihal nasib kehidupan mereka yang tergusur oleh perusahaan tambang dan perkebunan sawit. Situasinya semakin jelas, masyarakat tradisional yang mengantungkan dan mencari hidup dari apa yang ada di lingkungannya terus terdesak oleh kebijakan pemerintah yang mengobral ijin usaha untuk pertambangan dan perkebunan. Peluang pertanian tanaman pangan untuk mengurangi ketergantungan pada daerah lain, dijawab oleh pemerintah bukan dengan mendorong dan mendukung petani lokal melainkan justru dengan mengundang investor lewat proyek Food Estate.

Beruntung hingga saat ini, peminggiran yang terus menerus kepada masyarakat Dayak tidak memunculkan gejolak dan sentimen berlebihan terhadap masyarakat pendatang, meski ada suara-suara dan perasaan masyarakat Dayak yang sebenarnya tidaklah nyaman. Mereka merasa kekayaan daerah, tanah tumpah darah mereka lebih dinikmati orang luar, baik luar Kalimantan maupun luar negeri. Berkaca pada persoalan yang dihadapi oleh Amai Pesuhu dan warga lainnya di Berambay, perjuangan mereka untuk mempertahankan hak atas pengelolaan tanah melawan korporasi hampir-hampir tidak mendapat sokongan secara sistematik dari organisasi masyarakat sipil yang tumbuh bagai cendawan di musim hujan[6].

Kalimantan Timur ibarat peternakan organisasi masyarakat sipil pada masa otonomi daerah. Namun sangat sedikit yang benar-benar mau bekerja pada tingkatan akar rumput, melakukan pendampingan dan pembelaan atas hak-hak masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan.

Era otonomi daerah juga membuat organisasi masyarakat sipil yang dulu di sokong oleh donor-donor luar negeri mulai kesulitan. Akses pendanaan dari donor mulai berkurang atau berpindah fokus. Organisasi masyarakat sipil yang dulu aktif mendampingi, melakukan pengorganisasian dan advokasi kepada masyarakat adat kini sulit diharapkan untuk bisa berada bersama masyarakat secara penuh karena kesulitan sumberdaya, baik dana maupun personel. Sementara organisasi masyarakat sipil yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat adat justru berada di perkotaan. Persoalan yang dihadapi oleh masyarakat yang berada jauh dari pusat pemerintah tidak menjadi perhatiannya. Kecenderungannya justru lebih dekat dengan pemerintah dan korporasi agar bisa memperoleh dukungan pendanaan untuk menjalankan roda organisasi. Tak heran jika kemudian ada ungkapan bernada putus asa dan cemooh seperti “Dulu orang-orang berusaha sekuat tenaga menghidupkan organisasi, tapi kini orang beramai-ramai mencari hidup dari organisasi”.

Perjumpaan, Kolaborasi dan Ko-eksistensi

Dalam segala keterbatasannya, perjuangan masyarakat Dayak untuk memperoleh akses dan kontrol yang lebih besar akan pengelolaan sumberdaya alam baik secara kultural maupun struktural secara sporadik terus dilakukan. Upaya untuk memperoleh akses dan kontrol atas sumberdaya alam berpotensi menimbulkan benturan baik vertikal maupun horizontal. Konflik antara masyarakat dengan pemerintah dan dengan kelompok lainnya termasuk korporasi bisa berkembang dan mewujud dalam kekerasan masif yang akan membuat persoalan semakin sulit diselesaikan. Beberapa benturan antar masyarakat sempat terjadi di Tarakan, Loa Buah dan Balikpapan meski kemudian bisa diselesaikan.

Namun ini membuktikan bahwa potensi konflik antar kelompok masyarakat di Kalimantan Timur adalah besar. Apabila kelompok masyarakat yang sejak semula merasa tidak dibela dan terus menerus terdesak maka bakal kehilangan akal sehatnya dalam mengatasi persoalan sehingga memilih jalan kekerasan. Potensi konflik terbesar di masa mendatang justru terjadi antara kelompok masyarakat dan koorporasi yang didukung oleh kebijakan pemerintah. Dan adalah kecenderungan dari kooporasi untuk menghadapi konflik dengan masyarakat bukan melalui mediasi dan dialog, melainkan justru memakai kelompok masyarakat yang satu untuk menghadapi kelompok masyarakat lainnya. Korporasi cenderung ingin menyelesaikan persoalan secara cepat dan abai pada kesejarahan serta norma dan budaya masyarakat setempat. Watak dan siasat korporasi yang semacam ini jika tidak diwaspadai sejak dini bakal menebar benih konflik dalam masyarakat, baik ke dalam maupun keluar. [7]

Masyarakat Kalimantan Timur dalam kesejarahannya adalah masyarakat yang akrab dengan perjumpaan atas kelompok masyarakat lainnya yang berbeda. Bumi Kalimantan pada umumnya adalah tujuan migrasi dari kelompok masyarakat, suku bangsa yang berasal dari berbagai pulau disekitarnya. Pendatang dari Jawa secara besar-besaran sudah berlangsung sejak abad 14-15 di masa kejayaan kerajaan Majapahit. Sementara dari Sulawesi terutama Bugis sekurangnya mulai pada abad 16 untuk melakukan perdagangan dan penangkapan ikan. Pada awal tahun 1950-an terjadi gelombang imigran baru dari orang Bugis yang karena penderitaan akibat pemberontakan Islam Kahar Muzakar di Sulsel. Mereka kemudian disusul oleh kerabatnya dan mulai membuka daerah-daerah hutan didataran rendah yang luas di sepanjang jalan untuk usaha tani lada dan perdagangan lainnya. Pada tahun 1990-an migrasi orang Bugis lebih pada kencendrungan mencari pekerjaan pada sektor usaha eksploitasi SDA seperti pertambangan.

Dimasa orde baru gelombang kedatangan masyarakat dari Jawa (juga Bali, Nusa Tenggara Timur dan Barat) untuk dimukimkan kembali melalui program transmigrasi tersebar di berbagai wilayah Kalimantan Timur. Diluar program transmigrasi, banyak pula yang datang untuk menjadi pekerja pada sektor perkayuan dan pertambangan serta sektor informal hingga saat ini. Dengan demikian masyarakat Kalimantan Timur sebenarnya terbiasa berhadapan dan mengalami perjumpaan dalam keberagaman.

Dalam batas-batas tertentu masyarakat telah mempunyai ketahanan untuk tidak dengan cepat terpancing jika ada isu-isu perseteruan antar kelompok. Hanya saja fakta seperti ini tidak boleh membuat masyarakat Kalimantan Timur terlalu percaya diri bahwa konflik antar kelompok yang berlatar etnis atau agama tidak mungkin terjadi disini. Solidaritas pada masyarakat yang terpinggirkan dan respon atas kebijakan yang tidak menguntungkan masyarakat kebanyakan menjadi penting untuk digelorakan sebagai kerja dan aksi bersama lintas suku, agama, ras dan golongan. Tidak bisa dipungkiri bahwa marjinalisasi juga menimpa kelompok-kelompok lainnya yang sudah lama tinggal dan hidup di Kalimantan Timur. Lahan pertanian produktif yang dibangun dengan susah payah oleh transmgran dari Jawa, Bali dan Nusa Tenggara kini juga terancam oleh operasi maskapai pertambangan Batubara. Masyarakat Dayak dan masyarakat lainnya perlu membangun sebuah ruang untuk berkumpul bersama, berdialog dan membangun jejaring antar kelompok marjinal untuk mencari jalan pemecahan dan mendorong perubahan kebijakan sehingga lebih berpihak pada masyarakat yang lemah.

Adalah penting untuk menyuarakan keadilan yang merata bagi semua kelompok, mengurangi stereotype atau stigma antar kelompok sehingga tumbuh sikap saling mengenal serta menghormati. Dalam masa ke depan untuk menjaga harmoni antar kelompok yang sangat beragam, keadilan, akses dan kontrol yang seimbang atas sumberdaya alam perlu dipastikan. Keberagaman merupakan berkah dan kekayaan dari Kalimantan Timur disambing sumberdaya alam mineral, gas dan batubara yang berlimpah. Semua ini akan mampu mensejahterakan masyarakat jika ditempatkan dalam konteks Kalimantan Timur sebagai ‘Banua Etam’ atau kampung (rumah) kita bersama. Namun yang saat ini terjadi justru Kalimantan Timur adalah “Banua Ikam” atau kampung (rumah) kamu, dimana segala kekayaannya hanya dinikmati oleh sekelompok orang, elit dan ‘orang luar’.

Betapa tidak, Kalimantan Timur yang merupakan penghasil Batubara ternyata hanya dilewati dan dipakai untuk menerangi daerah di belahan bumi lainnya, sementara Kalimantan Timur terus mengalami kegelapan. Kesadaran bahwa bumi Kalimantan Timur terus diekploitir dan tidak meninggalkan jejak kesejahteraan serta keadilan perlahan akan menjadi kesadaran kolektif. Suara-suara maupun gerakan sporadik untuk menyatakan hal itu mulai terlihat. Jika persoalan ‘pembagian kue’ atas kekayaan sumberdaya alam tidak segera direspon maka tak pelak akan merusak hubungan atau memicu pertentangan antar kelompok yang memang sangat beragam di Kalimantan Timur. Pengalaman konflik komunal di daerah-daerah lain menunjukkan sebuah pola di mana ketidakpuasaan, kekecewaan dan keputusasaan masyarakat setempat paling mudah disuarakan dan diledakkan dengan cara ‘mengkambinghitamkan’ kelompok lainnya.

Samarinda, Pondok Batu Lumpang 25 Mei 2012
@yustinus_esha

 [1] Apokayan adalah kawasan yang berada di kecamatan Kayan Hulu dan Kayan Hilir di Kabupaten Bulungan. Dalam laporan majalah Tempo, 24 Mei 1984, Gubernur Kalimantan Timur Soewandi yang berkunjung kesana menerima laporan bahwa 8 dari 11 desa di kecamatan Kayan Hilir ditinggalkan oleh penduduknya. Penelusuran Tempo menunjukkan beberapa desa yang dikunjungi telah ditelan lagi oleh rimba karena tak berpenghuni. Pernyebab utama eksodus ini adalah tekanan ekonomi. Harga barang kebutuhan pokok disana selangit. Transportasi darat tak ada, untuk mencapai dari Samarinda melalui sungai bisa makan waktu berbulan-bulan. Cara yang tercepat adalah lewat udara. Meski dilayani pesawat misi (MAF) tetap saja tak bisa murah karena bahan bakar pesawat juga mahal dan daya angkutnya juga sedikit.

 [2] Kisah pembuka tulisan ini adalah tuturan dari Amai Pesuhu yang ditemui penulis saat mendokumentasikan (Audiovisual) fenomena masyarakat korban tambang.

 [3] Van Linden, seorang Antropolog Belanda pernah mengatakan bahwa nasib orang Dayak adalah dijajah, bukan memerintah. Senada dengan itu Magenda (1991) melukiskan betapa orang Dayak selama berabad-abad mengalami marjinalisasi dalam skala yang massif baik oleh kekuatan politik kolonial, nasional dan lokal.Citra populer sebagai kelompok yang ‘terkebelakang, primitif dan liar’ semakin memperparah marjinalisasi yang mereka derita.

 [4] Istilah atau sebutan Dayak dari sisi etnisitas adalah sebuah generalisasi. Sebab dalam keseharian mereka yang dikenal sebagai Dayak, menyebut dirinya sebagai Kenyah, Iban, Murut, Bahau, Kayan, Tunjung, Benuaq, Punan, Lawangan, Manyaan, Penihing, Bentian dan lain sebagainya.

 [5] Di masa pemerintahan bupati Syaukani HR, desa-desa Dayak di Kabupaten Kutai Kartanegara dibangunkan lamin. Bukan sebagai tempat tinggal melainkan sebagai balai pertemuan. Meski dinamai sebagai lamin, struktur dan fungsinya jauh dari yang selama ini dikenal dalam kebudayaan dan arsitektur Dayak. Mereka yang paham tentang Lamin, menyatakan bahwa bangunan itu bukan Lamin melainkan stadion (karena ada tempat duduk setengah melingkar – letter U). Namun pembangunan tetap jalan meski sebagian tak selesai karena Syaukani HR ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK.

 [6] Perhatian dan pendampingan pada warga Dusun Berambay selama ini justru dimotori oleh Johannes Kopong MSF, Pastor yang bertugas di Gereja Katolik St. Lukas Samarinda. Jatam, Forum Pelangi, Pokja 30 sesekali menemani dalam kerja-kerja lapangan dan diskusi atas kasus ini.

 [7] Contoh kasus seperti ini terjadi di Muara Tae dimana dua kelompok masyarakat Dayak Benuaq berkonflik akibat salah satu pihak menuduh pihak lainnya menjual ‘tanah adat’ pada perusahaan perkebunan sawit. Kasus di Muara Tae didampingi oleh Aman dan Telapak. Jatam, Pokja 30, Forum Pelangi dan lainnya sesekali juga terlibat dalam aksi, hearing dengan pemerintah dan DPR, serta diskusi-diskusi atas kasus ini.

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum