• Blockquote

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Duis non justo nec auge

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (10)

Kamis, 06 September 2012 0 komentar

Memberi Komisi atau Masuk Komisi?

Pelajaran yang paling saya suka ketika sekolah menengah dulu adalah IPS, terutama pada bagian sejarah. Saya senang menghafal cerita dan tentu saja nama-nama tokoh nasional yang kemudian jadi pahlawan. Juga lembaga-lembaga yang tercatat dalam perkembangan sejarah nasional. Bagi saya semua itu heroik sekali, kalo dulu sudah ada twitter, saya akan kasih hastag (#) keren atau asek. Tapi sekarang saya berharap bahwa anak saya tak mengalami apa yang terjadi dijaman saya dulu. Kasihan kalau harus menghafal nama-nama lembaga setelah orde reformasi. Menurut saya bakal terlalu banyak yang harus dihafalkan.

Ketika orde baru tumbang, regim reformasi menganggap semua capaian Indonesia di masa lalu membawa bangsa ini pada situasi darurat, abnormal. Maka perlu dilakukan sebuah percepatan agar keadaan kembali menjadi normal. Untuk mencapai kondisi itu, lembaga-lembaga negara (yang permanen) tidak akan mampu melakukannya. Percepatan perlu dicapai dengan pembentukan lembaga-lembaga baru (semi negara) sebagai bentuk affirmatif action. Maka lahirlah berbagai unit kerja dan komisi-komisi negara. Berapa jumlahnya?. Saya tidak ingat, sebab orang yang punya kemampuan menghafal hebatpun bakal kesulitan untuk mengingat seluruhnya. Sebut saja yang ternama seperti KPU, KPK, Komnas Ham dan KIP serta masih banyak lagi. Tidak semua dinamai komisi karena ada juga yang bernama Badan seperti Banwas, juga Unit Kerja seperti UKP3R.

Di berbagai negara sebutan Komisi menunjuk pada watak ad hoc atau sementara. Seperti di Amerika dimana biasa dibentuk komisi tertentu atas kasus tertentu. Komisi biasa dinamai dengan nama ketuanya. Seperti komisi Waren yaitu komisi untuk menyelidiki pembunuhan presiden Kennedy, atau komisi Hamilton-Baker untuk membahas invasi AS terhadap Irak. Di Indonesia sebenarnya komisi-komisi juga dimaksudkan sebagai lembaga Ad Hoc namun tidak dibatasi dengan jelas kapan keberadaan akan dihentikan. Selain menunjuk pada sifat Ad Hoc keberadaan komisi-komisi juga merupakan penanda bahwa kita masih dalam masa transasional. Situasi gawat darurat sehingga perlu penanganan secara khusus.

Kini sebagian komisi sudah berumur 10 tahun, namun tanda-tanda keberadaan mereka tidak diperlukan lagi belumlah kelihatan. Kini bahkan komisi yang juga dibentuk sampai ke daerah-daerah (Propinsi, Kabupaten, Kota) malah jadi lahan lapangan pekerjaan baru untuk mereka-mereka yang bosan dengan pekerjaan lamanya. Komisi-komisi yang dimaksudkan untuk memberantas praktek lama yang terjadi dalam badan atau departemen permanen justru mengulang kesalahan yang sama.

Tak pelak lagi untuk bisa menjadi anggota komisi (komisioner) maka perlu lobby kanan-kiri, tarik menarik pengaruh, bagi-bagi tempat dan seterusnya. Kalau mau jujur, sebenarnya tidak semua Komisi berhasil melakukan reformasi di departemen atau lembaga yang diawasinya. Mungkin KPU dan KPK – lah yang dipandang berhasil memberikan sumbangan yang significant. Di luar itu barangkali ada Komisi Yudisial, namun selebihnya seperti ditelan bumi, ada tapi tiada karena tidak kelihatan pengaruhnya. Saya melihat ada semacam upaya untuk terus melestarikan keberadaan komisi-komisi yang pada dasarnya hampir mempunyai padanan dengan lembaga atau departemen negeri dalam soal tugas dan wewenangnya.

Dalam kondisi normal dan seharusnya, lembaga atau departemen negaralah yang mestinya mengurus atau mengerjakan serta bertanggungjawab atas yang dikerjakan oleh komisi tertentu. Komisi pemilihan umum (KPU) mungkin yang layak untuk terus dipertahankan karena fungsinya yang tidak bisa digantikan lembaga atau departemen.

Sementara yang lain seperti Komisi Ombusman yang kerjaannya berjibun, mengurus semua hal yang berkaitan dengan layanan publik, jelas sulit untuk bekerja secara efektif. Sebab urusan seperti itu harusnya menjadi tugas dari semua lembaga dan departemen negara, kalau kemudian dirangkum dalam sebuah komisi, jangankan menyelesaikan persoalan, menulis daftar persoalan saja sudah habis waktu.

 Komisi lain yang punya tugas maha raksasa dengan sumberdaya minimalis, adalah komisi kebebasan informasi publik. Kerja komisi ini akan menabrak dinding tebal dari watak lembaga maupun departemen negara yang gemar menyimpan informasi sendiri dan selalu curiga bahwa orang lain akan memanfaatkan data dari mereka untuk tujuan yang tidak baik. Komisi yang seolah strategis ini pada kenyataannya akan bekerja seperti macan ompong dan bahkan ada kecenderungan kehadiran komisi ini beserta UU yang mendasarinya membuat kecenderungan keterbukaan yang mulai ada kembali ke birokratisasi informasi.

Semoga kehadiran semua komisi-komisi tidak membuat lembaga dan departemen negara lupa bahwa persoalan HAM, Kebebasan Informasi, Layanan Publik, Perlindungan pada anak dan perempuan, pemberantasan korupsi, persaingan yang fair, perlindungan keamanan dll, adalah tugas utama dan pertama mereka. Saya tak ingin mendengar ada yang mengatakan “Lho, kan sudah ada komisi ini dan itu yang mengurusinya”.

Pondok Wiraguna, 7 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (9)

0 komentar

Humor Konyol

Lima belasan tahun lalu saat masih kuliah di Bumi Nyiur Melambai, saya dan beberapa teman kerap mengisi acara internal dengan tampil melawak. Karena saya kenal lagak lagu yang menonton lawakan maka tak terlalu sulit untuk memancing tawa. Lalu pada sebuah kesempatan, ada yang mengundang untuk tampil di hadapan masyarakat umum dalam sebuah festival kebudayaan. Malam itu di tengah udara yang dingin, kami tampil setelah tampilnya Om Kale dan Tante Min, pelawak tersohor di Sulawesi Utara. Sontak saja penampilan kami garing, kalaupun ada yang tertawa, mungkin hanya nyengir kayak kuda bendi yang keberatan membawa beban penumpang. Membuat tawa, orang tersenyum lewat lelucon ternyata bukan soal yang gampang. Butuh tingkat kewarasan dan kecerdasan yang tinggi.

Kalau hanya sekedar tertawa mungkin banyak orang bisa melakukan. Di televise banyak acara yang membuat orang terpingkal-pingkal lewat lelucon yang tak sehat, konyol, jorok alias berlaku ‘stegi’ atau setengah gila. Teriak-teriak kesana kemari, berlagak kayak kesurupan, monyong kanan monyong kiri, seolah-olah lucu. Saya yakin kalau mereka menyaksikan polahnya sendiri barangkali juga malu. Beruntung kemudian ada arus stand up comedy, komedi tunggal yang tentu saja menuntut penampilnya mempersiapkan dengan benar materinya. Dan benar saja ternyata tak banyak yang bisa ‘comic’, tampil dalam stand up secara konsisten dan lucu. Sebagian besar yang tampil mengulang cerita-cerita lucu yang beredar di masyarakat. Sedikit sekali yang mampu menyajikan jalinan cerita yang orisinal dan fresh. Tapi sudahlah, niat melucu dan kemudian tidak lucu toh bisa jadi kelucuan tersendiri. Lucu karena tidak lucu malah bisa bikin sakit perut karena terpingkal-pingkal.

Dan sebenarnya kalau mau jeli, kelucuan tidak selalu muncul dari pelawak atau pelakon-pelakon yang melempar lelucon. Dalam kejadian sehari-hari banyak kelucuan-kelucuan yang kita bisa temui. Politisi misalnya pasti tak berniat membanyol ketika berdebat di gedung dewan perwakilan. Tapi aksi mereka tak kalah lucunya dengan ‘opera van java’. Lihat saja siding paripurna untuk menentukan apakah akan merestui kenaikan BBM atau tidak?. Sungguh-sungguh lucu karena ribut saling bersahutan, ingin bicara lebih banyak, main potong, bahkan ngeluruk sampai depan meja sidang. Dan kelucuan-kelucuan seperti itu bukan sekali dua kali, melainkan sering. Dan melalui televisi lagi-lagi kita bisa menyaksikan kelucuan, banyolan konyol penuh lelucon dalam acara yang bertajuk diskusi public (talkshow).

Mungkin karena talkshow dalam bahasa Indonesia berarti unjuk wicara, maka demikianlah yang terjadi. Acara yang kerap mengangkat tema hukum, malah sering berubah menjadi ajang peradilan, bantah membantah dengan segala argumen yang kemudian kerap bermain di luar wilayah hukum. Maka jika sebuah acara yang dimaksudkan untuk menampilkan daya pikir, intelektual dan professional orang-orang tertentu dalam menyorot masalah tertentu dan kemudian malah berubah menjadi lelucon, ajang ejek mengejek dan menghegemoni orang lain, maka jelas kalau kemudian tingkat kewarasan yang ikut serta bisa dipertanyakan.

Humor, lelucon dalam konteks apapun bukanlah sesuatu yang lahir begitu saja, melainkan ada dalam sebuah proses. Proses dimana kita menangkap realita dalam permainan logika dan bukan sekedar kata-kata kotor atau gerakan konyol. Dalam sebuah humor harus ada logika yang mesti dipertanggungjawabkan, konteks yang disasar, waktu atau timing dan detail yang berjenjang. Barangkali banyak orang lupa bahwa humor bisa mencerdaskan, menyentil perasaan, membuat orang ingat akan teguran dan menemukan makna yang dalam. Humor bukanlah omong kosong dan banyolan konyol belaka.

Gus Dur adalah satu sosok yang mampu menjadikan humor sebagai alat pencerahan dan saya kira sampai hari ini belum ada yang mampu mengantikannya. Pelaku-pelaku humor yang popular hari ini tak lebih dari parade sekumpulan orang kesurupan di kotak kaca.

Pondok Wiraguna, 7 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (8)

0 komentar


Bola Tak Lagi Bundar

Beberapa minggu terakhir ini saya mulai membaca koran lagi setelah lebih dari sebulan, koran yang dilempat oleh loper tertumpuk rapi tanpa dibaca. Nafsu saya untuk membaca koran muncul setelah liga eropa kembali bergulir. Liga eropa memang primadona dalam dunia sepakbola, benua dengan penduduk yang barangkali lebih kecil dari benua-benua lainnya itu dikaruniai kelebihan mengatur sepakbolanya menjadi industri. Industri yang mampu menjadi tolok ukur prestasi sepak bola, dimana pesepakbola dari benua-benua lain belum dianggap berprestasi mondial apabila tidak menunjukkan kiprah hebatnya disana.

Meskipun sepakbola adalah olahraga terpopuler di negeri ini, sayang prestasinya amat minim. Upaya untuk mensejajarkan diri dengan persepakbolaan mondial sudah jauh-jauh dilakukan. Dulu PSSI mengirim pemuda-pemuda untuk belajar sepakbola lewat tim bertajuk garuda, lalu ada juga tim primavera yang belajar di Italia. Yeyen Tumena dan Kurniawan adalah sosok yang lahir dari program itu.  Entah kenapa, figur sepakbola berkwalitas internasional tak juga lahir.

Program itu terus dilanjutkan namun kini fokusnya lebih memilih Amerika Latin sebagai lokasi pembelajaran. Hasilnya, masih perlu di tunggu. Dan rupanya semangat untuk dengan cepat (fast track) mencapai prestasi mondial begitu tinggi hingga ditempuh jalan naturalisasi. Muncullah pemain-pemain keturunan Indonesia dari negeri Eropa. Naturalisasi ini sempat menjadi angin segar, ada kegairahan baru. Irfan Bachdim adalah salah satu pemain yang dielu-elukan. Tapi kini mungkin tak ada lagi yang mengingatnya, atau bahkan ada yang merasa telah salah ikut-ikut mengaguminya dulu. Maklum bukan prestasi di dunia sepak bola yang ditunjukkan olehnya, melainkan justru produktif dalam membintangi iklan dan jadi pembicaraan di Infotaintment.

Sewaktu berjalan dari Waisai Tourism Centre ke kantor Coremap II di Raja Ampat. Teman jalan kaki saat itu yang adalah anak muda Raja Ampat, menunjuk spanduk Irfan Bachdim yang mengiklankan minuman sambil berkata “Kalau 17 Agustusan, kita bisa menemukan banyak orang yang main bola lebih baik dari dia disini”. Saya hanya diam saja tidak menolak dan tak mengamini pernyataannya, tapi saya tahu bahwa dia hendak mengatakan bahwa pemain naturalisasi tak lebih baik dari anak-anak pribumi. Dan soal urusan bola, Papua jangan ditanya. Setiap ada pertandingan pasti kampung sepi, bapak, ibu, nenek, kakek, adik, kakak semua berkumpul di pinggir lapangan menyaksikan.
Ketika negeri-negeri mulai bangkit, dunia persepakbolaan di Indonesia bahkan semakin surut. PSSI sebagai induk organisasi sepakbola terus menerus didera persoalan. PSSI tak mampu mencegah munculnya kompetisi baru yang memunculkan dualisme dalam dunia persepakbolaan di Indonesia. 

Alih-alih menonton pertunjukan dan permainan manis di lapangan, kita malahan dikenyangkan dengan berita silat lidah antar pengurus dan yang merasa lebih berhak jadi pengurus. Dan konon karena yang menjadi ‘Tuhan’ PSSI adalah FIFA maka hanya yang mulia FIFA-lah yang bisa turut campur untuk menyelesaikan masalahnya.

Perkubuan dalam dunia sepakbola Indonesia tidak hanya terjadi di tingkat nasional. Imbasnya justru terjadi sampai ke daerah-daerah. Sebab masing-masing gerbong menarik pengikut atau pendukung yang notabene ada di daerah-daerah. Beruntung supporter atau pecinta sepakbola Indonesia cukup solid, meski sesekali terlepas karena bentrok antar supporter masih terjadi di sana-sini. Karena ada dua kompetisi maka muncul tarik ulur mau ikut yang mana, alhasil ada klub-klub yang terpecah, pengurus saling pecat, atau bahkan satu nama didaftarkan oleh dua kubu.

Diluar semua kekisruhan yang tentu saja menghambat perkembangan dunia sepakbola Indonesia. Semua pihak yang berseteru saling mengklaim diri sebagai orang yang mencintai sepakbola. Bahkan ada yang berani bersumpah andai diiris kulitnya akan keluar butir-butir darah berbola-bola. Tapi aneh bin ajaib semua yang mengaku mencintai bola dan menyerahkan hidupnya untuk bola tak mampu mencari jalan pemecahan. Seakan-akan cinta bola itu hanya terjadi kalau menjadi pengurus atau penguasa PSSI dan klub-klub.

Bagi komunitas GIBOL (gila bola) situasi persepakbolaan yang carut marut berlarat-larat membuat mereka frustasi. Beruntunglah kini stasiun televisi berlomba-lomba menyiarkan liga sepakbola Eropa yang mampu mengobati (untuk sementara) kecintaan dan kerinduan pada prestasi sepakbola Indonesia. Sungguh aneh rasanya, disaat banyak klub-klub luarnegeri menarik simpati para pengila bola Indonesia, justru para petinggi sepakbola Indonesia abai pada perasaan para pendukungnya.

Padahal jika para pendukung bola menyanyikan lagu “Garuda di Dadaku” merinding rasanya, tiba-tiba semangat nasionalisme seakan bangkit. Sepakbola nampaknya menjadi benteng terakhir yang mampu menopang dan memompa semangat nasionalisme. Sayang sekali lagi, semangat ini hanya dianggap lalu hingga menjadi nyanyian semu.

Pastinya klub-klub luar negeri tahu, bahwa bola begitu dicintai di Indonesia, ada peluang besar untuk memberi kanal atas rasa itu. Buktinya jelas karena banyak fans club sepakbola liga eropa tumbuh disini. Bahkan satu club bisa mempunyai dua fans club yang berbeda. Niat untuk menjadi pesepakbola juga besar dan itu juga dilirik oleh club-club eropa dengan berlomba-lomba mendirikan sekolah sepakbola di Indonesia.

Saking sibuknya para pengurus persepakbolaan pada urusannya sendiri, mereka tak lagi punya waktu dan pikiran untuk khawatir terhadap serbuan club-club ke luarnegeri, bahkan malah ikut menikmati mungkin. Kalau sudah begini, benarlah kata orang kalo bola memang tidak bundar.

Pondok Wiraguna, 6 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (7)

0 komentar

Merayakan Perbedaan

Dalam sebuah diskusi, sebut saja seorang tokoh muda yang dikenal produktif dalam menghasilkan buku dengan topik yang tidak banyak digeluti orang lain mengungkapkan keberatan atas premis bahwa konflik di Indonesia dilatarbelakangi oleh perbedaan. Menurutnya perbedaan seharusnya tidak disoal, karena perbedaan itu fitrah. Sampai disini penjelasannya betul, bahwa setiap manusia berbeda dan perbedaan itu bawaan alias alamiah dan kemudian juga dilengkapi dengan perbedaan-perbedaan yang diperoleh karena eksistensinya di dunia. Yang menjadi persoalan justru adalah sikap atau perilaku dalam menghadapi perbedaan. Ada watak dasar manusia untuk menghapus semua perbedaan, melakukan peleburan, persatuan. Seolah dengan bersatu maka akan diperoleh kekuatan besar.

Dari sisi imajiner niat ini bisa diterima namun dalam realitasnya tak mungkin untuk diwujudkan. Bahkan Tuhan yang kita yakini satu dalam fakta ternyata tidak tunggal, terbukti yang meyakini Tuhan yang satu saling berkelahi sendiri, meyakini Tuhannya sebagai yang paling benar. Satu dunia satu pemimpin, Satu dunia satu bangsa dan Satu dunia satu agama misalnya adalah obsesi yang terbukti gagal sepanjang sejarah manusia, namun sampai hari ini masih banyak yang meyakini bahwa itu bisa diwujudkan. Beberapa berjuang untuk berusaha terus mewujudkannya dan perjuangan malah mencerai beraikan, sayang keyakinan yang sudah tertanam di tulang sumsum jadi meski gagal tetap saja pendiriannya tak berubah. Tunjukkan agama mana yang satu di dunia ini?. Sebutannya mungkin satu Kristen misalnya, tapi variannya pasti banyak, demikian juga Budha, Hindu dan juga Islam.

Setiap agama mempunyai aliran-aliran besar, ada mazhab-mazhab utama dan juga tarekat-tarekat tertentu. Belum lagi jika ditambah dengan organisasi yang berbasis agama, pasti agama menjadi lebih berwarna. Dengan demikian meski agama kerap mendiskripsi diri sebagai ‘satu’ dalam kenyataannya ternyata ‘beragam’. Dan sebetulnya keragaman itu tidak bermasalah sepanjang tidak ada kepentingan politik, ekonomi, kultural dan kekuasaan masuk didalamnya. Keragaman adalah keniscayaan namun menjadi persoalan ketika mulai muncul persaingan, memperebutkan pengikut, pengaruh dan sebagainya.

Dan disitulah mulai muncul intoleransi atas keberagaman. Semangat untuk menjadi satu adalah semangat klaim dan tafsir sepihak. Kerap kita tidak sadar bahwa teologi atau ajaran iman lahir dalam konteks baik budaya maupun politik tertentu. Dan konteks itu tak mungkin atau mustahil bisa diterapkan dimanapun. Adalah simplifikasi kalau sebuah kelompok menuduh kelompok lain sesat dan kemudian meminta yang sesat meninggalkan keyakinan. Tentu tidak semudah itu, coba saja permintaan itu dibalik, bersediakah kita dengan serta merta merubah keyakinan?. Perubahan keyakinan bukan semata soal teologi, ada banyak soal lain terkait didalamnya. Saya ingat sebuah peringatan yang diberikan oleh dosen sewaktu kuliah dulu, contradiction in actu.

Kita kerap jatuh dalam laku yang berlawanan, mau menyatukan tapi membeda-bedakan misalnya. Mau melahirkan dunia yang lebih baik tapi dengan pemaksaan, kekerasan, terror yang justru membuat warga atau masyarakat menjadi tidak nyaman. Ketika semua agama mengajarkan ‘tidak boleh ada paksaan’, kenapa kita harus melarang ini dan itu pada orang lain sehingga tidak bisa menjalankan kepercayaannya.

Bukankah hambatan-hambatan itu secara tidak langsung adalah untuk membuat orang tidak nyaman dalam kepercayaannya hingga kemudian putus asa dan mungkin mengalah sehingga masuk dalam sistem kepercayaan kita?. Kita hampir tidak pernah belajar bahkan dari diri kita sendiri yang punya slogan berbangsa “Bhineka Tunggal Ika”, slogan yang mirip dengan USA yang bunyinya “Pluribus Ut Unum”. Di jaman Sukarno dan Suharto tekanannya pada Persatuan, Ika dan cenderung memberangus Bhineka, hasilnya adalah resistensi masyarakat.

Orang merasa terpaksa melakukan sesuatu, seperti took-toko harus dinamai dengan bahasa Indonesia, hasilnya Swett jadi Suwit, aneh dan tak jelas maknanya. Atau nama-nama yang berbau Thionghoa harus diganti menjadi nama Indonesia. Hingga lucu, teman-teman saya yang berwajah Chen Lung bernama Gunawan, Mulyadi, Suryadi dan Sri Mulyani serta Evy Setyowati. Persatuan memang penting tapi bukanlah menjadi satu saja. Persatuan yang hakiki justru terjadi karena kita menerima perbedaan dengan kesadaran akan pentingnya kerjasama antar yang berbeda demi kepentingan bersama.

Persatuan bukan peleburan yang justru akan berakhir dengan hasil yang semu. Adalah salah memang melihat perbedaan sebagai sumber perpecahan, sebab dunia, ekosistem kita justru membuktikan bahwa perbedaan, berbagai macam unsur justru bekerja saling bahu membahu, mengisi dan membuat bumi bisa ditinggali. Apa indahnya hutan Papua jika isinya hanya pohon merbau, apa uniknya hutan Kalimantan jika hanya Ulin saja pepohonannya. Maka mari rayakan perbedaan.

Pondok Wiraguna, 5 September 2012
 @yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (6)

0 komentar


Tanah Kubur

Ketika masih duduk di bangku SMP, salah satu tempat nongkrong favorit saya bersama teman-teman adalah kuburan katolik yang biasa disebut Kerkop. Kebetulan kubur itu terletak masih di dalam kota, persis di belakang Lembaga Permasyarakat sehingga sepi. Kerkop ideal untuk nongkrong karena kubur-kuburan memakai cungkup, batu nisan dibeton, enak untuk tidur-tiduran sambil menikmati semilir angin yang meniup pepohonan pinus dan cemara yang tinggi-tinggi. Di kuburan inilah saya dan teman-teman mulai belajar merokok dengan aman. Sesekali juga berekperimen dengan dedaunan yang konon memabukkan yaitu kecubung dan sebagainya.

Kini kerkop telah pindah jauh keluar kota dan entah apakah anak-anak seumur saya dulu masih mengikuti kelakuan konyol generasi saya dulu. Sepertinya tidak lagi karena kini kuburan sudah dijaga atau dimanajemeni layaknya sebuah badan usaha. Bisnis kuburan saat ini adalah salah satu bisnis yang profitable walau masuk dalam kategori bisnis ceruk, atau celahnya tipis tapi konsumennya jelas dan loyal.

Salah satu yang populer adalah San Diego Hill, nama yang biasanya disebut-sebut saat ada berita kematian orang-orang populer dan kaya. Ya, San Diego Hill adalah kompleks pekuburan elit, ya harganya makin mendekati bukit makin mahal. Di kompleks kuburan ini tak hanya ada nisan melainkan juga restoran, ruang pertemuan bahkan hotel yang dilengkapi dengan kolam renang. Kalau dibanding-bandingkan jangan-jangan kompleks perumahan rakyat lebih menyeramkan dari kuburan ini.

Sebagai sebuah usaha yang menawarkan jasa tentu saja pasti punya pemasar atau marketing. Bayangkan bagaimana para sales memasarkan blok atau kavling kuburnya?. Apakah mereka pergi ke rumah sakit-rumah sakit ternama, melihat pasien-pasien yang tengah sekarat dan kemudian memberikan brosur pada keluarganya. Dijamin pasti digebuki.

Atau mereka pergi ke rumah yang ada anggota keluarganya baru meninggal dan kemudian bertanya apakah sudah punya tanah untuk mengubur atau belum. Rasanya juga sulit dan butuh keberanian tersendiri. Pasti orang bakal kaget kalau ditanya sudah punya tanah untuk pemakaman, karena kalau ditanya orang yang masih hidup bakal dianggap doa agar cepat mati.

Tapi kemungkinan salesnya tak akan seagresif itu mengingat sekarang ini, banyak orang mati tidak tenang, karena kubur-kubur terancam digusur. Dipindah karena tanahnya dijadikan mall atau bangunan hotel. Maka banyak orang mulai sedia payung sebelum hujan dalam urusan kubur. Memesan lebih dulu di lokasi-lokasi yang bisa dipercaya, lokasi yang kecil kemungkinanannya jenasah ditumpuk, hingga susah diziarahi.

Bangsa kita adalah bangsa yang hormat pada keluarga meski sudah menjadi jasad sekalipun. Maka untuk yang matipun tetap yang terbaik yang akan diberikan. Kematian tidak membuat orang yang kita cintai hilang, mati hanya bentuk perpindahan dari alam dunia ke alam baka. Tak heran jika kubur tetap dijaga dan dipelihara sebagaimana layaknya orang yang berada di dalam masih hidup dan mengerti apa perlakuan kita.

Perilaku seperti ini membuka peluang tumbuh dan lestarinya bisnis di seputar kematian dan pekuburan. Area pekuburan adalah ladang penghidupan bagi banyak orang. Di kubur-kubur besar banyak orang mengantungkan hidup, entah sebagai penggali makam, pembersih kubur, penjaga kubur dan sebagainya. Sebagai lokasi yang basah, tak heran muncul mafia-mafia kubur, yang tidak mengijinkan orang luar terlibat di dalam lokasi kuburan itu selain datang mengantar jasad untuk dikubur atau diziarahi. Urusan lain diluar itu harus diserahkan kepada ‘orang dalam’ yang berarti bayar dan terima beres.

Jadi silahkan bangun sendiri nisan tanpa memakai jasa ‘mafia kubur’. Janganlah menyesal kalau besok-besok tiba-tiba nisannya terbongkar seolah-olah yang dikubur didalamnya bangkit.

Pondok Wiraguna, 6 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (5)

Rabu, 05 September 2012 0 komentar

Mohon Ampun atas Resistensi dan Kekebalan Kita

Dalam dunia medis modern, berkaitan dengan pemberian obat dikenal istilah imun atau kebal. Pemberian obat yang tidak tepat dan tidak tuntas justru membuat virus atau bakteri penyebab penyakit dalam diri kita menjadi resistant atau mampu menolak khasiat pembunuh dari obat. Virus tidak mati alias kebal terhadap racun (obat) yang ditujukan olehnya. Obat-obat antibiotic yang diberikan oleh dokter biasanya disertai anjuran (perintah) untuk diberikan sampai habis.

Persoalannya, kebanyakan dari kita jika diberi obat maka begitu gejala hilang, pemberian obatpun dihentikan. Belum lagi kebanyakan dari kita juga mengobati diri sendiri dengan membeli obat-obat bebas. Pilihannya bisa berdasar anjuran teman maupun iklan yang gencar di berbagai media. Soal penyakit, kita memang kelewat berani yaitu menyimpulkan bahwa kita menderita ini atau itu hanya dari gejala yang kita lihat atau rasakan. Padahal pendekatan seperti itu kemungkinan besar akan menghasilkan salah diagnose, sebab gejala penyakit tidak tunggal dan satu gejala tidak hanya merujuk pada penyakit tertentu. Belum lagi faktanya sekarang banyak penyakit tidak menunjukkan gejala atau asymtompmatik. Cara kita menghadapi penyakit ternyata juga merupakan representasi dari kita menghadapi persoalan (penyakit) bangsa ini.

Persoalan bangsa ini entah seperti kemiskinan, korupsi, rendahnya tingkat kesejahteraan, kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang tidak berpihak pada rakyat dan sebagainya didekati dengan pendekatan ala membeli ‘obat bebas’ di warung-warung. Kita kerap membaca persoalan dan kemudian memutuskan jalan keluar dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi tapi keliru. Contohnya soal kinerja DPR yang buruk justru dihadapi dengan rumusan tata tertib yang didalamnya termasuk melarang pemakaian rok mini di DPR. Nah, apa coba hubungannya?. Penyempurnaan aturan, UU baru, Perda, Perdes, Pergub, Inpres, PP, Permen dan lain sebagainya jumlahnya ribuan dan sulit untuk dihafalkan. Ibarat daftar obat, semua itu bisa dipakai sesuka hati oleh mereka yang ‘mendiagnosis’ persoalan. Padahal kita tahu, imunnitas kita pada peraturan itu tinggi, akal, pikiran dan nalar kita sudah resistant pada aturan dan perundangan.

Tenggoklah kasus rebutan penyidikan kasus korupsi simulator SIM antara KPK dan POLRI, yang dibawa kearah sengketa kewenangan. Bukankah yang jadi patokan bukan undang-undang melainkan MOU antara Polisi, Jaksa dan KPK?. Peristiwa salah obat, yang entah disengaja atau tidak membuat kebanyakan masalah tak selesai secara tuntas. Kembali berulang dengan modus atau peristiwa yang lain. Maka muncullah kasus Cicak vs Buaya part 1, part 2, part 3 dan seterusnya. Serial persoalan yang berulang itu membuktikan bahwa penyakit kita sudah kronis dan sulit disembuhkan. Ruang media kita dipenuhi berita yang menunjukkan bahwa kita sudah kebal (resistant) atau bahkan bebal. Virus sedemikian kuat menguasai hingga tak bisa dibedakan lagi apakah masih sebagai penyakit apa tidak.

Soal korupsi misalnya, nampak sebagian sudah menerima sebagai kewajaran. Maka tak heran jika ada yang mengatakan korupsi sudah menjadi budaya, karena berulang dan bertahan lama atau sudah jadi habitus. Okelah sebagai terminology mungkin penyebutan korupsi sebagai budaya bisa diperdebatkan, tapi sebagai sebuah refleksi rasanya benar adanya. Kalau cuma sekedar kritik, himbauan, pakta, sumpah, dakwaan bahkan tangis dan jeritan masyarakat, semua nampaknya berlalu begitu saja. Lihatlah dalam satu talk show yang popular yaitu ILC di TV One, dengan mudah kita menemukan gejala kematian akal sehat dari para pihak yang paling berkaitan dengan persoalan yang dibahas.

Hampir tak pernah ditemukan telaah atas akar masalah dan jalan keluar yang sesungguhnya atas persoalan yang dibincang. Dan tak semua yang seharusnya turut menyelesaikan persoalan mau bergerak, sebagian malah mau bertahan jadi virus yang turut merusak. Jujur saja, setiap kali menonton acara ILC, apa yang tersaji mampu mendorong saya untuk berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa. “Ya, Tuhan ampunilah dosa dan khilaf mereka”. Tak lupa saya juga memohon ampun kepada Yang Maha Kuasa untuk Gubernur Kalimantan Timur dan Walikota Samarinda. Sebagai hamba sahaya saya mohon ampun atas kenyataan bahwa begitu di guyur hujan satu jam, jalanan di kota ini tiba-tiba berubah menjadi alur air berarus, mirip wahana di water park.

Saya mohon ampun juga kepada para pengguna jalan di ruas tertentu, dimana pada malam hari berubah menjadi arena sirkuit balap. Anak-anak muda mengendarai dan memacu kendaraan dengan tingkat sopan santun paling rendah. Adakah anak-anak yang mirip Stoner, Lorenzo, Pedrosa dan Rossi ini adalah pemberani, hingga berani menjadikan ruas jalan di samping rumah pribadi Wakil Walikota Samarinda sebagai arena balap. Atau mereka adalah anak-anak yang tidak dididik untuk hormat oleh orang tua mereka. Apa mereka bukan anak-anak yang besok tak bersekolah untuk menuntut ilmu?. Bukan seperti itu rasanya, bocah-bocah itu jelas bukan monster, mereka adalah korban dari kerja produsen motor dan antek-anteknya yang mengobral kredit luar biasa.

Dan berlawanan dengan malam hari, jalanan bakal susah dilalui. Butuh kesabaran untuk turut menjadi ulat bulu, merambat pelan menyusuri jalan meski didera panas dan lapar. Dan lagi-lagi saya harus memohon ampun, apabila di kemacetan jalan ada saja yang kurang sabra. Gemar membunyikan klakson yang sebetulnya tak bermana apa-apa selain mengurangi stroom accu dan membuat jantung berpacu cepat karena terkaget. Belum lagi ulah mereka yang sungguh-sungguh tak tahan, main potong sembarang, bahkan kalau perlu menaiki trotoar karena tak mau mengantri. Terakhir tentu saja saya mau mohon ampun pada Tuhan Yang Maha Penyayang, karena doa saya hanya berisi permohonan ampun melulu, saya jarang bersyukur. Kalau boleh memberi alasan bagaimana saya mau bersyukur kalau setiap hari melalui tayangan televisi tersaji berita kekerasan yang tak masuk diakal.

Kebakaran dan pengusuran yang membuat orang menangis pedih teriris. Petaka lain yang terus menerus terjadi, silih berganti dan menimpa orang-orang kecil. Apakah saya harus bersyukur, jika acara nyanyi-nyanyi di televisi disajikan oleh pembawa acara dengan kelakuan tidak jelas. Gemar mengumbar cela dan tertawa-tiwi karena ulah konyol plus tolol. Belum lagi langgam lagu dan lagak yang menyanyi, bisa bikin hati buram, karena merancukan antara fakta dan fiksi. Adakah mereka sungguh-sungguh bernyanyi atau hanya sekedar menjadi sekrup dalam realitas industry hiburan negeri ini. Rasanya memang tak mungkin menunggu Tuhan bersuara “Tiada ampun bagimu”, sebab Tuhan Maha Pengampun lagi Penyayang. Biarpun adab negeri ini berkembang buruk berlarat-larat. Kepalsuan dimana-mana bahkan ditolerir dengan istilah KW 1, KW 2, KW 3 dan seterusnya.

Keterbukaan, akses informasi yang semakin besar, dan segala macam ‘e’ mulai dari e-gov, e-edu, e-proc dan seterusnya tak selalu menghasilkan kejujuran. Keterbukaan data dan informasi bahkan bisa menyembunyikan pengetahuan yang terpenting yaitu kepentingan kelompok tertentu. Terakhir sekali, saya akan memohon ampun, bahwa saya tak lagi bisa mengampuni.Mengampuni perilaku para pemimpin dan elit dinegeri ini. Mereka yang resistant dan imun pada suara rakyat, hukum dan peraturan. Berjanji tak menepati tapi tak merasa berbohong. Tak malu ketika menjadi tersangka bahkan terus bertahan meski statusnya tidak juga dicabut atau diteruskan. Dan lagi-lagi serta lagi terus memelihara nafsu berkuasa yang mencemaskan. Tak mau berhenti dan meminta maaf karena gagal memenuhi amanah suara rakyat.

Ampuni saya, apabila mereka kembali mencalonkan diri, maka saya tak sudi memberikan suara. Jangankan jadi Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota atau Anggota Dewan, jadi Ketua RT di kampung saya saja, saya tidak bakalan sudi. Semoga Tuhan mengampuni saya, hamba sahaya yang tidak pengampun.

Pondok Wiraguna, 5 September 2012 @yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (4)

0 komentar

BIBIT dan VIRUS KORUPSI

Seorang bupati akan ditangkap KPK, lalu pendukungnya melawan seperti hendak mempertahankan negara dari serbuan Belanda. Parang, linggis, pentungan dan lain-lain diangkat. Episode akhirnya sang Bupati berhasil dibekuk, diborgol seperti maling ayam yang kecebur got dan dibawa ke Jakarta dengan pesawat komersil. Usut punya usut, langkahnya ke kursi Bupati ternyata disokong oleh pengusaha tersohor yang juga petinggi dari partai politik utama di negeri ini. Sang pengusaha tersohor ternyata juga pemimpin tertinggi dari sebuah organisasi keagamaan. Luar biasa, seorang ‘awam’ bisa memimpin sebuah organisasi keagamaan. Kisah ini adalah salah satu dari ribuan lelucon pahit dengan latar pertautan antara kekuasaan, agama (moral) dan uang. Disebut lelucon pahit karena peristiwa-peristiwa yang nampaknya mustahil terus saja terjadi di negeri ini. Bayangkan saja, untuk pengadaan kitab suci ternyata juga tak lepas dari korupsi.

Dan bagaimana mungkin seorang pegawai rendahan mempunyai puluhan rekening yang nilainya milyard-an rupiah. Apa penjelasan itu ini semua?. Tenang di bumi Indonesia tercinta, selalu saja ada penjelasan bahkan untuk peristiwa teraneh sekalipun. Di negeri ini tersedia banyak cerdik pandai, pembela, supporter sampai peneliti yang mampu memberikan penjelasan secara rasional, meski di balik itu kita tahu banyak tidak benarnya. Tapi apa yang kita bisa buat, mau mendebat?. Paling akhirnya jadi debat kusir, melebar kemana-mana dan berakhir dengan cilukba atau hompipa saja soal siapa yang salah dan siapa yang benar. Rasanya kalau kita mencermati setiap kejadian, mendalami dan memikirkanya, saya jamin otak kita bakal meledak. Seseorang yang paling jeniuspun tak akan mampu mengurai dengan jelas dan cukup persoalan negeri ini.

Belum lagi kalau menelisik bagaimana cara pemerintah dan pihak-pihak yang terkait memecahkan persoalan. Pasti otaknya bakal lumer lantaran putus asa. Coba saja, deforestasi dihadapi dengan ‘Gerakan Menanam Semilyards Pohon’, nah apa hubungannya pohon yang ditanam di pinggir jalan atau bahkan di trotoar kota dengan hutan yang ada jauh di pedalaman sana. Penanaman pohon yang dilakukan oleh ‘orang kota’ yang pingin dianggap pro-lingkungan jelas bukan jawaban atas laju pengurangan luas hutan yang mencapai kecepatan ‘rekor dunia’.

Dalam sebuah kesempatan, saat duduk-dudk dengan teman bertukar ‘liur’ di warung kopi, ada seseorang mengungkapkan tanya “Andai mungkin, seumpamanya para nabi dihadirkan bersama di negeri ini, akankah mereka mampu memperbaiki kerusakan negeri ini?”. Ada yang malas menanggapi pertanyaan itu dengan menjawab, “Ya, kalau cuma andai-andai untuk apa?. Bukankah Opie Andaresta pernah menyanyikan lagu andai-andai juga yang pasti kini kamu sudah lupa”. Semuanya nampaknya menyatakan tidak mungkin, bahkan ada yang mengatakan “Saya jamin, kalau Yesus datang dan terlahir kembali disini, sebelum umur 30 tahun pasti sudah disalib”.

Dalam urusan karir, pengembangan ekonomi dan pencapaian diri, saya yakin banyak orang begitu optimis, bahkan over optimis. Saking optimisnya bahkan menjadi tidak awas, sehingga banyak orang tertipu investasi bodong lantaran terlalu bersemangat memperoleh pendapatan. Dan yang menyemangati, tentu saja dengan bayaran juga banyak. Ada sederet motivator yang siap memompa semangat dan mimpi untuk hidup lebih baik (yang diterjemahkan sebagai kaya). Tapi coba untuk urusan perbaikan pelayanan public, siapa yang memompakan semangat para pelaksana juga masyarakat penerima manfaat?. Tidak banyak, bahkan yang tercium justru aroma pesismistik bahkan sinis.

Masihlah untung jika ada yang meragukan (skeptis), sebab artinya masih ada yang menimbang-nimbang dan mengkaji kebijakan. Tapi kebanyakan justru langsung tidak percaya. Salah satu amanah reformasi adalah keterbukaan, akuntabilitas yang menuntut kesesuaian antara omongan dan tindakan. Integritas begitu kata kuncinya dan sayangnya tuntutan itu ditanggapi dengan aksi penandatanganan pakta integritas. Seolah-olah kalau sudah menandatangani, sim salabim abracadabra, orang itu jadi berintegritas.

Nah, giliran disoal integritasnya, lantaran ngomong mencla-mencle, eh, kembali ngeles berkelit selicin belut disiram oli. Saya dan juga kebanyakan orang, rasanya susah untuk mempercayai ucapan para petinggi negeri, penguasa wilayah, elit baik partai maupun organisasi politik kemasyarakatan sekalipun. Sebab sebagian besar tak mempunyai rekam jejak yang bisa membuktikan bahwa ucapan-ucapannya patut dipercaya. Contoh kata, soal pemberantasan korupsi. Rasanya semua elemen negeri ini hanya menyerahkan pemberantasan korupsi pada UU, Rencana Aksi Percepatan

Pemberantasan Korupsi namun tidak pada kelakuan mereka sendiri. Coba berapa persen pejabat yang dengan sukarela melaporkan kekayaan termasuk bagaimana cara mereka memperoleh kekayaan itu. Di luar para pejabat, dengan mudah kita juga bisa melihat sosok-sosok tertentu yang tak jelas apa pekerjaannya tapi uang dan kekayaannya bertumpuk-tumpuk, entah darimana. Saya tidak yakin kalau kekayaan itu datang dari Tuyul yang dipeliharanya, atau malam-malam dia berubah jadi Babi Ngepet yang nyedot kekayaan orang lain. Sebab orang-orang itu kalau ditelisik pasti dekat atau punya hubungan entah dengan tokoh pemerintahan, partai politik dan pengusaha hitam.

Secara teori, jika kita mengalami kebuntuan, maka untuk melakukan perubahan harus ada sebuah lompatan, break throught. Atau dalam bahasa dan pengalaman religious para nabi dulu adalah hijrah, berpindah dari satu kondisi buruk ke kondisi yang lebih baik. Nah, dalam kondisi sekarang ini kita mau melompat atau hijrah kemana?. Berkali-kali para pembuat kebijakan entah yang ada di lembaga perwakilan maupun lembaga pemerintahan ‘berhijrah’ hingga sampai ujung dunia, untuk belajar dari pemerintah atau masyarakat di dunia luar sana, namun entah apa hasilnya. Indonesia bukan Brazil, bukan juga Afrika Selatan, Amerika Serikat dan Belanda, apalagi Cina dan Arab meski banyak keturunannya beranak pinak di sini. Yang lazim terjadi justru ketika ada persoalan, para pesohorlah yang mulai ‘hijrah’ dengan lari dan bersembunyi entah dimana. Atau ketika kita memilih menyelesaikan persoalan dengan ekstrim, misalnya jadi ‘teroris’ maka kitapun akan berhijrah dengan ‘mati’ karena bom bunuh diri atau ditembak oleh densus 88. Jadi, apa yang bisa kita lakukan?. Saya juga tidak tahu.

Awalnya saya mengesampingkan semua harapan dan mimpi saya, biarlah itu jadi cita-cita dan harapan anak saya. Tapi apa daya, ketika mulai sekolah, justru pengetahuan yang paling cepat berkembang adalah uang. Karena sekolah anak saya jadi tahu bahwa uang jajan itu penting, bukan hanya untuk membeli makanan di kantin, tapi juga memperoleh banyak teman apabila rajin membagi dengan teman-temannya. Berapapun yang dibawa selalu saja habis. Dan sialnya, bukan hanya ke sekolah saja, saat mau main ke rumah sebelahpun juga meminta uang jajan.

Aneh bin ajaib, saya menyekolahkan anak saya karena agar dia bisa belajar membaca dan menulis juga berhitung. Tapi belum lama bersekolah malah membawa brosur les dan kursus yang dibagi di sekolah. Les dan kursus yang bertujuan untuk memacu anak bisa membaca, menulis dan berhitung dengan tingkat hafalan yang tinggi, entah mengerti apa tidak itu tak penting. Lalu apa tugas guru disekolah, kalau mengajurkan anak-anak didiknya dijejali hafalan bukan pengertian. Tujuan hafalan jelas, agar jika nanti ulangan atau ujian bisa menjawab pertanyaan dengan benar. Seolah kalau murid-murid nilainya bagus, maka guru dan sekolah berhasil mendidik murid-muridnya.

Belum juga enam bulan anak saya sekolah, saya sudah menangkap pendidikan kita tidak mengajarkan hal-hal immaterial. Pendidikan kita lebih memfokuskan pada pencapaian material yang bagi saya tidak lebih dan tidak bukan, sadar atau tidak, pendidikan kita hari ini telah menanamkan bibit korupsi dan kolusi sejak dini.

Pondok Wiraguna, 5 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (3)

0 komentar


Pesut Tak Lagi Di Mahakam

Ketika liburan kenaikan kelas, biasanya saya pergi berlibur ke rumah nenek. Hampir seluruh waktu libur akan saya habiskan disana. Dan kebetulan rumah kakak dan adik, bapak saya tidak terlalu berjauhan dengan rumah nenek. Dengan demikian saya juga bisa berkunjung dan bermalam di rumah pak lik – bu lik dan pak de – bu de. 

Saat mengunjungi rumah kakak tertua bapak, saya menemukan sesuatu yang baru di halaman rumahnya. Ternyata halaman rumah yang tadinya berhias kandang ayam hutan, telah bertambah dengan hiasan baru. Di halaman rumah Pak De, berdiri dengan gagah, sosok patung kambing jantan. Kambing jantan besar dan gagah seperti yang dipatungkan, bukanlah sosok yang asing buat saya. Kambing model begitu adalah kambing PE atau peranakan etawa. Jenis kambing yang banyak dipelihara di kecamatan Kaligesing, kabupaten Purworejo, tanah kelahiran bapak saya.

Pak De membuat patung kambing di halaman rumah bukan untuk gaya-gayaan. Sebab, ternyata kambing yang dipatungkan adalah kambing juara. Kambing yang membuat Pak De memperoleh penghargaan upakarti, penghargaan yang bergengsi di jaman pemerintahan orde baru karena akan diserahkan langsung oleh presiden waktu itu yaitu Presiden Suharto. Di jaman itu, jika di ruang tamu terpasang foto bersama presiden Suharto bakal membuat para tamu segan. Begitu melihat foto itu Pak RT yang datang untuk menagih iuran kampung bisa jadi bakal urung menagih dan berbalik jadi silaturahmi serta mengucap puja-puji karena berhasil bertemu presiden.

Membuat patung untuk menjadi tanda peringatan akan sebuah prestasi adalah kebiasaan yang jamak. Pak De dengan patung kambingnya hanyalah contoh kecil saja. Kalo kita punya kesempatan berkeliling ke berbagai daerah di nusantara, pasti di berbagai tempat strategis bakal menemui entah itu patung sapi, kerbau, kuda, orang hutan, beruang madu, ikan, kura-kura, badak dan sebagainya. Tentu patung-patung itu dibuat dan dipasang bukan tanpa makna. Patung adalah penanda dan juga identitas entah dari wilayah atau masyarakat di daerah itu. 

Apa yang mau ditunjukkan lewat patung itu barangkali adalah prestasi, bahwa daerah itu adalah penghasil ternak (sapi, kerbau, kambing atau ayam) yang tersohor. Atau barangkali merupakan penanda kekhasan, satwa yang dipatungkan adalah satwa endemik daerah itu yang tidak dipunyai atau sulit ditemukan di daerah lainnya. Harapannya begitu melihat patung Tarsius Spectrum (Tangkasi) maka orang akan ingat Sulawesi Utara, atau ketika melihat patung Macan Dahan maka orang akan teringat dengan Kutai Barat. 

Dan ketika saya pertama datang ke Samarinda tahun 2001, lalu menyempatkan diri berfoto di tepian sungai Mahakam, yang membuat saya kagum karena lebarnya, tak sengaja mata menatap patung Pesut yang bentuknya sudah kusut. Pesut, dulu saya menyangka sama dengan lumba-lumba hidup di laut. Tapi ternyata tidak, seperti yang dikatakan oleh pemandu pertunjukkan pesut di Taman Impian Jaya Ancol, tempat saya piknik waktu SMP dulu yang mengatakan bahwa pesut adalah binatang air tawar. Barangkali pesut yang saya tonton di Ancol dulu kakek neneknya berasal dari sungai Mahakam ini. 

Pesut pasti termasuk satwa penting di Kalimantan Timur, terbukti patungnya diletakkan di seberang depan kantor Gubernur. Ada juga LSM yang memakai nama Pesut, dan menjelang pemilu 2004, saya sendiri pernah terlibat ikut ramai-ramai dalam koalisi LSM Pesut Mahakam. Memang urusannya bukan soal pesut melainkan pendidikan politik untuk akar rumput. Dinamai Pesut Mahakam mungkin sebagai penghargaan atas Pesut sebagai satwa kebanggaan Kalimantan Timur. 

Sayangnya patung adalah penanda yang tidak menghadirkan. Sebagai ekpresi kebanggaan, memang iya, tapi tidak dengan sendirinya keberadaan patung itu adalah bukti kebanggaan tetap dan selalu terjaga. Toh Pesut di sungai Mahakam itu kini antara ada dan tiada. Sebagaimana patungnya yang tidak terpelihara, habitat alamiahnyapun tidak terjaga. 

Dua tahun lalu, saya sempat mampir ke rumah Pak De saya setelah lebih dari duapuluh tahun tak berkunjung ke sana. Lingkungan di desa itu telah berubah, penanda-penanda yang saya ingat sudah sirna. Dan patung kambing yang berdiri di depan halaman rumahlah yang menyelamatkan saya dari kebingungan. Patungnya masih sama, terawat dan tetap gagah. Pak De pun bercerita bahwa kini Kaligesing semakin termashsyur sebagai penghasil kambing PE terbaik. Pasar hewannya yang seminggu sekali semakin ramai dikunjungi para pembeli dari kabupaten-kabupaten lain. Konon, salah seorang saudara jauh saya, bahkan telah rutin mengirim kambing PE hingga sampai ke Malaysia.

Cerita di balik patung Kambing dan Pesut ternyata berbeda, sama-sama patung tapi beda nasib. Pak De terus memelihara patung kebanggaannya meski kambing aslinya telah tiada. Apa yang dibanggakan dan terus dijaga ternyata berkembang dan semakin membanggakan. Sementara patung Pesut yang berdiri di depan kantor pemerintahan dari salah satu propinsi terkaya di Indonesia justru merana. Barangkali tak banyak yang menenggok dan tahu kalau ada patung itu disitu. 

Adalah nasib binatang atau satwa langka di Indonesia selalu sama saja. Dibanggakan, diceritakan kepada orang luar tapi tak dipedulikan. Nama dan ujudnya kembali diperbincangkan saat menjelang lomba pemilihan ikon atau maskot untuk event-event tertentu saja. Nampaknya anak saya, yang lahir di bumi Pesut ini kembali akan bernasib sama dengan saya yakni melihat wujud Pesut hidup di Taman Impian Jaya Ancol. Entah kebetulan atau tidak, kini impian anak saya pada saat liburan adalah pergi ke Ancol yang begitu gencar diiklankan menjelang hari raya Idul Fitri lalu. 

Kapankah kita kembali bisa melihat Pesut di Mahakam bukan di tepian yang kusam?. 

Pondok Wiraguna, 4 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (2)

0 komentar

Mencipta Rekor Lewat Kuliner

Siapa yang tak butuh prestasi?. Rasanya tak banyak yang berani menjawab dirinya tak butuh prestasi. Prestasi atas salah satu cara merupakan bahan bakar yang mampu memompa semangat seseorang untuk menjalankan hidup dan kehidupannya dengan benar. Ada banyak ukuran bahwa seseorang disebut sebagai berprestasi atau tidak. Namun di ruang publik, ukuran prestasi semakin lama semakin tinggi. Standar yang dituntut semakin berat karena kemajuan jaman telah mencapai kecepatan yang luar biasa. 

Demam untuk mencipta rekor dengan jeli ditangkap oleh Jaya Suprana lewat MURI (museum rekor Indonesia). Pasti Pak Jaya sadar betul, bakal sedikit sekali orang Indonesia yang akan mencatatkan dirinya di Guinnes World Records. Maka perlu dicari wadah lain yang paling sejenis walau cakupannya ada di wilayah nasional.  Dan kehadiran MURI ternyata disambut baik, berbagai macam rekor lahir atau dicatatkan. Muncul kebanggaan-kebanggaan baru baik bagi seseorang, kelompok maupun daerah karena namanya dicatatkan dalam piagam rekor MURI. 

Tanpa bermaksud untuk mengecilkan makna rekor yang pada dasarnya selalu luar biasa, sebenarnya ada dalam diri saya muncul sedikit pertanyaan. Apakah benar peristiwa-peristiwa yang dicatatkan di musium rekor Indonesia itu pantas disebut rekor karena pencapaian tertentu. Yang agak aneh bagi saya adalah catatan-catatan rekor yang berkaitan dengan makanan. Ada rekor barisan tumpeng terpanjang, sate terpanjang, lemang terpanjang, makan durian terbanyak dan lain sebagainya. Bukan apa-apa, kalau ada nasi tumpeng sebesar stupa candi Borubudur ya wajar kalau kita berdecak kagum, tapi kalau jajaran tumpeng biasa lalu ditata atau diarak sepanjang satu kilometer, ya sebetulnya biasa saja, tak ada hebat-hebatnya. 

Tapi ya sudahlah, barangkali kita memang rindu akan sebuah prestasi. Karena bulutangkis keok, sepakbola amburadul, pemerintahan kacau, suap disana sini, maka perlu stimulus lain agar masyarakat tak frustasi. Disitulah pentingnya ada kebanggaan dan syukur-syukur dianggap sebagai prestasi bersama. Prestasi tentu saja tak mudah untuk diciptakan dalam waktu sesaat, tapi toh banyak orang tak kehilangan akal dengan cara memanfaatkan apa yang sudah ada. Setiap daerah selalu (merasa) mempunyai makanan yang khas. Ini yang kemudian dimanfaatkan untuk menciptakan rekor, menorehkan prestasi dan pengakuan dengan selembar piagam dari MURI.

Kuliner sekarang ini memang sedang naik daun. Acara masak memasak di televisi sudah lama ada, namun Bondan Mak Nyus yang barangkali membuat acara makan makan menjadi populer. Rasanya makanan apa saja jika disajikan oleh Pak Bondan, rasanya bakal mak nyus, kerasa di lidah dan membekas di hati. Popularitas Mak Nyus membuat acara kuliner di televisi mencapai rekor tersendiri. Kalau dulu acara kuliner TV hanya tayang di hari minggu atau hari libur, kini mulai dari pagi hingga malam hari, acara kuliner susul menyusul. Ada yang dipadu dengan berita pagi, musik, talkshow dan bahkan liputan hangat didunia hinggar binggar malam hari. 

Selain dunia IT, Gadget dan musik, dunia kuliner adalah salah satu yang dengan sangat pesat berkembang di Indonesia. Kalau dulu Rica-Rica hanya populer di Manado, kini bahkan di kota kelahiran saya Purworejo, menu rica-rica tertulis besar-besar di kain pembatas kios atau warung makan. Kalau di tanah asal rica-rica, masakannya berbahan daging ayam, ikan, babi dan anjing, kini bahkan di Samarinda bisa ditemui bakso rica-rica.

Entah angin apa yang tiba-tiba membuat pencinta kuliner doyan yang serba pedas-pedas. Selain rica-rica muncul juga oseng-oseng mercon, bebek super pedas dan lain sebagainya. Masakan yang bisa membuat rambut berdiri dan mata meleleh saat mencicipinya. 

Gairah dalam dunia kuliner memunculkan istilah wisata kuliner. Entah apa maksudnya, saya sendiri tak begitu paham dengan sebutan wisata kuliner. Barangkali istilah itu mau menunjukkan kalau motif seseorang untuk datang ke tempat tertentu pada saat ini didorong oleh keinginan untuk mencicipi atau menikmati makanan yang ada di daerah itu. Kini barangkali ragam dan pesona makanan suatu daerah merupakan daya tarik bagi warga atau masyarakat untuk mendatanginya.

Hanya saja istilah wisata kuliner sekarang menampakkan gejala latah. Lihat saja, di sekitar stadion Segiri terutama di dekat kolam renang berjejer tenda-tenda bertuliskan wisata kuliner kota Samarinda. Atau begitu memasuki kawasan Lambung Mangkurat, tertulis juga pesan yang hampir kurang lebih sama yaitu menyatakan kita tengah memasuki kawasan wisata kuliner, utamanya nasi kuning.
Kenapa latah?. Seseorang berwisata tentu saja bukan sekedar untuk merasa, menikmati dan kemudian memperoleh sensasi kebahagiaan. Namun wisata juga mempunyai unsur penambahan pengetahuan, wisata memperkaya wawasan seseorang. Coba pengetahuan apa yang hendak diberikan kepada yang datang, andai disitu hanyalah deretan warung, yang menjual aneka makanan mulai dari gado-gado, bakso, rawon, soto, ayam penyet, gepuk dan seterusnya, itu saja tanpa embel-embel lain. 

Apakah kemunculan pusat-pusat jajanan sungguh-sungguh direncanakan sebagai bagian dari pendidikan masyarakat atas kekayaan kuliner nusantara, atau sekedar (sadar atau tidak sadar) mendorong masyarakat untuk lebih menyukai makan di luar rumah, menjadi lebih konsumtif karena membelanjakan uang untuk makanan jadi?. 

Jumlah rumah makan (warung, kios, tenda,dll) yang luar biasa bagi pemerintah adalah potensi. Andai dikenai retribusi (bahkan pajak) makan jumlah uang yang dikumpulkan tentu saja besar. Ingat tidak ketika pemda DKI hendak menerapkan pajak resto dan rumah makan ke warung tegal di Jakarta, motivasinya jelas, jumlah warung tegal yang banyak akan menyumbangkan sejumlah pendapatan untuk mengisi pundi-pundi APBD. 

Dan andai retribusi atau pajak (makanan dan minuman) bisa diterapkan sampai ke warung, kios, tenda dan grobak, maka bisa tercipta rekor baru di MURI, rekor pendapatan pemerintah dari sektor kuliner. Maka patut dicurigai gembar-gembor wisata kuliner yang tidak disertai dengan perencanaan dan program yang jelas adalah sekedar jalan halus pemerintah daerah untuk mengenjot pendapatan melalui bidang isi mengisi perut. 

Pondok Wiraguna, 1 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (1)

0 komentar

Mainan Nusantara : Kemana Perginya?.

Ada sebuah kecenderungan yang menyertai bertambahnya usia seseorang, yaitu gemar menenggok ke belakang. Melihat dan mengenang hal-hal yang dialami dan dikenali di masa lampaunya. Barangkali dengan semakin bertambahnya usia, berbagai hal yang dicita-citakan atau diimpikan sudah tercapai hingga tak banyak lagi yang dimaui. Mengenang masa lampau adalah bagian dari menikmati hidup dengan segala catatannya dari masa kecil sampai dengan hari ini. Meski belum terlalu tua, saya sendiri kerap menenggok jauh ke belakang, ke masa kanak-kanak dahulu.

Terlahir di sebuah desa, pada kota kecil yang nyatanya juga terus kecil sampai sekarang, tak banyak catatan-catatan hebat yang bisa diceritakan. Seingat saya, apa yang ada saat itu dan sekarang tak lagi mudah ditemui adalah permainannya. Membandingkan permainan yang saya (tentu saja teman-teman seumuran waktu itu) buat dan mainkan dengan permainan yang lazim dimainkan anak-anak sekarang (termasuk anak saya) tentu saja berbeda jauh.

Sewaktu membincang hal ini dengan teman-teman yang lahir dalam kurun jaman yang kurang lebih sama, tak pelak kerap muncul gelak tawa. Tentu saja muncul berbagai macam perasaan, bisa jadi ada yang merasa hebat karena permainan dulu kita buat sendiri dengan bahan yang ada diseputaran tempat tinggal kita. Tapi juga merasa betapa ketinggalannya kita dengan generasi saat ini, dimana permainan serba elektronik dan hasil fabrikasi. Di jaman itu misalnya, mobil-mobilan dibuat sendiri. Badannya dari potongan kayu sisa, rodanya dari sandal jepit yang putus, aksesoriesnya dari batu baterei yang dibongkar. Atau sewaktu musim jeruk Bali (jeruk gelundung), kulitnya yang tebal adalah bahan yang dengan mudah dibentuk menjadi mobil-mobilan sederhana. Apakah waktu itu tidak ada mainan mobil-mobilan yang dijual di toko?.

Tentu saja ada, tapi seingat saya, orang tua saat itu belum ‘semurah hati’ orang-orang tua jaman sekarang dalam memberi uang kepada anak-anaknya. Barang-barang yang dibeli di toko adalah barang-barang yang sangat penting saja, apa yang bisa dibuat atau diusahakan sendiri tak akan dibeli. Saya ingat persis, waktu musim Egrang, Yoyo, Ketapel (plintheng) atau Gasing, biasanya Pak Lik (adik ibu yang kebetulan tinggal di rumah) akan sibuk membuatkannya. Ada jenis-jenis mainan tertentu yang butuh ketrampilan untuk membuatnya. Maka yang lebih dewasa akan membuatkan sambil mengajarkan kepada yang lebih kecil. Proses semacam ini atas salah satu cara adalah bagian dari transfer teknologi tepat guna dalam pembuatan mainan.

Saat bertukar pengalaman dan cerita tentang permainan di masa kecil dengan teman-teman yang berasal dari berbagai pulau, ternyata banyak hal yang sama, sebutannyapun hampir mirip-mirip. Apa yang dikenal oleh anak-anak di Jawa ternyata juga hidup di Kalimantan, Sulawesi, Sumatra dan sebagainya. Selain nama dan jenisnya, yang juga sama adalah siklus permainan atau trend jenis permainan tertentu yang mengikuti entah musim alamiah, waktu maupun musim liburan. Intinya permainan waktu itu selalu butuh ruang dan waktu. Sawah, halaman, lapangan, sungai, lereng tebing adalah ruang-ruang favorit.

Jaman itu belakang rumah saya, sepanjang mata memandang adalah hamparan sawah terbentang dengan latar perbukitan. Jika mentari cerah di kejauhan terlihat gunung Sumbing tegak berdiri menyentuh langit. Namun kala suasana pagi berkabut hanya perbukitan Menoreh yang tertata berderet dari ujung ke ujung pandangan. Sawah menjadi tempat favorit untuk bermain. Di musim hujan, waktu musim tanam, saya ikut menumpang kerbau, atau berdiri di atas Waluku, agar bajak yang ditarik kerbau bisa membongkar tanah sawah cukup dalam.

Ketika bibit sudah ditanam dan air tak terlalu menggenang, lubang-lubang sarang belut mulai terlihat. Saatnya memancing belut, dengan senar terbuat dari tali rafia yang dipilin di paha dan pancing dari peniti yang dibengkokkan sendiri. Sebelum musim tiba, sawah yang telah dibajak cocok untuk ‘nyuluh’ atau mencari belut di malam hari. Dengan bantuan lampu petromax atau kompor yang terbuat dari kaleng susu, belut-belut yang keluar di malam hari ditangkap dengan bantuan pedang tumpul. Sesekali apa bila mata tidak awas, bukannya belut yang tertangkap melainkan ular sawah.

Terkadang sawah yang baru ditanami juga disuluh, tapi harus waspada sebab bila ada yang menjaga pasti akan dimarahi. Keasyikan ‘nyuluh’ pasti akan membuat kaki menginjak-nginjak bibit yang baru ditanam, terbenam dalam lumpur. Di musim kemarau, sawah adalah tepat yang tepat untuk bermain layang-layang. Ketika tanah mulai merekah karena panas, Jangkrik akan bersembunyi dalam rekahan-rekahan itu. Musim mencari Jangkrik tiba, entah untuk adu berkelahi mupun suaranya. Semua berlomba mencari Jangkrik terbaik termasuk berlomba membuat kandangnya dari bilah bambu.

Sejatinya permainan tak selalu membutuhkan alat seperti petak umpet misalnya. Permainan ini selalu saja mengasyikkan apalagi kalau di mainkan di kegelapan malam atau dalam remang karena sinar bulan purnama. Siapapun yang paling berani bakal sulit ditemukan, karena mereka berani bersembunyi di tempat-tempat yang ‘ditakuti’ anak-anak lainnya. Tentu saja anak-anak ‘penakut’ tak kehilangan akal, diam-diam mereka tak mencari atau bahkan meninggalkan yang sembunyi diam dalam kegelapan malam. Merasa lama tak dicari-cari, maka akan keluar sendiri dari persembunyiannya.

Cerita, romantika, trik dan intrik konyol dalam permainan di masa kecil dulu bakal tak habis diceritakan. Cerita yang barangkali bakal berbeda dengan kisah permainan anak-anak sekarang. Saya tak hendak membandingkan untuk mengatakan bahwa anak-anak sekarang tidak kreatif sebagaimana anak-anak dulu yang membuat sendiri mainannya. Pasalnya sekarang ini mainan dengan mudah di temui di toko-toko atau warung bahkan dijajakan keliling kampung. Permainan dan mainan telah memasuki babak baru yaitu fabrikasi. Industri permainan dan mainan adalah salah satu bidang atau sektor yang menuai penghasilan besar dari produk yang dihasilkannya.

Banyak permainan atau mainan yang jauh lebih baik, mampu membuat anak-anak berkreasi. Kalau ada bedanya dengan apa yang saya alami di masa kanak-kanak dulu adalah harga yang harus dibayarkan. Hanya saja kalau ada beberapa hal yang patut untuk direfleksikan menyangkut kenapa permainan dan mainan nusantara (tradisional) mulai surut dan menghilang perlahan – diluar persoalan tergerus kemajuan jaman – patutlah dikatakan beberapa hal berikut :

1. Kita barangkali tak lagi mengajarkan atau menurunkan permainan dan mainan itu kepada generasi setelah jaman kita kanak-kanak. Proses untuk meneruskan pengetahuan, ketrampilan dari generasi ke generasi tak lagi berjalan secara alamiah.

2. Perubahan lingkungan termasuk tempat tinggal dan ruang-ruang publik juga berpengaruh pada proses transfer permainan dan mainan antar generasi. Sungai yang semakin kotor sehingga tak lagi layak atau berbahaya untuk dijadikan tempat bermain. Sawah menghilang dan berganti menjadi perumahan serta kompleks bangunan lainnya. Lapangan-lapangan dan halaman-halaman yang luas juga perlahan tergerus oleh pembangunan. Perubahan yang membuat ruang dan bahan-bahan untuk merangkai permainan semakin sulit untuk ditemukan.

3. Pertambahan fasilitas pendidikan dan menurunkan tingkat atau angka kelahiran membuat anak-anak bisa memilih sekolah yang tak lagi sama dengan tetangganya. Anak-anak dalam satu lingkungan bersekolah di tempat yang berbeda-beda. Akibatnya teman bermainannya bukan lagi bersama anak-anak se kompleks. Ikatan sosial antar anak-anak sekompleks menjadi menurun. Padahal beberapa jenis permainan adalah permainan sosial, butuh sejumlah anak untuk memainkannya agar permainan menjadi asyik dimainkan.

4. Permainan sekarang jauh lebih canggih dan memuaskan dibandingkan permainan dahulu. Dan kebanyakan lebih mengasyikkan dimainkan sendiri atau bersifat individual. Anak-anak bisa tenggelam dalam keasyikan tanpa kehadiran orang lain (atau bahkan jadi nggak asyik kalau ada orang lain).

Akhirnya, mungkin saja setiap jaman mempunyai permainannya sendiri. Mengingat-ingat permainan disaat saya kecil bukan dimaksudkan untuk mengatakan betapa permainan dulu lebih baik dari sekarang. Saya tak berhak untuk menilai karena bukan ahli permainan. Tapi berdasarkan pengalaman masa kecil, saya bisa mengatakan bahwa permainan saya dulu bukan sekedar untuk beriang-riang, lewat permainan saya membina persahabatan dan solidaritas dengan teman seumur. Lewat permainan saya dan teman-teman mencoba memanfaatkan apa yang tersedia di sekitar lingkungan tinggal, mengenal dan menikmati apa yang disediakan oleh alam.

Di jaman saya kecil, permainan tak membeda-bedakan status atau kelas sosial seseorang. Semua bermain bersama, kalaupun ada yang berlebih dan bisa membeli mainan yang kebanyakan anak tak bisa membeli, toh pasti akan ditunjukkan olehnya dan lama kelamaan kitapun akan turut memainkannya. Adakah itu semua masih dialami oleh anak-anak saat ini?. Semoga saja.

Pondok Wiraguna, 3 September 2012
@yustinus_esha

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum