Mainan Nusantara : Kemana Perginya?.
Ada sebuah kecenderungan yang menyertai bertambahnya usia seseorang, yaitu gemar menenggok ke belakang. Melihat dan mengenang hal-hal yang dialami dan dikenali di masa lampaunya. Barangkali dengan semakin bertambahnya usia, berbagai hal yang dicita-citakan atau diimpikan sudah tercapai hingga tak banyak lagi yang dimaui. Mengenang masa lampau adalah bagian dari menikmati hidup dengan segala catatannya dari masa kecil sampai dengan hari ini.
Meski belum terlalu tua, saya sendiri kerap menenggok jauh ke belakang, ke masa kanak-kanak dahulu.
Terlahir di sebuah desa, pada kota kecil yang nyatanya juga terus kecil sampai sekarang, tak banyak catatan-catatan hebat yang bisa diceritakan. Seingat saya, apa yang ada saat itu dan sekarang tak lagi mudah ditemui adalah permainannya.
Membandingkan permainan yang saya (tentu saja teman-teman seumuran waktu itu) buat dan mainkan dengan permainan yang lazim dimainkan anak-anak sekarang (termasuk anak saya) tentu saja berbeda jauh.
Sewaktu membincang hal ini dengan teman-teman yang lahir dalam kurun jaman yang kurang lebih sama, tak pelak kerap muncul gelak tawa. Tentu saja muncul berbagai macam perasaan, bisa jadi ada yang merasa hebat karena permainan dulu kita buat sendiri dengan bahan yang ada diseputaran tempat tinggal kita. Tapi juga merasa betapa ketinggalannya kita dengan generasi saat ini, dimana permainan serba elektronik dan hasil fabrikasi.
Di jaman itu misalnya, mobil-mobilan dibuat sendiri. Badannya dari potongan kayu sisa, rodanya dari sandal jepit yang putus, aksesoriesnya dari batu baterei yang dibongkar. Atau sewaktu musim jeruk Bali (jeruk gelundung), kulitnya yang tebal adalah bahan yang dengan mudah dibentuk menjadi mobil-mobilan sederhana.
Apakah waktu itu tidak ada mainan mobil-mobilan yang dijual di toko?.
Tentu saja ada, tapi seingat saya, orang tua saat itu belum ‘semurah hati’ orang-orang tua jaman sekarang dalam memberi uang kepada anak-anaknya. Barang-barang yang dibeli di toko adalah barang-barang yang sangat penting saja, apa yang bisa dibuat atau diusahakan sendiri tak akan dibeli.
Saya ingat persis, waktu musim Egrang, Yoyo, Ketapel (plintheng) atau Gasing, biasanya Pak Lik (adik ibu yang kebetulan tinggal di rumah) akan sibuk membuatkannya. Ada jenis-jenis mainan tertentu yang butuh ketrampilan untuk membuatnya. Maka yang lebih dewasa akan membuatkan sambil mengajarkan kepada yang lebih kecil. Proses semacam ini atas salah satu cara adalah bagian dari transfer teknologi tepat guna dalam pembuatan mainan.
Saat bertukar pengalaman dan cerita tentang permainan di masa kecil dengan teman-teman yang berasal dari berbagai pulau, ternyata banyak hal yang sama, sebutannyapun hampir mirip-mirip. Apa yang dikenal oleh anak-anak di Jawa ternyata juga hidup di Kalimantan, Sulawesi, Sumatra dan sebagainya. Selain nama dan jenisnya, yang juga sama adalah siklus permainan atau trend jenis permainan tertentu yang mengikuti entah musim alamiah, waktu maupun musim liburan.
Intinya permainan waktu itu selalu butuh ruang dan waktu. Sawah, halaman, lapangan, sungai, lereng tebing adalah ruang-ruang favorit.
Jaman itu belakang rumah saya, sepanjang mata memandang adalah hamparan sawah terbentang dengan latar perbukitan. Jika mentari cerah di kejauhan terlihat gunung Sumbing tegak berdiri menyentuh langit. Namun kala suasana pagi berkabut hanya perbukitan Menoreh yang tertata berderet dari ujung ke ujung pandangan. Sawah menjadi tempat favorit untuk bermain. Di musim hujan, waktu musim tanam, saya ikut menumpang kerbau, atau berdiri di atas Waluku, agar bajak yang ditarik kerbau bisa membongkar tanah sawah cukup dalam.
Ketika bibit sudah ditanam dan air tak terlalu menggenang, lubang-lubang sarang belut mulai terlihat. Saatnya memancing belut, dengan senar terbuat dari tali rafia yang dipilin di paha dan pancing dari peniti yang dibengkokkan sendiri.
Sebelum musim tiba, sawah yang telah dibajak cocok untuk ‘nyuluh’ atau mencari belut di malam hari. Dengan bantuan lampu petromax atau kompor yang terbuat dari kaleng susu, belut-belut yang keluar di malam hari ditangkap dengan bantuan pedang tumpul. Sesekali apa bila mata tidak awas, bukannya belut yang tertangkap melainkan ular sawah.
Terkadang sawah yang baru ditanami juga disuluh, tapi harus waspada sebab bila ada yang menjaga pasti akan dimarahi. Keasyikan ‘nyuluh’ pasti akan membuat kaki menginjak-nginjak bibit yang baru ditanam, terbenam dalam lumpur.
Di musim kemarau, sawah adalah tepat yang tepat untuk bermain layang-layang. Ketika tanah mulai merekah karena panas, Jangkrik akan bersembunyi dalam rekahan-rekahan itu. Musim mencari Jangkrik tiba, entah untuk adu berkelahi mupun suaranya. Semua berlomba mencari Jangkrik terbaik termasuk berlomba membuat kandangnya dari bilah bambu.
Sejatinya permainan tak selalu membutuhkan alat seperti petak umpet misalnya. Permainan ini selalu saja mengasyikkan apalagi kalau di mainkan di kegelapan malam atau dalam remang karena sinar bulan purnama. Siapapun yang paling berani bakal sulit ditemukan, karena mereka berani bersembunyi di tempat-tempat yang ‘ditakuti’ anak-anak lainnya. Tentu saja anak-anak ‘penakut’ tak kehilangan akal, diam-diam mereka tak mencari atau bahkan meninggalkan yang sembunyi diam dalam kegelapan malam. Merasa lama tak dicari-cari, maka akan keluar sendiri dari persembunyiannya.
Cerita, romantika, trik dan intrik konyol dalam permainan di masa kecil dulu bakal tak habis diceritakan. Cerita yang barangkali bakal berbeda dengan kisah permainan anak-anak sekarang. Saya tak hendak membandingkan untuk mengatakan bahwa anak-anak sekarang tidak kreatif sebagaimana anak-anak dulu yang membuat sendiri mainannya. Pasalnya sekarang ini mainan dengan mudah di temui di toko-toko atau warung bahkan dijajakan keliling kampung.
Permainan dan mainan telah memasuki babak baru yaitu fabrikasi. Industri permainan dan mainan adalah salah satu bidang atau sektor yang menuai penghasilan besar dari produk yang dihasilkannya.
Banyak permainan atau mainan yang jauh lebih baik, mampu membuat anak-anak berkreasi. Kalau ada bedanya dengan apa yang saya alami di masa kanak-kanak dulu adalah harga yang harus dibayarkan.
Hanya saja kalau ada beberapa hal yang patut untuk direfleksikan menyangkut kenapa permainan dan mainan nusantara (tradisional) mulai surut dan menghilang perlahan – diluar persoalan tergerus kemajuan jaman – patutlah dikatakan beberapa hal berikut :
1. Kita barangkali tak lagi mengajarkan atau menurunkan permainan dan mainan itu kepada generasi setelah jaman kita kanak-kanak. Proses untuk meneruskan pengetahuan, ketrampilan dari generasi ke generasi tak lagi berjalan secara alamiah.
2. Perubahan lingkungan termasuk tempat tinggal dan ruang-ruang publik juga berpengaruh pada proses transfer permainan dan mainan antar generasi. Sungai yang semakin kotor sehingga tak lagi layak atau berbahaya untuk dijadikan tempat bermain. Sawah menghilang dan berganti menjadi perumahan serta kompleks bangunan lainnya. Lapangan-lapangan dan halaman-halaman yang luas juga perlahan tergerus oleh pembangunan. Perubahan yang membuat ruang dan bahan-bahan untuk merangkai permainan semakin sulit untuk ditemukan.
3. Pertambahan fasilitas pendidikan dan menurunkan tingkat atau angka kelahiran membuat anak-anak bisa memilih sekolah yang tak lagi sama dengan tetangganya. Anak-anak dalam satu lingkungan bersekolah di tempat yang berbeda-beda. Akibatnya teman bermainannya bukan lagi bersama anak-anak se kompleks. Ikatan sosial antar anak-anak sekompleks menjadi menurun. Padahal beberapa jenis permainan adalah permainan sosial, butuh sejumlah anak untuk memainkannya agar permainan menjadi asyik dimainkan.
4. Permainan sekarang jauh lebih canggih dan memuaskan dibandingkan permainan dahulu. Dan kebanyakan lebih mengasyikkan dimainkan sendiri atau bersifat individual. Anak-anak bisa tenggelam dalam keasyikan tanpa kehadiran orang lain (atau bahkan jadi nggak asyik kalau ada orang lain).
Akhirnya, mungkin saja setiap jaman mempunyai permainannya sendiri. Mengingat-ingat permainan disaat saya kecil bukan dimaksudkan untuk mengatakan betapa permainan dulu lebih baik dari sekarang. Saya tak berhak untuk menilai karena bukan ahli permainan.
Tapi berdasarkan pengalaman masa kecil, saya bisa mengatakan bahwa permainan saya dulu bukan sekedar untuk beriang-riang, lewat permainan saya membina persahabatan dan solidaritas dengan teman seumur. Lewat permainan saya dan teman-teman mencoba memanfaatkan apa yang tersedia di sekitar lingkungan tinggal, mengenal dan menikmati apa yang disediakan oleh alam.
Di jaman saya kecil, permainan tak membeda-bedakan status atau kelas sosial seseorang. Semua bermain bersama, kalaupun ada yang berlebih dan bisa membeli mainan yang kebanyakan anak tak bisa membeli, toh pasti akan ditunjukkan olehnya dan lama kelamaan kitapun akan turut memainkannya. Adakah itu semua masih dialami oleh anak-anak saat ini?. Semoga saja.
Pondok Wiraguna, 3 September 2012
@yustinus_esha
Orang boleh pandai setinggi langit, namun kalau tidak menulis maka akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah (Pram)
Pages
Label:
Kolom
Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (1)
Borneo Menulis
Rabu, 05 September 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
Cari Blog Ini
Sekolah dan Bengkel Menulis Naladwipa
Merupakan hasil kerjasama Naladwipa Institute, Komisi Kepemudaan Keuskupan Agung Samarinda dan Desantara Foundation. Kegiatan ini diikuti oleh anak-anak muda untuk mengasah wawasan, kepekaan dan ketajaman untuk melihat apa yang terjadi di kesekitarannya.
Menulis Adalah Panggilan Jiwa
Blog ini merupakan wahana bagi peserta sekolah menulis Naladwipa dan Komkep Kasri untuk mempublikasikan tulisannya. Namun tetap terbuka bagi siapapun yang hendak mengirimkan tulisan juga. Silahkan masukkan tulisan ke badan email dan kirim ke borneo.menulis@gmail.com
Tulisan akan ditata sedemikian rupa tanpa merubah isi dan subtansinya.
Tulisan akan ditata sedemikian rupa tanpa merubah isi dan subtansinya.
Popular Posts
-
Antara Antri IPAD dan Bensin Ketika masih duduk di bangku sekolah, libur kenaikan kelas adalah sebuah kegembiraan yang tidak terkira. Sebu...
-
Daun-daun masih basah, karena tadi sore hujan baru usai menyirami kampung yang berada di tepi sungai Kelian. Kini malam berganti terang pur...
-
Hujan rintik-rintik ditemani senja sedang merayap meraih malam di saat saya memasuki pintu gerbang desa Kutai Lama Kecamatan Anggana Kutai ...
-
Masihkan orang berpikir bahwa tato adalah penanda bagi mahkluk yang cenderung kriminal dan tindik (piercing) adalah peradaban massa silam?. ...
-
Berita merupakan produk aktivitas jurnalistik atas dasar informasi yang berdasar pada fakta. Jika sang jurnalis hadir atau berada dalam sebu...
-
Empat bulan lalu Ardi bersama keluarganya pindah rumah, ke tempat tinggal yang kini adalah miliknya sendiri. Bertahun-tahun Ardi, Esta istr...
-
Media memegang peran penting dalam dinamika sosio kultural di masyarakat. Di tengah iklim yang menindas, media bisa menjadi corong dari peng...
-
Resep apa yang digunakan oleh seseorang sehingga mampu melahirkan tulisan yang menawan. Sederhana saja, ramuan jitu dalam menulis hanya satu...
-
Istilah LSM sebenarnya contradictio in terminis atau korupsi makna. Sebagai sebuah institusi yang dinamai dengan Lembaga Swadaya Masyarakat...
-
Kemacetan tak lagi milik kota-kota metropolitan macam Jakarta, Bandung, Surabaya atau Medan. Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang kin...
Ayo Menulis
Jika anda percaya bahwa kata-kata mampu menggerakkan perubahan maka mulailah menulis. Semua pantas ditulis dan perlu untuk dibagikan.
Daftar Link
Partisipan
Arsip Blog
- 06/26 - 07/03 (3)
- 07/03 - 07/10 (3)
- 07/10 - 07/17 (6)
- 07/17 - 07/24 (6)
- 07/24 - 07/31 (12)
- 07/31 - 08/07 (3)
- 08/14 - 08/21 (2)
- 08/28 - 09/04 (2)
- 09/04 - 09/11 (3)
- 10/02 - 10/09 (11)
- 09/02 - 09/09 (10)
- 09/09 - 09/16 (4)
- 09/16 - 09/23 (12)
- 09/23 - 09/30 (8)
- 09/30 - 10/07 (12)
- 10/07 - 10/14 (8)
- 10/14 - 10/21 (10)
- 10/28 - 11/04 (9)
- 11/04 - 11/11 (9)
- 11/11 - 11/18 (10)
- 11/18 - 11/25 (8)
- 11/25 - 12/02 (6)
- 12/02 - 12/09 (3)
- 12/09 - 12/16 (3)
- 12/30 - 01/06 (1)
- 01/06 - 01/13 (5)
Kunjungan
BORNEO MENULIS
0 komentar:
Posting Komentar