• Blockquote

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Duis non justo nec auge

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

Petaka cinta dan tarian kematian di Kelian

Jumat, 19 Agustus 2011 1 komentar


Daun-daun masih basah, karena tadi sore hujan baru usai menyirami kampung yang berada di tepi sungai Kelian. Kini malam berganti terang purnama. Bintang di langit juga terlihat berkilauan dalam sungai. Bahkan cahayanya bisa menerangi jari-jemari kayu yang menyentuh permukaan air sungai yang mengandung emas itu. Anak-anak kampung menggunakan malam purnama ini dengan bermain tradisional seperti begasing dan behempas. Sementara para pemuda bermain sampeq (gitar tradisional Dayak) dan berijoq (bernyanyi) mengiringi para gadis kampung yang sedang menumbuk gabah untuk dijadikan beras. Salah satu bait-bait syairnya dalam bahasa setempat, kira-kira bermakna seperti ini :

Purnama pandanglah kami
yang sedang bahagia bersama Kelian
dan gadis-gadis penyejuk jiwa.
Wahai Kelian, purnama
dan sampeq, sampaikanlah galau hati ini kepada gadis- gadis kami

Di kala malam beranjak larut, warga kembali beristirahat. Tak ada satu wargapun yang menyangka, kalau itu menjadi malam terakhir mereka berada di Kampung Long Ha. Lepas tengah malam di bulan April 1991, di saat warga terlelap tidur, segerombolan Brimob suruhan perusahaan tambang emas PT. Kelian Equatorial Mining (KEM) merengsek masuk ke perkampungan yang dihuni oleh mayoritas orang-orang Dayak Benuaq dan Bahau di Kecamatan Linggang Bigung (Sekarang Kecamatan Tering) Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur.

Para Polisi Negara itu, bukan sedang berperang melawan musuh Negara. Tetapi sedang bertugas menumpas warga yang masih bertahan di Kampung Long Ha. Dalam kepala para polisi bersenjata itu hanya satu, Long Ha harus kosong. Sebab tambang emas harus segera beroperasi mengeruk emas di kampung itu.

Warga yang tak berdosa ini dipaksa untuk keluar dari Long Ha yang penduduknya hidup berladang berkebung dan pengerebok (pendulang emas tradisional) dari kampung halaman mereka yang sudah sekian lama mereka bangun. Mereka dipaksa pindah karena kampung itu akan dijadikan pertambangan Emas oleh PT KEM milik perusahaan Rio Tinto yang bermarkas di London dengan menguasai areal 285.233 hektar dengan potensi 105,4 ton emas.

Warga yang sedang lelap itu terkaget-kaget mendengar kegaduhan yang tak biasa itu. Teriakan, suara keras memecah keheningan Long Ha. Puluhan Polisi memukul dinding rumah warga, sambil berteriak dengan suara keras seperti orang yang kesetanan “Segera keluar, segera pindah,” teriak mereka.

Beberapa bulan terakhir orang-orang PT KEM memang sedang merazia sepanjang sungai Kelian, khususnya lingkaran yang dekat dengan konsesi tambang mereka di Prampus yang menjadi tempat eksploitasinya. Ada 500 ratusan pondok pengerebok milik warga di sekitar kampung Long Ha dibakar dan dihanyutkan kesungai. Sembilan kampung disekitarnya dibumi hanguskan. Termasuk kampung Long Ha yang menjadi target terakhir untuk dihancurkan

Pak Jelamuk dengan istrinya Yohana Seting juga sangat ketakutan mendengar kagaduhan itu. Yohana dan suaminya masing-masing memeluk kedua anaknya yang masih berumur 7 dan 8 tahun itu untuk mengusir rasa ketakutan. Yohana bersama kedua anak gadisnya Luciana dan Ilent tampak sangat ketakutan di malam itu. Ia khawatir terjadi sesuatu pada kedua anaknya.

“Kenapa ma kita harus pindah, memangnya kita harus pindah kemana?,”tanya Ilent ketakutan.

“sst, jangan keras-keras yang penting kita selamat, Ilent selamat. Tidak usah bersuara nanti kita jadi sasaran para polisi itu,” jawab Yohana

Belum lama setelah perbincangan Yohana dengan anaknya, tiba-tiba suara gerombolan dari luar kedengaran lagi. “Masih saja di dalam. Segera keluar. Segera kumpul di luar, sebentar lagi kami akan bakar semua rumah dikampung ini,” teriak para polisi itu.

Yohana Seting, suami dan kedua anaknya terpaksa keluar dari rumah mereka lalu bergabung dengan ratusan warga yang lain yang sudah berada di lapangan kampung. Dengan suara terputus-putus sambil berjalan menuju lapangan Yohana tak kuasa menahan air matanya. Perempuan Dayak itu menangis ketakutan sambil mengendong anaknya ke lapangan desa yang tak jauh dari rumahnya. Hanya pakaian dan beberapa peralatan masak yang sempat ia bawa serta.

Di lapangan mereka dipaksa naik kendaraan truk dengan berdesak-desakan seperti memumpuk barang. Mereka harus berada di satu tempat yang sudah di siapkan oleh perusahaan untuk menampung orang-orang kampung yang sebelumnya berada di kawasan areal pertambangan emas. Kampung penampungan itu bernama Murung Baru. Tempat baru mereka itu berada tepat di kaki gunung Kelian. Rencana perkampungan itu belum dibangunin rumah ketika mereka tiba di Murung Baru. Mereka ditumpuk dalam sebuah camp penampungan mirip gedung SD yang dibangun seadanya. Mereka dipindahkan dan dijauhkan dari akses pinggir sungai Kelian. Mereka tidak lagi berhak beraktivitas dan mencari penghidupan di dekat areal konsesi pertambangan emas KEM karena semuanya sudah menjadi hak PT KEM.

Yohana dan suaminya beserta dengan kedua anaknya dan ratusan warga lainya tak kuasa melawan perlakuan sewenang-wenang aparat berseragam polisi dan bersenjata lengkap itu. Mereka yang melawan pasti mendapat perlakuan kasar. Puluhan warga di malam itu memar-memar akibat pukulan dan tonjokan laras panjang para suruhan PT KEM.

Salah satu yang mendapat perlakuan itu adalah suami Yohana Seting, Pak Jelamuk. Mukanya hancur dan berdarah akibat hantaman pukulan dari para Polisi itu karena ia melakukan perlawanan dan mengelaurkan kata-kata protes kepada mereka.

“Pak kenapa kami diperlakukan seperti binatang, kenapa kami diusir dari tanah kami, tanah kelahiran kami. Kami tidak mau pindah,” protes Jelamuk di malam itu. “Kamu siapa, kamu berani melawan,” kata orang suruhan PT KEM. Istri Jelamuk dan kedua anaknya tak henti-hentinya menagis meraung-raung meminta ayahnya dilepas agar tidak berpisah dari rombongan. Jelamuk tetap diboyong ke kantor Polisi setempat karena dianggap bisa menjadi pemicu warga lain untuk protes terhadap pembumihangusan kampung Long Ha. Warga ratusan jumlahnya itu diangkut dengan menggunakan truk. Tidak lama setelah mereka meninggalkan kampung ketika 5 iring-iringan truk berada di puncak gunung Kelian, terlihat dari jauh lidah api besar yang berusah mencapai langit. Kampung Long Ha diluluhlantakan. Rumah mereka telah dibakar malam itu juga.

Jelamuk hanya semalam diintrogasi dikantor polisi dan mendapat perlakuan serta kata-kata kasar. Ia disiksa dan dipaksa untuk tidak lagi melawan dan berniat untuk membangkitkan semangat orang-orang kampung untuk kembali ke kampung Long Ha. Esok paginya, Jelamuk diperbolehkan untuk bergabung dengan warga lainya yang sudah berada di Murung Baru.

Sebulan sudah Yohana dan keluarganya berada di penampungan. Tapi mereka harus melewati hidup semacam itu. Mereka diperlakukan seperti pengungsi saja. Jelamuk yang penasaran bagaimana kampung Long Ha saat ini. Ketika pagi-pagi buta, ia pun berangkat masuk melewati hutan Kelian sekitar 5 Km menembus masuk penjagaan dari pengamanan tambang. Tidak jauh dari kampung Long Ha dipinggiran Kelian, ia mengamati dari jauh memandangi Long Ha yang kini sudah mulai dibanguni sarana dan prasaran tambang emas. Hatinya teriris melihat kampung itu. Ia mengenang seluruh rangkain hidupnya yang berhubungan dengan kampung Long Ha.

“Kami ini sudah diusir dari tanah sendiri, kuburan itu pasti mereka gusur juga,” hati Jelamuk bergumam. Hatinya berkecamuk. Ingin melawan tapi sungguh lemah karena intimidasi kian keras kepadanya. Untuk menghilangkan pikiran yang camuh, ia pun segera turun ke sungai Kelian dan mulai mengerebok ( mendulang emas tradisional) yang ia paham betul amat berat resikonya.

Benar saja, tidak lama setelah ia turun ke pinggiran sungai mencari butiran-butiran emas yang sudah menjadi kebiasaan sejak lama orang-orang di Kelian, tiba-tiba tanpa ia duga segerombolan pengawas dari perusahaan PT KEM memorgokinya mendulang emas di tempat yang sudah dinyatakan terlarang.

“Ini lagi, ini lagi bapak ini,”bentak keamanan tambang itu. Jelamuk tak bisa berbuat apa-apa. Ia ditangkap lalu dipukuli dan boyong ke kantor PT KEM. Begitu sampai di kantor PT KEM ia tidak langsung dibawah masuk ruangan kantor, tetapi ia diikat di tiang bendera dengan pakaian yang nyaris telanjang. Hanya bercelana dalam.

Tiga hari sudah Jelamuk di tiang yang berbendera Rio Tinto itu. Yohana Seting dan anak-anaknya galau bukan kepalang. Mereka sibuk mencari tahu dimana kini Jelamuk suami dan ayah mereka berada. Entah dari mana, kabar Pak Jelamuk ditangkap bahkan disiksa dan diikat di tiang bendera di Kantor PT KEM sampai juga ke telinga mereka di tempat penampungan. Yohana Seting marah dan bergegas menuju kantor PT KEM. Perempuan yang bersuku Bahau itu berusaha menuju kantor PT KEM dimana suaminya diikat dan disiksa. Wajah putihnya merah karena murka dan dari jauh dia sudah melihat suaminya diikat. Ia berteriak sekeras-kerasnya “Segera lepas. Segera lepaskan suami saya. Kalau tidak saya akan membuat sesuatu pada kalian. Dasar penjajah, kalian yang pencuri, kenapa suami saya kalian perlakukan seperti ini?,” teriak Yohana Seting.

Jelamuk pun dibebaskan dengan syarat ia tak boleh lagi mendulang emas dan memasuki kawasan PT KEM tanpa izin.

Nasib Jelamuk tidaklah sendiri, beberapa warga juga mengalami perlakuan yang sama. Mereka yang melawan dan memasuki kawasan KEM akan disiksa dan ditangkap. Bahkan dua tahun terakhir 2 orang warga meninggal karena perlakuan kekerasan oleh perusahaan.

Situasi ketika PT KEM mulai melakukan eksploitasi perlakuan kekerasan terhadap warga Kelian dan sekitarnya sudah menjadi pemandangan yang biasa. Seiring dengan waktu, pelan-pelan perlawanana warga terhadap PT KEM beralih dari mempertahankan tanah dan perkampungan menjadi tuntutan ganti rugi.

Kelian semakin ramai dengan kesibukan pertambangan emas. Ribuan orang-orang baru baik dari dalam negeri Indonesia maupun dari luar terutama orang-orang dari Inggris dan Australia bekerja di tambang emas yang berada di garis khatulistiwa ini. PT KEM juga mempekerjakan dari berbagai tenaga ahli. Mulai dari tenaga teknisi seperti Geolog, ahli bendungan hingga ahli antropologi. Geolog bertugas untuk memastikan tempat-tempat cadangan emas berada dan bagaimana cara mengeksploitasinya. Sementara Antropolognya bertugas merontokkan potensi perlawanan warga terhadap perusahaan.

Sepuluh tahun sudah PT KEM mengeruk emas di Kutai Barat. Riak-riak perlawanan warga lebih banyak bicara seputar ganti rugi. David yang juga antropologi asal Austaralia yang sudah ada sejak PT KEM mulai beroperasi dan menulis buku tentang kebudayaan Dayak Benuaq berteman dengan Handoko yang juga alumni Universitas negeri di Kota Bandung Jurusan Antropologi. Handoko bergabung di perusahaan yang berpusat di London ini semenjak lulus kuliah tiga tahun yang lalu. Ia dan David yang juga antropologi dari salah satu Universitas di kota Sydney, merancang relasi dan kegiatan kegiatan kesenian dalam melibatkan warga di sekitar Kelian.

Tak heran mereka juga yang memikirkan pentingnya simbol-simbol kebudayan Dayak juga hadir dalam ruang penting di PT.KEM. Misalnya ratusan blontang (patung) ukiran Dayak lalu dipasang di berbagai sudut pada setiap jalan dan di depan gedung-gedung milik PT KEM. Maksudnya agar warga tahu dan merasa memiliki dan dekat dengan PT KEM . Termasuk mempersiapkan dan mengundang warga di sekitar Kelian untuk ikut dalam setiap acara-acara di PT KEM dengan pertunjukan kesenian seperti tari tarian Dayak.

Sementara itu perkampungan Murung Baru juga hingar-bingar dengan suasana tambang emas ini. Ratusan pekerja tambang emas juga bergabung bersama warga yang dulu berasal dari Long Ha. Jelamuk dan Yohana Seting masih hidup dari aktivitas berladang dan mendulang emas. Walaupun terasa sangat berkurang penghasilannya karena sudah jauh dari Long Ha pinggiran Kelian yang terkenal banyak kandungan emasnya. Mereka tak bisa menyekolahkan anaknya dua-duanya. Kini Luciana dan Ilent yang perpaduan antara Dayak Benuaq dan Bahau tumbuh menjadi gadis manis dan ayu. Kedua gadis ini menjadi rebutan pemuda kampung dan para pekerja tambang emas di PT KEM. Walaupun demikian sulit sekali untuk menaklukan hati kadua gadis berparas ayu ini. Banyak pemuda yang patah hati dibuatnya. Ilent tak mau buru-buru menjatuhkan hatinya kepada seseorang dulu sebelum ia menyelesaikan kuliahnya yang sejak dulu menjadi cita-citanya.

Luciana mengalah untuk adiknya Ilent. Ia memilih untuk bekerja di PT KEM sebagai salah seorang pegawai di kantin umum setelah diajak oleh Mach salah seorang warga negara Australia. Pekerjaan itu ia terima untuk biaya adiknya sekolah. Karena lahan mata pencaharian orang tua mereka bertani dan mengerebok sudah hilang. Sementara Ilent tinggal bersama tantenya di Barong Tongkok karena ia bersekolah di SMU 1 kelas 3 . Ia sesekali pulang ke rumah ketika sabtu dan hari libur lainnya. Kedua adik kakak ini saling menyayangi dan satu sama lain saling mendukung.

Perusahaan tambang emas kerap mengundang warga dari sekitar Kelian untuk tampil dalam acara di kawasan PT KEM. Acara ini adalah 17-an untuk memperingati hari kemerdekaan. David dan Handoko yang juga petinggi di PT KEM mengangap penting untuk melibatkan komunitas lokal yang dulu pernah mereka usir dari tanahnya sendiri. Merekapun menyiapkan pertandingan dan pertunjukan tari-tarian dari masyarakat lokal. Mereka diundang ke PT KEM untuk menampilkan tari-tarian.

Kepala desa Murung Baru, Pak Mudin terlihat sibuk mencari penari-penari Dayak untuk tampil pada festival tersebut. Ia sendiri tidak mengerti siapa-siapa yang dulu pernah menari dalam upacara sewaktu di kampung lama Long Ha. Karena Pak Mudin tidak berasal dari kampung Long Ha. Pagi-pagi, di minggu akhir bulan Juli tahun 2001 Kepala desa itu berusaha menemui Ilent di rumahnya yang berada di ujung kampung sebelum ia berangkat ke rumah tantenya di Barong Tongkok. Ia berusaha membujuk Ilent agar mau manari pada peringatan kemerdekaan di PT KEM nanti.

“Kami berharap agar Ilent mau tampil dalam festival tari-tarian yang diadakan oleh PT KEM pada peringatan 17-an tahun ini. Ini bakal ramai soalnya tradisi Dayak, seperti manari, main sampeq dan sumpit serta tradisi lainnya telah diundang untuk turut meramaikan hari kemerdekaan kita,” bujuk Pak Mudin.

“ Iya pak, pasti menarik, cuma bukankah kita tahu bahwa tarian yang kita punyai ini khusus untuk acara bersih bumi dan untuk memperingati kematian. Apakah bisa tarian seperti itu tampil dalam acara-acara yang hanya untuk menyenangkan orang-orang PT KEM ?,” tanya Ilent.

Pak desa sesaat terdiam mendengar pertanyaan yang sulit itu, seolah mencari jawaban apa yang bagus agar Ilent tetap mau ikut dalam festival ini. “Ini hanya ditampilkan saja dalam rangka untuk memperingati kemerdekaan bangsa kita,” kata Pak Mudin. “Coba bayangkan pak !, kita juga akan semakin jauh dari makna peringatan itu, karena yang aku pahami justru mereka itu telah merampas kemerdekaan kita, pada waktu yang bersamaan justru kita menari dan menyanyi untuk mereka, bapak coba pertimbangkan lagi kembali lah ?”, Ujar Ilent.

Pak Mudin tidak ingin memperpanjang ceritanya dengan Ilent gadis Dayak yang pandai menari Dayak. Ia menilai pandangan Ilent itu terlalu jauh. Tak kehabisan akal, ia juga menemui ayahnya Ilent, Pak Jelamuk. Ia pun menjelaskan bagaimana festival itu akan berlangsung. Pak Jelamuk pun menyetujui untuk mengirim tim kesenian desanya ke Festival di PT KEM tersebut. Ilent juga tak bisa menolak permintaan ayahnya untuk ikut berpartisipasi dalam peringatan kemerdekaan yang rencananya akan berlangsung di kompleks perkantoran PT KEM. Setelah ia mencari, ia menemukan 9 orang penari Dayak yang akan ia tampilkan di depan petinggi PT KEM.

Suatu sore, di hari minggu Ilent dan kawan-kawan yang sudah dipercaya oleh warga untuk menampilkan tarian Ngrangkau di PT KEM. Tarian ini dalam tradisi Dayak Benuaq dimaksudkan untuk memperingati kematian. Ilent mengenal tarian ini dari ayahnya yang juga salah seorang tetuah Benuaq setempat. Pilihan tarian ini dipilih sendiri oleh Ilent seorang gadis yang masih setia dengan tradisi menari ayahnya. Begitu Ilent dan kawan-kawannya beraksi dengan tarian Ngerangkau yang diiringi oleh suara gong di atas panggung berukuran 5x6 m di lapangan PT KEM.

Para karyawan PT KEM yang ribuan jumlahnya itu bertepuk tangan sambil tertawa menyaksikan tarian Ngerangkau. Hanya David sang antropolog yang paham bahwa tarian itu adalah tarian kematian. Ia hanya diam seribu bahasa menyaksikan anak Perempuan Dayak itu menari. Tubuh dan Kaki Ilent mulai rancak mengikuti alur gong. Ribuan pasang mata tertuju kepada gadis yang bernama Ilent. Paras khas Dayak dipadu dengan gerakan tariannya memicu jiwa berdecak kagum. Handoko yang duduk di barisan depan juga terlihat bertepuk tangan dan mengamati tarian yang tak biasa ia saksikan ini.

Tapi berbeda dengan hati Ilent. Walau senyum menyembur darinya tetapi jiwanya tidak bisa memungkiri bahwa tarian ini adalah tarian kematian. Ia sadar dengan hal itu. Ia memilih tarian ini untuk menyatakan keprihatinan terhadap masa depan komunitas dan kehidupannya yang telah direngkuh oleh mereka yang membongkar dan mengusir orang-orang kampung.

Sepuluh menit mereka manari. Tarian berikutnya adalah tari massal dari Dayak Bahau yang rencananya juga akan ditarikan Ilent dan kawan-kawanya. Namun, entah kenapa tiba-tiba ilent tidak mau lagi menari. Meski banyak orang memintanya menari ia tak mau lagi. Ilent merasa bahwa orang-orang Australia dan Inggris yang menontonnya sedang menggiring karyawannya untuk memandang bahwa kita hanya pelayan dan bertugas sebagai bangsa penghibur mereka. Padahal, setiap hari tanpa disadari mereka membongkar tanah dan membawa emas keluar dari tanah mereka.

“Tidak-tidak, saya tidak mau menari lagi,” kata Ilent kepada kepala Desa. Pak desa Murung Baru berusaha membujuk Ilent agar ia kembali tampil menari, tapi usahanya tak berhasil. Ilent tetap tak mau melanjutkan tariannya. Akhirnya, mereka menampilkan tari massal dari suku Dayak Bahau tanpa Ilent.

Selama hampir seminggu festival olahraga dan seni berlangsung di kompleks PT KEM, berbagai tradisi seperti sumpit dan tarian dari berbagai sub suku Dayak seperti Kenyah, Bahau, Benuaq dan Tunjung, Penihin dan Siang Murung ditampilkan. Kebiasaan ini selalu berlangsung setiap bulan Agustus.

Satu bulan setelah festival tari di KEM upacara orang-orang Benuaq yang dikenal dengan kwangkai (memperingati kematian) dilaksanakan di desa Balui yang tidak jauh dari kampung Murung Baru. Orang-orang dari desa tempat Ilent akan bergabung dalam upacara itu karena di tempatnya sudah tidak layak lagi. Perangkat-perangkat seperti ukiran-ukiran blontang dan lou (rumah panjang) sebagai tempat upacara sudah tidak ada lagi.

Di salah satu Pagi pada bulan September, Ilent dan keluarganya turun dari kaki Kelian menuju Desa Balui untuk mengikuti upacara Kematian. Ilent yang masih sekolah harus pulang pergi dari rumah tantenya di Barong ke Balui sebab selama satu minggu Ilent harus menari Ngarangka yang ia persembahkan kepada kakeknya yang telah meninggal dan akan memberitahukan kepada roh leluhur bahwa mereka telah memindahkan kuburan yang telah digusur PT KEM.

Upacara kwangkai juga dihadiri oleh antropolog PT KEM seperti Handoko dan David. Sudah beberapa tahun ini David mempelajari dan mendalami upacara ini. Mereka tulis dan membukukannya. Buku tersebut kemudian diterbitkan oleh PT KEM. Upacara Kwangkai kali ini agak istimewa karena ada Ilent dan Luciana kakanya yang menjadi penari. Dua gadis yang menjadi buah bibir dikalangan perusahaan PT KEM. Handoko yang telah lama mencari kesempatan benar-benar menemukan momen yang selama ini ia dambakan untuk dekat dengan Ilent.

Pemeliant (pemimpin ritual) tak henti-hentinya menyuarakan mantra di tengah Lou sementara setiap selesai tarian ngerangkau Handoko selalu menyempatkan untuk dekat dan bertanya soal tarian yang Ilent lakukan. Handoko baru paham bahwa tarian ini terasa sakral. Tarian yang pernah ditampilkan di PT KEM hanyalah untuk tampilan yang tak dibarengi dengan mantra-mantra kematian. Dan Handoko juga baru tahu bahwa ngerangkau tujuannya untuk peringatan kematian, menyampaikan rasa haru dan rindu serta terimakasih kepada roh-roh leluhur.

Begitu Ilent selesai menari ngerangkau di malam kedua upacara Kwangkai, Handoko langsung mendekat dan mengajaknya untuk bercerita di beranda Lou.

“Ilent bagus menari, aku mulai bisa merasakan dan memahami apa itu ngerangkau, ” suara Handoko pelan bermaksud memuji tariannya Ilent.

“Apanya yang bagus mas, biasa saja. Saya selalu berusaha menari dengan sepenuh jiwa sebab ini persembahan untuk roh leluhur kami,”

”Diantara penari Ilent yang paling menarik dan aku senang melihatnya”

“Terima kasih mas,” kata Ilent berusaha meladeni perbincangan Handoko.

Setiap kali Handoko bercerita dan berbicara dengan Ilent selalu berusaha bertutur dengan baik. Meski ia paham benar dan ingat selalu pesan-pesan ibu tentang terusirnya mereka dari kampung lama kelahiran mereka di Long Ha dan selalu muncul dalam ingatannya bagaimana perlakuan kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang PT KEM.

Dalam hati Ilent bertanya mengapa Handoko selau bertanya tentang tradisi dan tarian kepada tetuah adat dan kepada dirinya. Pada satu kesempatan ia menayakan langsung kepada Handoko.

“Kenapa mas mau mengikuti upacara ini?.”

“Ya saya senanglah melihat ilent menari dan mau belajar tentang upacara ini.”

“Hanya itu mas?” ujar Ilent yang masih penasaran tentang keikutsertaan petinggi PT KEM dalam upacara ini.

“Iya, iyalah Ilent,” ujar Handoko sedikit gugup yang hatinya tengah terbagi antara tugasnya sebagai antrpologi di PT KEM dan jiwanya yang selalu terpaut dengan Ilent.

Tak terasa upacara kwangkai akan berakhir, dan saatnya ritual penombakan kerbau sebagai puncak upacara ini. Hari itu, Sabtu, orang-orang dari berbagai kampung tumpah ruah di lapangan desa di Balui. Sebuah patung blontang setinggi 4 meter yang terbuat dari kayu ulin telah tertancap kuat di tengah lapangan. Patung ini sebagai pusat ritual di mana kerbau akan dipersembahkan kepada roh leluhur.

Tarian dan upacara ini telah mendekatkan antara Handoko sebagai petinggi di perusahaan tambang emas terbesar di dunia dengan Ilent sebagai anak yang diusir dari kampungnya. Handoko selalu berusaha menjelaskan kepada Ilent bahwa antara dirinya sebagai PT KEM dan sebagai pribadi mestinya dibedakan.

Selepas upacara Handoko kerap berkunjung ke rumah tante Ilent di Barong Tongkok. Sehingga keduanya merasa saling dekat dan kini Ilent tahu jelas bahwa Handoko menaruh hati kepadanya. Entah bagaimana ceritanya, Ilent sepertinya terpengaruh dengan gaya dan penjelasan dari Handoko dan ia mulai menyambut hati Handoko. Walau ia tahu benar kalau ibunya tidak akan pernah setuju dengan hubungan ini.

Handoko mulai menjelaskan kepada keluarga Ilent. Ayah Ilent sepertinya sepakat saja dengan hubungan itu, tetapi Ibunya tak setuju. Pertengkaran antara suami istri kini kerap terjadi.

“Pak apa sudah lupa kalau kita ini diusir, disiksa dilecehkan dan direndahkan?.”

“Ya itu kan bukan Handoko, dia kan baru datang?.”

“Ya terserah saja bapak, saya sampai kapanpun tidak akan setuju dengan hubungan mereka itu.” Ujar Yohana kesal.

Pertengkaran yang kerap melibatkan kedua orang tua mereka membuat Luciana kakak Ilent resah dan khwatir. Ia pun pergi ke Barong bermaksud mengajak adiknya pulang kerumah dulu. Ilent yang 3 bulan lagi akan menyelesaikan sekolahnya di SMU Sendawar dan tengah bersiap untuk melanjutkan kuliahnya di salah satu universitas negeri di Samarinda.

Sabtu sore, di akhir tahun ketika ratusaan karyawan PT KEM keluar dari Kelian untuk berlibur di beberapa kota seperti Barong, Samarinda dan Balikpapan. Ilent dan kakanya justru berangkat dari Barong ke desa Murung baru mereka bermaksud ingin menjelaskan kepada orang tua mereka soal hubungan Handoko dan Ilent. Kabut pagi pelan-pelan datang menyapa desa Murung baru. Warga mulai berjalan menuju lahan-lahan yang tersisa. Keluarga Ilent masih bercerita di ruang dapur. Ibu Ilent mulai memperingati Ilent soal hubungannya dengan Handoko, dia mulai menceritakan bagaimana ia disiksa oleh orang-orang PT KEM. Ibunya merasa malu jika ternyata salah seorang petinggi PT KEM menjalin hungan sebagai kekasih dengan anaknya. Yohana adalah salah seorang yang dikenal menentang dan selalu menyuarakan bagaimana perlawanan terhadap PT KEM.

Suasana keluarga ini masih belum cair, muncul pula keinginan Handoko untuk melamar Ilent tepat sebulan setelah tamat dari SMU Sendawar. Sebelum Handoko benar-benar datang melamar, ia mengutus seseorang untuk bertemu ayah Ilent dan ayahnya pun merespon serta mempersilahkan keluarga Handoko untuk datang melamar anaknya. Pertanyaannya bagaimana dengan sikap Ibunya Ilent? Pak Jelamuk mengatakan bahwa ia akan berusaha menjelaskan kepada istrinya dan menurutnya paling-paling juga dia nanti setuju.

Berbekal persetujuan ayah Ilent, rombongan kecil keluarga Handoko dan beberapa petinggi PT KEM datang melamar setelah Ilent tamat dari sekolahnya. Rombongan itu diterima keluarga Pak Jelamuk di rumah mereka di desa Murung Baru. Ibu Ilent berusah melayani dengan baik. Ia sadar kalau keluarga Handoko datang dengan baik maka ia pun harus menyambutnya dengan ramah. Keluarga Handoko pun menjelaskan kedatangan mereka. Tak lupa mereka juga memperlihatkan cincin emas, sebagai cicin pertunangan mereka. Cincin yang juga hasil dari produksi PT KEM di Kelian.

Orang tua Ilent bergantian mengucapkan terima kasih kasih atas kedatangan dan niat baik dari Handoko serta meminta waktu untuk membicarakan hal ini apakah niat Handoko diterima atau tidak. Karena masih harus ada lagi rembuk keluarga. Dalam rapat keluarga Yohana Seting Menjelaskan mengapa ia menolak ini semua.

“ Cincin emas yang di bawa oleh mereka, kita harus kembalikan. Ini demi leluhur dan demi kehormatan kita. Kita harus menyampaikan kepada mereka bahwa sebelum mendapatkan emas mereka terlebih dahulu mengusir kita dari kampung, menggusur kuburan, menyiksa, mengikat di tiang bendera, membakar rumah dan pondok, pemerkosaan, bahkan membunuh. Semua itu terjadi di kampung kita ini. Bagaimana mungkin hati ini bisa menerima ini semua?”.

Pak jelamuk terdiam saja atas alasan istrinya. Namun, ia tetap pada pendiriannya untuk menikahkan anaknya dengan Handoko.

Sebulan setelah Handoko melamar Ilent, Justru pertengkaran semakin hebat terjadi dalam keluarga Pak Jelamuk. Ibu Ilent tetap bersikukuh untuk menolak Handoko. Bahkan mulai ada ucapan untuk bercerai jika suaminya menerima anak muda asal Jawa Tengah itu. Yohana tak main-main, ia meninggalkan desa Murung Baru ke Barong tempat saudaranya.

Belum lagi selesai persoalan ini, muncul masalah besar baru. Luciana, baru terkuak bahwa ia sedang hamil dua bulan. Ia diperkosa oleh Mack salah seorang ahli bendungan di PT KEM asal Autralia. Ibunya marah besar dan mulai mengamuk serta bermaksud mencari Mack di kantor PT KEM namun usahanya untuk sampai ke kantor itu di gagalkan di pos keamanan yang sangat ketat. Ia kemudian mencaci-maki orang-orang yang menjaga di pos.

Susana seperti ini, membuat Ilent mengikuti Ibunya dan menyatakan tidak akan berhubungan lagi dengan Handoko. Ia menolak kehendak ayahnya untuk menikah dengan Handoko. kedua orang tua Ilent bertengkar hebat, hingga di depan para tetuah adat mereka sepakat untuk mengakhiri perkawinan yang sudah berusia 22 tahun ini. Jelamuk benar-benar bercerai dengan istrinya.

Pasca perceraian suami istri ini, keluarga Jelamuk tercerai berai. Luciana masih harus sibuk menghadapi cobaan terberat dalam hidupnya. Sementara ayahnya sekarang sakit-sakitan dan Ibunya, Yohana yang kini tinggal di Barong masih menaggung kesedihan yang dalam setelah keluarganya hancur berantakan. Luciana harus menanggung malu karena Mack tidak mau bertanggung jawab dan hanya mau mengganti rugi pada kasus pemerkoasaan ini. Di saat hatinya hancur karena tahu bahwa cintanya tak akan berlanjut ditambah dengan kenyataan pahit kehancuran keluarga, kehidupanya pun semakin menyedihkan saat mengetahui kondisi kakaknya. Ilent menghilang dan hingga saat ini tak ada satu pun yang tahu ia berada di mana.

Abdallah Naem
Gunung Kelua Samarinda, Gerhana di bulan Juni 2011

Ziarah di antara kepungan Tambang dan puing-puing sejarah di Kutai Lama

0 komentar


Hujan rintik-rintik ditemani senja sedang merayap meraih malam di saat saya memasuki pintu gerbang desa Kutai Lama Kecamatan Anggana Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. Di dekat pintu gerbang desa itu ada papan plang yang bertuliskan "PT. Alfara Delta Persada, pertambangan batubara luas 2.089 Hektar". Mungkin pesan tulisan ini juga bermaksud agar berhati-hati memasuki kawasan pertambangan yang masih dalam wilayah desa Kutai Lama.

Menuju desa Kutai Lama melalui jalan darat dan melintasi Sambutan dari arah Kota Samarinda Ke Timur dapat ditempuh 50 menit kendaraan sepeda motor.

Saya menikmati perjalanan ke Kutai Lama kali ini. Betapa tidak, sebelum mencapai Anggana terhampar di sisi kiri kanan jalan, panorama sawah yang sedang menebar pesonanya, karena ia tumbuh subur setinggi dua jengkal orang dewasa. Apalagi barisan Dewi Sri itu diterpa angin sepoi sehingga ia bergoyang. Bagi orang yang memperhatikannya bisa dibuat tersenyum sambil menggit bibir dan mulai mengikuti alunannya.

Sebelum tiba perkampungan Kutai Lama saya sempatkan diri memandangi sejenak arsitektur klasik bergaya Belanda yang lapuk dan ditelantarkan begitu saja di dekat Kawasan Medco, perusahaan gas alam. Hati saya berdetak berkata, betapa kuat penetrasi kolonial yang masih berlanjut hingga hari ini. Walau bangunannya lapuk namun watak koloninya masih terus berjalan tanpa henti.

Betul saja dugaan saya. Selepas dari pintu gerbang desa, saya menyaksikan kawanan pengangkut batubara melintasi dan memotong jalan desa yang telanjang tak beraspal menuju tempat pengapalan. Perusahaan Alfara Delta Persada ibarat penyambut tamu bagi siapa saja yang berkunjung ke desa Kutai Lama. Tidak jauh dari lintasan perusahaan batubara pertama, berturut-turut ada kawanan perusahaan batubara yang ditandai dengan pos keamanan Perusahaan Sinar Kumala Naga (SKN) dan Kartanegara Perkasa sambil seorang dari satpam mengacung-acungkan bendera bewarna merah untuk mengatur di jalur lintas pengangkut batubara.

Sejarah Kutai yang multitafsir
Kutai Lama memainkan peran penting dalam sejarah, karena ia selalu disebut-sebut sebagai pusat awal kekuasaan Kerajaan Kutai Kartanegara dengan raja pertama bergelar Batara Agung Dewa Sakti yang turun dari langit dengan permaisuri Puteri Karang Melenu yang konon datang dari buih Sungai Mahakam. Selain itu, Kutai Lama disebut-sebut sebagai perjumpaan awal kedatangan Islam yang dibawah oleh Tunggang Parangan dan Ribandang.

Saat ini, Kutai masih menjadi klaim tersendiri bagi masing-masing komunitas di dua kampung antara Muara Kaman (hulu mahakam) dan Kutai Lama (hilir Mahakam). Bagi Komunitas Muara Kaman, Kutai sesungguhnya diawali dari Muara Kaman. "Kutai Tenggarong itu sebenarnya adalah buatan Belanda," ujar Asminan salah seorang penduduk Muara Kaman yang rajin mengumpulkan peninggalan purbakala.

Hal yang sama juga saya temukan penguakuan sebagian masyarakat di Kutai Lama yang meyakini bahwa asal muasal ke-Kutai-an berawal dari Kutai Lama. "Kutai itu menurut orang tua kampung disini ya ini sudah (Kutai Lama) bukan Muara Kaman" kata pak Haji Azis sambil ia menjelaskan keberadaan makam raja Aji Mahkota dan raja Aji Dilangga. Riwayat asal mula nama Kutai ini juga datang dari Muis salah satu tetua kampung di Kutai Lama yang menyebut bahwa konon, suatu saat ketika hendak memberi nama kampung Kutai ini,seorang warga yang diberi tugas dengan mengelilingi kampung ditemani sebuah sumpit, tiba-tiba orang itu melihat tupai di atas pohon petai lalui menyumpitnya. Setelah tupai itu terjatuh ia kemudian berpantun "Tupai di pohon petai jatoh ke kumpai". Dari pantun itulah munculnama Kutai. Riwayat ini sebetulnya ingin menjelaskan bahwa awal ditemukannya nama Kutai ada di Kutai Lama.

Jika di Kutai Lama banyak disebut-sebutsebagai tempat awal kedatangan Islam yang ditandai dengan Makam Tunggang Parangan sebagai pembawa misi Islam (Islamisasi), maka di Muara Kaman juga terdapat sebuah Makam yang dikenal di masyarakat setempat sebagai Syekh Al-Magribi yang mereka yakini sebagai pembawa Islam pertama kali di KalimantanTimur. Sayangnya di Makam Syekh Al-Magribi, saya hanya bisa membaca tulisan Arab "Sallallahu alaihi wasallam" di nisan kayu setinggi 60 cm itu. Selebihnya, tulisan pahat itu terabaikan karena tulisannya mulai kabur termakan zaman.

Tetapi yang menarik adalah di desa Kutai Lama, ada perbincangan tentang tafsir masa silam. Sebagaian mereka memaknai bahwa masa silam yang banyak dibicarakan itu disayangkan karena bukti-bukti peninggalan sejarahnya tidak ditemukan. Bukti yang ada hanya makam Tunggang Parangan dengan dua raja yang berhasil di Islamkannya, raja Aji Mahkota dan raja Aji Dilangga yang di kunjungi oleh ribuan peziarah setiap bulannya."Sejarah disini tidak jelas karena bukti-bukti peninggalannya tidak ditemukan",kata Syahrul salah seorang penduduk Kutai Lama. Ia lebih lanjut menjelaskan bahwa menurut tetua kampung Kutai Lama, apa yang disebut negeri Jahitan Layar yang disebut-sebut sebagai pusat kekuasaan, sama sekali tidak ada jejak peninggalan yang bisa membuktikan sebagai kerajaan. Konon kerajaan ini disembunyikan dengan maksud tertentu untuk menghindari serangan musuh. "Boleh juga area kerajaan ini tertimbun dan ditutupi oleh pasir karena bencana alam," lanjut Syahrul berusaha meyakinkan.

Untuk melihat lebih dekat bagaimana kondisi Jahitan Layar yang selalu disebut-sebut dalam sejarah mainstream itu, saya mengajak Syahrul ke lokasi yang diyakini sebagai Jahitan Layar. Ternyata wilayah itu adalah kawasan perbukitan pasir seluas 4 kali lapangan sepak bolayang sebagiannya gundul dan sebagian lainnya ditumbuhi pohon-pohon kecil setinggi 4-5 meter. Saat ini masyarakat setempat ada yang mencoba menanam karetdi areal tersebut. Di Jahitan Layar yang terletak 700 meter dari perkampungan Kutai Lama, saya hanya menemukan fosil kayu yang sudah membatu berdiameter 40cm dan panjang 8 meter. Sementara di depan bukit pasir itu terdapat tulisan di papan kecil seperti nama jalan. "Butuh pasir silahkan hubungi 0852..". Ya kawasan itu adalah tempat penambangan pasir yang biasa digunakan oleh penduduk desa.

Sejarah Gelap VS Sejarah Terang.
Sepulang dari bukit Jahitan Layar saya bertanya dalam hati. Apa sesungguhnya yang disebut sebagai "sejarah jelas"?. Apa itu tirai kegelapan?. Apakah sejarah selalu harus "jelas"?. Apakah salah jika sejarah itu kadang-kadang jelaskadang-kadang gelap?. Atau apakah tidak boleh andai kata saya menafsirkan dalam sejarah gelap ada terang dan dalam sejarah yang disebut sejarah terang ada gelap?.

Bagi Syahrul, jika ini pusat kerajaan maka mestinya ada yang membuktikannya. Begitu juga makam raja-raja sebelum raja Aji Mahkota yang tidak ditemukan rimbahnya. Pandangan lain juga datang dari Pikal salah seorang penduduk setempat yang menganggap bahwa masa silam KutaiLama tidak peduli apakah jelas atau tidak, itu juga terbukti dengan sikapnya yang acuh tak acuh dengan masa lalu di Kutai Lama. Meski demikian Pikal sendiri masih menjalani ritus ziarah makam kepara aulia yang mereka sebut makam keramat. Lain lagi dengan pandangan Iwan yang memadukan antara sejarah tulis dan sejarah yang turun-temurun (tutur). "Saya disamping membaca buku sejarah Kutai yang ditulis oleh para sejarawan,saya juga mempercayai dan mendengar cerita-cerita dari orang tua kampung disini," kata Iwan yang juga pemegan kunci Makam raja Aji Dilangga.

Boleh jadi pandangan Syahrul ini berkaitan dengan soal banyaknya penulis "sejarahKutai" yang menyebut-nyebut tentang masa gelap. Salah satunya Adib MA yang juga dosen STAIN Samarinda ini misalnyamenulis artikel sejarah Kutai di salah satu situs yang menganggap perlunya merekonstruksi sejarah Kutai karena adanya tabir kegelapan. Menurutnya analisis artefak belum dapat mengungkap tabir kegelapan itu. Sayang, Adib tidakmenyebut mengapa harus ada rekonstrusi? Untuk apa?. Apa keuntungan komunitasnya. Malahan ia hanya menyebut rekonstruksi untuk kepentingan melestarikan aspek sejarah dan budaya kesultanan Melayu di wilayah Nusantara. Saya khawatir rekonstruksi sejarah semacam itu hanya untuk diinvensidan dan dikomodifikasi untuk kepentingan kekuasaan. Terbukti ritus Erau yang belakangan terlaksana sudah dikomodifikasi yang konon tidak lagi "menguntungkan" pemeluknya.

Saya kira ada juga baiknya untuk merenungkan pendapat Edwar Said (1978) tentang cara kerja sejarah. Menurutnya cara melihat masa silam menentukan cara kita memperlakukan masa kini dan yang akan datang.Justru disinilah persoalannya, kita dapat menyaksikan dewasa ini bagaimana cara pemerintah dalam memperlakukan apa yang disebut "masa kini" yang selalu ingin membuat pariwisata budaya, dan sejarah dalam bentuk seperti Pulau Kumala yang dibanguni Lamin dan patung lembuswana ditambah dengan agenda lomba tari-tarian yang sama sekali sudah tidak lagi dibutuhkan oleh pemeluknya.

Bukankah perlakuan semacam itu karena"kekeliruan" dalam memandang "masa lalu". Bagi saya, sejarah bukanlah "barang baku" ia adalah teks masa silam yang senatiasa berubah-ubah. Tergantung bagaimana cara melihatnya. Melestarikan aspek sejarah dan budaya bisa terjebak pada romantisme masa silam yang hanya memandang masyarakatnya seperti museum. Padahal masyarakat punya tafsir sejarah yang dinamis dan berdialektika terus-menurus dengan zamannya. Masyarakat juga berubah-ubah termasuk dalam membaca masa silamnya.

Pada persoalan ini saya bukan mau mengatakan bahwa menyingkap tabir sejarah itu tidak penting. Tetapi mengkategorisasi sejarah gelap dan terang secara sederhana, itu yang tidak penting bagi saya. Menurut saya, kalau dianggap ada tabir kegelapan dalam sejarah Kutai maka mengapa tidak ditulis saja proses menjadi gelapnya sejarah Kutai itu?. Bahkan yang seringkali terabaikan dalam studi sejarah adalah bahwa kekuasaan senantiasa mengkonstruksi model sejarah yang akhirnya menjadi penyokong kekuasaan. Nah, disinilah persoalan kita saat ini mengenai "sejarahKutai". Karena ternyata sejarah Kutai masih didominasi sejarah kekuasaan dan penaklukan. sejarahyang tersimpan dalam ingatan orang-orang kecil selalu diabaikan bahkan dianggap bukan sejarah.Terlepas dari persoalan itu, saya mencoba menelusuri jejak yang tersimpan dalam kepala (ingatan) masyarakat Kutai Lama. Saya kemudian mulai melacak dari riwayat desa Kutai Lama.

Dalam pengetahuan Muis yang sekarang pemegang kunci makam raja Mahkota bahwa diyakini ada suatu masa setelah zaman para raja Kutai berkuasa di Jahitan Layar (Kutai Lama) pindah ke Jembayan dan Tenggarong, Kutai Lama ini sudah tidak lagi berpenghuni. Itu dibuktikan dengan pengakuan Muis bahwa yang membuka pertama hutan rimba di Kutai Lama ini ada 4 orang. Mereka berasal dari Sungai Meriam yang meminta izin kepada Sultan Kutai di Tenggarong untuk membuka lahan perkebunan di Kutai Lama yang dulu disebut Jahitan Layar atau Tepian Batu.

Berbekal izin dari Sultan Muhammad Parikesit, H. Japri, Arsa Jaya, Paman Tungku dan seorang lagi tidak diingatnamanya, mengelola Kutai Lama ini untuk kepentingan perkebunan dan pemukiman. Lambat laun setelah empat orang ini membuka lahan di Kutai Lama secara berangsur-angsur banyak masyarakat datang untuk bermukim di Kutai Lama yang saat ini dihuni oleh campuran Bugis dan Koetai. "Setelah ditinggal para raja,kampung ini berubah menjadi hutan. Makanya orang takut membuka kampung ini, selain pohonnya besar-besar juga tempat ini (Kutai Lama) dianggap keramat dan penuh misteri. Nah kakek sayalah yang memulai membuka kembali," kata Muis Yang juga penjaga makam Raja Aji Mahkota dan Raja Aji Dilangga.

Dalam amatan saya di beberapa sejarah tulis Kutai, ternyata dari dokumen-dokumen sejarah itu hanya membincang sejarah tahun (waktu sekuler) berikut aktor-aktornya.Saya tidak menemukan bagaimana setting sosial dan laku budaya lokal (perjumpaan kebudayaan) ketika raja membangun tahta kerajaan Kutai Kertanegara. Begitu pula sejarah di saat Tunggang Parangan datang untuk mengislamkan raja Mahkota yang hanya memuat adu kesaktian dua pembesar itu yang selalu dimenangkan olehTunggang Parangan.

Untuk sementara abaikan saja dulu perbincangan soal masa silam yang "kusut" itu . Yang pasti masyarakat Kutai Lama yang mayoritas bekerja di tambak muara Mahakam ini tengah menggelisahkan tentang mata air dibalik bukit Jahitan Layar. "Saya menghawatirkan mata air yang sudah menghidupi dan mengaliri sekitar 700-an rumah di Kutai Lama selama bertahun-tahun akan mati seperti di wilayah lain,gara-gara aktivitas pertambangan. Kalau terus-terus digali dan dikerumuni kampung ini oleh perusahaan batubara lama-lama bencana akan datang juga," tutur Syahril yang dibenarkanoleh Pikal yang juga generasi muda Kutai Lama.

Dalam kepungan Tambang
Kutai Lama di samping memendam sejarah masa silam yang penuh dengan pesona, ternyata juga tersimpan dalam perut buminya batubara dan gas alam yang menggiurkan bagi pemburu fosil yang tak terbarukan ini.

Tak heran jika kampung ini tengah dikepung oleh aktivitas pertambangan baik minyak maupun batubara. Misalnya disebelah Utara Barat dan Selatan ada perusahaan Tambang batubara PT.Kartanegara Perkasa, PT, Sinar Kumala Naga. Dan perusahaan sub kontraktor tambang seperti PT. Petrona, PT. Areda, Koperasi Pangkalan Jaya, PT,Borneo Raja Kutai dan PT, Subur Makmur. Sementara di sisi Barat dan Timur terdapat perusahaan Migas Medco Energi, Vico (Virginia Indonesia Company). Di tengah-tengah terdapat makam raja Kutai Yang pertama masuk Islam yang berdekatan dengan makam Pembawa Islam Pertama di Tanah Borneo Timur. Kutai Lama yang amat penting dalam sejarah Borneo kini mengalami krisis ekologi akibat ancaman aktivitas tambang.

Abdallah Naem
Awal Ramadhan 1431 H.
di tepi danau Maninjau

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum