WAWANCARA : Bukan CNN (Cuma Nanya Nanya)

Jumat, 15 Juli 2011

Berita merupakan produk aktivitas jurnalistik atas dasar informasi yang berdasar pada fakta. Jika sang jurnalis hadir atau berada dalam sebuah kejadian maka dia bisa mengunduh fakta melalui dirinya sendiri. Tetapi fakta selalu berdimensi banyak dan tidak tunggal maka memperkaya fakta melalui subyek atau tokoh lain perlu untuk dilakukan. Jalan untuk mengumpulkan informasi atau bahan pemberitaan ditempuh melalui wawancara. Tidak semua subyek mau diwawancarai, kalaupun mau belum tentu memberikan informasi yang kita perlukan. Oleh karenanya diperlukan penguasaan teknik wawancara agar subyek, tokoh atau narasumber mau berbicara.

Ketrampilan wawancara sebagaimana ditunjukkan dalam media televisi dan radio bahkan menjadi mata program atau acara sendiri. Pembawa acara (host) yang menguasai teknik wawancara dengan baik mampu menghadirkan “tontonan” yang menarik dan disukai oleh penonton atau pendengar. “Oprah Wimprey Show” adalah salah satu yang sangat terkenal di dunia. Kick Andy, Just Alvin, Satu Jam Bersama Tokoh dan lain-lain adalah beberapa acara yang berbasis wawancara di televisi Indonesia. Host yang kuat, mengajukan pertanyaan yang tepat, menggali lebih dalam membuat wawancara (Talk show) menjadi memikat untuk ditonton karena banyak informasi baru akan disampaikan oleh narasumbernya.

Pertunjukan model “Talk Show” ini bahkan kini sudah merambah dalam program-program off air. Berbagai diskusi atau sessi edukasi publik kini banyak disajikan dalam model talkshow atau memakai teknik wawancara untuk menggali informasi dari narasumbernya. Jika kita rajin menyaksikan semua tontonan itu, aka terlihat bahwa setiap host (pewawancara) mempunyai style tersendiri dalam mengajukan pertanyaan dan melakukan pendalaman atas apa yang disampaikan narasumber. Dan memang benar sebab dalam sebuah sessi wawancara, seorang pemburu informasi harus mampu berhadapan dengan sesuatu yang dinamis, suasana yang tidak terduga. Maka seorang pewawancara mesti bersikap fleksibel.

Kenapa diperlukan sebuah wawancara
Berita, ketika disampaikan (dipublikasikan) ke publik harus memenuhi unsur keberimbangan. Jadi siapapun yang hendak mempublikasikan sebuah berita ke wilayah publik harus bertanggungjawab untuk menjaganya. Keberimbangan ini hanya akan terbangun apabila kita menuliskan berita yang disusun atas dasar informasi dari berbagai sumber. Dan wawancara adalah jalan satu-satunya untuk melakukan hal itu.

Dengan perkembangan teknologi sekarang ini, maka wawancara tidak selalu harus dilakukan dalam bentuk face to face (tatap muka). Dengan bantuan berbagai alat komunikasi, kini wawancara bisa dilakukan melalui telepon, instan messenger (sms, bbm, ym dll), email (wawancara tertulis), chat box atau bahkan melalui video calling (misalnya skype). Pendek kata banyak jalan untuk melakukan wawancara.

Penulis berita bukanlah orang yang maha tahu, maka setelah memproyeksikan berita yang hendak ditulis langkah berikutnya adalah mengumpulkan data atau informasi dari sumber berita. Dalam sebuah proyeksi biasanya diperbincangkan tema atau pokok yang hendak ditulis, tujuannya untuk apa, point-point apa yang hendak diangkat (fokus) dan siapa narasumbernya. Kedudukan narasumber dalam penulisan berita sangat penting, sebab dia terkait dengan substansi pemberitaan. Pemilihan narasumber yang tidak tepat, penggalian informasi yang kurang atau gagal membuatnya bicara, akan membuat berita yang ditulis menjadi tidak kredibel, validitas dan akurasinya dipertanyakan. Berita bukanlah rangkaian opini (pemikiran) dari penulisnya melainkan kumpulan fakta-fakta (data dan informasi) dari narasumber yang diorganisasi dengan tujuan tertentu oleh penulisnya.

Proses dan Tahapan Wawancara

Persiapan
Ketika tema atau fokus penulisan sudah ditentukan, maka berikutnya adalah menentukan siapa yang hendak diwawancarai. Penentuan menyangkut siapa yang hendak diwawancarai mesti disesuaikan dengan tujuan dari penulisan. Jika kita ingin memaparkan sebuah peristiwa atau kejadian, maka akan mencari orang yang terlibat langsung dalam peristiwa itu, orang yang terkena dampak peristiwa dan saksi mata. Sebaliknya kalau kita ingin mencari tahu siapa yang bertanggungjawab atas sebuah kejadian, maka kita akan mewawancarai pihak penyelidik, atau ahli pada bidang tersebut.

Ketika kita sudah mempunyai daftar narasumber, pertimbangkan kesulitan yang akan dihadapi dan bagaimana cara kita mengatasinya. Kemungkinan pertama adalah narasumber menolak untuk bicara dengan alasan tidak punya waktu. Ada juga narasumber yang tidak mau bicara karena takut atau segan untuk memberikan keterangan. Bisa juga narasumber tidak mau memberi keterangan karena merasa tidak tahu apa yang akan kita tanyakan. Dalam banyak hal, narasumber yang mempunyai kedudukan, upaya kita untuk menemuinya sering dihambat oleh birokrasi (sekretaris, humas, ajudan atau bahkan pengawal).

Semua kesulitan ini tentu harus diatasi agar kita mampu mendapatkan bahan untuk menghasilkan informasi yang benar. Kepada mereka yang mengatakan tidak punya waktu, kita bisa menanyakan kapan mereka mempunyai waktu luang, mintalah sedikit waktu, atau tawarkan bentuk wawancara lain, entah lewat telepon atau tertulis. Untuk mereka yang merasa enggan memberikan informasi, kita harus memahami perasaan itu sambil membesarkan hati mereka, mengatakan bahwa informasi dari mereka sungguh penting. Atau mungkin kita mengatakan pada mereka bahwa kita ingin bertemu, ngobrol atau cerita-cerita tentang topik tertentu. Soal birokrasi bisa diatasi dengan janji pertemuan, mengajukan surat permohonan resmi untuk bertemu, atau coba temui saat mereka melakukan kegiatan lain di luar kedinasan. Kita bisa meminta bantuan orang-orang yang mempunyai akses kepada mereka.

Sebelum melakukan wawancara, kita perlu mengenal orang yang hendak kita wawancarai. Kenali orang tersebut dari berbagai sumber, lakukan riset atau pengamatan kecil-kecilan sehingga kita tahu latarbelakangnya, hal ini akan membantu kita saat melakukan wawancara.

Ketika hendak menemui narasumber, selain peralatan untuk mencatat atau menyimpan informasi (recorder) kita harus membekali diri dengan daftar pertanyaan. Pertanyaan disusun tergantung kepada tujuan kita. Apakah wawancara untuk mendapat informasi yang faktual tentu saja mempunyi pertanyaan yang lebih banyak dan tajam dibanding dengan wawancara yang bertujuan untuk meminta konfirmasi atau reaksi orang terhadap peristiwa tertentu.

Wawancara
Setelah persiapan selesai, maka saatnya wawancara tiba. Sebelum menemui, pastikan kembali kesiapan narasumbernya. Buat janji yang pasti soal jam dan tempat untuk melakukan wawancara (pada wawancara tatap muka). Pastikan kita mempunyai peralatan yang memadai untuk mendukung wawancara (alat pencatat dan perekam). Jika diperlukan bawa juga alat pendukung tambahan yaitu kamera. Dan yang paling tidak boleh dilupakan adalah daftar pertanyaan.

Kebanyakan orang yang diwawancarai bukanlah sosok yang dikenal oleh pewawancaranya, selain itu banyak pula orang yang tidak mau “diberitakan” Maka agar wawancara berjalan efektif, diperlukan langkah-langkah berikut :
1. Buat janji dan tentukan tempat yang nyaman. Wawancara perlu direncanakan soal waktu dan tempat agar narasumber merasa nyaman. Tempat akan sangat mempengaruhi kondisi psikologis narasumber. Rasa tidak nyaman membuat aliran informasi dari narasumber menjadi tidak lancar. Minta narasumber untuk menentukan tempat atau beri tawaran padanya. Hindari tempat yang ramai atau gaduh, agar narasumber tidak terganggu konsentrasinya. Tempat umum juga kurang cocok untuk narasumber yang terkenal, sebab bisa saja orang yang kenal akan “nimbrung” menyapa atau mampir ngobrol sejenak.
2. Nyatakan tujuan wawancara. Setiap wawancara mempunyai tujuan yang beragam. Sampaikan hal-hal apa yang kita harapkan dari narasumber, entah itu berupa penjelasan, konfirmasi, latar sebuah pokok persoalan atau informasi yang lebih dalam tentang sesuatu hal. Penyampaian tujuan ini penting agar narasumber juga mempersiapkan diri dengan berbagai bahan yang menurutnya penting. Namun yang terpenting adalah agar wawancara tidak “melantur” kesana-kemari.
3. Fleksibel dan buat seperti percakapan. Sebelum wawancara kita mesti menyiapkan point-point yang hendak ditanyakan dalam wawancara untuk mencegah pokok tertentu dilewatkan atau lupa ditanyakan. Tapi wawancara bukanlah sekedar tanya jawab (kita bertanya, narasumber menjawab), melainkan sebuah perbincangan, seperti obrolan dua orang yang asyik membahas sesuatu hal. Wawancara yang berhasil adalah yang mengalir dan hidup dimana kita dan narasumber saling mengimbangi dalam membahas pokok tertentu. Dengan demikian meski kita telah menyiapkan point pertanyaan tertentu, jangan terlalu kaku atau terpaku dengannya. Jangan sampai “ketaatan” kita pada point-point pertanyaan membuat narasumber kehilangan nafsu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kita.
4. Pertimbangkan peralatan bantu. Alat bantu standar adalah pencatat atau perekam, namun tetap diperlukan persiapan lain tergantung pada tujuan akhir dari produk wawancara kita. Informasi yang diperoleh akan dipublikasikan dalam bentuk apa?. Tulisan, suara atau gambar hidup (audio visual). Setiap model publikasi menuntut teknik wawancara yang berbeda karena aspek tertentu yang hendak ditonjolkan juga berbeda.
5. Sibuk sendiri. Seorang narasumber tentu ingin disimak dan dihargai, maka hindari kesibukan yang berlebihan. Persiapkan diri dengan benar agar kita tidak terganggu dengan alat yang kita pakai. Sikap berlebihan yang menganggu seperti asyik menulis yang dikatakan narasumber, apapun ditulis sehingga kita lupa menjaga kontak mata dan memperhatikan bahasa tubuh narasumber. Atau justru kita sibuk memotret sehingga membuat konsentrasi narasumber terganggu dan merasa tidak nyaman. Sikap yang berlebihan membuat kita nampak tidak profesional di hadapan narasumber, akibatnya dia bisa malas untuk meneruskan wawancara, menjawab sekenanya saja dan ingin wawancara segera berakhir.
6. Sesekali ajukan pertanyaan nakal dan usil. Pertanyaan yang datar akan membuat narasumber memberi jawaban-jawaban yang normatif. Padahal kita perlu jawaban-jawaban yang menarik, oleh sebab itu kita perlu memancing narasumber agar mengeluarkan atau menunjukkan sifat aslinya. Dengan demikian omongan yang keluar dari mulutnya bukanlah jawaban yang ditujukan untuk pecintraan diri (jaga image). Usahakan atau pancing agar narasumber mengatakan apa yang selama ini disimpan, opini pribadinya bukan jawaban karena kedudukan atau posisi yang harus dijaganya. Jawaban-jawaban “resmi” selalu bisa diduga dan tak akan menarik untuk khalayak. Kita perlu jawaban orisinil yang mewakili sisi “kemanusiaan” dari narasumber.
7. Pancing narasumber untuk menunjukkan kompetensinya. Umumnya narasumber akan bersemangat menjawab atau melayani wawancara, apabila diminta untuk menunjukkan kemampuan, pikiran atau gagasan yang berdasar pada keahliannya. Ajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya mengeluarkan simpanan pengetahuan atau pengalamannya.
8. Jaga irama wawancara. Untuk wawancara yang mendalam, kita perlu menjaga irama wawancara. Semangat narasumber harus dipertahankan. Atur pertanyaan dengan baik, tempatkan pertanyaan yang mengugah, bawa narasumber pada masa-masa yang penting dalam hidupnya. Beri juga kesempatan hening atau jeda. Jangan cepat melontarkan pertanyaan kembali saat narasumber terdiam.
9. Kontrol atas tujuan kita. Pada saat tertentu jika kita merasa narasumber belum menjawab pertanyaan kita, atau jawabannya kurang dalam, ulangi kembali pertanyaan kita dengan kalimat yang berbeda. Pertanyaan berulang juga penting untuk menjaga konsistensi jawaban. Bisa jadi pada pertanyaan pertama dia menjawab A, lalu ketika diulang dengan kalimat berbeda dia akan menjawab B.
10. Hormati hak narasumber. Pada kasus atau jawaban tertentu sering kali narasumber mau memberikan informasi tapi tidak ingin dinyatakan sebagai narasumber. Hormati hal itu dan informasi yang diberikan olehnya tetap berguna sebagai latar penulisan. Pada persoalan yang bisa menimbulkan resiko baik fisik maupun psikologis, narasumber juga harus dilindungi. Ini penting agar niat baik kita tidak menimbulkan resiko untuk orang lain.
11. Basa-basi di awal dan akhir wawancara. Diawal wawancara, basi-basi adalah hal yang biasa, untuk menciptakan suasana akrab, memecahkan kebekuan atau tembok penghalang. Sementara di akhir wawancara, basa-basi juga penting. Terkadang justru setelah wawancara selesai, saat bersiap pulang (berpisah) lontaran pertanyaan tertentu akan membuat narasumber kembali mengungkapkan hal-hal yang penting secara bebas. Saat akhir wawancara bisa menjadi langkah awal untuk membina hubungan baik sehingga pada kesempatan berikut kita bisa lebih mudah jika ingin menemui dan mendapatkan informasi darinya.
12. Lengkapi data narasumber. Sebelum wawancara berakhir pastikan kita meminta narasumber untuk mengisi biodata lengkap. Biodata ini penting baik sebagai database narasumber juga sebagai sarana bagi kita untuk mengenalnya lebih dalam. Pada dasarnya narasumber akan senang jika kita mengetahui latarbelakangnya, tahu apa yang disenangi dan apa yang tidak dimauinya. Sebagai pewawancara kita perlu membangun “raport kepercayaan” di hadapan narasumber. Pewawancara yang sok menduga-nduga, pura-pura akrab atau menjilat akan mempunyai nilai negatif di hadapan narasumbernya.
Tujuh Jenis Pertanyaan
Edward Jay Friedlander, Harry Marsh dan Mike Masterson menuliskan panduan dalam Excellent in Reporting, 1987, tentang tujuh jenis pertanyaan yang biasa diajukan jurnalis dalam sessi wawancara:

1. Pertanyaan pembuka
Merupakan pertanyaan yang bertujuan mencairkan suasana sebelum masuk dalam bagian untuk mengorek informasi dari narasumber. Pertanyaan bisa seputar kecintaan atau hobby yang kelihatan.

“Kebanyakan koleksi perpustakaan Ibu buku-buku filsafat. Rupanya Ibu mencintai filsafat ya?. Siapa filsuf favoritnya?.”

2. Pertanyaan langsung
Pertanyaan ini diajukan setelah wawancara berkembang. Arahnya adalah langsung ke pokok persoalan.

“Bagaimana perkembangan realisasi pembangunan jalur kereta api, Pak?”

3. Pertanyaan tertutup
Pertanyaan jenis ini mengarah kepada detail layaknya sebuah interogasi.

“Berapa alokasi dana APBD yang telah terserap untuk pembangunan jalan tol?”

4. Pertanyaan menyelidik
Untuk mendapat alasan atau keterangan yang lebih dalam perlu pertanyaan menyelidik. Pertanyaan yang menuntut jawaban lebih spesifik.

“Mengapa alokasi anggaran sektor perhubungan tiga kali lipat dari anggaran pendidikan?”

5. Pertanyaan bipolar
Pertanyaan jenis ini ditujukan untuk dijawab “ya” atau “tidak”.

“Apakah status hukum Gubernur jadi diumumkan besok, Pak?”

6. Pertanyaan cermin
Untuk beberapa jawaban tertentu, perlu dilakukan pendalaman kembali, kita perlu menegaskan kepastian jawaban dari narasumber.

“Jadi lewat pembangunan tol, dermaga dan maskapai penerbangan, bapak hendak menyatakan bahwa propinsi Kaltim memprioritaskan sektor perhubungan daripada sektor pertanian?”

7. Pertanyaan Hipotetif atau Sugestif
Pada akhir wawancara, sering kali perlu diajukan pertanyaan spekulatif. Jika beruntung pertanyaan ini akan menghasilkan informasi yang mungkin tidak diduga sebelumnya.

“Apakah tidak pernah terlintas dalam benak bapak, untuk merealisasikan dulu pemenuhan anggaran 20% bagi sektor pendidikan dibandingkan dengan pembangunan jalan tol?”

Pada dasarnya keberhasilan sebuah wawancara akan tergantung pada pertanyaan yang kita kembangkan. Seorang penulis berita yang berhasil adalah seorang penanya yang baik. Pertanyaan yang jelas dan terarah akan membantu narasumber untuk membuka atau memberi informasi yang kita inginkan. Bisa jadi data dan informasi yang kita kumpulkan kurang memenuhi keinginan karena kita salah memberikan pertanyaan. “Belajar bertanya, bukan menjawab” begitu nasehat seorang filsuf. Itu artinya belajarlah terus menyusun pertanyaan yang baik untuk menuntun seseorang yang ditanya memberi jawaban terbaik.

Sukses Melakukan Wawancara
Untuk meningkatkan kemampuan wawancara dan menilai hasilnya, kita perlu rajin membaca transkrip dan mengevaluasi hasil wawancara. Hal ini penting untuk dilakukan agar kita mampu mengembangkan pertanyaan yang jitu dan menembus kebuntuan saat melakukan wawancara.

Selain terus belajar dan mengasah kemampuan, sebelum melakukan wawancara kita juga harus mempersiapkan diri dengan pemahaman dan penguasaan atas materi yang hendak kita bahas dalam wawancara. Tanpa pemahaman dan latar belakang yang cukup akan banyak topik yang terlewatkan atau bahkan narasumber enggan membeberkan persoalan secara dalam karena menganggap kita tidak paham.

Berikut catatan akhir yang penting untuk menunjang suksesnya sebuah sessi wawancara :
1. Selalu menggunakan kalimat tanya yang membuat narasumber memberikan jawaban yang obyektif.
2. Susun dan ungkapkan pertanyaan dengan kalimat yang ringkas dan mudah dimengerti.
3. Tanyakan kembali hal-hal yang belum jelas untuk kita mengerti.
4. Peka terhadap situasi, mengenali bahasa tubuh narasumber agar momentum pertanyaan kita pas. Menanyakan hal-hal yang tidak membuat dia menutup diri dan bertanya dengan gaya bahasa yang sesuai dengan suasana.
5. Hindari mengajukan pertayaan yang bernada menggurui atau menginterogasi seolah-olah narasumber adalah pesakitan.
6. Tunjukkan empaty kita pada wawancara yang menyangkut sisi kemanusian.
7. Pada pokok yang rumit, komplek atau sensitif, perlu dijelaskan lebih dahulu latar persoalan yang hendak kita pertanyakan.
8. Hindari pertanyaan yang bersifat mengadu domba.
9. Gugah kemampuan, daya nalar, ingatan dan perspektif narasumber.

Catatan ini bisa terus diperpanjang, namun semua itu tak akan menjadi sebuah jaminan sukses tidaknya sebuah wawancara jika tidak diimbangi oleh kemampuan untuk mengimplementasikannya. Akhirnya diluar semua yang telah dituliskan diatas, jangan sekali-kali mendatangi narasumber dengan tangan dan kepala yang kosong.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum