• Blockquote

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Duis non justo nec auge

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (100)

Jumat, 23 November 2012 0 komentar


Menulis Setiap Hari

Dalam perbincangan, dosen etika saya memberi sebuah rasionalisasi tentang manusia dan keabadian dan manusia dengan penjelasan yang sangat masuk akal dan tidak berbau spiritualisasi. Menurutnya manusia abadi karena setelah mati  karena masih diingat oleh manusia lain, terutama oleh orang-orang yang dekat dengannya. Seseorang diceritakan dan dikenang dari satu generasi ke generasi lainnya. Itulah kenapa tujuan hidup tertinggi kerap dirumuskan dengan kata menjadi berarti untuk sesama. Seorang tokoh pendidikan dari Sulawesi Utara, Dr. GSSJ Sam Ratulangi mempopulerkan istilah Si Tou Tumou Tou, manusia hidup untuk menghidupkan orang lain. Semboyan yang melawan kata homo homini lupus, manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya.

Apa yang diterangkan oleh Dosen saya mempunyai benang merah dengan apa yang disampaikan oleh Sam Ratulangi dengan konsekwensi tertentu yaitu tingkat keabadian antar orang menjadi tidak sama. Orang-orang dengan lingkaran pengaruh lebih luas maka akan lebih ‘abadi’. Diceritakan dari generasi ke generasi oleh banyak orang, bahkan secara formal melalui mata pelajaran di sekolah. Maka celakalah orang meskipun baik namun karena  lingkaran pengaruhnya kecil, sehingga tak lama setelah meninggal sudah terlupakan.

Maka sebenarnya keabadian menjadi ‘ajeg’ apabila ditulis, dinarasi bukan hanya dalam cerita lisan dan tersimpan dalam ingatan orang per orang  melainkan terangkum dalam kitab. Pramoedya Ananta Toer kalau tidak salah pernah mengungkapkan pernyataan “Orang boleh pandai setinggi langit, namun kalau tidak menulis maka akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah”. Sebuah pernyataan yang dengan jelas menunjukkan bahwa menulis dan tulisan adalah jalan untuk menjadikan sesuatu atau seseorang menjadi tetap dikenang atau abadi.

Saya setuju dengan apa yang dikatakan oleh Pram dan saya memandatkan kepada diri saya sendiri  untuk menulis setiap hari, entah jadi atau tidak. Namun saya menulis bukan untuk memenuhi apa yang dikatakan olehnya. Mandat pada diri oleh menulis sebenarnya dipengaruhi oleh nasehat seseorang yang saya dengar ketika mengatakannya pada seorang teman. Jadi sebenarnya saya melakukan nasehat yang tidak langsung ditujukan pada saya.

“Menulislah setiap hari”, begitu katanya. Entah apa yang membuat orang itu mengatakan hal demikian. Namun saya menduga, kawan saya itu bertanya tentang bagaimana bisa menulis dengan bagus. Dan setahu saya yang ditanya itu adalah seseorang yang saya kenal mempunyai kemampuan menulis di atas rata-rata. Seseorang yang bisa menghasilkan tulisan dengan cepat namun isinya tetap bernas.

Sejauh yang saya alami, memang banyak orang yang ingin bisa menulis dengan baik, namun hanya berhenti menjadi sebuah keinginan karena mulai dipusingkan dengan tetek benggek teori yang membuatnya tidak memulai untuk menulis. Maka ungkapan atau kata-kata “Menulislah setiap hari”, menjadi sama persis dengan ‘Memotretlah sesering mungkin”, sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimana bisa menghasilkan foto yang bagus. Allah bisa karena biasa, begitu pepatah yang biasa kita dengar.

Menulis dan memotret adalah dua hal yang kelihatan berbeda namun sejatinya sama. Dibalik gambar dan tulisan selalu ada pesan yang ingin kita sampaikan hanya saja mediumnya berbeda. Namun tulisan maupun gambar sama-sama akan ‘bercerita’ dengan sudut tertentu sesuai dengan apa yang dipilih oleh penulis atau fotografernya.

Dan adalah benar dengan menulis setiap hari sesungguhnya kita sedang ‘learning by doing’, belajar sambil melakukan. Langkah demi langkah kita akan belajar dengan sendiri tentang menulis dan menghasilkan sebuah tulisan yang baik dengan refleksi dan evaluasi atas tulisan kita sendiri. Menulis setiap hari akan membuat kita secara otomatis menyusun outline, kerangka tulisan di balik kepala.

Dengan menulis setiap hari, segera kita akan merasa betapa pengetahuan itu penting dan ternyata pengetahuan kita akan sesuatu terbatas. Dengan demikian ada dorongan untuk terus menambah pengetahuan, peka terhadap keadaan di sekeliling, melihat dengan lebih dalam apa yang terjadi. Dan yang paling penting kita akan tahu dan sadar bahwa membaca itu penting, karena dengan membaca maka pengetahuan dan pemahaman kita akan sesuatu menjadi bertambah dan semakin baik.

Pengetahuan dan wawasan yang lebih luas karena bacaan akan membuat kita tidak kesulitan dalam membuat tulisan. Tidak kekurangan bahan dan ide tentang apa yang akan ditulis.  Saya tak tahu apa yang hendak saya tulis, lagi nda ada ide, saya sedang menunggu datangnya ilham dan inspirasi untuk saya tulis, begitu sering dikatakan oleh banyak orang ketika ditanya kenapa belum juga menulis. Padahal di sekitar kita banyak bahan yang bisa ditulis. Namun kita menjadi buntu ketika akan menulis karena berpikir muluk-muluk, bahwa tulisan harus sempurna, ilmiah, rasional dan seterusnya.

Ketika saya belajar tentang pendidikan orang dewasa, fasilitator berkali-kali mengatakan satu pokok penting untuk disimpan dalam kesadaran terdalam yaitu “kenyataan bahwa setiap orang selalu punya pengetahuan yang khas pada dirinya sendiri”. Pengetahuan yang khas muncul dari apa yang disebut sebagai sudut pandang. Orang akan menerima sesuatu dari sudut pandangnya sendiri, sudut pandang yang dibangun dari segenap pengalaman dari perjalanan hidupnya yang khas. Dengan demikian pengetahuan seseorang selalu unik.

Setiap hari kita pasti akan berhadapan dan mengalami sebuah kejadian baik secara langsung maupun tidak. Sebuah perjumpaan yang akan menghasilkan ‘pengetahuan’ sebagai hasil permenungan, perbandingan, perkembangan, pembaharuan dan seterusnya. Dan untuk saya inilah yang akan saya tulis, saya menulis segala sesuatu dari sudut pandang diri saya yang bisa saja kemudian diperbandingkan dengan sudut pandang orang lain atau sudut pandang umum, ilmu pengetahuan, moral, agama dan sebagainya.

Di jaman kita sekarang ini segala macam hal telah terungkap, namun meski telah ada ribuan tulisan tentang sesuatu hal tetap kita masih bisa menghasilkan satu tulisan tentang hal itu dengan sebuah kekhasan kita sendiri. Itu terjadi karena kita mempunyai ‘mind map’ sendiri atas sesuatu hal dengan demikian selalu tersisa ruang yang tidak dilihat atau dipunyai oleh orang lain. Sebuah tulisan menjadi orisinil bukan karena apa yang kita tulis belum pernah ditulis orang lain. Sebuah tulisan menjadi orisinil justru karena dalam tulisan itu ada style dan identitas diri kita yang tak mungkin ditiru oleh orang lain.

Memang bisa saja pada awal-awalnya kita meniru gaya atau terpengaruh dengan model tulisan orang lain. Sebagai sebuah pembelajaran, meniru bukanlah sesuatu yang haram. Toh, sejak kecil kita melakukan sesuatu juga dimulai dengan meniru orang lain. Namun perlahan-lahan pasti kita akan menemukan gaya kita sendiri, gaya yang menurut kita paling cocok dengan diri kita.

Terus terang saya memilih menulis dengan gaya bertutur, menulis seperti tengah bercerita atau berbicara, sebuah gaya yang dipakai oleh banyak penulis ternama. Tapi saya yakin apa yang saya ceritakan, saya tuturkan meski menyorot soal yang sama akan berbeda dengan apa yang dituturkan oleh Farid Gaban, Emha Ainun Nadjib, Zaim Zaidi, Hamid Barsyaib, Mahbud Djunaidi, Samuel Mulia, Budiarto Shambazi dan lain sebagainya.

Jadi sebenarnya tidak ada satu alasan yang membuat kita sulit untuk menulis. Dan agar menulis tidak terasa semakin sulit serta bikin sakit kepala, maka kalau ada orang yang bertanya pada saya tentang bagaimana cara menulis, saya akan mengulangi jawaban temannya teman saya yaitu menulislah setiap hari. Lalu agar tulisan mengalir dan mudah dicerna, akan saya tambahkan lagi satu nasehar yaitu menulislah seperti kita sedang berbicara.

Pondok Wiraguna, 22  November 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (99)

0 komentar


Antara Kendari dan Samarinda

Kendari, propinsi Sulawesi Tenggara merupakan satu-satunya ibu kota propinsi di pulau Sulawesi yang belum sempat saya kunjungi  ketika saya tinggal selama 10 tahunan di Sulawesi Utara. Kesempatan untuk berkunjung ke Kota Kendari justru datang ketika saya telah berpindah dan tinggal di Samarinda Kalimantan Timur. Seorang kolega mengajak untuk mengerjakan sebuah proyek riset dan pengembangan di Pomalaa, Kabupaten Kolaka.

Sebelum pergi ke Pomalaa, saya sempat tinggal beberapa hari di Kota Kendari, bertemu dan berdiskusi dengan beberapa teman disana untuk mendapat sedikit gambaran tentang propinsi Sulawesi Tenggara yang tidak saya kenal sama sekali. Selain itu saya juga merekrut beberapa orang surveyor untuk membantu mengumpulkan informasi dan melakukan wawancara dengan beberapa narasumber baik di Kendari, Kolaka maupun Pomalaa.

Saya lupa persis berapa jam perjalanan Kendari – Pomalaa dengan kendaraan roda empat, yang jelas lebih dari empat jam. Pomalaa dikenal sebagai daerah penghasil nikel yang ditambang oleh PT. Aneka Tambang atau lebih dikenal dengan singkatan Antam. Memasuki Pomalaa, saya menemukan kompleks kuburan yang dari gapura masuknya jelas menandakan itu adalah kompleks kuburan orang-orang Toraja. Besarnya kompleks kuburan itu menunjukkan bahwa banyak orang Toraja tinggal di Pomalaa dan pasti sudah sejak lama.

Pertanyaan saya tentang orang Toraja, nanti akan terjawab ketika saya berbincang-bincang dengan pensiunan pegawai Antam yang masih tinggal di kompleks perumahan pegawai. Menurut Kakek yang mulai menurun pendengarannya itu, dulu di tahun 60-70 an, tidak banyak orang di sekitar kawasan tambang Antam mau bekerja sebagai pekerja tambang. Konon katanya tambang saat itu masih manual, ore (tanah yang mengandung nikel) dikeruk dengan cangkul dan skop dan dimasukkan ke dalam lori yang didorong atau ditarik oleh manusia. Jelas ini merupakan pekerjaan yang berat sehingga tidak banyak orang sekitar yang tertarik. Akibatnya Antam mendatangkan orang-orang dari Toraja untuk bekerja di tambang itu.

Banyak orang Toraja yang didatangkan dan kemudian beranak pinak di Pomalaa, sehingga sekarang kurang-kurangnya ada dua kampung yang mayoritas dihuni oleh keturunan orang Toraja. Sebagian masih ada yang meneruskan pekerjaan orang tua mereka di Antam namun sebagian besar lainnya memilih pekerjaan lainnya.

Ketika tambang sudah berkembang dan mulai menggunakan peralatan mekanis, mulailah orang-orang setempat melirik dan ingin bekerja di Antam, namun formasi pekerjaan yang tersedia di Antam juga tidak lagi banyak, sehingga tak setiap tahun bisa menerima pegawai dari warga setempat. Masalah ini kemudian menjadi soal dan Antam kerap di demo karena dianggap tidak memberi kontribusi besar dalam penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar.

Apa yang terjadi di Pomalaa sebenarnya merupakan kasus klasik, kasus yang terus berulang sampai sekarang di daerah-daerah lainnya. Di kalimantan Timur, pengembangan perkebunan kelapa Sawit mungkin sudah memasuki tahun ke 10. Namun dalam rentang waktu itu ternyata sebagian besar pekerja di sektor perkebunan Sawit masih di dominasi oleh orang ‘luar’.  Apakah ini terjadi karena orang setempat tidak melirik peluang pekerjaan di sektor perkebunan sawit, atau justru karena perusahaan sawit yang tidak berniat untuk merekrut pekerja dari masyarakat sekitar wilayah operasinya.

Bisa jadi masyarakat setempat memandang pekerjaan di kebun sawit terlalu berat dan tidak seimbang antara tenaga yang dikeluarkan dengan upah yang diterima. Atau bisa jadi perusahaan mendatangkan orang dari luar karena berkaitan dengan tingkat ketrampilan pekerja, yang mana pekerja dari luar telah siap atau terbiasa kerja di perkebunan sawit.

Pemerintah selalu menyatakan investasi ditujukan untuk mensejahterakan masyarakat setempat. Kesehteraan yang dibangun dengan terbukanya lapangan kerja serta efek langsung maupun tidak langsung dari operasi usaha di sebuah daerah (trickle down efect). Setiap investasi juga mempunyai tanggungjawab untuk meningkatkan kapasitas masyarakat setempat sehingga bisa memenuhi kebutuhan sektor usaha yang beroperasi di daerah tersebut.

Namun sejak dari jaman bahari hingga saat ini apa yang dibayangkan dan dinyatakan ini tak selalu terjadi. Investasi selalu mempunyai problem yaitu menimbulkan kesenjangan pada masyarakat lokal yang kemudian kerap menimbulkan gejolak bahkan hingga menjadi konflik yang manifest dalam bentuk kekerasan.

Apa yang terjadi di perkebunan sawit yang beroperasi di Kalimantan Timur adalah sebuah contoh, dimana usaha yang sudah mencapai rentang 10 tahun belum juga mampu menumbuhkan kapasitas pada masyarakat lokal untuk menjadi pekerja atau pekebun sawit yang handal. Tenaga terus didatangkan dari luar yang bisa berakibat menimbulkan kecemburuan sosial. Persoalan antara masyarakat setempat dengan perusahaan sawit, kemudian bisa beralih menjadi persoalan masyarakat setempat dengan pekerja sawit yang berasal dari luar.

Saya juga baru mendapat informasi, ternyata ada perkebunan sawit di daerah Berau yang mendatangkan pekerja anak dari Nias. Konon sudah tiga gelombang yang didatangkan dan jumlah pekerja anak lebih dari 100 orang. Ternyata anak-anak ini bekerja dalam kondisi kerja dan imbalan yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Anak-anak dipekerjakan sebagai penyemprot bahan untuk mematikan rumput, tidak dilengkapi dengan peralatan safety seperti masker (mulut dan hidung) dan sepatu boot. Sulit bagi anak-anak ini untuk keluar dari situasi itu karena lokasi perkebunan yang sangat jauh dari pemukiman. Cerita ini terbongkar kala ada seorang anak yang berhasil melarikan diri dengan menembus kawasan tanpa pemukiman berjalan kaki selama 3 hari dengan hanya berbekal uang 6 ribu di saku.

Di balik pidato megah tentang investasi dan capaian kinerjanya untuk ekonomi daerah ternyata selalu tersembunyi cerita suram baik bagi masyarakat setempat, maupun masyarakat luar yang sengaja didatangkan untuk menopang roda investasi itu. Cerita yang bagaikan roda berputar terus menerus, berkutat pada persoalan yang sama seakan kita tak pernah belajar untuk ‘move on’. Bergerak dari satu persoalan ke persoalan lain yang menghasilkan situasi yang lebih baik.

Saat ini dalam sektor investasi dan hubungannya baik dengan pemerintah maupun masyarakat telah dirumuskan sebuah pengertian bersama yang menempatkan baik masyarakat, pemerintah maupun dunia usaha sebagai pemegang kepentingan yang setara. Dunia usaha sebagai entitas menyadari tugas dari keberadaannya yang tidak sekedar mencari untuk untung semata (profit) dengan melupakan masyarakat (people) dan abai pada kelestarian alam (planet). Namun kebanyakan ini masih bertahan sebagai rumusan, kalimat yang hanya fasih terucap namun tak terbukti dalam kenyataan. Hubungan antara Pemerintah, Dunia Usaha dan Masyarakat masih diwarnai cerita suram. Kabar yang tidak sedap karena pemerintah lebih kerap berpihak dan membela kepentingan pengusaha dengan mengorbankan kepentingan masyarakatnya.

Pondok Wiraguna, 23 November 2012
@yustinus_esha  

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (98)

Selasa, 20 November 2012 0 komentar

Doyan Menyesatkan

Dari jejaring surat elektonik, saya membaca sebuah kabar singkat yang sangat ironik. Tengku Kemal Pasha, antropolog muda yang tulisannya banyak dimuat di media nasional menuliskan dua kejadian yang berlawanan terjadi pada hari yang sama. Tanggal 17 November 2012 di Banda Aceh diadakan peringatan Hari Toleransi Internasional, dan pada hari itu juga, 180 km dari Banda Aceh, tepatnya Plimbang, Bireun penyerbuan terhadap kelompok pengajian Tengku Ayuib yang dituduh sebagai penyebar ajaran sesat.

Saya sendiri sempat menyaksikan beritanya sekilas melalui saluran televisi.
Dalam pemberitaan disebutkan adanya bentrokkan antara dua kelompok. Dimana kelompok pengajian dianggap telah menyiapkan diri dengan berbagai senjata. Jadi begitu didatangi mereka melawan dan mengakibatkan kelompok yang mendatangi kocar-kacir dan beberapa orang terluka. Berita itu tidak menyebutkan kalau pemimpin pengajian yaitu Tengku Ayuib dan seorang pengikutnya tewas dengan cara dibakar oleh massa yang datang.

Dalam catatan Kemal, di tahun 2010 kelompok penggajian ini pernah diserbu oleh warga atas tuduhan yang sama yaitu menyebarkan ajaran sesat. Namun dalam persidangan yang dilakukan MPU (MUI) Bireun, ternyata tidak ditemukan alasan untuk menganggap kelompok pengajian Tengku Ayuib ini sesat. Ternyata persidangan itu tidak berpengaruh besar pada masyarakat yang terlanjur menetapkan mereka sebagai sesat. Peristiwa tanggal 17 November itu membuktikan kelompok pengajian Tengku Ayuib terus diincar untuk menjadi sasaran pemusnahan. Kejadian di Plimbang, Bireun Aceh ini menambah daftar panjang semangat dan perilaku anti toleransi pada kelompok intra agama.  Meski sama-sama muslim ternyata antara satu kelompok dengan kelompok lainnya terjadi upaya penyesatan.

Persoalan seperti ini menjadi berat terutama untuk para pembela gerakan toleransi. Bersimpati atau berusaha membantu untuk mendudukkan persoalan salah-salah malah dianggap ikut mendukung keberadaan kelompok ‘sesat’. Nah berhadapan dengan kelompok yang gemar melakukan ‘penyesatan’ terhadap orang lain akan sulit untuk melakukan dialog baik berdasar hukum positif, HAM maupun patokan-patokan lainnya. Jika kelompok ini sudah tiba pada keputusan final yaitu menyatakan kelompok lain sebagai ‘sesat’ maka tak ada negosiasi lain diluar kata ‘tumpas dan habiskan’.

Dibandingkan dengan yang terjadi di Ciukesik dan Sampang, peristiwa di Plimbang juga tak kurang kejamnya, karena pemimpin pengajian dan seorang pengikutnya ternyata dibakar hidup-hidup serta tak kurang dari 15 orang terluka parah karena penyerbuan. Padahal terminologi ‘sesat’ yang dipakai oleh para penyerangnya sulit dibuktikan. Apakah karena kita tidak senang kepada seseorang atau sekelompok orang lalu dengan mudahnya mengatakan mereka sebagai sesat.

Dari telaah atas berbagai kejadian penyerbuan atas kelompok tertentu, diketahui bahwa kejadian itu bukanlah laku yang begitu saja terjadi. Sebagian besar direncanakan sehingga kecil kemungkinan tidak diketahui oleh aparat intelejen.

Namun berkali-kali kita melihat bahwa aparat kurang responsif dalam mencegah terjadi peristiwa penyerbuan. Meski bersiap, namun gerak langkah aparat di lapangan tidak ditujukan untuk membuat peristiwa penyerbuan tidak terjadi. Aparat biasanya hanya melokalisir kejadian agar tidak meluas. Maka wajar apabila rentetan kekerasan, pengrusakan, pembakaran dan penghacuran terjadi begitu saja tepat di depan mata aparat. Saya meyakini tidak ada satupun warga bangsa ini yang setuju ada seseorang dibakar hidup-hidup hanya dengan sebuah tuduhan yang tak dibuktikan kebenarannya.

Namun ternyata peristiwa seperti itu terus terjadi berkali-kali. Padahal hukum kita mengatur persoalan itu. Kalau benar seseorang atau sekelompok orang melakukan ‘penistaan agama’ baik pada agama sendiri maupun agama orang lain, negara berhak melakukan tindakan. Lalu kenapa masyarakat, massa atau kelompok tertentu melakukan tindakan sendiri, menghakimi yang lainnya dengan tindakan di luar dan melanggar hukum serta kemanusiaan. Saya mencurigai ada motif-motif lain yang disembunyikan dibalik alasan menjaga ajaran agama. Dan apabila benar demikian, maka sesungguhnya yang ‘sesat’ adalah mereka-mereka yang gemar ‘menyesatkan’ pihak lainnya. Pondok

Wiraguna, 21 November 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (97)

Senin, 19 November 2012 0 komentar


Kopi Basi

Seingat saya bapak bukan peminum kopi, namun kalau malam-malam ada tetangga yang bertamu biasanya akan disuguhkan kopi. Waktu itu belum banyak kopi kemasan yang dijual di warung. Pemilik warung biasanya mengiling sendiri kopi untuk dijual dalam ‘conthong’ yang terbuat dari kertas. Kopi bubuk dijual eceran dengan ukuran sendok makan.

Saya belajar minum kopi dengan mencicipi sisa kopi yang tidak habis diminum oleh tamu bapak. Sebab membuat kopi untuk diminum sendiri pasti akan dimarahi. Kopi dianggap bukan minuman yang cocok untuk anak-anak, cepat tua nanti begitu kata ibu saya. Aturan minum kopi menjadi sedikit longgar saat ada acara ‘lek-lek-an’, berkumpul bersama malam hari, berjaga-jaga saat ada kedukaan, kelahiran atau acara lainnya. Kopi disajikan sebagai minuman utama agar orang-orang yang hadir tahan ‘melek’ semalaman.  Pada acara itu biasanya orang tua akan membiarkan anak-anak ikut menikmati sedapnya minum kopi.

Almarhum nenek saya adalah satu-satunya orang yang mentolerir kesenangan saya minum kopi sewaktu masih kanak-kanak. Setiap kali saya berlibur ke rumah nenek, bukan susu yang disajikan  oleh nenek melainkan kopi. Ada satu tradisi di rumah nenek sewaktu beliau masih hidup yaitu minum di sore hari, minuman panas yang disajikan bisa teh atau kopi. Semua diseduh tanpa campuran gula, jadi tehnya tawar dan kopinya pahit. Kalau tak ingin minum teh tawar dan kopi pahit, nenek menyediakan bongkahan gula aren, untuk digigit setelah teh atau kopi diteguk.

Rumah nenek berada di daerah pegunungan, dimana kebun-kebunnya banyak ditanami cengkeh, kopi dan vanilli. Hanya saja kopi tidak terlalu terpelihara dan pohonnya sudah tinggi-tinggi serta buahnya tak lagi banyak. Suatu waktu diperkenalkan jenis kopi baru yang pohonnya tidak meninggi melainkan melebar. Seingat saya bapak juga ikut menanam beberapa pohon di halaman depan , namun tak pernah dipanen dan hanya menjadi hiasan pekarangan depan.

Saat sekolah dan tinggal di Sulawesi Utara, ibarat ‘tumbu ketemu tutup’, klop antara kebiasaan masyarakat disana dan kesenangan saya minum kopi. Kopi menjadi sajian yang lumrah, minuman sehari-hari. Bahkan di asrama, saat ‘potus’ (minum sore dan malam) bila tidak cepat-cepat mengambil maka kopi akan habis duluan. Kopi yang tersohor di Sulawesi Utara adalah Kopi Kota Mobagu yang menurut saya keasamannya rendah dan bulat rasanya.

Memang kopi Kota Mobagu kalah tersohor dengan kopi Toraja, Enrekang dan Kalosi dari Sulawesi Selatan, bisa jadi karena hasil panennya tidak terlalu banyak dan terserap habis untuk konsumsi di Sulawesi Utara. Namun di toko oleh-oleh atau souvenir di Manado, kopi ini bisa diperoleh dalam berbagai kemasan berdasarkan beratnya. Salah satu merek yang terkenal adalah kopi cap keluarga.

Dalam lima tahun terakhir ini perkembangan dunia perkopian semakin semarak. Di pasaran banyak beredar kopi-kopi dalam kemasan, baik kopi original maupun blended. Bahkan kini kopi tak perlu lagi diseduh dengan air yang benar-benar mendidih karena ice kopi-pun kini menjadi lazim.

Beredarnya banyak merek dan jenis kopi membuat kita sering bingung dalam menentukan pilihan kopi mana yang hendak diminum atau dinikmati. Rentang harganyapun bermacam-macam, mulai dari 3 ribu rupiah di warung-warung pinggir jalan, sampai ratusan ribu di cafe-cafe ber-ac. Hanya saja tak perlu pusing dengan soal harga, menurut saya tidak ada kopi yang paling enak. Soal rasa kopi tidak tergantung harganya melainkan dari cara pengolahan dan penyajiannya. Kopi mahalpun jika sudah tidak segar dan diseduh serampangan pasti berasa air got.

Lidah setiap orang berbeda-beda dalam menerima rasa kopi. Ada yang doyan meminum kopi beraroma rempah namun ada juga yang menciumnya saja sudah rasa muntah. Konon untuk benar-benar meresapi rasa kopi, seduhan itu harus dicecap tanpa diberi campuran apapun, benar-benar original sehingga kita bisa merasakan keasaman, kepahitan dan juga manis alami dari kopi. Namun terus terang saya tak sanggup untuk terus menerus meminum kopi tanpa gula. Bagi saya tetap yang paling nikmat adalah kopi manis tanpa rasa pahit.

Hanya terkadang kalau menyeduh kopi sendiri, saya akan memberi tambahan gula beberapa saat sesudahnya. Jadi kopi tidak dicampur dengan gula atau apapun terlebih dahulu, agar aroma kopinya keluar. Kebanyakan para ahli kopi menyarankan agar kopi diminum selagi hangat. Dan memang minum kopi sewaktu masih hangat terasa nikmat bukan hanya dimulut melainkan juga aromanya yang menyentuh hidung hingga mengalir sampai hati.

Namun berlawanan dengan kebiasaan banyak orang, saya setiap pagi justru menikmati ‘kopi basi’ selepas bangun tidur. Kopi yang didiamkan semalam itu, menurut kabar yang mungkin tidak perlu dipercaya bisa mencegah penyakit maag. Saya tak tahu apakah demikian persisnya, hanya saja yang pasti sampai sekarang meski kebiasaan makan saya awut-awutan, rasanya amat jarang saya diserang gangguan maag. Satu hal yang pasti, manfaat kopi dingin untuk saya dan mungkin ini tak berlaku untuk anda-anda, adalah sesaat setelah meminumnya saya akan segera nongkrong di kamar kecil dan menyambut hari dengan perut terasa lega.

Pondok Wiraguna, 20 November 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (96)

Minggu, 18 November 2012 0 komentar


Penyapu Jalan Yang Terlupakan

Menonton bola dari tengah malam sampai matahari memancarkan terangnya membuat saya menyentuh kasur sekitar jam 7 pagi. Dan tahu-tahu terbangun sekitar jam 1 siang, bukan karena kantuk sudah hilang melainkan karena rasa lapar mulai menyerang perut. Dalam keadaan ‘ayam-ayam’ saya diberi tahu bahwa ada tetangga yang meninggal dini hari tadi dan sudah dikebumikan. Saya kenal baik ibu itu karena dulu dia yang membantu mengantar jemput kemenakan dan kemudian juga anak saya ketika mereka sekolah di TK. Bantuan mengantar jemput itu kemudian terhenti karena ada kesibukan lain yang dilakukan oleh ibu itu.

Kabarnya, ibu itu meninggal karena mengalami kecelakaan ditabrak mobil saat hendak berangkat bekerja sebagai petugas kebersihan. Ya, setiap pagi (dini hari) ibu itu bersama anak sulungnya bekerja menyapu salah satu ruas jalanan di kota Samarinda. Pada hari yang naas, minggu dini hari sebuah mobil double cabin yang melaju kenjang, menghantam motor ibu itu sehingga terlempar cukup jauh. Sang ibu meninggal di tempat, sementara putranya dalam kondisi kritis dan dirawat di rumah sakit tanpa sadar serta tahu kalau ibunya telah tiada.

Saya tak mendapat gambaran persis soal siapa yang berada di mobil double cabin itu, namun katanya sang sopir mabuk setelah semalaman menghabiskan waktu di tempat hiburan. Ya, malam itu malam minggu, malam dimana banyak orang yang kelebihan duit menghamburkannya di table tempat hiburan malam. Bisa dipastikan bahwa jutaan rupiah dihabiskan oleh pengendara mobil itu hingga kehilangan kesadaran dan memacu mobil kesetanan di dini hari.

Sungguh ironis, seseorang yang menghabiskan uang berjuta-juta dalam waktu beberapa jam dan hanya menghasilkan penurunan kesadaran diri (mabuk) kemudian berkendara dan mencelakai orang lain yang bekerja keras di kala orang lain terlelap dengan penghasilan yang mungkin hanya senilai sebotol minuman luar negeri yang ditenggak penabraknya.

Bukan sekali dua kali, ibu-ibu penyapu jalan ditabrak atau disambar oleh pengendara yang pulang dari tempat hiburan malam. Saya pernah mendapat cerita, tentang ibu penyapu jalan yang ditabrak hingga patah kakinya. Dan sang penabrak kabur, lari entah kemana. Untuk biaya operasi kakinya yang patah, ibu penyapu jalan itu harus menanggung biaya hingga puluhan juta rupiah, yang mungkin saja tak akan terkumpul meski dia menabung semua penghasilannya selama bertahun-tahun.

Ada puluhan tetangga saya yang kebanyakan adalah ibu-ibu bekerja sebagai petugas kebersihan kota. Ada yang bekerja dari pagi hingga siang hari, ada yang siang hingga sore hari, namun banyak pula yang mulai berangkat untuk membersihkan jalanan semenjak jam 2 – 3 dini hari. Yang bisa mengendarai motor akan berangkat sendiri atau berboncengan dengan rekan sekerjanya, namun ada juga yang perdi diantar suami atau anaknya.

Berangkat dan bekerja pada dini hari tentu saja mempunyai resiko yang tinggi. Suasana jalan yang lenggang dan sepi adalah saat yang tepat bagi orang-orang yang punya niat tak baik untuk melakukan aksinya. Belum lagi pengendara-pengendara lain yang menganggap jalanan masih sepi sehingga memacu kendaraan tanpa sikap waspada. Pada jam itu pula biasanya orang-orang penggila dunia hiburan malam pulang dalam keadaan ‘teler’ sehingga tidak awas dalam membawa kendaraan.

Di dalam kondisi seperti itulah ibu-ibu penyapu jalan bekerja tanpa dilengkapi alat atau perangkat keamaan seperti rompi dengan warna mencolok atau berpendar kala terkena sinar lampu. Atau tanda lain yang membuat pengendara bisa melihat bahwa tengah ada orang yang bekerja membersihkan jalanan. Bunyi sapuan sapu  lidi di jalanan tidak cukup untuk membuat pengendara yang akan lewat berhati-hati, mengurangi kecepatan kala melewati ibu-ibu penyapu jalan.

Karena bangun kesiangan, saya tak sempat melayat untuk memberi penghormatan kepada ibu penyapu jalan yang meninggal kala melaksanakan tugas dan pengabdiannya pada kota ini. Hanya doa yang bisa saya panjatkan dengan harapan agar arwahnya beristirahat dengan tenang dalam rumah Allah. Tak lupa saya berdoa agar putra sulungnya diberikan jalan terbaik pada masa kritisnya. Semoga pula pihak yang berwenang, pemerintah kota dan dinas yang terkait memberi perhatian pada keluarga yang ditinggalkan olehnya. Saya tahu persis, salah satu putranya yang bernama Ariel adalah teman sekelas putri saya kala duduk di TK dahulu. Tentu saja Ariel butuh bantuan untuk melanjutkan pendidikan dasar yang baru saja dijalaninya.

Dan untuk penabraknya yang saya tahu tidak sengaja, namun sengaja memabukkan dirinya. Dari jenis mobil yang dipakai, bukannya saya mau menuduh sembarangan tapi kemungkinan besar terkait dengan dunia pertambangan. Saya berharap mereka cepat sadar, bahwa uang besar yang mereka peroleh jangan lagi dihambur-hamburkan untuk mendapat kesenangan sesaat yang menyengsarakan orang lain seumur hidupnya. Gunakanlah uang yang diperoleh dengan mengaduk-aduk bumi dan tanah di Samarinda ini, andai kemudian berlebih untuk kebaikan kota dan warga Samarinda.

Pondok Wiraguna, 18 November 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (95)

0 komentar

Panic City

Tahun ini memasuki tahun ke sepuluh saya tinggal dan menetap di kota Samarinda. Sepanjang  ingatan saya perkembangan yang paling kentara adalah pertumbuhan fasilitas perbelanjaan dan usaha dalam bentuk mall dan ruko-ruko serta penetrasi kawasan perumahan yang menawarkan hunian mulai dari rumah sederhana sampai pondok mewah yang berharga milyard-an rupiah. Dari sisi gaya hidup, pertumbuhan cafe-cafe, tempat hang out juga sangat kasat mata. Hampir setiap ruas jalan bisa ditemukan cafe sebagai tempat ‘kongkow-kongkow’ di sore hingga dini hari untuk bercengkrama menghabiskan waktu dengan rekan sebaya. Di banding dengan kota lain di Kalimantan Timur, dunia industri hiburan malam Kota Samarinda jelas lebih semarak dan ramai.

Di luar segala peningkatan tercata juga banyak penurunan. Penurunan terutama dalam kwalitas mutu lingkungan dan sarana maupun prasarana publik. Penurunan mutu lingkungan dengan jelas ditandai dengan semakin meluasnya kawasan genangan air atau banjir. Sementara yang tak kasat mata adalah mutu udara, dari data yang dirilis oleh badan statistik, jumlah penderita penyakit ISPA (infeksi saluran pernafasan atas) juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Data ini dengan jelas mengatakan bahwa mutu atau kwalitas udara kota ini semakin tidak baik dari waktu ke waktu. Debu merajalela dimana-mana.

Debu merupakan hasil dari pembongkaran (pengupasan dan pematangan) lahan, penggalian material dan pertambangan batubara yang banyak merubah kontur wajah bebukitan di Kota Samarinda. Perubahan yang diikuti oleh munculnya jalan-jalan air baru di waktu hujan, alur yang tak selalu dipersiapkan oleh mereka yang mengeruk dan mengaduk-aduk bebukitan dan lahan di kota ini. Alhasil aliran hujan bukan hanya berupa cairan semata melainkan mirip bubur, air kental dengan lumpur yang kemudian memenuhi got, salurang air disepanjang kota hingga bermuara di sungai Mahakam.

Andai punya waktu, cobalah berkeliling kota ini dan perhatian got atau saluran airnya. Nyaris sebagian besar dipenuhi genangan air yang tidak dalam karena lumpurnya nyaris tak sampai sejengkal dengan permukaan tanah. Selain sebagai penampung lumpur, saluran air juga merupakan tempat buangan sampah yang favorit, aneka botol minuman instan, plastik bungkus kue dan material lain tersembunyi dibalik penutup got. Sampah-sampah juga dengan mudah ditemui di belokan saluran air, dimana airnya tak terlihat karena tertutup oleh aneka material plastik yang mengapung diatasnya.

Dengan kondisi seperti itu tak heran jika kemudian hujan deras turun agak lama, segera air meluap memenuhi jalanan dan lahan-lahan disekitarnya. Genangan banjir dari tahun ke tahun semakin luas meski telah dibangun polder sebagai kolam retensi limpasan air hujan di beberapa tempat. Banjir yang terjadi tak lama sesudah hujan, juga disebabkan oleh alur sungai Mahakam yang juga terus mengalami pendangkalan. Padahal sungai Mahakam adalah satu-satunya jalur keluar limpasan air hujan yang mengguyur Samarinda. Apabila sungai Mahakam menolak aliran air dari daratan Samarinda maka air akan tertahan di daratan menjadi genangan yang bisa bertahan selama berhari-hari.

Dahulu ketika daerahnya mulai terkena banjir, warga cenderung menjual rumahnya untuk berpindah ke tempat lain yang tidak tersentuh banjir. Namun karena kini banjir sudah merata, maka menjual rumah dan pindah bukan lagi sebuah pilihan. Pilihan yang masuk akal adalah meninggikan lantai sehingga genangan air tidak masuk rumah. Alhasil jika sudah ditinggikan 2 atau 3 kali maka tampakan rumah menjadi lucu, rumah seakan ‘mendlep’ ke dalam tanah. Kalau sudah demikian maka tak ada jalan lain selain membongkar untuk kemudian meninggikan pondasi. Dan celakalah mereka yang tak mempunyai sumberdaya untuk meninggikan pondasi, rumahnya bakal menjadi ‘cebol’ dibanding rumah lain di sekitarnya. Dan kalau hujan tiba, percuma pepatah sedia payung sebelum hujan, sebab bakal tak berguna lagi, karena yang mereka butuhkan adalah perahu.

Sesaat setelah air lenyap dari jalanan yang tersisa adalah sampah berserak dan material-material lain. Selain berbau, begitu pasa menyenggat datang, air mengering maka yang tersisa adalah debu, debu yang membuat mata pedih dan perih. Debu semakin diperparah dengan kondisi jalan di Samarinda yang plural, dimana ada jalan aspal biasa, aspal hotmix dan semen serta jalan berlubang sehingga kelihatan tanahnya. Dalam kondisi panas, semua jalanan ini akan memproduksi debu yang kemudian terhambur kemana-mana karena laju dan intensitas lalulintas yang kian padat. Jalan semen dengan kekuatan tertentu namun dilewati oleh berbagai macam kendaraan yang kapasitas melebihi batas, akan membuat semen padat terkikis menjadi partikel-partikel yang ringan untuk diterbangkan oleh tiupan angin. Debu halus dari remah-remah semen jelas-jelas tidak sehat apabila terhirup, dada terasa panas karena semen terbuat dari batuan tertentu.

Saya tidak tahu apakah ada yang tertarik untuk meneliti dampak jalan semen pada kesehatan lingkungan dan warga Samarinda. Namun saya berharap ada yang berminat untuk melakukannya agar pembangunan jalan dengan agregrat utama berbahan semen dilakukan dengan sungguh-sungguh. Bukan dikerjakan sejengkal demi sejengkal seperti terjadi selama ini dan oleh kontraktor yang tidak jelas juntrungannya, sehari kerja dua hari istirahat.

Sebagai bagian dari warga dari relung hati yang terdalam saya mempunyai harapan agar pembangunan kota ini lebih punya arah yang jelas, yang dengan mudah dipahami oleh warganya. Kota yang bukan hanya sibuk membenahi ini dan itu kala mendekati akhir tahun, yang menimbulkan kesan untuk menghabiskan anggaran agar tidak banyak yang tersisa. Pembangunan yang semata ditujukan hanya untuk menyerap anggaran.

Pondok Wiraguna, 16 November 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (94)

0 komentar


Multilinggual

Apa hebatnya orang Indonesia dibanding bangsa-bangsa lainnya di dunia?. Menurut seorang teman yang tidak perlu lagi diragukan pengetahuan dan kecintaannya pada Indonesia, kehebatan orang Indonesia dibandingkan bangsa lain adalah kenyataan bahwa orang Indonesia adalah multilanguage. Mau tidak mau saya harus mengakui amatannya yang tajam ini, karena benar dibanding orang USA dan Inggris yang kemungkinan besar hanya berbahasa Inggris, rata-rata orang Indonesia menguasai lebih dari dua bahasa.

Saya yang lahir di Jawa Tengah, sejak kecil berbicara dan berkomunikasi dengan bahasa ibu yaitu bahasa Jawa, kemudian mulai sedikit-sedikit berbahasa Indonesia ketika masuk TK. Ketika masuk SD mulailah menggunakan bahasa Indonesia untuk pengantar pelajaran sehari-hari. Kemudian masuk  SMP dan mulai belajar berbahasa Inggris meski kemudian hanya menguasai percakapan sederhana semacam how are you today dan fasih mengatakan I love you.  Saat  SMA sempat juga saya mempelajari bahasa German dengan buku paket Wir Sprechen Deucth. Setamat SMA, sebelum melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi, selama setahun saya mengikuti suatu pendidikan khusus yang disebut dengan Kelas Persiapan Atas, disini saya belajar bahasa Latin yang bikin sakit kepala.

Kekayaan ragam bahasa di negeri Nusantara memang luar biasa banyaknya. Akan sulit bagi seseorang untuk menguasai seluruh bahasa Nusantara, atau bahkan tak mungkin. Kita mengenal nama suku-suku besar dengan sebutan generik. Misalnya Minahasa, yang sesungguhnya mempunyai banyak sub etnis seperti Tonsea, Toundano, Toutemboan, Tombulu, Jawa Toundano dan lainnya yang masing-masing mempunyai bahasa sendiri dan tidak dipakai oleh sub etnis lainnya. Demikian juga dengan suku Dayak yang mempunyai lebih banyak sub etnis di dalamnya mulai dari Tunjung, Kenyah, Punan, Modang, Bahau, Benuaq, Ngaju, Agabag, Busang dan lain-lain yang masing-masing mempunyai bahasa sendiri yang tidak dimengerti oleh sub etnis lainnya. Dan keragaman yang lebih besar juga akan ditemukan di Papua, dimana keragaman sukunya sangat tinggi, kemungkinan setiap kecamatan (distrik) mempunyai bahasa daerah sendiri-sendiri.

Keragaman bahasa Nusantara akan lebih diperkaya lagi dengan aneka dialek atau logat dalam satu bahasa. Misalnya bahasa Jawa, bahasa yang dipakai di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meski sama-sama mengatakan berbahasa Jawa, ada banyak perbedaan gaya dan pengucapan banyak kata pada masing-masing daerah. Maka tak heran gaya bahasa Jawa orang Solo, Jogya, Surabaya, Semarang, Banyumas, Tegal, Malang dan seterusnya berbeda-beda. Saya misalnya dibesarkan di daerah yang bahasa Jawanya terjepit diantara pengaruh Yogya dan Banyumasan. Maka kala berbicara bahasa Jawa dengan orang-orang Jawa Timur, terkadang menemukan beberapa kata yang tidak saya mengerti benar-benar.

Sayang memang, kekayaan seperti ini tidak dimaksimalkan. Padahal secara universal berlaku semacam pemahaman bahwa seseorang yang menguasai banyak bahasa menunjukkan bahwa wawasan dan pergaulannya luas. Bahasa juga mendekatkan seseorang dengan orang lainnya. Dan dalam konteks Indonesia andai kita saling tahu bahasa ibu maka pergaulan antar masyarakat kita yang plural akan semakin baik dan dekat. Bukankah kita akan merasa aman dan akrab jika bertemu dan berbicara orang yang berbahasa sama dengan kita?.

Hanya saja dalam urusan berbahasa, semakin banyak orang yang menggunakannya maka semakin kuat pengaruh bahasa itu pada orang lain. Ini menjadi masalah terutama bagi bahasa-bahasa daerah yang dipakai oleh sekelompok kecil masyarakat. Perlahan tapi pasti bahasa ini terancam punah karena tidak lagi digunakan dalam percakapan sehari-hari. Saya ambil contoh di Minahasa misalnya, kini tak lagi banyak anak-anak muda yang tahu bahasa ibunya, bahasa Tombulu, Toutemboan dan lain-lainnya kebanyakan hanya dipakai sebagai alat komunikasi orang tua di pedesaan. Sebagian besar lainnya mungkin mengerti saat mendengar namun tak bisa mengatakan dalam bahasa tutur (pasif). Dan sisanya tak mengerti sama sekali, atau paling hanya menguasai beberapa kata yang populer.

Tantangan lain berkaitan dengan keragaman budaya nusantara adalah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang menyertakan bahasa universal dan populer. Bahasa yang dimengerti oleh semua yang memanfaatkan penggunaan teknologi komunikasi dan informasi tersebut. Kini semakin banyak orang bekomunikasi bukan dengan mulut melainkan jari-jari. Berkomunikasi menggunakan bahasa tulis lewat berbagai modus penyampaian pesan instan.

Pesan atau kata-kata yang kemudian terbawa dalam percakapan sehari-hari sehingga muncul trend berbahasa tertentu yang banyak menggunakan peristilahan atau pilihan kata-kata yang tengah ‘in’ di dunia online. Sebenarnya menarik mengamati dan menyelami perkembangan serta dinamika bahasa dalam masyarakat kita. Meski kadang-kadang kita harus siap menghadapai kejutan-kejutan dalam prakteknya, sebab bahasa bukan sekedar kata-kata tapi juga menyangkut perasaan dan emosi. Satu contoh kecil yang kerap saya alami dalam berkomunikasi dengan  anak saya tatkala ditanya sesuatu dia menjawab dengan kalimat yang membuat pusing kepala. Misalnya ketika pulang sekolah saya tanya, tadi di sekolah mempelajari apa, dan dijawab olehnya “Kasih ..tahu nggak ya?”.  Astaga, tentu saja dengan agak marah saya mengatakan padanya untuk tidak menjawab dengan kalimat seperti itu. Tapi apa pula jawabnya “Masalah buat loe”.

Pondok Wiraguna, 19 November 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (93)

0 komentar


Undur-Undur

Dalam situasi yang penuh dengan ketidakpastian atas upaya-upaya yang telah dilakukan namun belum memberikan hasil yang memuaskan apa yang kerap diimpikan oleh seseorang atau sekelompok masyarakat?. Adalah biasa dalam kondisi tadi ada yang meyakini sesuatu yang belum pasti terjadi sebagai nyata atas dasar cerita masa lalu yang dimutlakkan benar sebagaimana diyakini.

Secara tradisional harapan akan perbaikan instan muncul lewat mekanisme ratu adil, datangnya satu sosok tertentu yang ‘terpilih’ dengan segala kedigdayaannya untuk menyelesaikan segala persoalan. Konsep lain dikenal sebagai ‘cargoisme’ dimana sekelompok masyarakat menyakini keberadaan sebuah gudang yang menyediakan segala sesuatu, perbaikan terjadi dengan datangnya seseorang yang memegang kunci gudang itu. Harapan-harapan seperti ini muncul dari latar cerita tradisional maupun ramalan-ramalan dari pujangga besar di masa lalu.

Selain berdasar pada tradisi, jalan untuk menyelesaikan persoalan terkini juga kerap ditawarkan dan dicita-citakan oleh kelompok keagamaan. Mereka berkeyakinan berbagai carut marut dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara akan mencapai ideal jika didasarkan atas sistem yang didasari ajaran agama. Masyarakat akan mencapai kondisi ideal jika hidup dalam situasi sebagaimana yang dijalani oleh para ‘bapa-bapa perdana’ di masa lalu. Cerita keberhasilan dan gambaran jaman keemasan agama yang tidak selalu terkonfirmasi namun diimani sebagai bisa dengan serta merta diterapkan dalam jaman ini.

Saya ingat ada binatang yang disebut Undur-Undur. Disebut demikian karena binatang ini maju dengan cara mundur. Barangkali apa yang dilakukan oleh berbagai kelompok ini tengah meniru prinsip Undur-Undur dengan cara melihat praktek di masa lalu untuk kemudian diterapkan pada saat ini demi masa depan yang gemilang. Persoalan apa yang dipraktekkan di masa lalu selalu mempunyai keterbatasan yaitu ruang dan waktu. Setiap praktek pengelolaan kehidupan bersama selalu terjadi sebagai pengalaman semasa, apabila terjadi jeda atau diskontinuitas maka sistem atau praktek itu akan beku. Menjadi sebuah catatan sejarah dan pengalaman jaman itu.

Praktek atau sistem yang telah beku dan kemudian dicomot untuk dihadirkan pada masa kini bisa-bisa hanya akan menjadi sebuah peragaan layaknya pentas di panggung sandiwara. Apa yang dihadapi oleh jaman itu jauh berbeda dengan yang dihadapi oleh jaman ini, banyak persoalan yang tidak dialami dan bahkan belum dipikirkan saat itu menjadi sesuatu yang normal terjadi saat ini. Bagaimana sistem itu akan menghadapi persoalan seperti ini andai tak ada dialog yang terus menerus antara sistem itu dengan jaman yang melingkupi dari waktu ke waktu.

Saya tak punya pretensi untuk menolak praktek adat, tradisi maupun iman keagamaan pada saat ini untuk menjadi alat mencari jalan penyelesaian persoalan. Namun saya agak ngeri melihat kecenderungan untuk memutlakkan, seolah hanya kebijakan adat dan ajaran agama beserta hukum-hukumnya sebagai satu-satu cara yang memungkinkan untuk menyelesaikan persoalan jaman. Buat saya ini merupakan sebuah keyakinan yang buta sekaligus membabi buta, mengingkari kenyataan bahwa ada banyak sistem lain yang menopang bumi dan dunia hingga mencapai kondisi perkembangan sampai dengan saat ini.

Benar bahwa tidak banyak orang atau kelompok yang mempunyai keyakinan seperti di atas. Namun meski kecil, sepak terjang kelompok seperti ini memberi pengaruh psikologis yang besar untuk masyarakat umum. Apalagi kelompok seperti ini gemar mengembangkan apologi-apologi yang simplistis yang kerap membuat mereka yang berseberangan segera mati kutu. Siapa juga yang mau dikatakan tak beriman, tak beragama, kafir dan melawan kehendak Allah misalnya. Dan kelompok seperti ini tak malu-malu dikatakan sebagai pengklaim kebenaran tunggal, sebab mereka merasa menjalankan semua itu dalam terang tradisi, adat nenek moyang dan perintah agama yang adalah juga perintah Allah.

Sebenarnya saya sendiri tidak terlalu khawatir dengan kehadiran kelompok seperti ini, karena dalam jaman manapun akan selalu ada kelompok seperti ini. Bisa jadi mereka sangat frustasi kepada keadaan, mencoba berbagai cara namun tak menyelesaikan persoalan, maka wajar jika kemudian semua dikembalikan kepada kebijakan nenek moyang dan diserahkan dalam tangan Allah. Apa yang menjadi kekhawatiran sekaligus persoalan bagi saya adalah kecenderungan dari pihak-pihak tertentu untuk memanfaatkan kelompok seperti ini demi kepentingan jangka pendek, kepentingan kekuasaan maupun ekonomi sesaat.

Banyak kali kelompok elit entah penguasa politik, pemerintahan maupun ekonomi memanfaatkan kelompok-kelompok seperti ini. Menjadikan kelompok ini untuk dijadikan tameng atau dipinjam tangannya untuk menyelesaikan persoalan yang membuat kesulitan bagi mereka. Persoalan-persoalan dilematis yang apabila ditangani oleh mereka sendiri akan memerosotkan derajad pengaruh maupun popularitasnya di hadapan rakyat.

Dan atas salah satu cara modus inilah yang membuat hukum, peraturan dan kebijakan pemerintah kerap diterabas dengan perilaku-perilaku diluar hukum yang mengatasnamakan massa maupun umat.

Pondok Wiraguna, 17 November 2012
@yustinus_esha


Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum