Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (95)

Minggu, 18 November 2012

Panic City

Tahun ini memasuki tahun ke sepuluh saya tinggal dan menetap di kota Samarinda. Sepanjang  ingatan saya perkembangan yang paling kentara adalah pertumbuhan fasilitas perbelanjaan dan usaha dalam bentuk mall dan ruko-ruko serta penetrasi kawasan perumahan yang menawarkan hunian mulai dari rumah sederhana sampai pondok mewah yang berharga milyard-an rupiah. Dari sisi gaya hidup, pertumbuhan cafe-cafe, tempat hang out juga sangat kasat mata. Hampir setiap ruas jalan bisa ditemukan cafe sebagai tempat ‘kongkow-kongkow’ di sore hingga dini hari untuk bercengkrama menghabiskan waktu dengan rekan sebaya. Di banding dengan kota lain di Kalimantan Timur, dunia industri hiburan malam Kota Samarinda jelas lebih semarak dan ramai.

Di luar segala peningkatan tercata juga banyak penurunan. Penurunan terutama dalam kwalitas mutu lingkungan dan sarana maupun prasarana publik. Penurunan mutu lingkungan dengan jelas ditandai dengan semakin meluasnya kawasan genangan air atau banjir. Sementara yang tak kasat mata adalah mutu udara, dari data yang dirilis oleh badan statistik, jumlah penderita penyakit ISPA (infeksi saluran pernafasan atas) juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Data ini dengan jelas mengatakan bahwa mutu atau kwalitas udara kota ini semakin tidak baik dari waktu ke waktu. Debu merajalela dimana-mana.

Debu merupakan hasil dari pembongkaran (pengupasan dan pematangan) lahan, penggalian material dan pertambangan batubara yang banyak merubah kontur wajah bebukitan di Kota Samarinda. Perubahan yang diikuti oleh munculnya jalan-jalan air baru di waktu hujan, alur yang tak selalu dipersiapkan oleh mereka yang mengeruk dan mengaduk-aduk bebukitan dan lahan di kota ini. Alhasil aliran hujan bukan hanya berupa cairan semata melainkan mirip bubur, air kental dengan lumpur yang kemudian memenuhi got, salurang air disepanjang kota hingga bermuara di sungai Mahakam.

Andai punya waktu, cobalah berkeliling kota ini dan perhatian got atau saluran airnya. Nyaris sebagian besar dipenuhi genangan air yang tidak dalam karena lumpurnya nyaris tak sampai sejengkal dengan permukaan tanah. Selain sebagai penampung lumpur, saluran air juga merupakan tempat buangan sampah yang favorit, aneka botol minuman instan, plastik bungkus kue dan material lain tersembunyi dibalik penutup got. Sampah-sampah juga dengan mudah ditemui di belokan saluran air, dimana airnya tak terlihat karena tertutup oleh aneka material plastik yang mengapung diatasnya.

Dengan kondisi seperti itu tak heran jika kemudian hujan deras turun agak lama, segera air meluap memenuhi jalanan dan lahan-lahan disekitarnya. Genangan banjir dari tahun ke tahun semakin luas meski telah dibangun polder sebagai kolam retensi limpasan air hujan di beberapa tempat. Banjir yang terjadi tak lama sesudah hujan, juga disebabkan oleh alur sungai Mahakam yang juga terus mengalami pendangkalan. Padahal sungai Mahakam adalah satu-satunya jalur keluar limpasan air hujan yang mengguyur Samarinda. Apabila sungai Mahakam menolak aliran air dari daratan Samarinda maka air akan tertahan di daratan menjadi genangan yang bisa bertahan selama berhari-hari.

Dahulu ketika daerahnya mulai terkena banjir, warga cenderung menjual rumahnya untuk berpindah ke tempat lain yang tidak tersentuh banjir. Namun karena kini banjir sudah merata, maka menjual rumah dan pindah bukan lagi sebuah pilihan. Pilihan yang masuk akal adalah meninggikan lantai sehingga genangan air tidak masuk rumah. Alhasil jika sudah ditinggikan 2 atau 3 kali maka tampakan rumah menjadi lucu, rumah seakan ‘mendlep’ ke dalam tanah. Kalau sudah demikian maka tak ada jalan lain selain membongkar untuk kemudian meninggikan pondasi. Dan celakalah mereka yang tak mempunyai sumberdaya untuk meninggikan pondasi, rumahnya bakal menjadi ‘cebol’ dibanding rumah lain di sekitarnya. Dan kalau hujan tiba, percuma pepatah sedia payung sebelum hujan, sebab bakal tak berguna lagi, karena yang mereka butuhkan adalah perahu.

Sesaat setelah air lenyap dari jalanan yang tersisa adalah sampah berserak dan material-material lain. Selain berbau, begitu pasa menyenggat datang, air mengering maka yang tersisa adalah debu, debu yang membuat mata pedih dan perih. Debu semakin diperparah dengan kondisi jalan di Samarinda yang plural, dimana ada jalan aspal biasa, aspal hotmix dan semen serta jalan berlubang sehingga kelihatan tanahnya. Dalam kondisi panas, semua jalanan ini akan memproduksi debu yang kemudian terhambur kemana-mana karena laju dan intensitas lalulintas yang kian padat. Jalan semen dengan kekuatan tertentu namun dilewati oleh berbagai macam kendaraan yang kapasitas melebihi batas, akan membuat semen padat terkikis menjadi partikel-partikel yang ringan untuk diterbangkan oleh tiupan angin. Debu halus dari remah-remah semen jelas-jelas tidak sehat apabila terhirup, dada terasa panas karena semen terbuat dari batuan tertentu.

Saya tidak tahu apakah ada yang tertarik untuk meneliti dampak jalan semen pada kesehatan lingkungan dan warga Samarinda. Namun saya berharap ada yang berminat untuk melakukannya agar pembangunan jalan dengan agregrat utama berbahan semen dilakukan dengan sungguh-sungguh. Bukan dikerjakan sejengkal demi sejengkal seperti terjadi selama ini dan oleh kontraktor yang tidak jelas juntrungannya, sehari kerja dua hari istirahat.

Sebagai bagian dari warga dari relung hati yang terdalam saya mempunyai harapan agar pembangunan kota ini lebih punya arah yang jelas, yang dengan mudah dipahami oleh warganya. Kota yang bukan hanya sibuk membenahi ini dan itu kala mendekati akhir tahun, yang menimbulkan kesan untuk menghabiskan anggaran agar tidak banyak yang tersisa. Pembangunan yang semata ditujukan hanya untuk menyerap anggaran.

Pondok Wiraguna, 16 November 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum