Panic City
Tahun ini memasuki tahun ke
sepuluh saya tinggal dan menetap di kota Samarinda. Sepanjang ingatan saya perkembangan yang paling kentara
adalah pertumbuhan fasilitas perbelanjaan dan usaha dalam bentuk mall dan
ruko-ruko serta penetrasi kawasan perumahan yang menawarkan hunian mulai dari
rumah sederhana sampai pondok mewah yang berharga milyard-an rupiah. Dari sisi
gaya hidup, pertumbuhan cafe-cafe, tempat hang out juga sangat kasat mata.
Hampir setiap ruas jalan bisa ditemukan cafe sebagai tempat ‘kongkow-kongkow’
di sore hingga dini hari untuk bercengkrama menghabiskan waktu dengan rekan
sebaya. Di banding dengan kota lain di Kalimantan Timur, dunia industri hiburan
malam Kota Samarinda jelas lebih semarak dan ramai.
Di luar segala peningkatan tercata
juga banyak penurunan. Penurunan terutama dalam kwalitas mutu lingkungan dan
sarana maupun prasarana publik. Penurunan mutu lingkungan dengan jelas ditandai
dengan semakin meluasnya kawasan genangan air atau banjir. Sementara yang tak
kasat mata adalah mutu udara, dari data yang dirilis oleh badan statistik,
jumlah penderita penyakit ISPA (infeksi saluran pernafasan atas) juga terus
meningkat dari tahun ke tahun. Data ini dengan jelas mengatakan bahwa mutu atau
kwalitas udara kota ini semakin tidak baik dari waktu ke waktu. Debu merajalela
dimana-mana.
Debu merupakan hasil dari
pembongkaran (pengupasan dan pematangan) lahan, penggalian material dan
pertambangan batubara yang banyak merubah kontur wajah bebukitan di Kota
Samarinda. Perubahan yang diikuti oleh munculnya jalan-jalan air baru di waktu
hujan, alur yang tak selalu dipersiapkan oleh mereka yang mengeruk dan
mengaduk-aduk bebukitan dan lahan di kota ini. Alhasil aliran hujan bukan hanya
berupa cairan semata melainkan mirip bubur, air kental dengan lumpur yang
kemudian memenuhi got, salurang air disepanjang kota hingga bermuara di sungai
Mahakam.
Andai punya waktu, cobalah
berkeliling kota ini dan perhatian got atau saluran airnya. Nyaris sebagian
besar dipenuhi genangan air yang tidak dalam karena lumpurnya nyaris tak sampai
sejengkal dengan permukaan tanah. Selain sebagai penampung lumpur, saluran air
juga merupakan tempat buangan sampah yang favorit, aneka botol minuman instan,
plastik bungkus kue dan material lain tersembunyi dibalik penutup got.
Sampah-sampah juga dengan mudah ditemui di belokan saluran air, dimana airnya
tak terlihat karena tertutup oleh aneka material plastik yang mengapung
diatasnya.
Dengan kondisi seperti itu tak
heran jika kemudian hujan deras turun agak lama, segera air meluap memenuhi
jalanan dan lahan-lahan disekitarnya. Genangan banjir dari tahun ke tahun
semakin luas meski telah dibangun polder sebagai kolam retensi limpasan air
hujan di beberapa tempat. Banjir yang terjadi tak lama sesudah hujan, juga
disebabkan oleh alur sungai Mahakam yang juga terus mengalami pendangkalan.
Padahal sungai Mahakam adalah satu-satunya jalur keluar limpasan air hujan yang
mengguyur Samarinda. Apabila sungai Mahakam menolak aliran air dari daratan
Samarinda maka air akan tertahan di daratan menjadi genangan yang bisa bertahan
selama berhari-hari.
Dahulu ketika daerahnya mulai
terkena banjir, warga cenderung menjual rumahnya untuk berpindah ke tempat lain
yang tidak tersentuh banjir. Namun karena kini banjir sudah merata, maka
menjual rumah dan pindah bukan lagi sebuah pilihan. Pilihan yang masuk akal
adalah meninggikan lantai sehingga genangan air tidak masuk rumah. Alhasil jika
sudah ditinggikan 2 atau 3 kali maka tampakan rumah menjadi lucu, rumah seakan
‘mendlep’ ke dalam tanah. Kalau sudah demikian maka tak ada jalan lain selain
membongkar untuk kemudian meninggikan pondasi. Dan celakalah mereka yang tak
mempunyai sumberdaya untuk meninggikan pondasi, rumahnya bakal menjadi ‘cebol’
dibanding rumah lain di sekitarnya. Dan kalau hujan tiba, percuma pepatah sedia
payung sebelum hujan, sebab bakal tak berguna lagi, karena yang mereka butuhkan
adalah perahu.
Sesaat setelah air lenyap dari
jalanan yang tersisa adalah sampah berserak dan material-material lain. Selain
berbau, begitu pasa menyenggat datang, air mengering maka yang tersisa adalah
debu, debu yang membuat mata pedih dan perih. Debu semakin diperparah dengan
kondisi jalan di Samarinda yang plural, dimana ada jalan aspal biasa, aspal
hotmix dan semen serta jalan berlubang sehingga kelihatan tanahnya. Dalam
kondisi panas, semua jalanan ini akan memproduksi debu yang kemudian terhambur
kemana-mana karena laju dan intensitas lalulintas yang kian padat. Jalan semen
dengan kekuatan tertentu namun dilewati oleh berbagai macam kendaraan yang
kapasitas melebihi batas, akan membuat semen padat terkikis menjadi
partikel-partikel yang ringan untuk diterbangkan oleh tiupan angin. Debu halus
dari remah-remah semen jelas-jelas tidak sehat apabila terhirup, dada terasa
panas karena semen terbuat dari batuan tertentu.
Saya tidak tahu apakah ada yang
tertarik untuk meneliti dampak jalan semen pada kesehatan lingkungan dan warga
Samarinda. Namun saya berharap ada yang berminat untuk melakukannya agar
pembangunan jalan dengan agregrat utama berbahan semen dilakukan dengan
sungguh-sungguh. Bukan dikerjakan sejengkal demi sejengkal seperti terjadi
selama ini dan oleh kontraktor yang tidak jelas juntrungannya, sehari kerja dua
hari istirahat.
Sebagai bagian dari warga dari
relung hati yang terdalam saya mempunyai harapan agar pembangunan kota ini
lebih punya arah yang jelas, yang dengan mudah dipahami oleh warganya. Kota
yang bukan hanya sibuk membenahi ini dan itu kala mendekati akhir tahun, yang
menimbulkan kesan untuk menghabiskan anggaran agar tidak banyak yang tersisa.
Pembangunan yang semata ditujukan hanya untuk menyerap anggaran.
Pondok Wiraguna, 16 November 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar