• Blockquote

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Duis non justo nec auge

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

Kontemplasi : HASTAG (6)

Rabu, 28 November 2012 0 komentar


#bahayaLATENkomunisme

“Mau oleh-oleh apa Pah?”, begitu tanya istri saya waktu menceritakan bonus dari sebuah perusahaan untuk berangkat mengikuti tour selama seminggu di negeri tirai bambu.  Saya tahu pada saat berangkat nanti tak bisa memberi tambahan uang saku maka saya mesti tahu diri untuk tidak membebani kegembiraan istri menikmati hadiah liburan dari sebuah perusahaan penghasil alat-alat kesehatan itu.

“Kaos dengan gambar partai komunis China, kalau nggak ada ya cari yang ada gambarnya Mao atau Deng Zhiao Ping. Itu saja”, saya menjawab singkat.

Mendengar jawaban saya istri saya tertegun, seolah menyesal menanyakan oleh-oleh apa yang hendak diminta oleh saya. “Kok itu sih, gak ada yang lain apa?”, begitu katanya memprotes permintaan saya.

“Ya, sudah kalau begitu bendera China saja, yang seukuran bendera upacara”.

“Ah sudah, nanti mama aja yang pilihkan”, begitu kata istri  saya seolah sudah mau berangkat hingga perlu segera membuat keputusan untuk memberi oleh-oleh apa.

Istri saya dan banyak orang lain terutama yang terlahir di akhir tahun 60-an dan awal 70-an biasanya memang enggan berurusan dengan semua hal yang berbau komunis. Pendek kata kalau bisa semua hal yang terkait dengan komunisme tidak ada di dekat-dekat mereka. Maka permintaan saya untuk membawakan kaos dengan lambang partai komunis China yang tentu saja bukan palu arit seperti lambang PKI dahulu merupakan permintaan yang berat untuk dituruti.

Mungkin istri saya tidak phobia pada komunisme, karena memang tak tersangkut dengan hal itu, namun dalam hatinya mungkin masih menyimpan kekhawatiran akan pandangan dari orang lain yang nantinya bisa membuat kesulitan baginya. Jadi praktisnya dari pada nanti repot dan terkena masalah maka lebih baik menghindar saja.

Dan phobia pada yang namanya komunisme, entah betulan maupun dibuat-buat nampaknya masih bercokol di negeri ini. Tak heran misalnya jika ada sekelompok mahasiswa di satu sekolah tinggi masih mengadakan sebuah diskusi publik untuk membahas bahaya laten komunisme. Dan saya yakin seyakin-yakinnya ketika mereka bicara soal bahaya laten komunisme maka yang akan dibahas bukan Marx, Lenin, Stalin, Mao atau Fidel Castro melainkan Partai Komunis Indonesia. Dan utamanya adalah peristiwa yang disebut sebagai G30S/PKI yang ditandai dengan terbunuhnya para jenderal yang kemudian dikenang sebagai pahlawan revolusi.

Saya sebenarnya diminta untuk berbicara dalam diskusi publik itu namun saya menolak. Penolakan saya bukan karena tak bersedia membantu pelaksanaan acara tersebut melainkan karena saya memandang tema yang mereka sodorkan itu sudah tidak masuk akal. Anak-anak muda ini, para mahasiswa tentu saja generasi yang lahir sesudah tahun 90-an, anak-anak yang mungkin tak lagi menonton film kolosal “G30S/PKI” yang dibintangi Umar Kayam dan Amaroso Katamsi serta disutradarai oleh Arifin C Noor. Mereka juga sudah tidak mendapat pelajaran PSPB yang menempatkan PKI sebagai ancaman besar bagi negeri ini. Saya tak tahu persis bagaimana sampai mereka masih saja percaya dengan kata-kata sakti Suharto dengan segala operasi khususnya yang gemar mengucapkan kata ‘bahaya laten komunis” itu.

Menjelang masa reformasi sebenarnya mulai berkembang informasi dan catatan-catatan tentang peristiwa G30S/PKI yang tidak berasal dari sumber resmi pemerintah. Catatan-catatan sejarah ini membuka ruang revisi atas apa yang ditulis dalam sejarah versi resmi pemerintah yang diwarnai dengan catatan-catatan bombastis dan cenderung mengangkat peran tokoh tertentu dan menistakan tokoh-tokoh lain sebagai lawan politiknya.

Membandingkan berbagai macam catatan itu yang sampai sekarang belum mampu melahirkan catatan sejarah baru mengantikan apa yang ditulis sebagai catatan resmi negara, mestinya kita tak lagi terjebak untuk melihat peristiwa G30S/PKI sebagai sebagai peristiwa tunggal. Apa yang disebut sebagai G30S/PKI adalah puncak dari rangkaian panjang dari sebuah organ yang diakui negara untuk berjuang melakukan perubahan. Jika kemudian dianggap sebagai catatan kelam, kekejaman (kalau memang demikian) yang dilakukan tidaklah khas kelompok tertentu dalam hal ini komunis. Pilihan atau jalan yang dipilih bisa saja dilakukan oleh kelompok manapun manakala tidak tersedia pilihan-pilihan lain untuk mewujudkan jalan perjuangannya.

Saya tak hendak memaklumi apa yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia saat itu, namun memandang apa yang dilakukan sebagai khas hanya oleh mereka dan kemudian dipakai sebagai sebuah cap yang abadi untuk menandai kelompok ini menurut saya tidaklah benar dan merupakan sebuah ketakutan yang dilebih-lebihkan. Bukannya mau takabur, andai saya menyimpulkan bahwa episode komunisme di Indonesia sudah selesai. Hal mana dikarenakan episode komunisme di duniapun kini tinggal menjadi monumen yang berdiri dalam dingin dan sepi.

Tapi sekali lagi ini pikiran saya dan saya tak menyalahkan siapapun yang masih percaya dengan mantra ‘bahaya laten komunis’ entah karena alasan ideologis maupun psikologis. Termasuk alasan istri saya yang sebenarnya pragmatis saja yaitu nda mau repot berurusan dengan pihak yang berkepentingan andai nanti ketahuan membawa oleh-oleh kaos berlambang partai komunis China.

Pondok Wiraguna, 24 November 2012
@yustinus_esha

Kontemplasi : HASTAG (5)

0 komentar


#jancuk

Setiap kali ada jenis layanan baru di jagad social media biasanya saya ikut-ikutan membuat account. Dan kemudian membiarkan hingga saat jenis layanan itu booming, saya sudah lupa nama account beserta passwordnya. Meski sebenarnya mudah untuk melacaknya namun biasanya saya malas dan memilih membuat account baru.

Cukup lama saya punya account twitter namun tak pernah saya gunakan karena tak terlalu paham apa guna twitter itu. Saya waktu itu lebih memilih aktif sebagai facebookers karena saya anggap layanan ini lebih memasyarakat dan mampu mewadahi keperluan saya terutama untuk mengupload tulisan. Facebook menyediakan layanan ‘catatan/note’ yang memungkinkan saya memasang tulisan sehingga bisa dibaca oleh mereka yang terhubung dengan saya.

Saya kurang memperhatikan twitter, karena layanan ‘berkicau’ ini lebih populer di kalangan selebritis atau mahkluk-mahkluk ternama dalam masyarakat. Dan karena saya tak termasuk sedikitpun dalam kategori itu maka saya tak memberdayakan account untuk ikut-ikut berkicau.

Namun lama kelamaan saya jadi ‘ketinggalan berita’ gara-gara topik utama perbincangan ketika ngumpul-ngumpul dengan teman-teman adalah pokok-pokok yang sedang menjadi trending topic di twittland. Saya yang tidak memantau timeline di twitter kerap kali bertanya-tanya apa yang sedang dibicarakan ini sembari pura-pura mengerti dengan ikut nimbrung pendek-pendek.

Akhirnya tanpa disuruh, sebuah account saya buat dan kemudian mulai mem-follow account-account twitter yang populer. Puluhan account populer saya ikuti sehingga timeline bergerak cepat, kicauan-kicauan silih berganti menyebar dan menebar berbagai informasi, fakta, opini, renungan, gosip dan juga fitnah. Alhasil dengan account twitter yang aktif saya bisa kembali mensejajarkan diri dengan teman-teman ketika berbincang sambil ngopi-ngopi.

Sepanjang ikut aktif di dunia twittland, salah satu twitterian yang konsisten berkicau adalah Sujiwotedjo, dalang dan budayawan yang kerap disebut sebagai presiden jancukers. Jancuk yang adalah kata makian favorit di daerah seantero Jawa Timur kemudian berkembang menjadi kata yang lazim di twitter gara-gara secara konsisten dipakai oleh mbah Sujiwotedjo. Banyak orang menjadi fasih dan tak risih mengucapkan kata jancuk, termasuk Karni Illyas, host diskusi Indonesia Lawyer Club di TV One.

Para pengikut dan pengemar Sujiwotedjo bahkan tak keberatan disebut sebagai jancukers. Saking banyaknya jancukers maka Sujiwotedjo kemudian dianggap sebagai presiden Jancuk di Republik jancukers. Bahkan Vicky Vette, artis porno yang membuat anggota DPR RI dari PKS terjungkal dari kursinya juga ikut-ikutan fasih menyebut kata jancuk.

Saya tak tahu apa istilah yang tepat untuk menyebut kenyataan bahwa kata makian kerap kali tak sungguh-sungguh bermakna makian kala digunakan. Jancuk yang kemudian kerap ditekan pengucapannya menjadi juancuk atau jiancuk, nyatanya bisa juga dipakai untuk menyatakan kekaguman atas seseorang atau sesuatu yang luar biasa. “Jiancuk wis gede kowe le, nganteng maneh”, tentu ini bukan kalimat makian dari seseorang yang tiba-tiba ketemu seorang yang dulu dikenal sewaktu masih kecil dan kemudian ketemu lagi saat sudah tumbuh besar.  Jiancuk disini mewakili perasaan kaget sekaligus kagum, tidak menyangka anak yang dulu kecil, item dan umbel-an kini sudah tinggi, besar dan gagah.

Fenomena seputar kata makian yang saat diucapkan namun tidak membuat orang lain tersinggung sebenarnya merupakan hal yang biasa dalam berbagai kebudayaan di Indonesia. Kata seperti cukimai, pukimai atau lubang puki jelas tak baik artinya namun dalam konteks tertentu pengucapakan kata itu dari seorang ke orang lainnya tidak sungguh ditujukan untuk memakai, menunjukkan emosi tidak senang atau kemarahan, melainkan malah menjadi tanda keakraban, mengungkapkan kekaguman dan rasa heran atas sesuatu hal yang nilainya positif.

Dalam dunia cerita fiksi misalnya, kita mengenal cerita Wiro Sableng dan Sinto Gendeng. Sableng dan gendeng adalah sebutan lain dari edan atau gila. Namun penulis cerita memberi imbuhan sableng dan gendeng pada Wiro dan Sinta pasti bukan dimaksudkan untuk mengambarkan pada pembaca bahwa kedua figur itu sungguh-sungguh edan atau gila. Sablengnya Wiro dan gendengnya Sinto justru untuk menunjukkan bahwa mereka benar-benar luar biasa, sakti, menguasai ilmu kanuragan namun tidak mewujud dalam model yang selama ini dikenal atau ditunjukkan oleh orang sakti sebagaimana biasanya. Maka sableng dan gendeng dalam cerita Wiro Sableng adalah pengakuan bahwa figur Wiro dan Sinto merupakan pendekar dan guru kanuragan yang luar biasa.

Dalam bahasa manapun selalu ada kosa kata yang digunakan untuk memaki, kosa kata yang dalam sopan santun berbahasa dipandang sebagai kata kotor yang sebanyak mungkin harus dihindari dalam pengunaan atau komunikasi sehari-hari.  Namun bahasa tak selamanya berpatokan pada aturan sopan-santun belaka. Melainkan juga berkaitan dengan rasa, dan apa yang kerap dipandang sebagai yang tidak sopan ternyata malah justru menimbulkan ‘rasa’ tertentu saat dipakai. Kata yang sebenarnya adalah kata makian, dalam konteks tertentu justru malah menjadi tanda kedekatan antara seseorang dengan orang lainnya, tanda kekaguman antara seseorang dengan orang lainnya.

Begitupula sebaliknya, kata-kata luhur, bijak dan manis tidak selamanya akan berarti atau dimaksudkan untuk kebaikan. Maka tak heran ada pepatah “indah di ucapan, namun pahit dalam kenyataan”.

Pondok Wiraguna, 26 November 2012
@yustinus_esha

Kontemplasi : HASTAG (4)

0 komentar

#Amor dan Portal

Anak-anak muda Samarinda memang luar biasa. Setelah dari pagi hingga sore hari mengikuti kegiatan belajar dan lainnya, malam harinya masih sempat mengikuti kegiatan ‘extra sekolah’ yaitu kebut-kebutan di jalanan. Olah raga malam itu biasanya dimulai kurang lebih pukul sepuluh ketika jalan raya sedang beranjang menuju sepi. Aktivitas kebut-kebutan ini bisa berakhir sekitar jam 2 – 3 dini hari apabila tidak ada reaksi dari satpol PP maupun polisi.

Melihat anak-anak muda beraksi bagai Lozenso, Pedrosa, Stoner dan Rossi itu terkadang saya bertanya dalam hati, bilang apa mereka pada orang tua saat hendak keluar rumah. Atau jangan-jangan anak-anak yang doyan kebut-kebutan itu adalah anak-anak yang tinggal di kos-kosan. Namun rasanya tidak karena beberapa waktu, anak tetangga saya yang masih kelas 2 SMP, patah tangannya gara-gara ikut kebut-kebutan di dini hari. Dan jika melihat motor-motor yang dipakai untuk menghabiskan bensin, kebanyakan adalah motor standar, motor rumahan yang tidak dimodifikasi untuk menambah kecepatan.

Saya menduga Satpol PP dan Polisi sudah pusing kepala menghadapi para raja jalanan di malam hari ini. Berkali-kali Satpol maupun Polisi melakukan operasi namun mereka tak juga kapok. Jika satu ruas jalan dijaga, mereka segera bisa mencari tempat lain. Bahkan terkadang mereka sengaja memanas-manasi Satpol PP maupun Polisi untuk mengejar mereka.

Nampaknya polisi dengan koordinasi dengan pemerintah daerah berniat menyelesaikan persoalan kebut-kebutan di jalan dengan cepat. Dan entah apa pertimbangannya jika kemudian beberapa sudetan jalan (tempat berputar) di ruas jalan tertentu kemudian dipasangi portal. Portal terbuat dari palang besi yang diberi roda untuk membuka dan menutupnya. Portal dilengkapi dengan gembok sehingga tak bisa didorong oleh mereka yang tidak berhak atau tak memegang kunci.

Karena pemasangan portal tidak disertai dengan peresmian dan pidato maka saya tak tahu sama sekali apa alasan yang mendasari keputusan untuk membuat portal tersebut. Apakah benar portal itu hanya untuk menghalangi agar anak-anak tidak kebut-kebutan lagi di jalanan yang sekarang di portal atau ada juga kepentingan lain yang berkaitan dengan manajemen lalu lintas di kota Samarinda.

Hanya saja menurut saya keputusan memasang portal adalah jenis keputusan ‘tiba masa tiba akal’ keputusan yang didorong oleh sebuah masalah yang dianggap berat dan dicarikan jalan keluar namun tanpa dipikirkan masak-masak. Pemasangan portal ditujukan untuk mengatasi satu persoalan jalanan yang dipakai kebut-kebutan tapi justru menimbulkan persoalan  dan pekerjaan baru. Pengendara yang lain tak lagi bisa memutar melalui jalan itu karena portal di gembok. Polisi bertambah pekerjaan menjadi tukang buka dan kunci gembok. Kalau polisi malas atau tak sempat membuka gembok, maka seharian jalan akan tertutup portal.

Saya sekurangnya melihat ada tiga portal sejenis yang dibuat di berbagai ruas jalan seputaran Samarinda. Meski terbuat dari besi namun terlihat ringkih dan benar saja ada salah satu portal yang kini tergeletak di divider jalan karena tak mampu menahan panjangnya besi penghalang. Alih-alih mengatasi persoalan, pemasangan portal justru menjadi sebuah pemborosan.

Memang di ruas jalan yang terportal itu kini anak-anak muda tak lagi berkerumun menyaksikan teman-temannya adu nyali, menikung sambil mengeber motornya saling berkejaran. Namun bukan berarti balap liar anak-anak motor itu telah usai. Masih banyak ruas jalan lain yang tidak diportal dan bisa dimanfaatkan sebagai sirkuit dadakan.

Jadi portal jalan bukanlah sebuah penyelesaian, ibarat obat hanya berfungsi untuk mengurangi rasa sakit sesaat. Sebagai sebuah kebijakan maka kebijakan ini memang cepat namun tidak akurat. Mungkin ada yang bertanya, lalu cara seperti apa yang tepat?. Saya juga tidak tahu dan bukan urusan saya untuk menjawab pertanyaan itu.

Pondok Wiraguna, 25 November 2012
@yustinus_esha

Kontemplasi : HASTAG (3)

0 komentar


#saveMunarman

Saat membuka twitter terlihat timeline penuh dengan hastag save munarwan. Saya menduga munarwan yang sedang dijadikan topik adalah mantan aktivis YLBHI yang kemudian menyebrang menjadi pimpinan salah satu satgas yang ada di bawah FPI. Dan dugaan saya benar, ramai kicauan dengan hastag save munarman ternyata dipicu oleh peristiwa pengeroyokkan sekelompok orang terhadap Munarman di jalanan Pamulang.

Menurut cerita, saat jalanan macet Munarwan memainkan klakson mobilnya. Merasa terganggu, rombongan orang yang ada di depannya turun dan mendekati Munarwan. Mereka ribut dan berakhir dengan pemukulan terhadap Munarman. Selain luka lebam di wajah, kaca depan mobil Munarman juga pecah. Entah siapa yang pertama menyebarkan berita pemukulan Munarman di twitter, namun yang pasti bukan polisi. Sebab pihak kepolisian mengatakan tidak menerima laporan dari Munarman tentang pemukulan yang terjadi atas dirinya.

Saya sendiri tak kenal Munarman termasuk sepak terjangnya kala menjadi aktivis di YLBHI. Namun menurut kawan-kawan yang pernah mendapat pelatihan pengorganisasian darinya, Munarman yang dulu tidak seperti Munarman sekarang ini. Menurut mereka Munarman adalah orang yang asyik-asyik saja, tak mudah marah dan tak juga garang. Maka banyak orang yang mengenalnya heran ketika wajahnya muncul di layar televisi saat pasukan FPI menghajar para peserta pawai AKBP di kawasan Monas. Nampak dengan jelas wajah Munarman kala mencekik salah seorang peserta pawai seolah-olah ingin membunuhnya.

Sejak saat itulah Munarman menjadi sosok antagonis dalam dunia gerakan di tanah air. Watak yang juga diamini olehnya sebagaimana terlihat dari mimik wajahnya kala disorot oleh kamera televisi. Loncatan dari satu sisi ke sisi lain yang berlawanan sebagaimana dilakukan oleh Munarman adalah hal yang biasa ditemui dalam dunia gerakan sosial dan politik dalam arti luas. Seorang yang pluralis menjadi anti pluralis dan sebaliknya, bisa terjadi pada siapa saja. Apa yang membedakan antara satu orang dengan orang lainnya adalah motifnya.

Ada seorang aktivis yang dulunya sangat anti pemerintah kemudian menyeberang ke pihak pemerintah dengan menjadi staf ahli, penasehat dan lain sebagainya. Ada juga yang awalnya sangat anti politik praktis, menyerang kinerja dan sistem kepartaian namun kemudian bergabung menjadi anggota partai yang dulu diserang olehnya. Dunia memang berputar, sikap, perilaku, tindak tanduk dan pilihan orang bisa berubah, selama hal itu tidak melanggar hukum dan tidak diatur sebagai tidak boleh maka perubahan pilihan adalah sah-sah saja.

Perubahan dari satu sisi ke sisi lain bisa jadi merupakan pertanda kedewasaan dalam berpikir dan bertindak, bisa pula merupakan perubahan strategi dan jejaring aksi, namun bisa juga dilandasi oleh alasan pragmatis demi mendapat peran yang lebih besar termasuk penghasilan yang lebih pasti dan mapan.

Saya menduga, bertebarannya hastag #savemunarman di timeline twitter muncul sebagai reaksi negatif atas loncatan yang dilakukan oleh Munarman dari YLBHI ke FPI. Meski ada garis merah dalam soal advokasi, namun antara YLBHI dan FPI jelas saling bertolak belakang. YLBHI dikenal sebagai lembaga pembelaan hukum yang getol membela kelompok-kelompok minoritas, yang beberapa diantaranya menjadi sasaran serang FPI. Dan sialnya, Munarman masuk ke FPI bukan pada bagian ‘think tank’ melainkan justru berdiri di garda depan sebagai pemimpin pasukan, operator di lapangan yang berhadapan dan melakukan aksi fisik pada lawannya. Padahal YLBHI jelas merupakan lembaga yang mendidik anggotanya untuk anti kekerasan.

Belum lagi entah benar atau tidak, Munarman dalam baju FPI jelas-jelas menentang dan menyerang aktivitas Amerika Serikat di Indonesia. Namun konon kabarnya Munarwan yang adalah seorang pengacara itu ternyata tercatat sebagai penasehat hukum PT. Freeport Indonesia. Bahwa seorang pengacara tidak boleh membeda-bedakan klien, semua orang juga paham. Namun aneh bin ajaib kalau seseorang dengan ideologi tertentu tiba-tiba menjadi pembela atau bekerja untuk kelompok lain yang ideologinya berseberangan. Ibarat kata, seseorang dengan sah dan sadar menyerahkan diri untuk mengabdi kepada musuh.

Saya bukannya mau gila urusan orang, namun fenomena ketidakkonsistenan kini kerap terhampar telanjang di depan kita. Sebuah contoh buruk dalam persoalan integritas, ketidaksesuaian antara omongan dan tindakan. Mirip iklan sebuah partai yang berteriak keras ‘say no to corruption’ tapi ramai-ramai bintang iklannya tersangkut-sangkut kasus korupsi.

Entah apa reaksi Munarman (andai dia mempunyai account twitter) membaca twit-twit yang bertebaran dan hastag #savemunarman terus diretwitt . Saya membayangkan betapa lucunya andai Munarman dengan wajah yang dibikin-bikin sangar bak aktor watak mengatakan “Masalah buat lo”.

Pondok Wiraguna, 29 November 2012
@yustinus_esha

Kontemplasi : HASTAG (2)

0 komentar


#saveTKI

Suatu kali saya diminta bicara di depan ibu-ibu tentang perempuan dan korupsi. Tema itu sekelebat memunculkan bayangan wajah-wajah perempuan yang setahun terakhir ini banyak diperbincangkan pada ruang publik. Angelina Sondakh, Nunun Nurbaety, Wa Ode Nurhayati, Miranda Goeltom, Hartato Moerdaya Poe dan lain-lain, adalah sosok perempuan yang pintar, punya kedudukan tinggi, pergaulan luas dan kompeten pada bidang masing-masing.  Namun kemudian mereka jadi bulan-bulanan pemberitaan karena ditenggarai terperosok dalam Tindak Pidana Korupsi.

Saat memikirkan outline untuk membuat tulisan sebagai bahan presentasi, saya mengingatkan pada diri sendiri agar tidak ikut-ikutan membahas tema perempuan dan korupsi dengan kehebohan layaknya berita-berita di media massa. Saya tak bisa menutup mata soal bias gender dalam pemberitaan media tentang korupsi andai pelakuknya adalah perempuan. Berita menjadi lebih berwarna dengan pokok-pokok lain yang tak ada hubungannya dengan perilaku korupsinya. Angelina Sondakh misalnya diobrak-abrik sampai urusan belanja, baju, merk sepatu, tas hingga sampai urusan yang hampir mendekati kamar tidur.

Pembuat berita seolah ingin mengkonstruksi kalau perilaku koruptif perempuan didorong oleh ‘kebutuhan’ untuk memenuhi gaya hidupnya yang tinggi, standard gaya tertentu yang harus diikuti pada kelas sosialita. Standard yang mungkin tak akan bisa dipenuhi andai hanya mengandalkan isi dompet dari gaji dan tunjangan semata. Tentu saja imajinasi seperti ini amat naif terutama jika disangkutkan dengan jenis korupsi yang terkait dengan politik. Korupsi yang maha raksasa dan tak tentu uang yang dirampok masuk ke kantong sendiri.

Bukan karena ingin menyenangkan pengundang yang adalah kaum perempuan kalau kemudian saya menegaskan tidak relevan membahas korupsi dari sisi penyebab dengan status atau jenis kelamin pelakuknya. Korupsi tak punya urusan apakah seseorang laki-laki atau perempuan. Probabilitas untuk melakukan korupsi sama antara perempuan dan laki-laki. Sebab korupsi lebih terkait dengan kedudukan, kekuasaan, peluang dan tekanan pada seseorang yang berada di sebuah sistem.

Secara sosilogis dan psikologis ada pandangan bahwa perempuan lebih mampu menahan diri untuk tidak melakukan penyimpangan karena mempunyai standar moral lebih tinggi dari laki-laki. Namun pandangan seperti ini tidak mutlak benar adanya. Dalam sebuah sistem yang korup, standar moral seseorang menjadi tak berguna karena tekanan. Seseorang bisa bertahan tidak korupsi andai kemudian memilih keluar dari lingkungan itu. Namun siapa yang berani melakukan tindakan frontal seperti ini?. Saya yakin tidak banyak yang berani melakukannya dengan segala pertimbangan di belakangnya.

Oleh karenanya saya justru lebih memfokuskan pada perilaku koruptif dan dampaknya pada perempuan. Bagi saya perempuan justru lebih sering menjadi korban utama dari perilaku korupsi. Perempuan menanggung kerugian dan beban tambahan akibat perilaku korupsi yang dilakukan oleh orang lain.

Sekali lagi tak ada maksud bagi saya untuk menyenangkan kaum perempuan dengan seolah-olah mendudukkan diri sebagai orang yang peduli pada kelompok ini. Realita TKI utamanya Tenaga Kerja Wanita di luar negeri adalah salah satu pokok yang bisa menjadi contoh tentang perempuan sebagai korban perilaku koruptif. Para ahli dengan aneka penelitian berani menyatakan bahwa salah satu dampak dari korupsi adalah pada perekonomian negara yang melemah. Ekonomi yang tidak mampu memberi kesejahteraan pada masyarakatnya secara luas, perkembangan ekonomi yang tidak mampu mewadahi ‘partisipasi perempuan’ untuk bekerja, mencari pendapatan untuk menopang kehidupan dan kebutuhan hidup baik dirinya sendiri maupun keluarga.

Tingginya perilaku dan praktek korupsi dalam penyelenggaraan kepemerintahan di Indonesia membuat investasi yang tumbuh subur adalah ‘investasi hitam’, investasi yang merusak lingkungan karena bertumpu pada industri ektraktif yang ekploitatif. Industri ini adalah industri yang tidak ramah terhadap perempuan, dimana jumlah peluang kerja untuk perempuan sedikit. Selain itu industri ektraktif biasanya juga mendorong tumbuh suburnya industri hiburan malam dimana perempuan menjadi korban karena dijadikan ‘komoditas’ untuk menarik pelanggan yang utamanya adalah laki-laki. Dampak dari industri ektratif yaitu polutan, juga amat merugikan perempuan utamanya jika sampai menimbulkan gangguan pada reproduksi. Pencemaran udara dan air bisa mengakibatkan kasus keguguran pada ibu hamil atau kelahiran dengan bayi yang cacat secara genetis.

Banyaknya industri di Indonesia yang tidak menyediakan kesempatan kerja pada perempuan dalam jumlah yang besar mengakibatkan banyak perempuan terutama yang tidak mempunyai ketrampilan khusus memilih untuk bekerja menjadi TKW di luar negeri. Pilihan pekerjaan yang penuh resiko karena mereka bekerja di lingkungan yang jauh dari rumah dan berada di luar jangkauan serta pengawasan dari pemerintah. Apapun bisa terjadi terhadap mereka tanpa diketahui oleh kita yang ada disini.  Banyak cerita yang menunjukkan bahwa TKW terus menerus menjadi korban sejak masih berada di Indonesia hingga sampai ke luar negeri dan kembali lagi ke Indonesia.

Kisah lingkaran korupsi nampaknya dekat dengan para TKW, mulai dari menyuap untuk memperoleh dokumen-dokumen yang diperlukan untuk keberangkatan, gaji yang dipotong dengan hitungan yang tidak transparan oleh agen pengirim dan kemudian menjadi sasaran pemerasan ketika pulang oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab di pintu masuk wilayah NKRI.

Bahwa kemudian pemerintah bekerja keras untuk memperbaiki  kondisi lewat berbagai satgas atau pokja itu perlu diapresiasi. Namun kisah derita TKW mulai dari saat hendak berangkat, ketika bekerja di luar negeri dan saat kembali ke Indonesia masih saja menceritakan banyak lakon duka nestapa. Tak heran jika kemudian hastag #saveTKI menjadi salah satu pokok yang kerap muncul dalam twitterland.

Pondok Wiraguna, 27 November 2012
@yustinus_esha

Kontemplasi : HASTAG (1)

0 komentar

Cit ‘Twit” Cuit

Perasaan takut akan sesuatu hal yang berlebihan disebut sebagai phobia. Disebut sebagai phobia karena bagi sebagian orang lain apa yang ditakutkan oleh seseorang itu bukanlah sebuah masalah besar yang sampai menganggu hidup, ketenangan atau kebahagiaan. Gejala yang sangat biasa bagi orang lain menjadi luar biasa bagi seseorang yang mengidap phobia, bahkan bisa-bisa menimbulkan histeria. Tak heran jika kemudian para pengidap phobia ini sepintas kelihatan seperti ‘lebay’.

Phobia mempunyai tingkatan dari sekedar phobia ringan yang hanya menimbulkan deg-deg-an sampai phobia berat yang membuat pengidapnya mogok. Contohnya salah satu figur dalam film serial The A Team yaitu Mister T yang menderita phobia takut ketinggian atau terbang. Mr. T yang berbadan gempal, besar dan sangar itu ternyata ‘cemen’ dalam urusan naik helicopter. Setiap kali harus berpindah dari satu tempat ke tempat lain secara cepat dengan menaiki pesawat, Mr. T mogok tak mau ikut. Maka agar bisa ikut dan tidak membuat kekacauan dalam pesawat, Mr. T selalu dibius terlebih dahulu sehingga tidak sadar ketika mengikuti sebuah penerbangan.

Dennis Bergkamp, salah satu legenda Arsenal dari Belanda juga mempunyai phobia yang sama. Setiap kali Arsenal harus bertanding ke luar dan tim pergi dengan naik pesawat. Dia akan berangkat lebih dahulu, lebih awal tinimbang rekan se-timnya dengan naik mobil. Jika masih memungkinkan sebuah daerah dijangkau dengan modus angkutan non penerbangan maka Bergkamp akan memilih moda angkutan itu meski sebenarnya naik pesawat jauh lebih nyaman dan cepat.

Sekarang ini ditenggarai banyak orang menderita ‘nomophobia’ yaitu ketakutan yang luar biasa akan kehilangan mobile phone. Ketakutan yang muncul akibat sebuah ketergantungan yang sangat tinggi terhadap perangkat telepone mobile yang kini sudah sangat pintar (smart phone). Akibatnya seseorang tak bisa lepas sedikitpun dari gadgetnya. Gadget selalu besertanya kemanapun dan dimanapun dia berada. Layanan sosial media dalam bentuk instan messaging, chating (video chat), micro blog, sharring video-document dan lain sebagainya memungkinkan seseorang untuk terus menerus terkoneksi dengan orang lainnya melalui gadget yang dipegangnya selama ada jaringan internet. Kebisaan online terus menerus membuat dunia terasa hampa jika jaringan lenyap dan gadget hilang.

Gejala yang menunjukkan bahwa seseorang khawatir luar biasa akan kehilangan gadgetnya adalah membawa perangkat telepon mobile tidur dengannya. Dan begitu bangun saat tidak bisa menemukan gadget – yang mungkin tersembunyi di bawah bantal atau jatuh di kolong tempat tidur – akan heboh, mencari-cari bak orang kesurupan. Saking tidak mau terpisah dari gadgetnya, seorang ‘nomophobia’ bahkan membawa gadgetnya saat pergi ke WC dan kamar mandi. Dia tak ingin semua pesan atau informasi yang masuk terlewatkan. Saat ini biasa seseorang mempunyai gadget ganda, memegang perangkat telepon lebih dari satu. Andai hal itu dilakukan untuk mempermudah komunikasi atau untuk mengkhususkan masing-masing gadget pada satu keperluan tertentu bukanlah sebuah masalah.

Namun kebiasaan memegang dua gadget bisa dianggap sebagai sebuah nomophobia apabila didasari oleh ketakutan akan kehilangan gadget, maka gadget ganda dimaksudkan sebagai sebuah cadangan, layaknya ban serep pada pemilik mobil, sehingga kalau bocor maka tak perlu mencari tukang tambal terlebih dahulu melainkan mengantinya dengan ban lain yang sudah dipersiapkan.

Ikatan yang berlebihan pada apapun tentu saja bukan sesuatu yang baik. Rasa cinta yang begitu dalam pada gadget sampai menjadi begitu takut kehilangan akan membuat seseorang justru mengalami gangguan komunikasi manusiawi dengan sesamanya. Ibaratnya seseorang lebih memilih ‘berasyik masyuk’ dengan perangkat telepon dibanding dengan sesamanya. Jadi mulailah berkaca dan bertanya adalah kita termasuk dalam kategori “nomophobia”, kalau iya, segeralah bertobat.

Pondok Wiraguna, 24 November 2012
@yustinus_esha

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum