#bahayaLATENkomunisme
“Mau oleh-oleh apa Pah?”, begitu
tanya istri saya waktu menceritakan bonus dari sebuah perusahaan untuk berangkat
mengikuti tour selama seminggu di negeri tirai bambu. Saya tahu pada saat berangkat nanti tak bisa
memberi tambahan uang saku maka saya mesti tahu diri untuk tidak membebani
kegembiraan istri menikmati hadiah liburan dari sebuah perusahaan penghasil
alat-alat kesehatan itu.
“Kaos dengan gambar partai
komunis China, kalau nggak ada ya cari yang ada gambarnya Mao atau Deng Zhiao
Ping. Itu saja”, saya menjawab singkat.
Mendengar jawaban saya istri saya
tertegun, seolah menyesal menanyakan oleh-oleh apa yang hendak diminta oleh
saya. “Kok itu sih, gak ada yang lain apa?”, begitu katanya memprotes
permintaan saya.
“Ya, sudah kalau begitu bendera
China saja, yang seukuran bendera upacara”.
“Ah sudah, nanti mama aja yang
pilihkan”, begitu kata istri saya seolah
sudah mau berangkat hingga perlu segera membuat keputusan untuk memberi
oleh-oleh apa.
Istri saya dan banyak orang lain
terutama yang terlahir di akhir tahun 60-an dan awal 70-an biasanya memang
enggan berurusan dengan semua hal yang berbau komunis. Pendek kata kalau bisa
semua hal yang terkait dengan komunisme tidak ada di dekat-dekat mereka. Maka
permintaan saya untuk membawakan kaos dengan lambang partai komunis China yang
tentu saja bukan palu arit seperti lambang PKI dahulu merupakan permintaan yang
berat untuk dituruti.
Mungkin istri saya tidak phobia
pada komunisme, karena memang tak tersangkut dengan hal itu, namun dalam
hatinya mungkin masih menyimpan kekhawatiran akan pandangan dari orang lain
yang nantinya bisa membuat kesulitan baginya. Jadi praktisnya dari pada nanti
repot dan terkena masalah maka lebih baik menghindar saja.
Dan phobia pada yang namanya
komunisme, entah betulan maupun dibuat-buat nampaknya masih bercokol di negeri
ini. Tak heran misalnya jika ada sekelompok mahasiswa di satu sekolah tinggi
masih mengadakan sebuah diskusi publik untuk membahas bahaya laten komunisme.
Dan saya yakin seyakin-yakinnya ketika mereka bicara soal bahaya laten
komunisme maka yang akan dibahas bukan Marx, Lenin, Stalin, Mao atau Fidel
Castro melainkan Partai Komunis Indonesia. Dan utamanya adalah peristiwa yang
disebut sebagai G30S/PKI yang ditandai dengan terbunuhnya para jenderal yang
kemudian dikenang sebagai pahlawan revolusi.
Saya sebenarnya diminta untuk
berbicara dalam diskusi publik itu namun saya menolak. Penolakan saya bukan
karena tak bersedia membantu pelaksanaan acara tersebut melainkan karena saya
memandang tema yang mereka sodorkan itu sudah tidak masuk akal. Anak-anak muda
ini, para mahasiswa tentu saja generasi yang lahir sesudah tahun 90-an,
anak-anak yang mungkin tak lagi menonton film kolosal “G30S/PKI” yang
dibintangi Umar Kayam dan Amaroso Katamsi serta disutradarai oleh Arifin C
Noor. Mereka juga sudah tidak mendapat pelajaran PSPB yang menempatkan PKI
sebagai ancaman besar bagi negeri ini. Saya tak tahu persis bagaimana sampai
mereka masih saja percaya dengan kata-kata sakti Suharto dengan segala operasi
khususnya yang gemar mengucapkan kata ‘bahaya laten komunis” itu.
Menjelang masa reformasi
sebenarnya mulai berkembang informasi dan catatan-catatan tentang peristiwa
G30S/PKI yang tidak berasal dari sumber resmi pemerintah. Catatan-catatan
sejarah ini membuka ruang revisi atas apa yang ditulis dalam sejarah versi
resmi pemerintah yang diwarnai dengan catatan-catatan bombastis dan cenderung
mengangkat peran tokoh tertentu dan menistakan tokoh-tokoh lain sebagai lawan
politiknya.
Membandingkan berbagai macam
catatan itu yang sampai sekarang belum mampu melahirkan catatan sejarah baru
mengantikan apa yang ditulis sebagai catatan resmi negara, mestinya kita tak
lagi terjebak untuk melihat peristiwa G30S/PKI sebagai sebagai peristiwa
tunggal. Apa yang disebut sebagai G30S/PKI adalah puncak dari rangkaian panjang
dari sebuah organ yang diakui negara untuk berjuang melakukan perubahan. Jika
kemudian dianggap sebagai catatan kelam, kekejaman (kalau memang demikian) yang
dilakukan tidaklah khas kelompok tertentu dalam hal ini komunis. Pilihan atau
jalan yang dipilih bisa saja dilakukan oleh kelompok manapun manakala tidak
tersedia pilihan-pilihan lain untuk mewujudkan jalan perjuangannya.
Saya tak hendak memaklumi apa
yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia saat itu, namun memandang apa yang
dilakukan sebagai khas hanya oleh mereka dan kemudian dipakai sebagai sebuah
cap yang abadi untuk menandai kelompok ini menurut saya tidaklah benar dan
merupakan sebuah ketakutan yang dilebih-lebihkan. Bukannya mau takabur, andai
saya menyimpulkan bahwa episode komunisme di Indonesia sudah selesai. Hal mana
dikarenakan episode komunisme di duniapun kini tinggal menjadi monumen yang
berdiri dalam dingin dan sepi.
Tapi sekali lagi ini pikiran saya
dan saya tak menyalahkan siapapun yang masih percaya dengan mantra ‘bahaya
laten komunis’ entah karena alasan ideologis maupun psikologis. Termasuk alasan
istri saya yang sebenarnya pragmatis saja yaitu nda mau repot berurusan dengan
pihak yang berkepentingan andai nanti ketahuan membawa oleh-oleh kaos
berlambang partai komunis China.
Pondok Wiraguna, 24 November 2012
@yustinus_esha