Kontemplasi : HASTAG (6)

Rabu, 28 November 2012


#bahayaLATENkomunisme

“Mau oleh-oleh apa Pah?”, begitu tanya istri saya waktu menceritakan bonus dari sebuah perusahaan untuk berangkat mengikuti tour selama seminggu di negeri tirai bambu.  Saya tahu pada saat berangkat nanti tak bisa memberi tambahan uang saku maka saya mesti tahu diri untuk tidak membebani kegembiraan istri menikmati hadiah liburan dari sebuah perusahaan penghasil alat-alat kesehatan itu.

“Kaos dengan gambar partai komunis China, kalau nggak ada ya cari yang ada gambarnya Mao atau Deng Zhiao Ping. Itu saja”, saya menjawab singkat.

Mendengar jawaban saya istri saya tertegun, seolah menyesal menanyakan oleh-oleh apa yang hendak diminta oleh saya. “Kok itu sih, gak ada yang lain apa?”, begitu katanya memprotes permintaan saya.

“Ya, sudah kalau begitu bendera China saja, yang seukuran bendera upacara”.

“Ah sudah, nanti mama aja yang pilihkan”, begitu kata istri  saya seolah sudah mau berangkat hingga perlu segera membuat keputusan untuk memberi oleh-oleh apa.

Istri saya dan banyak orang lain terutama yang terlahir di akhir tahun 60-an dan awal 70-an biasanya memang enggan berurusan dengan semua hal yang berbau komunis. Pendek kata kalau bisa semua hal yang terkait dengan komunisme tidak ada di dekat-dekat mereka. Maka permintaan saya untuk membawakan kaos dengan lambang partai komunis China yang tentu saja bukan palu arit seperti lambang PKI dahulu merupakan permintaan yang berat untuk dituruti.

Mungkin istri saya tidak phobia pada komunisme, karena memang tak tersangkut dengan hal itu, namun dalam hatinya mungkin masih menyimpan kekhawatiran akan pandangan dari orang lain yang nantinya bisa membuat kesulitan baginya. Jadi praktisnya dari pada nanti repot dan terkena masalah maka lebih baik menghindar saja.

Dan phobia pada yang namanya komunisme, entah betulan maupun dibuat-buat nampaknya masih bercokol di negeri ini. Tak heran misalnya jika ada sekelompok mahasiswa di satu sekolah tinggi masih mengadakan sebuah diskusi publik untuk membahas bahaya laten komunisme. Dan saya yakin seyakin-yakinnya ketika mereka bicara soal bahaya laten komunisme maka yang akan dibahas bukan Marx, Lenin, Stalin, Mao atau Fidel Castro melainkan Partai Komunis Indonesia. Dan utamanya adalah peristiwa yang disebut sebagai G30S/PKI yang ditandai dengan terbunuhnya para jenderal yang kemudian dikenang sebagai pahlawan revolusi.

Saya sebenarnya diminta untuk berbicara dalam diskusi publik itu namun saya menolak. Penolakan saya bukan karena tak bersedia membantu pelaksanaan acara tersebut melainkan karena saya memandang tema yang mereka sodorkan itu sudah tidak masuk akal. Anak-anak muda ini, para mahasiswa tentu saja generasi yang lahir sesudah tahun 90-an, anak-anak yang mungkin tak lagi menonton film kolosal “G30S/PKI” yang dibintangi Umar Kayam dan Amaroso Katamsi serta disutradarai oleh Arifin C Noor. Mereka juga sudah tidak mendapat pelajaran PSPB yang menempatkan PKI sebagai ancaman besar bagi negeri ini. Saya tak tahu persis bagaimana sampai mereka masih saja percaya dengan kata-kata sakti Suharto dengan segala operasi khususnya yang gemar mengucapkan kata ‘bahaya laten komunis” itu.

Menjelang masa reformasi sebenarnya mulai berkembang informasi dan catatan-catatan tentang peristiwa G30S/PKI yang tidak berasal dari sumber resmi pemerintah. Catatan-catatan sejarah ini membuka ruang revisi atas apa yang ditulis dalam sejarah versi resmi pemerintah yang diwarnai dengan catatan-catatan bombastis dan cenderung mengangkat peran tokoh tertentu dan menistakan tokoh-tokoh lain sebagai lawan politiknya.

Membandingkan berbagai macam catatan itu yang sampai sekarang belum mampu melahirkan catatan sejarah baru mengantikan apa yang ditulis sebagai catatan resmi negara, mestinya kita tak lagi terjebak untuk melihat peristiwa G30S/PKI sebagai sebagai peristiwa tunggal. Apa yang disebut sebagai G30S/PKI adalah puncak dari rangkaian panjang dari sebuah organ yang diakui negara untuk berjuang melakukan perubahan. Jika kemudian dianggap sebagai catatan kelam, kekejaman (kalau memang demikian) yang dilakukan tidaklah khas kelompok tertentu dalam hal ini komunis. Pilihan atau jalan yang dipilih bisa saja dilakukan oleh kelompok manapun manakala tidak tersedia pilihan-pilihan lain untuk mewujudkan jalan perjuangannya.

Saya tak hendak memaklumi apa yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia saat itu, namun memandang apa yang dilakukan sebagai khas hanya oleh mereka dan kemudian dipakai sebagai sebuah cap yang abadi untuk menandai kelompok ini menurut saya tidaklah benar dan merupakan sebuah ketakutan yang dilebih-lebihkan. Bukannya mau takabur, andai saya menyimpulkan bahwa episode komunisme di Indonesia sudah selesai. Hal mana dikarenakan episode komunisme di duniapun kini tinggal menjadi monumen yang berdiri dalam dingin dan sepi.

Tapi sekali lagi ini pikiran saya dan saya tak menyalahkan siapapun yang masih percaya dengan mantra ‘bahaya laten komunis’ entah karena alasan ideologis maupun psikologis. Termasuk alasan istri saya yang sebenarnya pragmatis saja yaitu nda mau repot berurusan dengan pihak yang berkepentingan andai nanti ketahuan membawa oleh-oleh kaos berlambang partai komunis China.

Pondok Wiraguna, 24 November 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum