#BBM
Bulan lalu, masyarakat Kalimantan
Timur dikejutkan oleh kejadian di Barong Tongkok, Kutai Barat. Bermulai dari
sebuah antrian bensin yang kemudian menyulut sebuah ‘kerusuhan’ yang ditandai
dengan pengrusakan dan pembakaran. Seorang warga dari kelompok masyarakat
tertentu yang tidak puas pada layanan melakukan protes yang barangkali bernada
keras. Protes yang kemudian ditanggapi dengan pengeroyokkan oleh petugas di
SPBU yang diidentifikasi sebagai milik kelompok masyarakat tertentu lainnya.
Alhasil peristiwa pengeroyokkan itu memancing aksi dari kelompok masyarakat
dari sang korban untuk menyerang secara acak kelompok masyarakat yang sama
dengan pemilik SPBU.
Sweeping, penyerangan,
pengrusakan dan pembakaran atas milik kelompok masyarakat tertentu dari kelompok
masyarakat lainnya terbilang satu hal yang langka di Kalimantan Timur.
Ironisnya justru kemudian ini terjadi lantaran satu komoditi yang dihasilkan
karena kekayaan bumi Kalimantan Timur sendiri. Sebuah kekayaan yang terus
menerus sudah dikeruk semenjak jaman penjajahan Belanda. Nama-nama perusahaan
mulai dari Royal Ducth, Shell, Total, Union 76, British Oil, Chevron dan lain
sebagainya amat familiar dan terbiasa di telinga masyarakat Kalimantan Timur.
Inilah perusahaan-perusahaan dunia ternama yang menjalin kerjasama untuk
menyedot minyak bumi dengan pemerintah Indonesia lewat perjanjian yang biasa
disebut dengan KSO, Kerjasama Sharring Operation.
Singkatan perjanjian itu memang
pendek yaitu KSO, tiga huruf saja tapi untuk menerangkan seluk beluknya batal
butuh waktu yang panjang untuk memahami secara cukup dan utuh. Saya tak akan
menerangkannya karena banyak istilah-istilah yang kemudian saya juga tak paham.
Namun yang paling penting adalah kita sesungguhnya tak menikmati apa yang kita
punya dan bahkan kita bisa saling ‘bunuh’ karenanya.
Urusan minyak ini memang gurih
dan memancing banyak pihak untuk mencari untuk dari kegurihannya itu.
Berminyak-minyak demikian istilah teman-teman saya di Manado untuk menyebut
makanan yang lezat menggoda. Dan itulah yang terjadi dengan BBM, bahan bakar
minyak yang menggoda bukan hanya pemilik modal asing tapi juga pemain-pemain
dalam negeri untuk mengambil untung darinya yang kadang sudah sangat
keterlaluan hingga melukai harga diri anak negeri.
Derita karena minyak yang dialami
oleh warga bukan hanya berasal dari cerita antri minyak tanah di masa lalu,
yang sekarang diganti dengan antri bensin di SPBU. Lihat saja suasana di salah
satu SPBU tak jauh dari tempat walikota Samarinda berkantor. Setiap hari hingga
melewati tengah malam, berderet mobil mengantri untuk mengisi bensin persediaan
esok hari. Pemilik mobil sekurang-kurangnya sopirnya harus membuang waktu,
memangkas jam istirahat demi rasa nyaman esok hari, beraktifitas dengan mobil
yang full tangki.
Derita lainnya adalah listrik
yang ‘byar pet’, lantaran pembangkitnya memakai bahan bakar minyak. Dan sama
seperti para pemilik mobil dan kendaraan bermotor, kebutuhan BBM untuk
pembangkit listrik belum tentu bisa dipenuhi oleh pemasoknya yaitu Pertamina.
Andai pasokan kurang mau tak mau mesti ada mesin yang dimatikan, akibatnya
tidak semua pelanggan akan bisa menikmati listrik dalam waktu bersamaan.
Perdebatan soal ini sudah kerap
terjadi dan kalau dituliskan mungkin bakal butuh buku berjilid-jilid. Tapi dari
waktu ke waktu perbaikan dalam tata kelola BBM tak juga membaik. Lagi-lagi saya
harus memakai istilah yang dikenalkan oleh teman dari Manado, yaitu ‘tai minyak’ sebuah istilah untuk
menyebut perbincangan yang berbusa-busa, sampai liur muncrat-muncrat dari mulut
tapi tak juga menghasilkan apa-apa, perubahan yang significant. Alhasil semua
tinggal hanya sebatas menjadi kata-kata yang barangkali rumit, njelimet, penuh
perhitungan matematis dan didasari oleh aneka teori serta pandangan yang tidak
mudah dipahami oleh orang awam.
Kalo tak percaya coba saja tanya
pada yang berwenang, soal kenapa kita harus menjual minyak bumi ke luar negeri,
dan kemudian harus membeli baik minyak bumi maupun komoditi olahannya yaitu
bensin serta lainnya dari luar negeri. Bukankah kita punya bahan sendiri,
kenapa tidak diolah dan dipakai sendiri?. Sebuah pertanyaan yang sederhana tapi
pasti kemudian jawabannya akan membuat kita pusing kepala mencerna berbagai
istilah yang bakal keluar dari yang berwenang menjawabnya.
Oleh karenanya, saya tak perlu
berpanjang-panjang, memutar-mutar hingga membuat tulisan menjadi tak jelas,
dalam urusan minyak ini – sekali lagi saya akan memakai istilah yang
diperkenalkan oleh kawan di Manado – memang banyak melahirkan ‘ular minyak’ . Sosok entah pelaku
maupun pengambil kebijakan dalam soal perminyakan yang pandai berkelit dalam
menghadapi pertanyaan-pertanyaan sederhana dari masyarakat yang capek terus
menerus mengantri BBM.
Pondok Wiraguna, 6 Desember 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar