Kontemplasi : HASTAG (7)

Kamis, 06 Desember 2012


#BBM

Bulan lalu, masyarakat Kalimantan Timur dikejutkan oleh kejadian di Barong Tongkok, Kutai Barat. Bermulai dari sebuah antrian bensin yang kemudian menyulut sebuah ‘kerusuhan’ yang ditandai dengan pengrusakan dan pembakaran. Seorang warga dari kelompok masyarakat tertentu yang tidak puas pada layanan melakukan protes yang barangkali bernada keras. Protes yang kemudian ditanggapi dengan pengeroyokkan oleh petugas di SPBU yang diidentifikasi sebagai milik kelompok masyarakat tertentu lainnya. Alhasil peristiwa pengeroyokkan itu memancing aksi dari kelompok masyarakat dari sang korban untuk menyerang secara acak kelompok masyarakat yang sama dengan pemilik SPBU.

Sweeping, penyerangan, pengrusakan dan pembakaran atas milik kelompok masyarakat tertentu dari kelompok masyarakat lainnya terbilang satu hal yang langka di Kalimantan Timur. Ironisnya justru kemudian ini terjadi lantaran satu komoditi yang dihasilkan karena kekayaan bumi Kalimantan Timur sendiri. Sebuah kekayaan yang terus menerus sudah dikeruk semenjak jaman penjajahan Belanda. Nama-nama perusahaan mulai dari Royal Ducth, Shell, Total, Union 76, British Oil, Chevron dan lain sebagainya amat familiar dan terbiasa di telinga masyarakat Kalimantan Timur. Inilah perusahaan-perusahaan dunia ternama yang menjalin kerjasama untuk menyedot minyak bumi dengan pemerintah Indonesia lewat perjanjian yang biasa disebut dengan KSO, Kerjasama Sharring Operation.

Singkatan perjanjian itu memang pendek yaitu KSO, tiga huruf saja tapi untuk menerangkan seluk beluknya batal butuh waktu yang panjang untuk memahami secara cukup dan utuh. Saya tak akan menerangkannya karena banyak istilah-istilah yang kemudian saya juga tak paham. Namun yang paling penting adalah kita sesungguhnya tak menikmati apa yang kita punya dan bahkan kita bisa saling ‘bunuh’ karenanya.

Urusan minyak ini memang gurih dan memancing banyak pihak untuk mencari untuk dari kegurihannya itu. Berminyak-minyak demikian istilah teman-teman saya di Manado untuk menyebut makanan yang lezat menggoda. Dan itulah yang terjadi dengan BBM, bahan bakar minyak yang menggoda bukan hanya pemilik modal asing tapi juga pemain-pemain dalam negeri untuk mengambil untung darinya yang kadang sudah sangat keterlaluan hingga melukai harga diri anak negeri.

Derita karena minyak yang dialami oleh warga bukan hanya berasal dari cerita antri minyak tanah di masa lalu, yang sekarang diganti dengan antri bensin di SPBU. Lihat saja suasana di salah satu SPBU tak jauh dari tempat walikota Samarinda berkantor. Setiap hari hingga melewati tengah malam, berderet mobil mengantri untuk mengisi bensin persediaan esok hari. Pemilik mobil sekurang-kurangnya sopirnya harus membuang waktu, memangkas jam istirahat demi rasa nyaman esok hari, beraktifitas dengan mobil yang full tangki.

Derita lainnya adalah listrik yang ‘byar pet’, lantaran pembangkitnya memakai bahan bakar minyak. Dan sama seperti para pemilik mobil dan kendaraan bermotor, kebutuhan BBM untuk pembangkit listrik belum tentu bisa dipenuhi oleh pemasoknya yaitu Pertamina. Andai pasokan kurang mau tak mau mesti ada mesin yang dimatikan, akibatnya tidak semua pelanggan akan bisa menikmati listrik dalam waktu bersamaan.

Perdebatan soal ini sudah kerap terjadi dan kalau dituliskan mungkin bakal butuh buku berjilid-jilid. Tapi dari waktu ke waktu perbaikan dalam tata kelola BBM tak juga membaik. Lagi-lagi saya harus memakai istilah yang dikenalkan oleh teman dari Manado, yaitu ‘tai minyak’ sebuah istilah untuk menyebut perbincangan yang berbusa-busa, sampai liur muncrat-muncrat dari mulut tapi tak juga menghasilkan apa-apa, perubahan yang significant. Alhasil semua tinggal hanya sebatas menjadi kata-kata yang barangkali rumit, njelimet, penuh perhitungan matematis dan didasari oleh aneka teori serta pandangan yang tidak mudah dipahami oleh orang awam.

Kalo tak percaya coba saja tanya pada yang berwenang, soal kenapa kita harus menjual minyak bumi ke luar negeri, dan kemudian harus membeli baik minyak bumi maupun komoditi olahannya yaitu bensin serta lainnya dari luar negeri. Bukankah kita punya bahan sendiri, kenapa tidak diolah dan dipakai sendiri?. Sebuah pertanyaan yang sederhana tapi pasti kemudian jawabannya akan membuat kita pusing kepala mencerna berbagai istilah yang bakal keluar dari yang berwenang menjawabnya.

Oleh karenanya, saya tak perlu berpanjang-panjang, memutar-mutar hingga membuat tulisan menjadi tak jelas, dalam urusan minyak ini – sekali lagi saya akan memakai istilah yang diperkenalkan oleh kawan di Manado – memang banyak melahirkan ‘ular minyak’ . Sosok entah pelaku maupun pengambil kebijakan dalam soal perminyakan yang pandai berkelit dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan sederhana dari masyarakat yang capek terus menerus mengantri BBM.

Pondok Wiraguna, 6 Desember 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum