Kontemplasi : HASTAG (8)

Kamis, 06 Desember 2012

#JELITAvsJELATA

Konon Tuhan menciptakan manusia itu sama dan setara, meski pada kenyataannya berbeda-beda. Perbedaan yang paling kentara tentu saja adalah tampilan fisik. Dan sejarah mencatat perbedaan tampilan fisik bisa mempengaruhi nasib kelompok atau seseorang. Semenjak dahulu kala, nampaknya yang berkulit putih lebih beruntung nasib dan pamornya dibanding yang berkulit pucat, coklat apalagi yang hitam.

Cerita kolonialisme adalah kisah superioritas bangsa-bangsa berkulit putih yang merasa lebih berhak memiliki dan menikmati bumi seisinya dengan cara menyingkirkan dan memperbudak bangsa-bangsa berkulit lebih gelap utamanya coklat dan hitam. Segerombolan bangsa kulit putih yang bahkan tak mewakili negara bisa datang ke tanah-tanah tempat tinggal orang berkulit gelap untuk mengambil kekayaannya. Bahkan mengusir dan merampas tanah beserta kekayaannya untuk ditinggali oleh bangsa kulit putih hingga kemudian berkembang menjadi koloni dan negara-negara baru. Alhasil, kita yang rata-rata berkulit coklat ini hingga saat ini masih terus mengamini bahwa putih itu superior, putih itu lebih. Saya yang adalah laki-laki, sulit melepaskan diri dari perspektif bawah sadar yang mengatakan bahwa cewek cantik itu identik dengan putih. Bening begitu istilah populernya. Istilah yang senada saya dengar pula dari teman-teman Papua yang kerap menyebut cewek cantik dengan sebutan ‘ubi kupas’.

Menyamakan putih sebagai cantik tentu saja ‘gebyah uyah’, generalisasi yang tidak ilmiah. Tapi apa boleh buat, hidup dan pergaulan sosial memang tidak soal ilmiah atau tidak ilmiah. Dan bahkan produk-produk hasil dari kerja ilmiah seperti kosmetik misalnya, justru memupuk perilaku tidak ilmiah ini dengan terus menerus memelihara ‘anggapan’ bahwa putih atau sekurangnya bening, mulus itu cantik. Dan nyatanya apa yang laku di kalangan perempuan berkulit coklat dan gelap adalah krim pemutih. Maka terpujilah wahai kaum wanita yang berkulit putih karena masuk dalam kelas kaum Jelita, dan mereka yang tidak masuk kategori itu secara otomatis akan masuk dalam kelas Jelata.

Menjadi Jelita tentu saja banyak untungnya. Semua mata akan menyorot padanya, penuh perhatian. Tak heran jika si Jelita terpeleset maka akan banyak yang menolongnya, andai itu terjadi pada si Jelata, maka orang yang berada paling dekatpun niscaya akan mengalihkan pandangan, pura-pura tak melihatnya. Sialnya sikap seperti ini tak hanya milik orang per orangan atau kelompok. Negarapun tak lepas dari bias perlakuan yang membedakan antara si Jelita dan Jelata.

Mari ambil contoh soal TKW, tenaga kerja wanita Indonesia yang bekerja di berbagai negara. Para TKW tentu saja bukan termasuk kategori kelompok Jelita, mereka mengadu peruntungan bekerja di negara yang tidak mereka kenal, meninggalkan sanak saudara dan keluarga demi memperbaiki nasib yang tak baik di negeri sendiri. Ada banyak contoh kasus yang menimpa kaum jelata, yang bekerja di luarnegeri hingga babak belur tapi tak juga mendapat perhatian dari pemerintah. Pemerintah biasanya bergegas bekerja kala ada yang meributkan. Sesuatu yang tidak banyak menolong mereka karena sudah terlanjur mengalami nestapa.

Lain ceritanya kalau yang terkena masalah adalah wanita Jelita, contoh saja Manohara misalnya. Gadis blasteran Indonesia Italia ini dinikahi oleh pangeran di salah satu negara bagian Malaysia. Lewat SMS mengeluh tentang perlakuan suaminya. Mano demikian biasa dipanggil mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Pemerintah kemudian sigap bergerak dan Mano yang dibatasi gerakkannya oleh sang suami beserta keluarganya berhasil dibawa ke Indonesia lewat aksi yang ceritanya mirip di film-film detektif.

Ini adalah kenyataan adanya beda perlakuan yang dilandasi oleh kecenderungan naluriah paling dasar yaitu lebih memilih yang ‘disangka’ elok dibanding dengan yang dipandang kurang elok. Warga atau masyarakat yang masuk dalam golongan Jelita sekurang-kurangnya lebih beruntung, terhindar dari kecongkakkan para aparatus, pejabat dan penjabat negeri yang kerap bertanya “Siapa loe?”. Sebuah pertanyaan yang kerap diajukan dan mematikan untuk kaum Jelata, karena tak tahu harus menjawab apa.

Pondok Wiraguna, 4 Desember 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum