#JELITAvsJELATA
Konon Tuhan menciptakan manusia itu sama dan setara, meski pada kenyataannya berbeda-beda. Perbedaan yang paling kentara tentu saja adalah tampilan fisik. Dan sejarah mencatat perbedaan tampilan fisik bisa mempengaruhi nasib kelompok atau seseorang. Semenjak dahulu kala, nampaknya yang berkulit putih lebih beruntung nasib dan pamornya dibanding yang berkulit pucat, coklat apalagi yang hitam.
Cerita kolonialisme adalah kisah superioritas bangsa-bangsa berkulit putih yang merasa lebih berhak memiliki dan menikmati bumi seisinya dengan cara menyingkirkan dan memperbudak bangsa-bangsa berkulit lebih gelap utamanya coklat dan hitam. Segerombolan bangsa kulit putih yang bahkan tak mewakili negara bisa datang ke tanah-tanah tempat tinggal orang berkulit gelap untuk mengambil kekayaannya. Bahkan mengusir dan merampas tanah beserta kekayaannya untuk ditinggali oleh bangsa kulit putih hingga kemudian berkembang menjadi koloni dan negara-negara baru.
Alhasil, kita yang rata-rata berkulit coklat ini hingga saat ini masih terus mengamini bahwa putih itu superior, putih itu lebih. Saya yang adalah laki-laki, sulit melepaskan diri dari perspektif bawah sadar yang mengatakan bahwa cewek cantik itu identik dengan putih. Bening begitu istilah populernya. Istilah yang senada saya dengar pula dari teman-teman Papua yang kerap menyebut cewek cantik dengan sebutan ‘ubi kupas’.
Menyamakan putih sebagai cantik tentu saja ‘gebyah uyah’, generalisasi yang tidak ilmiah. Tapi apa boleh buat, hidup dan pergaulan sosial memang tidak soal ilmiah atau tidak ilmiah. Dan bahkan produk-produk hasil dari kerja ilmiah seperti kosmetik misalnya, justru memupuk perilaku tidak ilmiah ini dengan terus menerus memelihara ‘anggapan’ bahwa putih atau sekurangnya bening, mulus itu cantik. Dan nyatanya apa yang laku di kalangan perempuan berkulit coklat dan gelap adalah krim pemutih.
Maka terpujilah wahai kaum wanita yang berkulit putih karena masuk dalam kelas kaum Jelita, dan mereka yang tidak masuk kategori itu secara otomatis akan masuk dalam kelas Jelata.
Menjadi Jelita tentu saja banyak untungnya. Semua mata akan menyorot padanya, penuh perhatian. Tak heran jika si Jelita terpeleset maka akan banyak yang menolongnya, andai itu terjadi pada si Jelata, maka orang yang berada paling dekatpun niscaya akan mengalihkan pandangan, pura-pura tak melihatnya.
Sialnya sikap seperti ini tak hanya milik orang per orangan atau kelompok. Negarapun tak lepas dari bias perlakuan yang membedakan antara si Jelita dan Jelata.
Mari ambil contoh soal TKW, tenaga kerja wanita Indonesia yang bekerja di berbagai negara. Para TKW tentu saja bukan termasuk kategori kelompok Jelita, mereka mengadu peruntungan bekerja di negara yang tidak mereka kenal, meninggalkan sanak saudara dan keluarga demi memperbaiki nasib yang tak baik di negeri sendiri. Ada banyak contoh kasus yang menimpa kaum jelata, yang bekerja di luarnegeri hingga babak belur tapi tak juga mendapat perhatian dari pemerintah. Pemerintah biasanya bergegas bekerja kala ada yang meributkan. Sesuatu yang tidak banyak menolong mereka karena sudah terlanjur mengalami nestapa.
Lain ceritanya kalau yang terkena masalah adalah wanita Jelita, contoh saja Manohara misalnya. Gadis blasteran Indonesia Italia ini dinikahi oleh pangeran di salah satu negara bagian Malaysia. Lewat SMS mengeluh tentang perlakuan suaminya. Mano demikian biasa dipanggil mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Pemerintah kemudian sigap bergerak dan Mano yang dibatasi gerakkannya oleh sang suami beserta keluarganya berhasil dibawa ke Indonesia lewat aksi yang ceritanya mirip di film-film detektif.
Ini adalah kenyataan adanya beda perlakuan yang dilandasi oleh kecenderungan naluriah paling dasar yaitu lebih memilih yang ‘disangka’ elok dibanding dengan yang dipandang kurang elok. Warga atau masyarakat yang masuk dalam golongan Jelita sekurang-kurangnya lebih beruntung, terhindar dari kecongkakkan para aparatus, pejabat dan penjabat negeri yang kerap bertanya “Siapa loe?”. Sebuah pertanyaan yang kerap diajukan dan mematikan untuk kaum Jelata, karena tak tahu harus menjawab apa.
Pondok Wiraguna, 4 Desember 2012
@yustinus_esha
Orang boleh pandai setinggi langit, namun kalau tidak menulis maka akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah (Pram)
Pages
Label:
Kolom
Kontemplasi : HASTAG (8)
Borneo Menulis
Kamis, 06 Desember 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
Cari Blog Ini
Sekolah dan Bengkel Menulis Naladwipa
Merupakan hasil kerjasama Naladwipa Institute, Komisi Kepemudaan Keuskupan Agung Samarinda dan Desantara Foundation. Kegiatan ini diikuti oleh anak-anak muda untuk mengasah wawasan, kepekaan dan ketajaman untuk melihat apa yang terjadi di kesekitarannya.
Menulis Adalah Panggilan Jiwa
Blog ini merupakan wahana bagi peserta sekolah menulis Naladwipa dan Komkep Kasri untuk mempublikasikan tulisannya. Namun tetap terbuka bagi siapapun yang hendak mengirimkan tulisan juga. Silahkan masukkan tulisan ke badan email dan kirim ke borneo.menulis@gmail.com
Tulisan akan ditata sedemikian rupa tanpa merubah isi dan subtansinya.
Tulisan akan ditata sedemikian rupa tanpa merubah isi dan subtansinya.
Popular Posts
-
Antara Antri IPAD dan Bensin Ketika masih duduk di bangku sekolah, libur kenaikan kelas adalah sebuah kegembiraan yang tidak terkira. Sebu...
-
Daun-daun masih basah, karena tadi sore hujan baru usai menyirami kampung yang berada di tepi sungai Kelian. Kini malam berganti terang pur...
-
Hujan rintik-rintik ditemani senja sedang merayap meraih malam di saat saya memasuki pintu gerbang desa Kutai Lama Kecamatan Anggana Kutai ...
-
Masihkan orang berpikir bahwa tato adalah penanda bagi mahkluk yang cenderung kriminal dan tindik (piercing) adalah peradaban massa silam?. ...
-
Berita merupakan produk aktivitas jurnalistik atas dasar informasi yang berdasar pada fakta. Jika sang jurnalis hadir atau berada dalam sebu...
-
Empat bulan lalu Ardi bersama keluarganya pindah rumah, ke tempat tinggal yang kini adalah miliknya sendiri. Bertahun-tahun Ardi, Esta istr...
-
Media memegang peran penting dalam dinamika sosio kultural di masyarakat. Di tengah iklim yang menindas, media bisa menjadi corong dari peng...
-
Resep apa yang digunakan oleh seseorang sehingga mampu melahirkan tulisan yang menawan. Sederhana saja, ramuan jitu dalam menulis hanya satu...
-
Istilah LSM sebenarnya contradictio in terminis atau korupsi makna. Sebagai sebuah institusi yang dinamai dengan Lembaga Swadaya Masyarakat...
-
Kemacetan tak lagi milik kota-kota metropolitan macam Jakarta, Bandung, Surabaya atau Medan. Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang kin...
Ayo Menulis
Jika anda percaya bahwa kata-kata mampu menggerakkan perubahan maka mulailah menulis. Semua pantas ditulis dan perlu untuk dibagikan.
Daftar Link
Partisipan
Arsip Blog
- 06/26 - 07/03 (3)
- 07/03 - 07/10 (3)
- 07/10 - 07/17 (6)
- 07/17 - 07/24 (6)
- 07/24 - 07/31 (12)
- 07/31 - 08/07 (3)
- 08/14 - 08/21 (2)
- 08/28 - 09/04 (2)
- 09/04 - 09/11 (3)
- 10/02 - 10/09 (11)
- 09/02 - 09/09 (10)
- 09/09 - 09/16 (4)
- 09/16 - 09/23 (12)
- 09/23 - 09/30 (8)
- 09/30 - 10/07 (12)
- 10/07 - 10/14 (8)
- 10/14 - 10/21 (10)
- 10/28 - 11/04 (9)
- 11/04 - 11/11 (9)
- 11/11 - 11/18 (10)
- 11/18 - 11/25 (8)
- 11/25 - 12/02 (6)
- 12/02 - 12/09 (3)
- 12/09 - 12/16 (3)
- 12/30 - 01/06 (1)
- 01/06 - 01/13 (5)
Kunjungan
BORNEO MENULIS
0 komentar:
Posting Komentar