#noCASH
Saya harus mengakui soal
keterbatasan pengetahuan dan pemahaman tentang ekonomi. Pertama karena saya tak
pernah belajar khusus soal itu dan kedua kerap kali saya bingung ketika
terlibat dalam perbincangan soal ekonomi yang menurut saya rumit karena tak
selalu benar-benar dibahas dalam kerangka ekonomi, melainkan bias dengan agenda
atau pandangan lain terkait politik, sosial, budaya dan sebagainya.
Banyak paham dan gagasan ekonomi
berseliweran, mulai dari sosialis, liberalis, kapitalis, kapitalis liberal,
,neo kapitalis, kooperasi, neo liberalis, syariah dengan berbagai variannya.
Seolah yang satu meniadakan yang lain, yang satu lebih baik dari yang lainnya
walau sebenarnya nyaris tak ada satu negarapun yang benar-benar menerapkan
secara absolut satu sistem ekonomi tertentu.
Dari segala ajaran ekonomi baik
yang sengaja maupun tidak mampir ke kepala saya, apa yang saya terima dan
pahami secara sadar adalah ajaran tentang jangan berhutang. Hindari hutang
sebisa mungkin atau hadapi masalah sampai titik darah penghabisan sebelum memutuskan
berhutang. Saya setuju dengan ajaran ini karena hutang bukan hanya merupakan
perilaku ekonomi, melainkan juga berdampak sosial dan psikologis. Pemberi dan
penerima hutang sama-sama bisa mengalami masalah jika hutang piutangnya tidak
beres.
Karena meyakini ajaran yang tentu
saja dipandang naif untuk jaman ini, saya menjadi bingung ketika melihat
perjanjian hutang piutang disiarkan dalam berita. Penerima dan pemberi hutang
dengan baju necis berdiri menandatangani dokumen dan kemudian salaman sambil
tersenyum-senyum. Yang memberi hutang dan menerima hutang sama-sama senang.
Saya kemudian harus memutar otak
untuk berusaha memahami bagaimana hutang menjadi pilihan pertama bagi seseorang
atau suatu badan bahkan negara untuk menjalankan roda kehidupan. Tentu saja ini
karena ketololan saya yang tak paham akan adanya industri keuangan. Industri
yang bakal kolaps andai semua orang hanya datang ‘menitipkan’ uang tanpa ada
yang meminjamnya. Industri yang secara sederhana mencari keuntungan dari marjin
antara bunga simpanan dan pinjaman. Keuntungan akan berlipat-lipat andai uang
yang berhasil dikumpulkan oleh mereka diputar dalam sejumlah pinjaman yang
lancar pengembaliannya.
Meski masih terus berupaya
memegang ajaran untuk sekeras mungkin menghindari hutang, toh saya harus mulai
mentolerir kenyataan bahwa hutang adalah hal yang biasa, bukan hal yang nista.
Karenanya saya tak perlu menjadi terkaget dan jantungan saat menjumpai pemasar
kartu kredit berkeliaran di Mall-Mall, menjajakan hutang seolah sebagai
dagangan. Dan sesekali saya tak mampu menghindar dari para pemasar yang amat
gigih merayu, maka mau tak mau saya mengeluarkan jurus berkelit agar tak
ditawari lagi. Saya katakan saja kalau kartu hutang saya sudah banyak dan tak
mau menambah lagi.
Kartu kredit dalam hal-hal
tertentu mungkin memang membantu, mempermudah transaksi dan juga aman terutama
untuk orang yang gemar membelanjakan uang sehingga tak perlu membawa segepok
uang disaku. Hanya rasanya tak elok kalau harus diobral, seolah-olah mengajak
orang untuk gemar berhutang, hutang bukan untuk keperluan produktif melainkan
konsumtif. Padahal hutang yang tidak produktif hanya akan membawa orang dalam
kondisi ‘gali lubang, tutup lubang’. Tak
heran jika kemudian banyak pemakai kartu kredit sesungguhnya ‘kalah nasi tapi
menang aksi’, mengkoleksi banyak kartu agar dianggap modern dan mengikuti
jaman. Dompet yang sejahtera bukan lagi dompet tebal berisi lembaran rupiah,
melainkan dompet panjang dengan deretan kartu berjejer rapi.
Bicara soal tebal tipisnya uang,
menurut saya saat ini ada yang ajaib. Segepok uang yang dipegang di tangan tak
membuat kita bisa mendapat barang yang kita inginkan. Kalau tidak percaya coba
saja pergi ke penjual motor atau mobil. Mereka tak senang jika calon pembelinya
datang membawa uang cash, datang, pilih barang, dan bayar lunas. Hampir semua
penjual kendaraan bermotor entah melalui kesepakatan apa, lebih memilih untuk
memasang tulisan “melayani penjualan melalui kredit’ yang sama artinya dengan
pesan tidak melayani pembelian secara cash.
Mungkin inilah yang disebut
dengan ‘wolak-walike jaman’, jaman yang terbolak-balik. Kalau dulu para leluhur
mengajarkan untuk sebisa mungkin menghindari hutang, kini kita dirayu-rayu dan
dikelilingi oleh ajakan untuk berhutang. Tak mengherankan jika kemudian ada
yang menjual sessi motivasi yang menjual program “cara gila menjadi pengusaha”,
disebut gila karena sessi ini mengajarkan orang untuk menjadi pengusaha dengan
‘modal dengkul’ yaitu hutang.
Pondok Wiraguna, 5 Desember 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar