Kontemplasi : HASTAG (9)

Kamis, 06 Desember 2012


#noCASH

Saya harus mengakui soal keterbatasan pengetahuan dan pemahaman tentang ekonomi. Pertama karena saya tak pernah belajar khusus soal itu dan kedua kerap kali saya bingung ketika terlibat dalam perbincangan soal ekonomi yang menurut saya rumit karena tak selalu benar-benar dibahas dalam kerangka ekonomi, melainkan bias dengan agenda atau pandangan lain terkait politik, sosial, budaya dan sebagainya.

Banyak paham dan gagasan ekonomi berseliweran, mulai dari sosialis, liberalis, kapitalis, kapitalis liberal, ,neo kapitalis, kooperasi, neo liberalis, syariah dengan berbagai variannya. Seolah yang satu meniadakan yang lain, yang satu lebih baik dari yang lainnya walau sebenarnya nyaris tak ada satu negarapun yang benar-benar menerapkan secara absolut satu sistem ekonomi tertentu.

Dari segala ajaran ekonomi baik yang sengaja maupun tidak mampir ke kepala saya, apa yang saya terima dan pahami secara sadar adalah ajaran tentang jangan berhutang. Hindari hutang sebisa mungkin atau hadapi masalah sampai titik darah penghabisan sebelum memutuskan berhutang. Saya setuju dengan ajaran ini karena hutang bukan hanya merupakan perilaku ekonomi, melainkan juga berdampak sosial dan psikologis. Pemberi dan penerima hutang sama-sama bisa mengalami masalah jika hutang piutangnya tidak beres.

Karena meyakini ajaran yang tentu saja dipandang naif untuk jaman ini, saya menjadi bingung ketika melihat perjanjian hutang piutang disiarkan dalam berita. Penerima dan pemberi hutang dengan baju necis berdiri menandatangani dokumen dan kemudian salaman sambil tersenyum-senyum. Yang memberi hutang dan menerima hutang sama-sama senang.

Saya kemudian harus memutar otak untuk berusaha memahami bagaimana hutang menjadi pilihan pertama bagi seseorang atau suatu badan bahkan negara untuk menjalankan roda kehidupan. Tentu saja ini karena ketololan saya yang tak paham akan adanya industri keuangan. Industri yang bakal kolaps andai semua orang hanya datang ‘menitipkan’ uang tanpa ada yang meminjamnya. Industri yang secara sederhana mencari keuntungan dari marjin antara bunga simpanan dan pinjaman. Keuntungan akan berlipat-lipat andai uang yang berhasil dikumpulkan oleh mereka diputar dalam sejumlah pinjaman yang lancar pengembaliannya.

Meski masih terus berupaya memegang ajaran untuk sekeras mungkin menghindari hutang, toh saya harus mulai mentolerir kenyataan bahwa hutang adalah hal yang biasa, bukan hal yang nista. Karenanya saya tak perlu menjadi terkaget dan jantungan saat menjumpai pemasar kartu kredit berkeliaran di Mall-Mall, menjajakan hutang seolah sebagai dagangan. Dan sesekali saya tak mampu menghindar dari para pemasar yang amat gigih merayu, maka mau tak mau saya mengeluarkan jurus berkelit agar tak ditawari lagi. Saya katakan saja kalau kartu hutang saya sudah banyak dan tak mau menambah lagi.

Kartu kredit dalam hal-hal tertentu mungkin memang membantu, mempermudah transaksi dan juga aman terutama untuk orang yang gemar membelanjakan uang sehingga tak perlu membawa segepok uang disaku. Hanya rasanya tak elok kalau harus diobral, seolah-olah mengajak orang untuk gemar berhutang, hutang bukan untuk keperluan produktif melainkan konsumtif. Padahal hutang yang tidak produktif hanya akan membawa orang dalam kondisi ‘gali lubang, tutup lubang’.  Tak heran jika kemudian banyak pemakai kartu kredit sesungguhnya ‘kalah nasi tapi menang aksi’, mengkoleksi banyak kartu agar dianggap modern dan mengikuti jaman. Dompet yang sejahtera bukan lagi dompet tebal berisi lembaran rupiah, melainkan dompet panjang dengan deretan kartu berjejer rapi.

Bicara soal tebal tipisnya uang, menurut saya saat ini ada yang ajaib. Segepok uang yang dipegang di tangan tak membuat kita bisa mendapat barang yang kita inginkan. Kalau tidak percaya coba saja pergi ke penjual motor atau mobil. Mereka tak senang jika calon pembelinya datang membawa uang cash, datang, pilih barang, dan bayar lunas. Hampir semua penjual kendaraan bermotor entah melalui kesepakatan apa, lebih memilih untuk memasang tulisan “melayani penjualan melalui kredit’ yang sama artinya dengan pesan tidak melayani pembelian secara cash.

Mungkin inilah yang disebut dengan ‘wolak-walike jaman’, jaman yang terbolak-balik. Kalau dulu para leluhur mengajarkan untuk sebisa mungkin menghindari hutang, kini kita dirayu-rayu dan dikelilingi oleh ajakan untuk berhutang. Tak mengherankan jika kemudian ada yang menjual sessi motivasi yang menjual program “cara gila menjadi pengusaha”, disebut gila karena sessi ini mengajarkan orang untuk menjadi pengusaha dengan ‘modal dengkul’ yaitu hutang.

Pondok Wiraguna, 5 Desember 2012
@yustinus_esha




0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum