Menegakkan Keadilan Dengan Segala
Cara
Apa tanda-tanda sebuah bangsa
atau negara tengah dipenuhi koruptor?. Mungkin ada yang menjawab adanya lembaga
yang dibentuk untuk memberantas korupsi. Benar, tapi tidak selalu. Kalau begitu
adanya jumlah koruptor yang banyak ditangkap diadili dan dihukum. Betul juga
tapi masih bisa dibantah. Lalu apa coba?. Konon seorang penulis pernah
mengatakan bahwa gejala sebuah bangsa atau negara tengah akut dilanda korupsi,
adalah untuk menegakkan keadilanpun harus dilakukan dengan segala cara
(maksudnya menghalalkan segala cara).
Saya semalam (8 Oktober 2012)
tidak dengan perhatian penuh mendengar pidato SBY untuk menanggapi kisruh yang
berkali-kali terjadi antara KPK dan Polri. Karena saya memang tidak berniat
untuk mendengarkan bukan malas tapi sudah punya kesimpulan dulu yaitu
paling-paling juga begitu-begitu. Meski mendengar sekilas saja namun terpaksa
saya terkejut dengan pidato SBY yang ternyata tidak seperti biasanya. Meski
masih agak melenggang kesana kemari namun pada akhirnya SBY berani memilih
untuk mengatakan ini ketimbang itu.
Point yang ingin saya ambil
adalah SBY mengatakan bahwa proses penanganan Polri atas Novel Baswedan tidak
tepat baik soal waktu atau soal cara. Nah kata ini penting, bukan karena skak
mat untuk Polri. Sebab masih banyak kata-kata yang jauh lebih tegas dan lugas
diungkap oleh pihak lain terhadap Polri. Tapi karena ini yang mengatakan adalah
presiden, dihadapan publik maka terkandung perintah jangan melakukan itu lagi.
Stop sampai disitu saja. Dan Polri harus mengikuti karena Presiden adalah
atasan langsung Polri.
Profesor Muladi mengatakan bahwa
banyak prestasi Polri dalam bidang cyber crime, perdagangan obat bius,
trafficking, terorisme dan lain sebagainya. Namun beliau tidak menutupi
kenyataan bahwa Polri juga gudangnya maling, baik maling besar maupun maling
kecil. Maka disini relevansi soal pernyataan bahwa sebuah bangsa (institusi
atau lembaga) yang korup bahkan untuk menegakkan keadilan (hukum) pun akan
dilakukan dengan menghalalkan segala cara.
Ini tercermin atas apa yang
dipertunjukkan oleh Polri dalam kasus Novel Baswedan. Benar kalau Novel
Baswedan salah dan terbukti menembak (tidak sesuai prosedur) maka wajib
hukumnya untuk dihukum. Dan ini sesuai dengan azas bahwa siapapun sama
kedudukannya di hadapan hukum. Kedudukan Novel sebagai penyidik KPK tidak
menghalangi hal itu.
Tapi mari kita belajar dari
berbagai kasus lain, kasus menembak sembarang yang dilakukan oleh polisi. Ada
ratusan dan bahkan bukan hanya kepada orang yang disangka berlaku kriminal,
orang yang demo menuntut haknyapun banyak yang dihujani tembakan. Saya bukan
hendak mengatakan apa yang dilakukan oleh Novel adalah hal biasa sehingga perlu
dimaklumi. Bukan itu, tapi menurut keterangan, Novel telah diproses oleh Polri,
dan diberi peringatan keras. Dan mungkin berujung pada pindah. Nah, tiba-tiba
kok proses dibuka kembali dan ditegaskan oleh saksi lain bahwa Novel yang
menembak. Kasus ini dibuka konon atas aduan dari korban.
Nah seandainya memang benar
demikian, maka yang dimaksud dengan segala cara adalah, kecepatan Polri
Bengkulu menetapkan Novel sebagai tersangka dan harus ditangkap. Entah khawatir
kalau Novel akan lari maka harus segera dijemput pula dari KPK. Itu alasan yang
paling masuk akal, sebab kalau menghilangkan barang bukti, bukti apa yang bakal
dihilangkan oleh Novel?. Kalau benar dia menembak tentu pistolnya juga tidak
dibawanya kala pindah ke Jakarta.
Saya mencoba mengesampingkan soal
kisruh antara KPK dan Polri, untuk menilai apakah perilaku Polda Bengkulu yang
ngeluruk itu pantas atau tidak. Menurut sayapun tetap tidak pantas. Seolah-olah
Novel itu mahkluk berbahaya. Bakal mengulangi perbuatannya jika tidak segera
ditangkap. Dan kepergian Novel dari Bengkulu juga bukan karena melarikan diri,
melainkan karena rotasi tugas yang lintas teritorial. Dan pasti dulu juga pakai
perpisahan, mungkin dengan peluk dan tangisan dari anak buahnya.
Perilaku yang ditunjukkan oleh
Polda Bengkulu yang tentu saja diamini markas besar Polri, bagi saya yang buta
hukum ini memang benar menunjukkan bahwa untuk menegakkan keadilan (kalau benar
eks korban melapor) maka itu dilakukan dengan menghalalkan segala cara. Dan
semoga itu hanya perilaku Polri, sehingga tak harus saya menuduh bangsa dan
negara ini sudah dihinggapi virus korupsi hingga tulang sumsum.
Pondok Wiraguna, 10 Oktober 2012
@yustinus_esha