• Blockquote

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Duis non justo nec auge

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (54)

Rabu, 10 Oktober 2012 0 komentar


Menegakkan Keadilan Dengan Segala Cara

Apa tanda-tanda sebuah bangsa atau negara tengah dipenuhi koruptor?. Mungkin ada yang menjawab adanya lembaga yang dibentuk untuk memberantas korupsi. Benar, tapi tidak selalu. Kalau begitu adanya jumlah koruptor yang banyak ditangkap diadili dan dihukum. Betul juga tapi masih bisa dibantah. Lalu apa coba?. Konon seorang penulis pernah mengatakan bahwa gejala sebuah bangsa atau negara tengah akut dilanda korupsi, adalah untuk menegakkan keadilanpun harus dilakukan dengan segala cara (maksudnya menghalalkan segala cara).

Saya semalam (8 Oktober 2012) tidak dengan perhatian penuh mendengar pidato SBY untuk menanggapi kisruh yang berkali-kali terjadi antara KPK dan Polri. Karena saya memang tidak berniat untuk mendengarkan bukan malas tapi sudah punya kesimpulan dulu yaitu paling-paling juga begitu-begitu. Meski mendengar sekilas saja namun terpaksa saya terkejut dengan pidato SBY yang ternyata tidak seperti biasanya. Meski masih agak melenggang kesana kemari namun pada akhirnya SBY berani memilih untuk mengatakan ini ketimbang itu.

Point yang ingin saya ambil adalah SBY mengatakan bahwa proses penanganan Polri atas Novel Baswedan tidak tepat baik soal waktu atau soal cara. Nah kata ini penting, bukan karena skak mat untuk Polri. Sebab masih banyak kata-kata yang jauh lebih tegas dan lugas diungkap oleh pihak lain terhadap Polri. Tapi karena ini yang mengatakan adalah presiden, dihadapan publik maka terkandung perintah jangan melakukan itu lagi. Stop sampai disitu saja. Dan Polri harus mengikuti karena Presiden adalah atasan langsung Polri.

Profesor Muladi mengatakan bahwa banyak prestasi Polri dalam bidang cyber crime, perdagangan obat bius, trafficking, terorisme dan lain sebagainya. Namun beliau tidak menutupi kenyataan bahwa Polri juga gudangnya maling, baik maling besar maupun maling kecil. Maka disini relevansi soal pernyataan bahwa sebuah bangsa (institusi atau lembaga) yang korup bahkan untuk menegakkan keadilan (hukum) pun akan dilakukan dengan menghalalkan segala cara.

Ini tercermin atas apa yang dipertunjukkan oleh Polri dalam kasus Novel Baswedan. Benar kalau Novel Baswedan salah dan terbukti menembak (tidak sesuai prosedur) maka wajib hukumnya untuk dihukum. Dan ini sesuai dengan azas bahwa siapapun sama kedudukannya di hadapan hukum. Kedudukan Novel sebagai penyidik KPK tidak menghalangi hal itu.

Tapi mari kita belajar dari berbagai kasus lain, kasus menembak sembarang yang dilakukan oleh polisi. Ada ratusan dan bahkan bukan hanya kepada orang yang disangka berlaku kriminal, orang yang demo menuntut haknyapun banyak yang dihujani tembakan. Saya bukan hendak mengatakan apa yang dilakukan oleh Novel adalah hal biasa sehingga perlu dimaklumi. Bukan itu, tapi menurut keterangan, Novel telah diproses oleh Polri, dan diberi peringatan keras. Dan mungkin berujung pada pindah. Nah, tiba-tiba kok proses dibuka kembali dan ditegaskan oleh saksi lain bahwa Novel yang menembak. Kasus ini dibuka konon atas aduan dari korban.

Nah seandainya memang benar demikian, maka yang dimaksud dengan segala cara adalah, kecepatan Polri Bengkulu menetapkan Novel sebagai tersangka dan harus ditangkap. Entah khawatir kalau Novel akan lari maka harus segera dijemput pula dari KPK. Itu alasan yang paling masuk akal, sebab kalau menghilangkan barang bukti, bukti apa yang bakal dihilangkan oleh Novel?. Kalau benar dia menembak tentu pistolnya juga tidak dibawanya kala pindah ke Jakarta.

Saya mencoba mengesampingkan soal kisruh antara KPK dan Polri, untuk menilai apakah perilaku Polda Bengkulu yang ngeluruk itu pantas atau tidak. Menurut sayapun tetap tidak pantas. Seolah-olah Novel itu mahkluk berbahaya. Bakal mengulangi perbuatannya jika tidak segera ditangkap. Dan kepergian Novel dari Bengkulu juga bukan karena melarikan diri, melainkan karena rotasi tugas yang lintas teritorial. Dan pasti dulu juga pakai perpisahan, mungkin dengan peluk dan tangisan dari anak buahnya.

Perilaku yang ditunjukkan oleh Polda Bengkulu yang tentu saja diamini markas besar Polri, bagi saya yang buta hukum ini memang benar menunjukkan bahwa untuk menegakkan keadilan (kalau benar eks korban melapor) maka itu dilakukan dengan menghalalkan segala cara. Dan semoga itu hanya perilaku Polri, sehingga tak harus saya menuduh bangsa dan negara ini sudah dihinggapi virus korupsi hingga tulang sumsum.

Pondok Wiraguna, 10 Oktober 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (53)

Senin, 08 Oktober 2012 0 komentar


Basa-Basi Pariwisata

Sekali waktu saya menghadiri perayaan  upacara adat, dan adalah lazim dalam upacara seperti itu akan diundang para pejabat pemerintahan. Dalam perayaan itu pejabat pemerintahan diminta memberi sambutan. Isinya kira-kira begini, “Hutan kita hampir habis, juga kekayaan-kekayaan alam lain seperti batubara dan emas. Kalau itu semua sudah habis, kita akan jatuh miskin, tak punya apa-apa lagi. Karena itulah kita harus mulai mencari dan mengembangkan kekayaan kita yang belum tergali. Pariwisata adalah salah satu alternative yang paling potensial, apalagi kita mempunyai kekayaan budaya yang luar biasa dan tak akan habis walau pun kita suguhkan setiap bulan”.

Harusnya saya terharu mendengar kesadaran dari seorang pejabat bahwa sumberdaya alam yang tak bisa diperbaharui bukan merupakan sandaran bagi kehidupan masyarakat ke depan. Tapi ‘sorry to say’ kalau diri saya ta sedikitpun tersentuh dengan ucapan pejabat itu. Apa bedanya ucapan itu dengan pembicaraan para pejabat tentang pertanian, tanaman pangan, kemandirian energi dan lain sebagainya.

Bagi saya isu pariwisata adalah isu andalan para pejabat ketika tak tahu harus bicara apa. Para pejabat dan sebagaian besar dari kita memang kerap melakukan gloryfikasi atas apa yang disebut sebagai kekayaan bumi Nusantara yaitu budaya. Padahal sadar atau tidak apa yang kita anggap sebagai kekayaan itu sesungguhnya telah kita habisi.

Setahu saya dalam berbagai kebudayaan Nusantara, ada kaitan erat antara hidup matinya kebudayaan dengan lingkungan (alam). Dan kita tahu persis ditempat-tempat yang kekayaan alamnya luar biasa, telah terjadi ekploitasi besar-besaran yang membuat bentang alam berubah drastis. Jenis kekayaan flora dan fauna yang menopang kebudayaan tertentu sulit untuk ditemukan atau bahkan punah. Dalam kondisi seperti ini sesungguhnya kebudayaan masyarakat di sekitarnya juga mati suri. Kalaupun ada yang tersisa maka tak lebih bentuk-bentuk kebudayaan dalam rupa kesenian, tari-tarian, musik atau nyanyian. Tapi apa artinya musik, gerak dan lagu, jika apa yang digambarkan atau dihadirkan lewat kumandang telah sirna.

Pidato pejabat pemerintahan dalam banyak kerap merupakan simplifikasi. Seolah membangun pariwisata itu gampang. Banyak yang secara serampangan pingin berkiblat pada Bali atau sekurang-kurangnya Yogyakarta. Dua daerah wisata yang kental dengan nuansa kultural setempat. Maka beramai-ramai pemerintah setempat dan tentu saja dengan mereka yang merasa atau dianggap sebagai tokoh seni-budaya mulai mencari dan menggali khasanah setempat yang layak untuk diangkat atau ditampilkan sebagai ikon wisata seni-budaya. Bahkan beberapa daerah mulai melangkah lebih jauh dengan menetapkan kawasan entah desa atau komunitas tertentu menjadi desa atau daerah wisata. Sebutan kerennya adalah desa budaya, entah apakah ini berarti desa lain yang tidak ikut ditetapkan secara otomatis menjadi desa tak berbudaya.

Atas perilaku seperti ini, saya menganggap mereka tengah mengalami rabun senja, melangkah dalam remang-remang. Mereka lupa, Bali dan Yogya menjadi kuat karena ditopang oleh spirit budaya yang hidup dan kuat. Bali dengan Hindu-nya dan Yogya dengan ketaatan serta hormat warganya kepada Sri Sultan sebagai junjungan.

Padahal kalau mau belajar dari pengalaman, desa-desa atau kawasan yang kemudian berkembang menjadi lokasi wisata budaya, biasanya berkembang secara alamiah. Setapak demi setapak mereka melangkah hingga kemudian dikenal oleh wisatawan karena disana hidup aktifitas kebudayaan entah berkaitan religiusitas, adat istiadat yang termanifestasi dalam bentuk seni, kerajinan, upacara dan bahkan kehidupan sehari-hati. Berbeda dengan wisata alam baik yang asli maupun artifisial yang bisa dibuat begitu saja dan indah, wisata seni-budaya harus menempuh jalan panjang untuk mencapai reputasinya. Menetapkan sebuah daerah menjadi desa budaya tidak secara otomatis atau serta merta membuat desa itu mampu menarik wisatawan serta menghasilkan pendapatan.

Setahu saya di Samarinda ada satu desa wisata yang cukup dikenal yaitu desa Pampang, kampung masyarakat Dayak Kenyah. Setiap hari minggu atau hari libur di lamin dipentaskan aneka tarian untuk dipertontonkan pada pengunjung. Pengunjung mesti menyesuaikan diri dengan waktu itu atau tak bisa datang sewaktu-waktu ke sana. Pada hari biasa kampung itu tak lebih dari kampung lainnya.

Di sebelah desa Pampang, ada desa Sungai Bawang yang masuk wilayah Kutai Kartanegara. Desa Kali Bawang juga merupakan salah satu dari puluhan desa di Kutai Kartanegara yang ditetapkan menjadi desa budaya. Dan nasib desa budaya di Kutai Kartanegara jauh lebih buruk daripada Pampang, desa Budaya di Kota Samarinda.

Ada kecenderungan di daerah yang kaya dengan sumberdaya alam untuk menghibur diri ketika kekayaannya mulai terkikis maka mulailah muncul impian tentang pariwisata. Atau bahkan ada yang lebih aneh lagi, misalnya dari sebuah daerah yang bertumpu pada pertambangan kemudian pasca tambang berharap akan menjadi daerah pertanian (agrobisnis, agropolitan). Terus terang saya gagal paham soal logika apa yang sedang dipakai oleh para pemimpinnya. Apakah pemimpin berarti pemimpi di siang bolong?.

Pondok Wiraguna, 6 Oktober 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (52)

0 komentar

Mencoba Berkelit Dari Jurus McWorld

Tahun 1989, sebelum berlayar menuju Bitung Sulawesi Utara saya dan teman-teman seperjuangan berkumpul terlebih dahulu di Jakarta. Seorang senior di Jakarta kemudian mengajak kami jalan-jalan terlebih dahulu. Pertama kami diajak menyusuri jalan Tol yang menurutnya merupakan Tol terpanjang se Asia Tenggara. Kemudian saat makan siang, dia mengajak pergi ke gerai Mc Donald. Pilihan kesana bukan tanpa alasan, menurutnya kami harus mencoba hamburger terlebih dahulu sebab dalam pandangannya makanan ini belum tentu akan kami temui di Sulawesi Utara bahkan dalam masa 5 tahun mendatang, begitu ucapnya. Maka mumpung ada di Jakarta, kami diajak untuk mencicipinya.

Saya dan teman-teman ikut saja, nurut seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Mengigit setangkup roti isi daging dan sayuran yang entah apa enaknya. Tanpa sadar, saya dan teman-teman mengamini bahwa makanan Amerika ini merupakan tanda kemajuan. Siapa yang pernah memakan hamburger maka termasuk manusia maju, orang modern. Saat itu bacaan saya atas dunia masih terbatas, belum mampu melihat bahwa hamburger (dan juga donat) adalah cara Amerika meng-hegemoni dan meng-homogenisasi dunia yang tidak selalu lewat pendekatan politik serta militer melainkan juga melalui peradaban/budaya populer. McDonalisasi misalnya merujuk pada ekspansi Paman McDonald keluar dari negeri Paman Sam ke pelbagai pelosok dunia. Bahkan konon di Mc Donald’s merupakan bangunan restoran luar negeri pertama di

Kota Plauen sejak datangnya Jerman Baru (rumtuhnya tembok Berlin dan bergabungnya Jerman Timur dengan Jerman Barat). Sosiolog Benyamin R Barber memakai istilah “McWorld” untuk mengambarkan realitas nilai, rasa dan praktek industri fastfood Amerika ke setiap pelosok penjuru bumi untuk menciptakan peradaban (budaya) internasional yang homogen. Istilah ini sebenarnya bukan hanya untuk urusan makan minum, melainkan juga soal gaya hidup, musik dan film. Pasukan Jihad McWorld diwakili bukan hanya oleh Mc Donald’s melainkan juga Coca Cola, Pepso, BurgerKing, KFC, MTV, Pizza Hut, Strarbuck, Hollywood, Disney, Playboy,Penthouse dan sederetan lainnya. Pasukan McWorld sukses menginvasi negeri-negeri di luar Amerika karena sistem pemasaran mereka yang membidik sosok yang paling minim ikatannya dengan tradisi. Anak-anak dan orang muda adalah sasaran mereka. Maka persetan jika orang tua tak sudi memakan Chicken Wing atau Chicken Pepper with Hot Rice tapi anak-anak akan meronta dan menangis sejadi-jadinya apabila keluar pulang dari Mall tanpa terlebih dahulu berkunjung ke gerai KFC atau Pizza Hut.

Dan anak-anak di belahan bumi manapun sama saja, mereka menganggap Paman Ron (Donald’s) dan Kolonel Sander’s adalah orang baik hati yang paham soal makanan dan mainan apa yang mereka sukai. Di tangan para pebisnis waralaba Amerika inilah anak-anak dididik dan ditemani dalam tiap tahapan hidup mereka. Hasilnya adalah generasi global yang pikiran dan kelakuannya berorientasi pada budaya popular. Dalam kampanyenya (iklan) produsen fasfood dan industri lainnya menggunakan apa yang disebut sebagai multilocal campaign. Mereka tak segan-segan menggunakan idiom-idiom lokal untuk menarik kelompok sasaran dan menjadi jemaah yang mengimani ayat “selera lokal dengan citarasa global”. Anak-anak belajar doyan makan nasi, bukan karena bujukkan orang tua melainkan karena menu PANAS (paket nasi) yang ditawarkan oleh satu gerai fastfood.

Eksekutif muda yang gemar Hang Out, mengerti bahwa Indonesia adalah salah satu penghasil kopi terbaik di dunia saat mereka meneguk segelas kopi di gerai Starbuck. Budaya minum kopi justru diajarkan oleh pengimport dan pemilik kedai kopi yang berasal dari luar negeri. Klop sudah, serbuan budaya pop dari Negeri Obama - yang gemar makan sate dan nasi goreng – datang dikala semakin banyak keluarga yang kedua orangtuanya (bapak dan ibu) bekerja.

Waktu orang tua untuk menemani dan mengawasi anak-anaknya menjadi semakin terbatas. Pulang bekerja bukannya waktu terbaik untuk bercengkrama dengan anak-anak melainkan untuk beristirahat. Pengasuhan anak digantikan oleh saluran televisi, game console, netbook, tab, Iphone yang pada akhirnya membuat anak-anakpun bahagia tanpa orang tua. Dan melalui berbagai saluran inilah para produsen terus memupuk loyalitas, mengisi pemahaman dan menjadi sahabat serta teman yang baik bagi anak-anak. Tak heran jika kemudian anak-anak tak kenal ikan Wader juga Trakulu sebab mereka merasa terhibur oleh Nemo.

Pencak Silat apalagi Tarung Drajat tak ada dalam benak mereka, sebab soal beladiri yang ada di otak mereka hanyalah Kungfu Panda. Hantu-hantu tradisional tak bakal menakutkan lagi, kuntilanak, pocong, lampor, memedi sawah jelas kalah keren dengan zombie atau dracula. Ilmu sihir memang mereka kenal, tapi bukan sejenis tenung, santet atau pelet melainkan melalui sekolah sihir tempat Harry Potter dan teman-temannya belajar.

Saya berjuang keras untuk membuat anak saya mencintai makanan lokal. Dan hasilnya cukup terbukti, putri semata wayang saya, doyan Coto Makassar, Soto Banjar, Soto Lamongan dan Soto Madura. Tapi tetap saya tak bisa menghindari, kalo sesekali waktu dia minta dibelikan paket Chaki di KFC. Bukan karena dia doyan ayam goreng tepung Amerika itu, melainkan ada bonus mainan yang diincarnya. Pertama saya heran, bagaimana dia bisa tahu kalau Chaki ada mainannya. Usut punya usut, televisilah yang memberitahukannya. Dan begitulah Amerika, merampok orang tua melalui anak-anaknya.

Pondok Wiraguna, 6 Oktober 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (51)

0 komentar


Bias Merk

Konon, orang tua di Madura saat dipamiti anak perempuannya untuk pergi merantau akan memberi pesan, “Baik-baiklah di tanah seberang, kalau ketemu jodoh carilah yang Islam, minimal Muhammadiah”. Bagi orang yang tidak mengenal sosiokultural dan religius orang Madura, pesan ini seolah-olah menempatkan Muhammadiah dalam level Islam yang minimal. Kalau bahasa komputer adalah yang spek-nya paling rendah. Tapi jangan begitu sebab yang dimaksudkan memang bukan itu.

Bagi orang Madura, konon Islam itu ya NU, itu yang mereka tahu sejak kecil dan terbawa dalam diri mereka. Maka minimal Muhammadiah justru merupakan bentuk kemajuan, karena mereka akhirnya membuka pintu pemahaman bahwa selain Islam NU ternyata ada Islam lainnya. Meski begitu tetap saja yang identik dengan Islam adalah NU.

Saya tak bermaksud berolok-olok dengan cerita diatas, itu hanya merupakan sebuah ilustrasi betapa sesuatu yang tertanam di dalam hati dalam kebanyakan anggota masyarakat, diturunkan dari generasi ke generasi akan berkembang menjadi pemahaman yang umum.  Saking terkenalnya Honda Bebek misalnya, maka penyebutan untuk semua motor bebek didahului dengan Honda, jadi tak usah kaget kalau ada yang menyebut  Honda Bebek Yamaha atau Honda Bebek Suzuki.

Hal yang sama berlaku juga untuk bubuk pembersih  (sabun cuci), karena yang dikenal dan melekat dalam ingatan adalah Rinso , maka ibu-ibu ketika menyuruh anaknya ke warung untuk membeli bubuk pembersih akan mengatakan “Belikan mamak Rinso ya, yang Daia atau kalau nda ada pilih Rinso yang merknya Woow”.

Penyebutan sebuah merek menjadi sebutan barang bukanlah tipikal pada masyarakat tertentu. Kebiasaan ini berlaku umum. Dan biasanya terus bertahan karena diturunkan dari generasi ke generasi. Sebutan itu kemudian hilang jika mulai ada yang kritis menentangnya atau terjadi perubahan pengetahuan dalam masyarakat.

Namun toh tidak mudah untuk menghapus kebiasaan itu. Menurut saya contoh yang lumayan masih aktual adalah Aqua. Aqua, adalah merk air minum dalam kemasan yang pertama di Indonesia. Selama bertahun-tahun Aqua berjuang agar air minum dalam kemasan diterima masyarakat luas. Aqua pada awalnya dikenal dengan sebuatan air mineral meski sebenarnya bukan. Perjuangan   Aqua  untuk memperkenalkan dirinya menjadi air dalam kemasan hingga kemudian terkenal dan tertanam dalam benak masyarakat Indonesia, membuat Aqua identik dengan air dalam kemasan. Semua air dalam kemasan akan disebut sebagai Aqua. Tak heran jika kemudian kita mendengar, “Beli Aqua ya nanti, yang Ades atau Q-bic saja, lebih murah harganya”.

Salah kaprah bukan hanya menimpa urusan merk dan jenis barang. Cap yang sama kerap kali berlaku untuk urusan pemahaman masyarakat yang satu pada masyarakat yang lain. Orang luar Papua selalu menganggap bahwa semua suku di Papua memakai koteka. Padahal hanya suku tertentu disana yang memakai koteka. Begitu juga orang Manado kerap di cap suka gaya dan pesta-pesta, padahal para ‘party animal’ justru kebanyakan ada di Jakarta.

Seorang yang kalem, bicara pelan dan gaya tubuhnya menunjukkan sikap hormat, biar bernama Batak akan dikira sebagai orang Jawa. Konon orang Jawa kerap dianggap halus budi bahasanya. Padahal hampir seluruh tukang bom dan biang teror adalah orang Jawa. Orang-orang Cina dianggap pelit maka kalau ada permintaan sumbangan dilewatinya. Lebih baik tidak meminta daripada sakit hati karena tidak diberi, begitu mungkin yang ada di benak peminta sumbangan. Padahal ternyata tidak demikian, saya kerap mengalami, teman sekolah saya yang kebanyakan anak Thionghoa dengan mudah meminjamkan sesuatu bahkan terkadang malah memberikannya.

Dalam hal-hal tertentu bias merek bisa jadi bersifat netral, tidak menguntungkan tapi tak juga merugikan. Namun sebaliknya bias perilaku yang kemudian dicap sebagai watak suku sedikit banyak akan merupakan buruk. Cap atas suku tertentu sadar atau tidak akan berkembang menjadi sebuah salah sangka yang tidak disadari. Dan kalau hal ini tersimpan dalam alam sadar sedikit banyak akan mempengaruhi sikap kita pada mereka yang suku atau agamanya berbeda dari kita. Hal yang kemudian akan membuat orang lain merasa tidak senang dan tidak nyaman.

Saya menemukan di setiap kelompok masyarakat selalu berkembang kecenderungan untuk melakukan generalisasi atas sebuah sikap atau perilaku tertentu sebagai milik suku atau kelompok tertentu pula. Ada yang berlangsung sudah sangat lama sehingga berkembang menjadi keyakinan yang salah (mitos), dimana isinya juga pengambaran dan bahkan penghakiman sesat atas kelompok atau suku lainnya (stereotype dan stigma).

Harus saya akui di masa lalu saya juga kerap kali terjebak dalam perilaku seperti itu. Sikap yang kerap terlontar lewat ucapan verbal dan bahasa tubuh yang pasti akan membuat orang lain tidak nyaman dan tidak senang atau bahkan sakit hati. Perjumpaan dengan berbagai kelompok yang berbeda, diberbagai tempat perlahan mengikis sedikit demi sedikit kecenderungan untuk secara semena-mena memberi cap, menerima mentah-mentah generalisasi. Keterbukaan, kemauan untuk mengenali kelompok lain secara lebih mendalam akan memberikan pengetahuan yang merubah sikap atau perilaku kita sebelum yang cenderung negatif dalam memandang kelompok lain.

Saya sadar bahwa tidak selalu mudah untuk menghapus kecenderungan generalisasi yang menyesatkan. Namun saya juga bersyukur, saat ini banyak sosok-sosok yang bertekun dalam melakukan dakwah multikultural. Sebuah laku yang barangkali sunyi untuk menghapus bias merk, cap dan penilaian buruk atau menyimpang terutama yang berlatar suku dan agama. Kerja para aktor-aktor perdamaian ini kelak yang akan menyelamatkan Indonesia dari perpecahan karena kekonyolan sikap dan perilaku kita.

Pondok Wiraguna, 6 Oktober 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (50)

0 komentar

Integrity Fair

Beberapa hari lalu kala melewati salah satu ruas jalan, saya membaca spanduk berisi pengumuman tentang sebuah event berjudul “Integrity Fair” yang diselenggarakan oleh Sekkot Samarinda dan KPK. Untuk saya isi spanduk itu terasa mengejutkan, sebab selama ini yang getol bicara soal Integritas adalah Gubernur Kaltim, bukan Walikota Samarinda. Gubernur-lah yang dari dulu getol soal pakta integritas dan kemudian mencanangkan Kalimantan Timur sebagai land of integrity. Sejauh yang saya tangkap tekanan soal integritas oleh Gubernur terkait dengan kinerja aparat. Dan tiba-tiba saja Pemkot Samarinda yang adem ayem terkait soal-soal integritas tiba-tiba membuat “integrity Fair” dan diselenggarakan ketika Walikota tidak ada di tempat. Saya kemudian mengesampingkan segala syak wasangka yang berkecamuk di benak dan meniatkan untuk pergi melihatnya. Ada beberapa alasan yang salah satunya adalah kepentingan mendapatkan data-data tertentu. Saya berpikir SKPD yang ikut membuka booth dalam acara itu pasti akan menyajikan data-data terkait dengan Tupoksi masing-masing berserta capaiannya.

Maka meski hari terik dengan bersemangat dan harapan baik, saya pergi menuju tempat diselenggarakan acara “Integrity Fair” itu. Belum juga saya memasuki gedung sudah disambut stand dari salah satu SMK yang memamerkan workshop mereka. Disampingnya ada tenda yang memberi layanan servis gratis oleh anak-anak SMK bagi motor dengan merek tertentu. Kemudian disebelahnya kalau tidak salah Badan Nasional Penanggulangan Bencana memamerkan berbagai jenis peralatan untuk melakukan tanggap bencana. Saya berjalan melewatinya tanpa terlalu memberi perhatian, dalam hati saya berpikir mungkin yang diluar gedung adalah stand eksibisi. Masuklah saya ke dalam gedung yang penuh dengan stand berbagai SKPD, Badan dan perusahaan baik daerah maupun negara. Terlihat ada dua layar yang mempertunjukkan film pendek dan iklan-iklan dari KPK.

Satu demi satu stand saya lalui dan tak butuh waktu lama untuk kembali lagi ke pintu masuk. Satu kali putaran semua stand habis terkunjungi. Di depan stand dinas catatan sipil kemudian saya bertanya pada diri sendiri, integritas apa yang hendak ditunjukkan oleh semua ini. Saya tak tertarik untuk bertanya kepada para penjaga stand, toh pasti mereka tak akan memberi jawaban yang memuaskan. Salah-salah bahkan hanya akan menjawab singkat, “Saya hanya ditugaskan untuk menjaga stand dan tidak menjawab pertanyaan seperti itu, silahkan tanya pada yang berwenang”. Dan siapa yang berwenang itu? Tentu saja juga bukan mereka yang berada di stand panitia. Tapi akhirnya saya tak tahan, di stand Dinas Pendidikan yang diisi lagi-lagi oleh anak SMK saya bertanya kepada salah satu anak disitu. “Apa hubungannya ini dengan integritas?”. Dan benar mereka tidak menjawab melainkan hanya tersenyum kecut.

Padahal di berbagai pemberitaan, nasib guru sebagai pendidik tidak begitu baik, tunjangan mereka tidak lancar. Banyak sekolah gedungnya juga tidak layak, kerap terkena banjir, bukan hanya air tetapi juga lumpur. Jadi meski berjudul keren, pameran yang disebut sebagai “Integrity Fair” tidak lebih dari pameran-pameran lainnya yang rutin diselenggarakan pemerintah kala menghadapi hari besar. Tak ada banyak yang bisa diperoleh ketika datang mengunjunginya. Misalnya stand Kementrian Agama yang memajang tata cara naik haji. Tak kelihatan bagaimana mereka menangani atau membina kehidupan beragama di kota Samarinda. Bagaimana kehidupan, dinamika perkembangan agama-agama di Samarinda dan seterusnya.

Lain pula dengan Dinas Kesehatan yang malah membuka stand untuk pendaftaran Jaskesda. Namun tak memasang angka-angka dan indikator kesehatan di kota Samarinda. Apa penyakit yang terbanyak dan bagaimana mereka menanganinya. Apa-apa saja yang mereka lakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan di Kota Samarinda yang terus menerus dihantam debu luarbiasa akibat aktivitas pertambangan.

Masih banyak contoh lain yang menurut saya janggal untuk ditempatkan dalam konteks pertunjukkan integritas. Integrity Fair saya kira bukan tempatnya untuk memamerkan prestasi semata melainkan juga konteks yang dihadapi oleh pemerintah kota dan SKPD-nya. Apa artinya prestasi atau aktivitas yang ditunjukkan jika tidak disertakan indikator-indikator yang bisa dipakai menilai keberhasilan mereka. Dan bukankah secara nasional sudah ditetapkan berbagai indikator terkait dengan tugas masing-masing SKPD.

Jadi, kenapa tidak mulai dengan menunjukkan hal itu?.

Pondok Wiraguna, 7 Oktober 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (49)

0 komentar


Pengusiran Setan

“Ada kurang lebih 50.000 aduan yang masuk ke tahta suci tentang kerasukan setan. Oleh karenanya tahta suci kembali berniat membuka kembali fakultas eksosisme”. Begitu kira-kira sebuah cuplikan dialog dalam film The Rite yang menceritakan kisah kerasukan dan pengusiran setan dengan latar belakang Gereja Katolik. Alm. Paus Yohannes Paulus II sendiri pernah menyatakan bahwa tugas untuk mengusir setan sebagaimana dilaksanakan oleh Santo Michael Agung masih berlangsung hingga sekarang. Gereja terus melakukan hal itu karena kerajaan iblis masih bekerja dan semakin merajalela.

Sebagai orang Katolik yang lahir di Jawa tengah, saya mengenal tradisi pengusiran setan (exorcis).Upacara pengusiran setan biasanya dilakukan saat melakukan pemberkatan rumah baru. Pastor melakukan pembersihan rumah dari anasir-anasir jahat dengan memercikkan air suci mengelilingi rumah dan ruangan-ruangan yang ada dalam rumah itu. Selain itu juga dilakukan pemasangan salib yang telah diberkati. Dengan upacara ini diharapkan rumah itu mendatangkan ketentraman bagi penghuninya karena telah terbebas dari gangguan setan dan iblis.

Tradisi pengusiran setan bukan hanya tradisi dalam agama-agama samawi. Kebudayaan dan kepercayaan masyarakat tradisional juga melakukan hal itu. Dalam berbagai kebudayaan dan kepercayaan adat diyakini bahwa ada kekuatan-kekuatan baik dan kekuatan jahat di luar diri namun bisa merasuk ke dalam diri manusia. Kemasukan roh yang baik akan membuat seseorang mampu melakukan hal-hal yang istimewa, seperti menyembuhkan penyakit, mencari barang hilang dan lain sebagainya. Maka di Jawa sering kali terdengar istilah ‘dukun tiban’, seseorang yang tidak mempelajari ilmu tertentu tiba-tiba saja mampu melakukan berbagai penyembuhan. Lain halnya jika kemudian kemasukan roh jahat dimana orang tiba-tiba berperilaku aneh, menakutkan dan bahkan merusak. Tak heran jika kemudian ada orang yang ngamuk dan marah-marah tanpa alasan kerap dibilang ‘kemasukan setan’.

Dulu sewaktu masih tinggal di kampung halaman, saya dan teman-teman gemar menyaksikan Jaran Kepang dan Ndolalak. Tarian tradisonal yang secara sengaja mengundang roh untuk merasuki para penarinya. Jika seorang penari terasuki maka akan melakukan tindakan-tindakan yang tak lazim dilakukan oleh orang normal. Contohnya mengupas kelapa dengan mulut, memakan kembang seolah-olah makanan lezat, mengunyah beling serasa seperti keripik, tahan di pecut dan sebagainya. Ketika dahi mereka ditepuk oleh pawang dan dibawa bersimpuh di depan kendang biasanya penari itu sadar. Terlihat mereka kelelahan setelahnya.

Saya tak tahu roh apa yang merasuki mereka, entah baik atau jahat. Namun yang pasti kerasukan menjadi hiburan tersendiri. Contoh lain adalah pertunjukan Nini Towok. Boneka yang terbuat dari Siwur, semacam gayung yang terbuat dari batok kelapa yang diberi gagang bambu. Sebelum dipakai untuk pertunjukkan, Siwur itu ditaruh terlebih dahulu di kuburan. Roh dipanggil dan kemudian ‘manjing’ dalam Siwur itu, bergerak kesana kemari. Perlu dua orang untuk memegangnya. Pertunjungan Nini Towok ini mirip permainan yang sering dimainkan anak-anak dahulu yaitu Jalangkung. Kadang kala dalam pertunjukkan seperti ini konon roh yang diundang tak mau pulang dan bahkan kemudian merasuki orang yang ada disekitar situ.

Saya kemudian berpetualang ke Sulawesi Utara, tinggal bergantian di Minahasa maupun Manado. Dan saya tak menemui apa yang lazim saya saksikan di Jawa. Masyarakat Minahasa dan Manado setahu saya termasuk salah satu masyarakat yang modern. Masyarakat yang sudah meninggalkan kepercayaan-kepercayaan lama. Bahkan ada seloroh kalau di Minahasa yang menakutkan itu bukan setan melainkan orang mabuk di jalanan. Menurut mereka Kuntilanak-pun  kalau sudah dikasih rica-rica akan jadi ikang (lauk).

Pandangan saya berubah ketika suatu saat saya menyaksikan Om Utu’ sibuk mempersiapkan sesuatu. Dia memotong ruas-ruas bambu menjadi semacam gelas, mengulung tembakau menjadi rokok lintingan dan kemudian menaruh nasi dalam kepalan untuk dibentuk menjadi bola-bola. Saya tidak bertanya, hanya melihat dengan penasaran. Tak lama kemudian Om Utu’ berjalan ke belakang rumah, sebuah pondok yang baru selesai dibangun. Ditaruhnya daun nasi sebagai alas, ada tujuh lembar. Kemudian masing-masing lembar diberi bola-bola nasi, sebutir telur dan segelas bambu cap tikus di sampingnya. Lintingan rokok disulut lalu ditaruh di atas gelas bambu. Kemudian Om Utu berkomat-kamit entah mengucapkan apa.

Setelah selesai semuanya saya bertanya soal apa yang dilakukan tadi. Om Utu menjawab “Kase makang voor yang batunggu ini tampa supaya nyanda baganggu pa torang yang tinggal disini”. Nah, ternyata orang Minahasa juga mempunyai tradisi atau kebiasaan berkaitan dengan roh-roh halus. Tradisi memberi makan pada roh halus agar tidak menganggu orang yang tinggal di sekitar wilayah roh itu berada. Penunggu demikian sering dikatakan untuk menyebut roh-roh yang berada di suatu tempat. Entah itu pekarangan, pohon besar, belokkan, jembatan, sumber air dan lain sebagainya. Dan tidak seperti ajaran agama samawi, ajaran adat atau tradisi biasanya lebih akomodatif pada roh-roh, bukan diusir melainkan diberi ‘makan’ dengan permintaan tidak menganggu. Manifestasi gangguan roh pada masyarakat dalam kepercayaan adat adalah kesialan yang terus menerus, bencana, wabah penyakit , gagal panen dan sebagainya.

Namun baik kepercayaan tradisional maupun ajaran agama anak cucu Ibrahim sama-sama mempunyai keyakinan ada mahkluk-mahkluk di luar mahkluk hidup lainnya (manusia, binatang dan tumbuhan) yang bisa mempengaruhi manusia. Pengaruhnya bisa berupa pengaruh baik dan pengaruh buruk. Oleh sebab itu harus ditangkal. Nah urusan menangkal ini caranya beda-beda, ada yang melalui negosiasi (akomodatif) tapi ada juga yang melalui konfrontasi (pengusiran).

Saya sendiri tak bisa menyangkal maupun menerima 100% soal urusan setan, iblis dan segala macam pasukannya itu. Saya tak juga khawatir soal kerasukan atau gangguan dari para ‘penunggu’. Saya saya khawatirkan justru sekarang ini bukan lagi jamannya orang kerasukan setan, melainkan setan mungkin sudah kerasukan orang. Alhasil kitalah yang menjadi setan bagi yang lainnya sesuatu yang atas salah satu cara dikatakan lewat pepatah latin, Homo Homini Lupus.

Pondok Wiraguna, 8 Oktober 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (48)

0 komentar


KPK Aku Cemburu Padamu

Di account twitter saya muncul mention yang mengajak untuk mempersiapkan aksi guna membela KPK . Ya minggu kedua dan kemungkinan juga masih berlanjut ke minggu ketiga bulan Oktober ini akan ramai dengan gerakan Save KPK. Saya prihatin dengan apa yang menimpa KPK secara kelembagaan, namun melakukan aksi solidaritas untuk KPK saya rasa tidak perlu. KPK adalah institusi negara, bukan organisasi masyarakat sipil yang tidak punya kekuatan. Bahwa kemudian KPK kemudian dekat dan kerap bekerjasama dengan organisasi masyarakat sipil tentu patut disyukuri dan terus didukung.

Saya kerap merasa bahwa dukungan kelompok masyarakat sipil pada KPK kerap menimbulkan kecemburuan pada organ-organ pemerintah lainnya. Salah satu yang cemburu berat tentu saja adalah polisi. Sebagai yang dicemburu maka terkadang tindakannya pada yang dicemburui kerap kali tidak masuk akal.

Menarik penyidik yang diperbantukan di KPK tentu saja hak polisi . Namun tentu tidak masuk akal kalau tiba-tiba ‘mak brek’ langsung ditarik puluhan orang bersama-sama. Polri lewat juru bicaranya boleh saja berkali-kali menyebut soal etika kerja atau etika kelembagaan. Meski disisi lain menunjukkan perilaku yang justru tidak etis.

Apa urusannya kalau tiba-tiba penyidik dari Polda Bengkulu datang ke KPK untuk menjemput paksa Novel Baswedan dengan tuduhan terlibat dalam tindak pembunuhan yang terjadi di tahun 2004 lalu kala dirinya bertugas di Polda Bengkulu. Dan langkah ‘ngluruk’ itu dipertontonkan kepada khalayak luas kala hubungan KPK dan Polri sedang panas. Orang paling tolol dalam urusan konflik kepentingan akan dengan mudah menangkap bahwa ada apa-apa dibalik kelakuan itu.

Saya tidak tahu apakah Novel sudah diberi surat panggilan oleh Polda Bengkulu. Kalaupun itu akan diusut toh bisa diusut melalui wilayah dimana sekarang Novel bekerja. Dan menurut keterangan dari KPK, saat kejadian itu Novel sudah menjalani pemeriksaan dan mendapatkan teguran keras atas perilaku anak buahnya. Mana yang benar, entahlah karena di negeri ini banyak siluman, kasuspun banyak yang siluman sehingga bisa dibuka kembali jika diperlukan sewaktu-waktu. Jarak antara tahun 2004 sampai dengan 2012 bukanlah waktu yang dekat, dan kasus yang ditimpakan pada Novel tentu bukan kasus yang rumit sehingga perlu penyelidikan panjang hampir sepuluh tahun lamanya.

Atas segala keanehan ini maka saya tak mau berteori yang muluk-muluk, cukup pakai teori cemburu buta saja. Sebab kalau tidak mana mau polisi bertindak aneh bin ajaib, bukankah kini banyak para perwira polisi yang pintar-pintar. Tentu saja orang pintar akan bertindak rasional. Nah orang sepintar dan serasional apapun kalau sudah dibakar api cemburu maka tidak akan bisa mengontrol tindakannya. Tindakan akan didasari digerakkan oleh alam bawah sadarnya. Orang bilang cemburu bakal membuat orang dewasa jadi seperti anak-anak. Persis seperti Polri yang bertindak bak anak-anak yang gemar merajuk dan mencari-cari kesalahan orang lain.

Kenapa Polri cemburu pada KPK?. Ya tentu saja, karena Polri sebetulnya adalah pendukung KPK dalam artian merelakan personel yang barang kali terbaik (dan juga orang baik) untuk bekerja di KPK. Dan karena kerja-kerja mereka kemudian KPK mendapat nama sementara Polri terus saja masih dihina dina oleh masyarakat sipil.

Siapa yang kemudian tidak meradang ketika mereka yang diutus lalu dipanggil pulang ternyata para utusan membangkang. Mereka lebih memilih tinggal dalam naungan induk semang barunya, tak mau pulang kepada ibu kandungnya. Ibu mana yang tak akan cemburu pada ibu baru anak-anaknya?. Dan ibu mana yang tak akan marah jika kemudian anak-anaknya pulang bukan untuk melepas rindu melainkan mengacak-acak rumah.

Polri kini ibarat ibu yang sedang marah dan gundah hingga kemudian salah tingkah karena hanya terus menerus melihat dirinya secara sempit. Berkali-kali menyebut etika organisasi, berkali-kali menyebut prosedur tata organisasi. Padahal kalau melihat sebuah panggilan besar, menyelamatkan negeri ini dari virus korupsi mestinya kesampingkan dulu semua urusan internal toh semuanya bisa dibicarakan tanpa perlu unjuk kekuatan.

Pondok Wiraguna, 7 Oktober 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (47)

0 komentar

Koran, Bukan Isi Perut Wartawan

Apa yang dimuat dalam surat kabar setiap harinya?. Berita tentu saja. Dan apa sesungguhnya sebuah berita itu?. Berita adalah sepenggal peristiwa yang ditangkap oleh penulisnya. Maka berita meski diharapkan bersifat obyektif, selalu membawa subyektifitas penulisnya. Subyektifitas tercermin lewat pilihan sudut pandang (angle) yang dipilih oleh penulisnya saat berhadapan dengan sebuah peristiwa. Hanya saja orang terlalu berharap banyak pada sebuah berita. Berita disangka mengabarkan seluruh peristiwa dan kebenaran. Tak heran jika kemudian banyak orang marah atau kecewa dan kemudian menuduh bahwa berita mengabarkan kebohongan, merekayasa kejadian dan seterusnya.

Padahal senyatanya tidak demikian, melainkan berita hanya mampu menyajikan satu serpihan kebenaran, bukan keseluruhannya. Terlalu sempit ruang koran untuk mengambarkan seluruh realitas peristiwa secara rinci. Saya tak hendak mengajak untuk tidak percaya pada koran. Bukan itu maksud saya, melainkan hanya ingin berpesan agar jangan terlalu berharap banyak pada koran. Karena koran pada hari ini kebanyakan memang hanya mampu mengabarkan sepenggal berita. Bukan karena reporter atau jurnalisnya tak mampu menulis dengan dalam (indepth news) melainkan tak tersedia banyak ruang untuk menampung berita yang panjang. Terlalu banyak hal yang mesti diberitakan, belum lagi terlalu banyak pula iklan yang harus dikabarkan. Di luar itu masih ada lagi lembar-lembar kontrak yang tidak lagi bisa diganggu gugat halamannya.

Reporter ibarat produsen berita, mesti mencari 3 sampai 5 berita setiap hari, maka mana sempat lagi mendalami ini dan itu bahkan kalau perlu sekali mendayung dua tiga pula terlampaui. Satu kali wawancara dipecahkan menjadi dua atau tiga berita. Andai jumlah berita yang dikumpulkan oleh reporter tidak mencukupi, masih ada cara mudah mendapatkan berita atau isi lembar koran. Buat saja account twitter atau facebook dan kemudian pindahkan isinya ke dalam lembaran koran berita setiap harinya. Dalam pandangan masyarakat kita, profesi jurnalis adalah profesi yang mulia, seperti layaknya tokoh agama, dokter, polisi, guru dan hakim. Profesi yang dijalani karena panggilan hidup untuk menolong dan melayani masyarakat agar kehidupan berjalan semakin baik.

Tak heran jika kemudian koran (media lainnya) dianggap sebagai pilar ke empat demokrasi. Karena dalam lembar-lembar koran bukan hanya puja-puji saja yang mesti diungkap melainkan juga sederetan fakta dan sikap kritis maupun kritik terhadap perilaku kebijakan pemerintah. Tentu saja pandangan diatas menyiratkan idealisasi atas profesi tertentu. Dan nyatanya dalam banyak kejadian, profesi-profesi yang dipandang sebagai pengabdian, panggilan hidup, justru penuh dengan skandal-skandal. Dokter yang seharusnya lebih mendahulukan ‘kehidupan’ ternyata justru lebih mengabdi pada perusahaan farmasi lewat resep-resepnya. Polisi yang seharusnya mendahulukan keamanan dan keamanan untuk semua ternyata justru lebih berguna untuk mereka-mereka yang kaya. Dan hakim yang semestinya memutuskan perkara atas dasar keadilan ternyata mempertaruhkan kehormatan palunya di bawah lembaran rupiah. Itu sebabnya kerap terdengar seloroh Kasih Uang Habis Perkara (KUHP).

Demikian juga dengan koran dan media-media lainnya, yang kerap diharap membantu menyuarakan suara dari mereka yang tidak punya suara (voice of voiceless), namun justru menjadi corong orang-orang tertentu. Ini terjadi karena koran dan media lainnya tumbuh menjadi industri berita, yang kemudian menjadi alat bagi kekuatan tertentu untuk kepentingannya sendiri. Agar sebuah koran punya pengaruh, dibaca oleh banyak orang, mempunyai tiras yang tinggi tentu butuh modal yang besar untuk mengerakkannya. Cerita koran pada saat ini bukanlah cerita romansa romantika, kisah perjuangan para jurnalis menahan lapar, berjuang mempertaruhkan nyawa di medan yang penuh resiko sudahlah usang. Cerita koran sekarang ini lebih condong pada sebuah investasi, di balik lembaran-lembaran koran selalu ada investor yang siap mengelontorkan uangnya. Tanpa itu maka koran akan hidup segan matipun tak mau. Koran menjadi Kala Warta, kala-kala ada, kala-kala tidak.

Media dengan pengaruhnya memang merupakan alat yang strategis untuk kekuatan-kekuatan tertentu. Dan ini sebagian besar media yang konvergen (pemilik koran biasanya punya televisi, majalah, radio dan media online) dimiliki oleh sosok atau kelompok dengan afiliasi politik tertentu. Maka tak heran jika kemudian kita kerap disuguhi berita-berita yang tidak perlu. Sebab isi berita koran (media lainnya) tak selalu merupakan cermin tulisan berita dari para jurnalisnya.

Pondok Wiraguna, 6 Oktober 2012
@yustinus_esha

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum