UMBUL-UMBUL

Rabu, 07 September 2011


Empat bulan lalu Ardi bersama keluarganya pindah rumah, ke tempat tinggal yang kini adalah miliknya sendiri. Bertahun-tahun Ardi, Esta istrinya dan Doni anak semata wayangnya berpindah dari satu rumah ke rumah kontrakkan lainnya. Ardi memilih mencicil rumah di komplek perumahan rakyat “Hijau Asri” karena lingkungan di sana masih alami. Bunyi jengkerik terdengar di sore hari. Kala pagi saat matahari menyembul, udara juga terasa segar dan membangkitkan semangat untuk menyambut hari.
Istri dan anaknya terlihat sangat menikmati “istana” baru mereka. “Ah, serasa kita tinggal di kampung”, kata istrinya, membandingkan tempat tinggal mereka kini dengan kampung halamannya. Kampung yang terletak di sudut kota kecil di bawah lereng gunung yang selalu berkabut.
“Mah…mah..capung, belalang...itu kupu..kejar mah…kejar”, begitu sering kali Doni berteriak kala bermain di halaman depan.
“Selamat siang, sedang sibuk tanam-tanam ya Pak”, sapa seseorang. Ardi yang sedang menanam mangga okulasi menenggok dan mendapati Pak RT, berdiri dengan senyum khas di hadapannya.
“Oh, Pak RT….mari pak, silahkan duduk”, kata Ardi menyilahkan Pak RT duduk di bale-bale bambu yang sengaja di datangkan dari kampung halamannya.
“Terima kasih, di sini saja Pak..tidak lama kok”, jawab Pak RT.
“Saya hanya ingin memberitahukan kebiasaan kami di sini untuk memasang umbul-umbul di halaman depan menjelang 17 Agustus”, kata Pak RT.
“Umbul-umbul” guman Ardi dalam hati. Sama sekali tak terpikir dalam benaknya untuk memasang umbul-umbul di halaman rumahnya, yang ada di benaknya cukup sebuah bendera. Bendera yang selalu di beli setiap tahunnya karena yang lama entah selalu terselip dimana.
“Ehm…baik Pak, nanti akan saya usahakan”, ujar Ardi.
Mendengar jawaban Ardi, Pak RT tersenyum dan kemudian pamit “Baik, pak…kalau begitu saya akan ke tetangga sebelah”.
Ardi kembali meneruskan tanam-tanam pohon buah yang di beli di toko pertanian yang kini banyak bermunculan di kotanya, kota yang sedang demam dengan aneka slogan hijau alias green. Setelah selesai menanam semua bibit buah yang dibelinya, Ardi beristirahat di depan rumah. Duduk-duduk di bale-bale bambu yang sesekali berdecit saat Ardi mengeser pantatnya. Sambil menghisap kretek kesukaannya, dihirupnya pelan-pelan kopi buatan istrinya yang mulai mendingin. Setiap pagi, Esta istrinya selalu membuatkan segelas kopi besar dan menaruh di meja yang ada di teras, sebelum pergi mengantar dan menemani Doni belajar di playgroup tak jauh dari kompleks perumahan mereka.
Tak lama kemudian istrinya pulang bersama Doni yang bernyanyi-nyanyi riang. Bukan karena senang di sekolah melainkan kala pulang, mamanya membelikan es krim kesukaannya. Doni memang punya kebiasaan, menjilat-njilat es krim sambil bersenandung riang.
“Weh, jago …. Belajar apa tadi di sekolah?”, tanya Ardi sambil mengusap kepala Doni penuh dengan rasa sayang. Tapi Doni tak menjawab karena masih asyik menikmati jilatan terakhir cup es krimnya.
“Belajar menyanyikan alphabet Pah”, jawab Esta mewakili Doni. Mereka kemudian duduk-duduk bercengkrama di teras depan rumahnya yang tetap sejuk meski matahari mulai meninggi.
“Pak RT tadi ke sini”, kata Ardi memberitahu istrinya.
“Oh, ya..kenapa pah?”, tanya istrinya.
“Dia meminta kita memasang umbul-umbul di depan rumah, katanya itu kebiasaan warga disini menyambut peringatan 17 Agustus”, jawab Ardi.
“Ah, bikin repot saja, apa hubungannya umbul-umbul dengan peringatan kemerdekaan?”, kata Esta mengomentari pemberitahuan Ardi.
Dalam hati Ardi setuju dengan pernyataan istrinya, memang tak ada hubungan yang substantif antara umbul-umbul dengan makna kemerdekaan.
“Dari dulu peringatan kemerdekaan memang terlalu dangkal”, guman Ardi dalam hati.
Ingatannya kemudian melayang ke keramaian-keramaian yang menyertai peringatan hari kemerdekaan. Aneka lomba seperti lari karung, makan kerupuk, lari kelereng dan lain sebagainya begitu terus berulang setiap tahun. Panjat pinang juga merupakan keramaian yang paling digemari dan menimbulkan kelucuan-kelucuan. Namun sejatinya Ardi tak setuju, sebab banyak pohon pinang yang ditumbangkan, sementara untuk menumbuhkan pinang dengan batang sampai 10-an meter butuh waktu bertahun-tahun.
“Doni…. Ayo ganti baju dulu nak”, teriak Esta, istri Ardi saat melihat Doni mulai berguling-guling di rerumputan yang menghijau di halaman rumah. Ardi terjaga dari lamunannya dan bergegas menuju tempat Doni bermain, diangkatnya tubuh munggil Doni dalam gendongan. Doni terkekeh senang karena digendong oleh papanya. Mereka kemudian masuk ke dalam rumah dan melupakan perbincangan tentang umbul-umbul yang diberitahukan oleh Pak RT.


Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ardi sudah bangun untuk bersiap-siap berangkat ke luar kota melakukan liputan. Proposal rencana liputan yang diajukannya untuk sebuah kantor berita luar negeri diterima. Dalam tiga hari ke depan, Ardi akan melakukan liputan perayaan adat satu komunitas pada tengah-tengah masa puasa. Bunyi klakson mobil sewaan tepat terdengar ketika Ardi menyelesaikan segala persiapannya.
“Aku berangkat dulu ya ma, Doni..baik-baik jaga mamah ya, jangan nakal”, Ardi pamit dan memberi pesan kepada anak istrinya yang juga turut terbangun. Setelah memeluk dan mencium anak-istrinya, Ardi segera keluar menuju mobil yang telah menunggunya. Sebelum masuk mobil dan menutup pintu, Ardi melambaikan tangan kepada Doni anaknya yang berdiri di samping ibunya tepat di pintu depan rumah.
Mobi perlahan meninggalkan kediaman Ardi, menembus pagi yang mulai menjelang. Jalanan masih terasa sepi, sesekali mereka berpapasan dengan penjual sayur yang hendak menjajakan dagangannya di dalam kompleks perumahan. Ardi bukanlah orang yang senang tidur kala berkendara, oleh karenanya dalam perjalanan dia mengisi waktu berbincang dengan sopirnya.
“Kok belum dipasang bendera di spion Pak”, tanya Ardi memancing perbincangan.
“Wah, sepertinya sudah tidak model pak, ini saya pasang stiker merah putih saja”, jawab sopir sambil menunjuk pojok kaca pintu depan.
“Oh..iya..ya ..stiker lebih awet ya pak”, kata Ardi.
“Iya mas, biar kelihatan nasionalis”, jawab sopir sambil terkekeh.
“Kasihan mas, itu penjual umbul-umbul tidak laku dagangannya, habis bertepatan dengan puasa”, kata sopir. “Orang kebanyakan lebih berpikir membeli hidangan buka puasa, dari pada umbul-umbul atau bendera untuk merayakan hari kemerdekaan”, lanjutnya kemudian.
Mendengar umbul-umbul, Ardi jadi teringat permintaan Pak RT untuk memasang umbul-umbul di depan rumahnya. Tapi Ardi tak terlalu risau sebab di kanan kiri jalan belum pula terlihat umbul-umbul atau hiasan merah putih. “Sepertinya Agustusan kali ini tidak semarak ya Pak”, kata Ardi pada sopir.
“Iya Mas semua berpikir bagaimana untuk lebaran nanti. Pokoknya daripada beli umbul-umbul atau bendera, lebih baik beli baju saja”.
“Betul, lagi pula kemerdekaan mestinya tidak perlu dirayakan sebab yang terpenting justru dirasakan”, ujar Ardi.
“Setuju Mas, sepertinya makin lama kita ini tidak makin merdeka, hidup semakin susah, apa-apa mahal”, keluh sopir, “Sama saja tidak ada beda dari orde lama, orde baru sampai orde reformasi, malah sekarang lebih cocok dibilang orde repotnasi”.
“Begitulah pak demokrasi, pemerintah mulai melepaskan banyak wewenangnya pada pasar”, kata Ardi bermaksud memberi pengertian.
“Lha tapi jadinya seperti tidak ada pemerintah saja. Pemimpin kita ini kebanyakan cuma muncul dan ngomong di TV…nda ada kerjanya, sampai harus didesak-desak masyarakat”, tukas sopir dengan ketus.
“Wah, melek politik juga ini pak sopir”, batin Ardi.
Karena obrolan yang mengasyikkan, perjalanan menjadi tak terasa. Setelah menempuh jarak hampir dalam waktu 2,5 jam, akhirnya Ardi sampai ke lokasi liputan. Belum terlihat kesibukan atau tanda-tanda akan adanya sebuah acara besar. Untuk menunggu tibanya waktu, Ardi mengajak sopir beristirahat di sebuah kedai yang cukup besar. Ardi dan sopir ternyata sama-sama tidak berpuasa.
“Ayo pak, kita ngopi-ngopi dulu, sepertinya acara bakal tertunda” ajak Ardi pada sopir. Sopir mengiyakan tanpa menjawab lantaran badannya memang terasa mulai penat.
Tak berapa lama kemudian, tanda-tanda kesibukan mulai kelihatan. Lapangan tempat acara yang tidak jauh dari tempat Ardi beristirahat mulai terlihat ramai. Orang-orang datang dari segala penjuru dengan berbagai macam atribut. Ardi meminta sopir menunggu di kedai dan kemudian dia bergegas mencari panitia untuk melakukan wawancara. Setelah cukup, Ardi kemudian mengambil foto-foto kegiatan sambil sesekali mewawancarai pengunjungnya.
Matahari terasa menyengat dan keramaianpun mulai pudar. Dari keterangan yang didapat lewat panitia, rangkaian acara akan lebih banyak dilakukan di malam hari. Ardi memutuskan untuk kembali ke kedai dan mengajak sopir untuk mencari penginapan.
“Ayo, pak, kita cari penginapan dulu, biar bapak bisa istirahat dan saya akan mulai menuliskan berita”, kata Ardi mengajak sopir meninggalkan kedai.
Selama tiga hari tanpa mengenal lelah, Ardi dengan penuh semangat mendokumentasikan berbagai hal yang ditemui dalam upacara adat masyarakat setempat. Informasi baik catatan maupun gambar cukup untuk membuat satu rubrik reportase khusus. Dan pada hari keempat, pagi-pagi benar, Ardi dan sopir meninggalkan daerah itu. Saat memasuki kawasan perumahaannya Ardi melihat kanan-kiri jalanan mulai diramaikan dengan umbul-umbul. Dan rangkaian umbul-umbul menghilang persis di depan rumahnya. Ardi memang belum memasang umbul-umbul, dia juga tidak memberi pesan apapun pada istrinya tentang soal itu.
“Wah, semarak sekali pemukiman bapak ini. Penuh umbul-umbul, warna-warni seperti hendak kedatangan presiden untuk meresmikan proyek pembangunan”, kata sopir. “Rumah bapak saja yang nampak sepi-sepi, lain daripada yang lain”.
Ardi tersenyum dan berkata “iya pak lupa saya memasangnya”.
Dan setelah membayar semua ongkos sewa, Ardi mengucapkan terimakasih kemudian melangkah masuk ke rumahnya. Istri dan anaknya tidak di rumah, tapi seperti biasa diatas meja teras, segelas kopi telah menunggunya. Ardi mengeluarkan rokok kretek kegemarannya, menghisapnya dalam-dalam sambil menghirup kopi yang masih tersisa hangatnya.


“Selamat pagi pak”.
Sebuah sapaan mengejutkan Ardi dan ternyata Pak RT telah berdiri di hadapannya.
“Oh, Pak RT, mari pak”.
“Biar saja Pak, saya nda lama kok, cuma mau mengingatkan kalau bapak belum memasang umbul-umbul”, kata Pak RT.
“Oh, iya pak”, kata Ardi tersipu. “ Saya belum sempat memasang, karena harus ke luar kota”.
“Iya, pak saya maklum dengan tugas bapak, tapi kalau bisa segera, karena besok adalah hari perayaannya”, kata Pak RT mendesak.
“Begitu saja pak, saya pamit dulu, mau bikin persiapan di lapangan”.
“Silahkan pak, terima kasih sudah mengingatkan dan maaf saya tidak bisa membantu”, jawab Ardi sambil mengantar Pak RT sampai ke pinggir jalan.
Setelah Pak RT pergi, Ardi bergegas masuk rumah, ditaruhnya segala perlengkapan yang dibawa untuk liputan hari yang lalu. Setelah berganti baju dan membersihkan diri, Ardi berbaring-baring di kamar tidur, sambil membaca buku kiriman temannya yang berjudul “Temanku Teroris?”.
“Umbul-umbul…awas…awas….umbul-umbulnya roboh…awasssss”, begitu Ardi berteriak-teriak. Istrinya yang sedang menyuapi anaknya, segera berlari ke kamar untuk melihat apa yang terjadi.
“Mas..mas….bangun..mas, kenapa teriak-teriak”, kata istrinya sambil menguncang-nguncang tubuh Ardi agar terbangun.
Ardi terkaget lalu terbangun sambil mengucak-ucak mata dia bertanya “Eh..kenapa mah, tertidur aku tadi”.
“Iya tapi papah itu teriak-teriak..menyebut umbul-umbul terus”.
“Oh..iya aku mimpi ..umbul-umbulnya roboh”.
“Nah..itu semua gara-gara papa tidak memasang umbul-umbul meski pak RT berkali-kali mengingatkan”, tebak istrinya atas penyebab dari mimpi Ardi.
“Oh, iya…. Jam berapa sekarang, beli umbul-umbul yuk”.
“Papa..papa..sudah malam ini..lagian mana ada lagi yang jualan, kalau kainnya barangkali ada tapi batang bambu untuk memasangnya?”.
“Ah..ya sudah kalau begitu kita tidur lagi aja biar besok pagi-pagi bisa bangun cepat”, kata Ardi sambil merebahkan badannya kembali di kasur.
“Maksudnya papa mau beli besok, pagi-pagi sekali”.
“Tidak, tapi kita bertiga besok akan pergi pagi-pagi dari rumah…berjalan saja kemana gitu. Pokoknya kita harus sudah tidak ada di rumah, siapa tahu Pak RT akan datang untuk kembali mengingatkan soal umbul-umbul”.
“Lho, kenapa harus pergi pa?”.
“Pertama besok kan libur, dan Doni senang kan diajak jalan-jalan dan kedua kita lewatkan hari peringatan kemerdekaan di luar rumah”.
“Ya sudahlah…tapi gimana soal umbul-umbul”.
“Ketika kita pulang di sore hari…umbul-umbul sudah tidak penting lagi”, jawab Ardi singkat sambil memeluk bantal yang dijadikan guling olehnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum