• Blockquote

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Duis non justo nec auge

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (26)

Kamis, 20 September 2012 0 komentar

Aku Suka Statusmu

Ini teori seorang teman tentang ‘reading habits’ atau kebiasaan membaca. Menurutnya generasi yang lahir di jaman saluran televisi baru ada TVRI, mempunyai kebiasaan membaca yang jauh lebih baik tinimbang generasi yang lahir setelah televisi dihiasi dengan beberapa channel baru semacam RCTI, Indonesiar, SCTV dan seterusnya. Di jamannya dulu televisi belum menyita hidupnya, acara-acara yang menarik untuk dilihat bisa dihitung dengan jari (termasuk jumlah pesawat televisi yang belum tentu ada disetiap rumah). Belum lagi energi untuk menghidupkan televisi, yaitu aki sehingga harus dihemat penggunaannya. Dengan kondisi seperti itu maka kebutuhan akan informasi harus dipenuhi dengan cara lain yaitu dengan membaca atau mendengar radio.

Karena teori itu diungkapkan dalam perbincangan antar sesama teman maka saya tak berniat untuk mendebatnya. Saya justru kemudian mengingat kembali jaman itu, saat saya masih kecil dulu. Dan nampaknya teori teman itu benar adanya. Saya lahir di desa kecil tak jauh dari Ibukota Kabupaten (2 km) dan aliran listrik baru kami nikmati sekitar tahun 80-an. Di masa SD dulu, saya hanya menyaksikan televisi di rumah tetangga, saat itu yang punya televisi mungkin baru 3 keluarga. Maka tak heran jika Rabu malam, saat TVRI menayangkan pertunjukkan ketoprak, rumah Mbah Mangun selalu penuh dengan orang-orang yang menonton televisi. Beruntung rumah Mbah Mangun luas sehingga bisa menampung banyak orang.

Saya ingat persis, saat itu acara televisi tidak menjadi bahan perbincangan dengan sesama teman ataupun kalo ada, temanya juga tidak banyak. Saya dan teman-teman bicara yang terkait dengan televisi semisal hendak ada pertandingan tinju kelas berat, maka Muhammad Ali Ken Norton, Leon Spink dan sebagainya mulai kami bicarakan.

Di luar itu cerita dalam pergaulan sehari-hari lebih berasal dari buku dan majalah-majalah. Dua rumah yang selalu menjadi tempat berkumpul adalah rumah kawan yang berlangganan majalah Hai dan satu lagi kawan yang orang tuanya ada di Jakarta lalu sering mengirimkan majalah cerita bergambar. Jika kemudian kami memiliki sedikit uang maka akan berbondong-bondong pergi ke tempat penyewaan komik yang saat itu ada di beberapa tempat. Pada hari-hari tertentu memang ada bus perpustakaan yang akan parkir di lapangan, namun buku-bukunya tidak menarik sehingga jarang kami meminjamnya.

Sewaktu SMP, kami bahkan sering pergi ke Yogyakarta menumpang kereta agar murah ongkosnya. Kami pergi ke toko buku Indira, bukan untuk membeli buku melainkan membaca komik Tintin disana seharian. Dan dalam perjalanan pulang senyum dan tawa selalu tersungging di bibir kami mengingat kekonyolan profesor Calculus dan sumpah serapah kapten Haddock. Generasi saya atau bahkan kini generasi anak saya tentu saja sulit untuk mencintai dan bersemangat membaca.

Kini informasi dengan sangat mudah didapat melalui media baik yang online maupun offline (keping dvd). Semua tampil dengan sajian audio visual sehingga lebih menarik mata untuk melihat. Kalaupun anak-anak sekarang bergaul dengan tumpukkan buku, maka buku-buku itu adalah buku paket pelajaran dari sekolah yang tinggi dan beratnya hampir sama dengan tinggi dan berat tubuhnya. Berbicara soal kebiasaan membaca, situasi dan kondisi secara umum di negeri kita memang kurang mendukung. Benar bahwa sepuluh tahun terakhir ini industri buku bergairah, muncul publisher-publisher kecil dan mandiri (indie). Jumlah buku yang diterbitkan juga naik secara significant.

Namun dibalik itu, kebudayaan popular kita tidak mendukung perkembangan itu. Secara umum kita mengalami lompatan dari budaya tutur ke budaya visual (audio visual). Dua jenis kebiasaan atau kebudayaan yang membuat orang tidak terlalu fokus pada satu pokok persoalan. Televisi misalnya kini salurannya begitu banyak sehingga remote control selalu di pegang di tangan, begitu sebuah tayangan tak menarik atau jeda oleh iklan maka jempol jari akan memencet tombol remote berpindah ke channel lainnya.

Dengan gadget yang semakin canggih, internetpun kini ada ditangan dan menjadi mobile seturut kemana gadget itu dibawa serta. Bacaan tidak selalu lagi dalam bentuk buku melainkan dalam bentuk elektronik karena berbasis web dan blog. Informasi semakin singkat dengan hadirnya microblog dan media sosial. Berbagai macam informasi bisa tersaji satu kali dan berlawanan satu sama lain. Kini dalam soal informasi, masyarakat, warga sosial media di ‘drive’ oleh trending topic. Saya tak hendak mengatakan jaman saya kecil dulu lebih baik dari pada jaman ini.

Tentu saja tidak sama sekali. Secara fasilitas jelas jaman sekarang ini jauh lebih baik dan lebih memudahkan untuk melakukan berbagai hal. Untuk membaca berbagai hal tak perlu saya pergi jauh-jauh mencari toko buku yang membiarkan pengunjungnya membaca buku di dalam tokonya.

Dengan koneksi internet baik kabel, wifi maupun berbasis smartphone, informasi dan berbagai jenis buku bisa tersaji di hadapan mata, bahkan bisa diunduh dan kemudian dibaca secara offline. Namun menurut saya kelebihan generasi yang terlahir di jaman saya kecil adalah gempuran informasinya tidak segencar generasi sekarang ini. Saya dan teman-teman sepermainan lebih mudah memilih, informasi apa yang akan kami konsumsi dan dalami. Sesuatu yang sekarang ini menjadi sangat sulit untuk dilakukan. Alhasil apa kegemaran atau kecenderungan informasi yang dibutuhkan oleh generasi sekarang cenderung diarahkan oleh iklan atau trend yang dibangun melalui media.

Anak-anak di jaman ini tidak lagi merdeka dalam memilih dan menentukan informasi yang penting untuk mereka. Dan sebenarnya bukan hanya anak-anak tapi kita semua hampir tak bisa menghindari kecenderungan itu. Kini kita tiba di jaman tahu banyak tapi sedikit menguasai.

Kenapa?. Lagi-lagi karena kita lebih senang membaca posting status dan tweet serta ringkasan berita, ketimbang susah-susah membaca buku. Konon meja-meja mahasiswa sekarang lebih rapi dan bersih, karena dihiasi oleh laptop, notebook, tablet dan smart phone, mengantikan tumpukan buku-buku dan lembar kertas berisi corat-coret pena.

Pondok Wiraguna, 19 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (25)

0 komentar


Kutai Lama di Ambang Nestapa

Kurang lebih lima tahun yang lalu untuk pertama kali saya berkunjung ke Kutai lama, tepatnya ke kompleks pemakaman Raja perdana dari Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Perjalanan ke sana kini lebih mudah karena tidak perlu lagi menyebrangi sungai dengan perahu, jembatan megah kini telah membentang gagah di atas sungai.

Kalau ada yang berubah, kini perjalanan ke sana terlihat semakin terang, lantaran lingkungan yang semakin centang perentang akibat aktivitas pertambangan batubara di sepanjang kanan kiri perjalanan kesana. Di wilayah Sambutan, Samarinda dan Anggana, Kutai Kartanegara, terlihat dengan jelas bahwa semakin banyak perusahaan tambang yang meratakan dan mengeruk bebukitan.

Suasana di sekitar kompleks makam sendiri tidak terlalu berubah, tak terlalu ramai juga tak sepi. Terlihat beberapa ibu berjualan air dan kembang untuk perlengkapan peziarahan. Beberapa yang lainnya berteduh di bawah pepohonan. Nampak pula segerombolan anak-anak bermain di sekitar kompleks makam. Mereka ternyata berkumpul situ menunggu peziarah selesai memanjatkan doa di makam untuk dimintai sedekah. Anak-anak disana terlatih benar memasang wajah untuk merayu peziarah agar tergerak merogoh kantong dan dompetnya. Anak-anak itu akan terus menempel dan mengikuti para peziarah yang usai berdoa sampai mendapat apa yang jadi pintanya.

Didalam kompleks makam utama, ada lima juru kunci. Tiga orang berseragam layaknya pegawai pemerintah. Mereka tak banyak bicara, pasif dan duduk bersandar di dinding pendopo. Dua juru kunci lainnya berbaju biasa dengan cepat mengobral cerita. Cerita yang hampir sama saya dengar lima tahun lagi berulang. Betapa sebenarnya tak banyak yang memperhatikan tempat ini lagi. Tempat ini ramai dikunjungi para petinggi kala menjelang pemilu kada. Lepas dari itu dibiarkannya kembali. Nasib para penjaga kuburpun tetap sama, begitu-begitu saja dari waktu ke waktu. Pendapatannya tergantung pada niat baik dan sumbangan para peziarah. Konon para juru kunci yang berseragam mendapat honor dari pemerintah, tapi jumlahnya tak seberapa dan harus diurus ke ibu kota Kabupaten.

Ketiga ditanya soal lembaga adat dan apa perannya dalam menjaga warisan kebudayaan di Kutai Lama, para juru kunci hanya tersenyum lalu berkata, entah apa yang mereka lakukan. Ironis memang sebab Kutai Kartanegara adalah kabupaten terkaya di Kalimantan Timur, namun melupakan daerah yang menjadi cikal bakalnya. Menurut para penjaga kubur, masyarakat di Kutai Lama tak ikut menikmati kekayaan alamnya melainkan hanya mendapat ampasnya. “Kami hanya mendapat debu batubara”, tutur salah satu dari juru kunci.

Dan benar, saat saya berdiri di jembatan naga (dermaga di pinggir sungai), ada pemandangan baru. Tampak di depan sana ponton berjejer panjang, dan di sebelah kanan nampak conveyor mencurahkan aliran batubara ke atas ponton. Jaraknya tak terlalu jauh dari kampung, maka jika angin bertiup kencang tentu saja partikel-partikel lembut, remah-remah batubara akan ikut terbang bersama angin menerpa kampung dan pemukiman.

Batubara bagi Kutai Kartanegara bukanlah cerita baru. Di masa kejayaan Kesultanan Kutai, Sultan telah memberikan hak pengusahaan batubara pada pengusaha Belanda. Namun kala itu mungkin tak jadi persoalan karena aktivitas pertambangan belum semasif saat ini. Kini Wajah Kutai Kartanegara dimana-mana dihiasi tumpukan batubara, bukit yang terbongkar, jalan hauling yang berdebu dan lalu lalang kendaraan double gardan yang tak segan menunjukkan kesombongannya di jalan umum.

Dua kali sudah saya ke Kutai Lama dan tak menemukan sisa-sisa peradaban dan kebudayaan Kerajaan Kutai Kartanegara perdana disana. Apa yang menonjol justru jejak ekploitasi sumberdaya alam yang berlangsung sejak lama, mulai dari Migas hingga kemudian kini Batubara.

Tesis bahwa Kerajaan (kesultanan) Kutai Kartanegara lebih menonjol sebagai organisasi ekonomi tinimbang organisasi politik sepertinya benar adanya. Hal mana ditunjukkan dalam minimnya peninggalan sosial dan kebudayaan serta kurangnya penghargaan atas apa yang ditinggalkan olehnya. Dan Kutai Lama adalah saksi utamanya.

Pondok Wiraguna, 21 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (24)

0 komentar


“No Pic ... HOAX”

Begitu replay atau retweet atas sebuah kicauan yang mengabarkan suatu peristiwa, kejadian atau benda tertentu. Tanpa gambar, kabar atau kicauan itu dianggap sebagai kabar burung belaka. Kenapa kabar harus disertai gambar agar dipercaya?.

Twitter sebagai salah satu wahana social media memungkinkan penggunanya untuk melakukan ‘pengkabaran warga’ atau bisa disebut dengan citizen journalistic. Kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan secara mandiri oleh seseorang tanpa penugasan dari siapapun atau lembaga penerbitan. Alhasil di twitland berseliweran aneka berita tanpa kontrol atau proses yang lazim dijalankan dalam industri media mainstreams. Dalam media sosial berita seolah-olah terpublikasi tanpa jaminan siapa yang harus bertanggungjawab untuk kebenarannya.

Maka bukti menjadi penting. Dengan demikian saat ada twit yang mengabarkan adanya kebakaran di suatu tempat, maka jika tak disertai gambar bakal di sahuti dengan kalimat “No Pic Hoax”.  Dalam dunia pengkabaran warga memperbanyak bukti dalam bentuk foto atau rekamam video memang penting sebab para pewarta warga akan sulit melakukan proses ‘cover both side’ atas pokok tertentu yang dikabarkannya.

Lagi pula saat ini para pemakai media sosial melakukan aktivitasnya dengan menggunakan perangkat mobile. Perangkat yang umumnya berlabel smarthphone, dimana dalam satu alat itu sudah dicangkokkan berbagai fungsi yang terintegrasi (convergen). Jadi gambar atau rekaman video tak perlu diotak-atik agar bisa langsung di unggah atau disertakan dalam kicauan.

Pertanyaanny, benarkah kicauan yang disertai dengan gambar akan selalu benar?. Ya, sebenarnya tidak juga. Dalam kasus kekerasan terhadap Suku Rohingnya misalnya, ternyata gambar yang disertakan bukan gambar yang sebenarnya. Gambar atau foto-foto itu adalah peristiwa-peristiwa di tempat lain. Jadi gambar bisa juga merupakan rekayasa dan kalau pengetahuan kita terbatas maka kita justru kemudian mempercayai HOAX sebagai realita.

Bukan sekali dua kali di dunia maya beredar kabar dan gambar yang sejatinya palsu tapi kemudian dipercaya dan mengemparkan. Namun begitu juga sebaliknya, banyak kabar dan gambar yang sejatinya asli kemudian dibantah dan dinyatakan sebagai palsu. Lalu kabar apa yang bisa dipercaya?. Rumusnya sama saja, dalam bidang apapun yang bisa dipercaya adalah yang jujur. Persoalannya bagaimana kita bisa mengukur kejujuran itu.

Mengukur kejujuran jelas sulit untuk dilakukan, yang paling mudah adalah menilai apakah sumber atau rujukkan yang dipakai bisa dipercaya atau tidak. Kabar yang biasanya dipercaya adalah berasal dari orang dekat atau yang kita kenal. Namun sekali lagi tak selalu begitu, sebab bisa jadi orang yang kita kenal justru tak sungkan-sungkan ‘ngerjain’ kita. Atau kabar yang diberikan oleh orang yang selama ini dikenal mempunyai integritas yang baik, track records dalam ‘pengkabaran warga’. Baik di blog maupun microblog ada nama-nama yang mempunyai jaminan mutu, atau hampir semua informasi yang diberikan olehnya sahih, kecuali yang dimaksudkan sebagai gosip atau opini.

Ada juga yang kerap ‘membroadcast’ warta yang mencantumkan lembaga penelitian ini atau itu, atau universitas ini dan itu juga kantor berita ini serta itu. Untuk hal-hal yang begini jangan mudah percaya jika tidak disertai link berita, artikel atau apapun. Sebab biasanya lembaga-lembaga terpercaya mempunyai website untuk mempublikasikan karya tulis, hasil kajian atau berita. Jadi lakukan verifikasi atas kabar itu di website lembaga atau organisasi yang disebut.
Istilah ‘no pic hoax’ bukanlah istilah yang muncul dari ruang kosong, istilah untuk lucu-lucuan karena yang dimention tak punya jawaban. Kabar dan informasi saat ini berseliweran dan jumlahnya kelewat banyak. Terkadang kita tak perlu dengan informasi itu tapi mau tak mau harus membaca atau menenggok sejenak. Dalam dunia yang kelebihan informasi ini perlulah bagi kita yang ingin melakukan ‘pengkabaran warga’ untuk memperhatikan ‘net etiket’ atau etiket (sopan santun) dalam dunia maya.

Bukan sekali dua kali saya dan pengguna BB lainnya jengkel karena mendapat pesan melalui BBM yang selain tak mengenal waktu, isi dari pesan (informasi) tidak penting sama sekali. BBM memang mempunyai fasilitas broadcast message, sehingga satu kali push semua kontak akan menerima, jelas ini efektif untuk menyebar pesan. Tapi kalau jam satu atau dua malam, tiba-tiba tuit-tuit pesan masuk dan isinya puisi, jelas bisa bikin kita gagal tidur kembali lantaran murka.

Mengirim pesan kepada banyak orang tentu saja juga perlu disaring. Etiketnya, pikirkan apakah pesan yang kita akan sampaikan itu (dalam pandangan kita) relevan kepada yang akan kita kirimi atau tidak. Dan fasilitas broadcast biasanya menyertakan juga sarana bagi kita untuk memilih, mana yang akan dikirimi dan mana yang tidak.

Jenis sopan santun lain yang perlu diperhatikan adalah bahasa, terutama saat melakukan broadcast. Gunakan bahasa yang bisa diterima sebagian besar orang. Ingat tidak semua sama dekatnya dengan kita sebagai pengirim pesan. Jangan sampai apa yang kita sampaikan menyinggung atau bikin marah besar. Tapi tak berarti bahwa kita tak bisa bermain-main dengan bahasa. Yang terpenting adalah cermat memilih kata-kata, taruhlah hanya tersentil dan tersenyum kecut, tapi tak sampai membanting gelas di dinding.

Di dunia maya seperti di alam nyata, muncul juga kelas-kelas pengguna, senior dan junior. Kalau kita masuk dalam kelas atas dan senior, tak perlu juga berlagak seperti kakak-kakak kelas di STPDN (kalo gak salah jadi IPDN). Tak perlu berlagak merasa paling tahu, berkuasa, lebih kenal banyak orang dan seterusnya. Ingat, jejaring maya adalah jejaring demokratis dan egaliter, siapapun yang tidak kena block bisa melintas dan masuk ke dalamnya. Jadi kalo merasa lebih pintar dan lebih tahu, tolong hafalkan pepatah yang dipopulerkan oleh Sam Ratulangi, Si Tou Tumou Tou. Manusia akan jadi semakin manusiawi kalau memanusiakan orang lain. Kita akan jadi makin pintar dan makin tahu kalau bisa membuat orang lain jadi pintar dan tahu.

Pondok Wiraguna, 17 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (23)

0 komentar

Sate Rasa Debu, Itu Derita Loe

“Mau makan sate rasa debu nggak”, begitu kata seorang teman. Tak jelas apa maunya mengatakan hal itu, apakah mau menawari atau sedang mau memberitahukan sesuatu. Dan ternyata ucapan itu hendak memberitahu bahwa betapa jalanan di Palaran yang baru dilalui olehnya begitu berdebu. Dengan penjelasannya maka pertanyaan sate rasa debu itu tak terlalu mengejutkan lagi. Dalam beberapa tahun terakhir ini Palaran memang jadi perbincangan.

Nampaknya daerah itu disasar jadi area perluasan kota Samarinda. Langkah pertamanya memindah pelabuhan Samarinda ke sana. Dan sukses meski didahului dengan berbagai gejolak karena dipandang terburu-buru. Dan memang benar, jalanan disana tidak disiapkan untuk dilalui truk-truk raksasa. Alhasil timbullah lubang-lubang di jalanan, saat musim hujan menjadi jebakan berbahaya untuk siapapun yang melewatinya. Adalah pemandangan biasa, truk atau trailer terpelosok dalam lubang dan tak mampu maju maupun mundur. Pengembang dengan naluri bisnisnya juga bergerak cepat.

Dibangunlah kompleks-kompleks perumahan baru, memapas gunung dan bukit, bahkan sebagian meski berlabel perumahan ternyata justru menambang. Dan petaka tiba, kubangan raksasa yang menampung air namun tidak didesain sebagai waduk jebol beberapa waktu lalu. Air ribuan kubik bercampur lumpur menyapu pemukiman dibawahnya, meski tak lama mengenangi sapuan air bercampur lumpur menyebabkan aneka kerusakan dan kerugian besar untuk masyarakat termasuk beberapa tempat pendidikan.

Untuk semakin mengukuhkan Palaran sebagai Samarinda baru, bahkan muncul kasak-kusuk kalau kantor gubernur kemungkinan akan dipindah ke sana. Dan kantor gubernur yang lama akan dijadikan kantor Walikota. Sementara kantor walikota kemungkinan besar akan dijadikan kawasan komersil. Dan seorang pengembang bahkan sudah menawarkan diri untuk membangun kawasan perkantoran gubernur itu, yang tentu saja di dalam kompleks mega estate yang dibangun olehnya saat ini. Mimpi tentang ‘Palaran City’ mungkin memang kelewat tinggi atau ultra visoner sehingga abai pada kondisi kekinian.

Kondisi Palaran adalah wajah pembangunan yang tidak dimulai dari pondasi yang kuat namun tahu-tahu sudah beratap. Tidak sulit untuk melihat dan menemukan fenomena pembangunan yang tidak berimbang. Ingin mencapai sesuatu yang begitu tinggi namun abai pada kebutuhan-kebutuhan sederhana yang sungguh diperlukan oleh masyarakat banyak. Apa artinya sebuah daerah mencapai level dan sebutan metropolitan atau bahkan kosmopolitan jika kemudian tak mampu memenuhi kebutuhan air bersih warganya, jika kemudian aliran listrik mati hidup, jika kemudian got-got mampet dan berbau.

Tiga tahun lebih saya dan tetangga di sekitar rumah mengalami aliran air PDAM malas mengalir sendiri. Tanpa disedot dengan pompa yang digerakkan dengan listrik maka tak bakal ada air di bak mandi dan tandon air. Setiap malam tiba, maka mulailah orkestra bunyi pompa air di kanan kiri rumah. Terkadang melengking dan berdesing apabila baru angin yang mampu disedotnya. Bunyi itu akan bertahan hingga dini hari. Selain boros energi, kebutuhan akan air membuat warga begadang setiap malamnya hingga kurang tidur. Dan itu wajah sebuah pemukiman yang tak jauh dari pusat pemerintahan.

Entah apa yang ada di benak para pemimpin daerah ini yang rencananya begitu luar biasa dan tinggi-tinggi namun lupa pada kebutuhan dasar dan sederhana dari warganya. Pembangunan masih selalu diterjemahkan sebagai tampilan fisik nan hebat dan membuat decak kagum yang melihatnya. Pembangunan dianggap pembangunan apabila didahului dengan ‘ground breaking’ dan kemudian diresmikan melalui seremoni-seremoni nan hebat. Pertanyaannya untuk siapa semua itu?.

Menurut saya untuk para investor agar mereka semakin mudah membawa keluar sumberdaya alam yang dikeruk dari daerah ini.

Pondok Wiraguna, 20 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (22)

0 komentar


Bangkit atau Lahir Kembali?.

Pada salah satu stasiun TV disiarkan secara langsung konser Noah untuk menandai kembalinya Ariel sang vokalis dalam kancah dunia hiburan tanah air. Ariel kembali bernyanyi dengan teman-teman lamanya di Peterpan yang kemudian berganti nama menjadi Noah. Saya tak sempat menyaksikan siaran langsung itu, namun dari Timeline di account twitter, saya bisa memantau betapa ramainya sambutan masyarakat baik yang nge-fans maupun yang tidak atas kembalinya Ariel di atas panggung.

Sukses pertunjukkan Ariel bersama band barunya menghapus anggapan sementara orang ketika Ariel tersangkut kasus asusila. Kala itu banyak yang berpikir bahwa Ariel akan tamat dan hilang dari blantika musik Indonesia. Ada yang berpikir, bahwa kasus yang menimpa Ariel adalah konspirasi dari para pihak yang ingin menghancurkan Ariel agar tenggelam dari kancah dunia musik tanah air. Dan begitu Ariel dijebloskan ke penjara maka selesailah kariernya. Para pesaing berhasil menjebloskan Ariel ke titik paling rendah yang akan membuatnya sulit untuk bangkit kembali.

Namun ternyata tidak, sebab tak berapa lama setelah bebas dari dinding dan jeruji penjara, Ariel justru mengebrak lewat konser bertajuk dua benua, lima negara dalam sehari. Konser yang kemudian mendapat penghargaan dari MURI. Tentu saja ini sebuah prestasi yang luar biasa, yang mampu ditunjukkan oleh orang yang notabene belum lama keluar dari penjara. Tidak banyak kisah tentang orang-orang yang baru keluar dari penjara dan membuat berita baik.

Apakah semua ini karena Ariel adalah sosok yang luar biasa dan kharismatik, sehingga ‘kesalahanannya’ tidak lagi diperhitungkan oleh masyarakat banyak. Saya merasa bahwa Ariel hebat itu memang benar dan tetap hebat meski berbuat sebuah kesalahan besar dalam pandangan masyarakat. Namun sesungguhnya kesalahan Ariel tidak ada hubungannya dengan kehebatannya sebagai penyanyi. Maka keselahan itu tak mengurangi apapun yang berkaitan dengan keartisannya. Dan cerita seperti ini bukan hanya milik Ariel belaka.

Kita mengenal ada Bupati yang jelas-jelas di masa mudanya mengumbar gairah dan difilmkan. Film yang menurut saya terpanjang untuk kategori ‘bokep’ amatir Indonesia. Banyak pemilihnya saya kira menyaksikan film itu, tapi toh tetap memilih sang calon yang adalah ‘pendahulu’ Ariel sebagai Bupati. Jadi catatan perilaku seksual yang ‘buruk’ hampir tak menjadi indikator penting bagi seseorang atau kelompok untuk ‘menyenangi’ seseorang. Catatan perilaku seksual yang dianggap buruk bisa menjadi bencana apabila sampai membuat seseorang dicopot dari kedudukannya, misalnya di PAW di kursi dewan. Kalau terkena kejadian seperti itu maka bakal kiamatlah karir politiknya. Atau kalau seorang penyanyi kemudian di pecat dari Band-nya, maka hancur pulalah pondasi karirnya.

Apalagi jika menenggok kasus Ariel, dimana bisa dikatakan seolah-olah Ariel adalah tumbal. Tumbal karena Ariel dihukum atas kegiatan yang dilakukan oleh banyak orang lainnya tapi mereka tetap bebas. Ariel bahkan bisa jadi dianggap sebagai ‘kambing hitam’, binatang korban yang diminta menanggung kesalahan para ‘pendahulunya’.

Jangan salah sangka dulu, saya tak berniat membela Ariel, karena saya tak kenal dia dan tak ada untungnya pula untuk saya. Saya ingin mengungkapkan pendapat bahwa apa yang dilakukan Ariel selepas penjara bukanlah fenomena yang luar biasa. Mungkin memang hebat sehingga dianugerahi rekor MURI. Rekor yang mau mengatakan bahwa belum ada orang yang melakukan itu sebelumnya, dan ya itu saja.

Para pengemarnya pasti menganggap Ariel hebat, Ariel mampu come back, bangkit kembali. Meski kalau mau jujur sebenarnya dia (Ariel dan Bandnya) memang tak pernah tenggelam dalam kaitan dengan urusan nyanyi. Jeda Ariel yang tinggal di penjara justru semacam amunisi yang kemudian diledakkan dan dahsyat bunyinya tak lama setelah dirinya bebas dari penjara.

Selamat datang Ariel dan Noah dalam blantika musik Indonesia, yang mungkin saja akan membuat gugup grup band lainnya. Dan saya harus mengakui Ariel memang hebat tapi belumlah sehebat Bang Haji Rhoma Irama.

Pondok Wiraguna, 18 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (21)

0 komentar

Kisahkan Ceritamu

Aku tahu apa yang kau maui tapi tak kau ketahui. Kira-kira itulah tag line mesin pencari Google seandainya saja dia bisa mengkampanyekan dirinya sendiri. Ya, melalui mesin pencari Google kita bisa mengaduk-aduk isi internet, yang mana hampir semua hal sudah ada di dalamnya. Jika dibandingkan dengan TUHAN, maka baik GOOGLE maupun TUHAN, sama-sama Mahatahu, namun GOOGLE lebih Maha Penjawab.

Seorang teman yang dikenal sebagai penulis yang produkstif menyatakan bahwa kini tulisan apapun ada di internet dan bisa dicari lewat google. Menurutnya kalau dulu sampai tahun 90-an ada seseorang yang menulis kisah kehidupan masyarakat pedalaman menjadi buku yang tebal maka kemungkinannya dia bekerja bertahun-tahun dan tinggal di tengah masyarakat itu dalam waktu yang cukup lama. Tapi dengan tema yang sama dan tebal buku yang sama, karya semacam itu bisa dihasilkan oleh seseorang yang tahan duduk berjam-jam di depan internet dalam waktu bulanan saja. Apa yang hendak dikatakan adalah kini banyak tersedia bahan pustaka yang bentuknya tidak sekedar tulisan, melainkan juga visual baik dalam bentuk foto maupun video (gambar bergerak dan bersuara).

Dan semua itu bisa didapat di satu tempat yaitu internet. Alhasil tanpa beranjak meninggalkan kamar bahkan kita bisa melanglang buana sehingga bisa mendapat informasi dan pengetahuan yang bisa jadi malah lebih banyak ketimbang kalau kita datangi tempat itu. Maka baginya menghasilkan tulisan dalam bentuk buku, artikel atau opini tidak lagi menjadi istimewa. Tantangan seorang penulis sekarang ini justru menghasilkan karya fiksi, karya yang merupakan refleksi atas peristiwa-peristiwa atau kejadian. Fiksi kini justru menempatkan penulis pada sebuah kedalaman karya, orisinalitas yang sulit untuk ditiru atau diklaim oleh orang lain.

Meski tidak saya ungkapkan, saya setuju dengan refleksi teman atas dunia tulis menulis. Dalam 10 tahun terakhir ini banyak karya fiksi yang begitu mempengaruhi masyarakat dan memberi semangat, motivasi serta daya gerak dibanding karya-karya non fiksi yang tebal-tebal dengan daftar pustaka yang kelewat panjang. Ambil contoh saja buku karya Andrea Hirata, Laskar Pelangi, dimana buku ini menjadi perbincangan melebihi buku apapun di Indonesia. Adalah kebahagiaan seorang penulis apabila bukunya mampu memberi inspirasi dan motivasi bagi siapapun yang membacanya. Soal pendapatan itu adalah bonus yang tentu saja juga patut disyukuri apabila buku itu laku keras dan terus menerus dicetak ulang.

Dan jika kita mau menelisik lebih dalam maka buku-buku yang berpengaruh adalah buku-buku dengan kisah yang sederhana. Bahkan kisah seseorang yang sebenarnya bukan apa-apa. Buku Laskar Pelangi misalnya adalah kisah Andrea Hirata dengan teman-temannya di SD yang hampir tutup, di pulau yang jauh dari Ibu Kota. Pulau yang meskipun sangat dikenal dalam HPU (Himpunan Pengetahuan Umum) saat saya SD dulu, namun sebenarnya kini hampir layaknya kota hantu setelah industri pertambangannya surut. Kisah sesederhana apapun akan menjadi bermakna apabila dituturkan dengan refleksi yang dalam, karena kisah selalu memberi pembelajaran hidup yang berguna bagi siapapun yang membacanya.

Saya yakin siapapun yang membaca Laskar Pelangi akan mempunyai banyak bahan tulisan. Kisah di Laskar Pelangi membuat banyak orang merasa mempunyai segudang bahan tulisan. Ada sederet kisah hidup yang bisa dituliskan untuk kemudian dibagikan. Dalam bentuk yang lain kisah-kisah itu kemudian dituliskan dalam model biorgrafi, terutama jika yang mengalaminya adalah publik figur. Alberthine Endah adalah penulis biografi yang kini sangat dikenal. Banyak orang mengantri untuk dituturkan kisah hidupnya oleh AE. Dan konon bukan hanya orang melainkan juga kisah perjalan sebuah badan usaha atau perusahaan.

Sebuah karya akan dihargai karena orisinalitas dan kisah selalu orisinil karena sebuah kejadian meski berlangsung di tempat yang sama selalu akan mempunyai perbedaan dalam diri antar orang. Sebuah kisah dalam diri seseorang selalu unik karena setiap orang mempunyai sudut pandang sendiri-sendiri dalam memandang sesuatu. Karena itu sebuah kisah entah dialami oleh siapapun akan selalu menarik bagi orang lain. Bukanlah setiap orang selalu ingin tahu kisah orang lain, siapapun dia.

Berangkat dari kisah maka setiap orang pasti akan bisa menulis dan tak perlu tahu seluk beluk teori penulisan untuk melahirkan karya yang orisinil dan menarik. Bukan lagi jamannya sebuah tulisan sebagai ruang pamer bahwa kita membaca banyak buku, mempunyai segudang kutipan, namun miskin gagasan atau pendapat pribadi.

Saya ingat beberapa pengalaman beberapa tahun lalu yang menyadarkan betapa pentingnya orisinalitas gagasan, saat seorang Kyai terkenal di Manado mengatakan “Dari semua yang kau ungkapkan, panjang dan bagus itu semuanya adalah kutipan dari pemikiran orang-orang terkenal, lalu mana yang merupakan pikiranmu sendiri?.”. Meski tidak ditujukan kepada saya, ungkapan dan pertanyaan itu membuat saya menjadi lebih hati-hati dan selektif untuk tidak terus menerus mengobral kutipan tanpa refleksi atau pendalaman dari diri saya sendiri.

Jadi, marilah menulis, ceritakan kisahmu, katakan kepada dunia siapa saya. Dan biarlah dunia belajar dari anda.

Pondok Wiraguna, 19 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (20)

0 komentar


Tunggang Langgang

Impian saya hari ini adalah menghentaknya jari di virtual keyboard yang muncul di layar dengan sentuhan. Sepertinya ketukkan akan terasa ringan dan tak ada ‘hard impact’ pada tulang jemari.  Mimpi ini mengingatkan saya pada masa 20 tahun yang lalu, saat pertama saya begitu takut-takut menyentuh perangkat PC yang berlayar biru. Semua masih serba memakai kontrol dan bantuan disket untuk booting. Pernah suatu kali saya setengah hari duduk di hadapan komputer, karena takut mematikannya sehingga saya tunggui sampai kakak kelas yang paham masuk kembali ke ruangan.

Lalu sekitar tahun 96 mulailah saya memakai komputer yang sudah cukup mudah pengoperasiannya. Tak perlu lagi booting dengan disket, programnya juga mulai banyak, termasuk huruf berhias sehingga bisa bergenit-genit dengan tampilan tulisan. Laptop saat itu masih jarang, sehingga jika ada kegiatan maka siap-siap mengotong CPU, Layar, Stavol dan UPS. Waktu itu mengotong-ngotong perangkat PC ke ruang pertemuan di hotel-hotel terasa gagah, tapi kalau sekarang harus melakukan itu maka saya tak bakalan sudi.

Tak lama kemudian saya mulai memakai laptop, yang sesekali dipinjamkan oleh teman. Meski sebenarnya berat karena tebalnya hampir sama dengan buku kitab suci, membawa laptop kesana-kemari adalah kebanggaan tersendiri. Saat itu laptop amatlah jarang dan harganya masih mahal. Maka siapa yang membawanya ibarat orang-orang pilihan.

Booming laptop tiba, bentuknya semakin tipis dan dilengkapi dengan modem internal. Maka ketika nongkrong-nongkrong di warung kopi, rasanya wajib membawa laptop untuk menunjukkan eksistensi agar tidak dikira gaptek. Tapi ada masa kemudian saya tak mau mengeluarkan laptop lantaran malu, sebab laptop saya bukan termasuk kategori laptop gaya hidup. Laptop yang percaya diri nangkring di meja-meja cafe adalah yang berlambang ‘apel digigit’, mac book.

Belum juga mampu membeli mac book, kini meja-meja cafe dihiasi oleh lembar tipis, sabak elektronik alias komputer tablet. Memang banyak tablet yang beredar di pasaran, bahkan harganya mulai dari sejutaan. Tapi lagi-lagi bukan soal tabletnya melainkan mereknya, untuk apa mengeluarkan tablet jika bukan Samsung Galaxy  atau IPAD.

Dunia memang berubah dengan cepat, semakin hari kecepatannya semakin tinggi, secepat prosessor yang kini terpasang di gadget-gadget canggih. Bahkan kini yang namanya core duo pun tak lagi dipamerkan sebagai iklan, karena sudah sampai quard core. Semua yang lambat-lambat bakal tertelan jaman. Mengikuti perkembangan membuat kita menjadi terengah-engah. Yang satu belum terbeli, model lainnya sudah keluar tanpa menunggu tahun.

Perubahan yang cepat sejatinya tak hanya dalam soal teknologi, trend atau kecenderungan yang lain menyangkut gaya hidup, sosial, ekonomi dan politik juga berubah dengan sangat cepat. Dunia seolah kini sudah berlari, lari dengan kecepatan para sprinter. Idola tak bertahan lama, terpeleset sedikit yang ngantri untuk mengantikan sepanjang kemacetan di pelabuhan merak-Bakahueni. Tak heran jika kemarin seorang bintang membikin fans-nya pingsan-pingsan, esoknya tak ada lagi yang minta meski hanya untuk berfoto bersama-sama. Kedudukan yang tinggipun bisa dengan cepat menjungkalkan orang ke lubang terdalam. Hari lalu adalah penguasa yang terhormat dan ditakuti, besok digiring polisi dengan tangan terborgol mirip pencuri ayam habis digebukin orang sekampung.

Perkembangan dalam dunia ITK adalah representasi dari kecepatan perubahan saat ini. Kemampanan adalah sesuatu yang langka. Perubahan terjadi dari detik ke detik seperti yang sering diucap oleh Amien Rais. Kecepatan yang membuat kita sering ragu, hanya mampu membuat kesimpulan sesaat. Karena umur orang baik bisa jadi sangat pendek, karena tak lama ternyata terbukti kebusukkannya. Kekuasaan bisa jadi juga sangat nisbi, seolah-olah, karena selalu terancam untuk diturunkan derajatnya. Popularitas bisa dengan sekejap diraih, tapi juga dalam sekerjap mata berkedip hilang kembali. Tak heran jika kemudian banyak orang-orang ternama, merana dan kemudian memilih ‘mematikan diri’ dengan perbuatan konyol lantaran tak tahan menghadapi perubahan.

Perubahan adalah sebuah rangkaian pencapaian yang terus menerus, dalam dunia produksi diperlihatkan lewat kelahiran seri-seri baru yang semakin baik dan lengkap. Namun kita tak selalu harus memakai yang terbaru, meski selalu ingin. Perubahan adalah sesuatu yang melingkupi diri kita bukan mengurung apalagi mengungkung. Kita tak bisa menolak tapi tak harus ikut larut ke dalamnya. Nikmati perubahan, siap selalu menghadapinya dan tak perlu tunggang langgang karenanya.

Pondok Wiraguna, 17 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (19)

0 komentar

Glenn dan Oma Irama

Menurut kisah yang diceritakan oleh temannya teman saya, dalam sebuah kesempatan Glenn Fredly memberi kesaksian bahwa salah seorang yang mempengaruhi perjalanan karier bermusiknya adalah Rhoma Irama. Tentu saja pengakuan Glenn Fredly mengejutkan bagi banyak orang. Konon sebagian besar yang hadir mengumandangkan ‘huuuuuu....’. Tapi ternyata Glenn tidak sedang bermain-main, dia serius dengan kesaksiannya. Saya yang lahir di tahun 70-an tentu saja paham bahwa apa yang dikatakan oleh Glenn memang benar. Di masa kecil saya sampai dengan saat duduk di bangku SMP, saya kira tidak ada yang bisa melebihi popularitas Roma Irama, yang kerap dipanggil dengan sebutan Oma Irama.

Sang Raja Dangdut itu bersanding dengan Elvie Sukaesih menghiasi khasanah dan blantika musik Indonesia. Namun dibandingkan dengan Sang Ratu, Raja Dangdut jelas lebih mempunyai banyak kelebihan. Oma Irama bukan hanya bernyanyi, tapi juga pemusik dan pencipta lagu. Dan dari sisi musikalitas, Oma Irama juga melakukan ekplorasi untuk mengembangkan musik dangdut menjadi orkes dengan irama melayu. Soneta adalah kumpulan atau grup dengan personel dan peralatan yang beragam.

Sebagai pencipta lagu, Oma Irama juga tidak sekedar menciptakan lagu-lagu dengan permainan kata-kata indah belaka, melainkan juga merefleksikan keadaan pada jamannya. Oma Irama mencipta lagu yang membawa pesan sosial dan moral. Dalam bahasa gerakan lagu-lagu Oma Irama berisi kritik sosial. Dalam bahasa religus, Oma Irama menjalankan ‘kerasulan’ atau dakwah kepada masyarakat luas lewat lirik dan lagu. Tak ayal lagi, dengan saluran media publikasi yang masih terbatas, maka hampir semua penduduk di Indonesia yang terpapar oleh RRI dan TVRI jelas akan mendengar dan turut mendendangkan lagu Oma Irama. Saya yakin banyak anak-anak muda belajar main gitar dengan memainkan lagu-lagu Oma Irama. Seingat saya, Oma Irama juga rajin melakukan pertunjukkan keliling.

Saya ingat, bahkan di kota kecil macam daerah kelahiran saya, Oma Irama pernah manggung di lapangan belakang pendopo kabupaten (Belkab). Saya tidak ikur nonton di lapangan yang kemudian dipagar dengan gedhek, tapi om saya yang saat itu sudah duduk di bangku SMA, sejak sore sudah bersiap-siap pergi menyaksikannya. Perjalanan hidup seseorang akan selalu mengalami perkembangan, naik dari satu level ke level lainnya. Oma Irama tetap dianggap sebagai Raja Dangdut meski tak lagi seproduktif waktu muda dulu.

Dan dengan pencapaiannya maka Oma Irama tidak lagi sekedar seorang pemusik. Dia masuk dalam level tokoh, sosok yang kini banyak berbicara dan menyuarakan soal moralitas. Oma Irama kemudian masuk dalam wilayah religius secara lebih dalam dan mencoba menjadi panutan dalam bidang itu. Sayang jika kemudian kemampuan refleksinya yang dalam pada keadaan sekeliling sebagai mana tercermin dalam lagu-lagunya dahulu seperti tidak terus terasah. Komentar dan keluh kesahnya kini tak lagi menyentuh tapi malah berubah seperti hardikan dan penghakiman untuk orang atau kelompok yang ditembaknya.

Entah karena gelarnya sebagai Raja Dangdut, mungkin Oma Irama masih merasa dia adalah raja yang sabdanya didengarkan. Padahal kini dia tak lagi bersyair dengan dalam. Ungkapan-ungkapan terasa dangkal dan bernada penghakiman. Dalam kemapanannya Oma Irama lupa bahwa jaman berkembang dan selalu bergerak. Seperti dia dulu mengerakkan perubahan dalam irama kendang menjadi sebuah orkestral melayu.

Namun anehnya tiba-tiba dia terganggu dengan gerak dan arah perubahan dalam dunia musik dangdut. Bahkan dangdut dihubungkan dengan moralitas dan agama. Gaya Oma Irama yang terkesan salah pergaulan membuat generasi muda sekarang ‘gagap’ melihat sosok Oma Irama dan sumbangsihnya dalam dunia musik Indonesia. Seorang yang dulu lagu-lagunya sangat ‘gaul’ kini tampil sebagai sosok yang nyinyir dan dangkal memandang kondisi di sekelilingnya. Tak heran jika kemudian para pengemar Glen Fredly seolah-olah tak rela idolanya menempatkan Oma Irama sebagai sosok yang mempengaruhi dirinya dalam bermusik.

Dan pastinya Glenn akan maklum pada sikap para pengemarnya yang mungkin hanya kenal Oma Irama karena urusannya dengan Angel Elga.

Pondok Wiraguna, 20 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (18)

Minggu, 16 September 2012 0 komentar

Demam Baliho

Perubahan sistem politik dari tertutup menjadi terbuka yang ditandai dengan kelahiran banyak partai dan pemilihan secara langsung merubah wajah jalanan di Indonesia. Kini jalanan bukan hanya dihiasi iklan produk atau barang, melainkan foto-foto tokoh tertentu mengumbar senyum kepada siapapun yang lewat di depannya. Sebagian foto-foto itu dikenal oleh masyarakat namun sebagian lain adalah orang asing, bukan tokoh sungguhan melainkan karena menokohkan diri atau ditokoh-tokohkan oleh kelompok tertentu. Tapi siapapun dia, pada intinya jalan raya hari ini dipenuhi wajah tokoh yang doyan nampang dengan segala macam pamrih. Saya beberapa hari yang lalu melewati jembatan Mahakam di sore hari. Tentu saja harus berjalan merayap karena jalanan penuh sesak. Persis di mulut pertigaan ke arah jembatan berjejerlah baliho besar-besar aneka rupa.

Semuanya serempak mengucapkan Selamat Hari Raya Idulfitri bagi siapapun yang lewat di depannya. Ada yang berfoto berdua, yaitu ketua dan wakil, tapi ada juga yang menyertakan rombongan ‘sirkus’ lainnya di baliho. Tapi tak sedikit pula yang tampil sendirian. Mengucapkan selamat kepada masyarakat tentu saja tidak masalah, semakin banyak yang mengucapkan selamat tentu saja rejeki tukang cetak baliho makin baik pula. Di beberapa ruas jalan juga ditemukan baliho memasang wajah tertentu dengan pesan perkenalan bahwa dirinya adalah calon gubernur Kaltim untuk 2013. Dan pemilukada gubernur Kaltim masih satu tahun lagi. Tapi ya sudahlah tidak apa juga, karena kalau jadi calon lalu tidak dikenal masyarakat kan berarti bunuh diri. Maka memperkenalkan diri sejak jauh-jauh hari memang penting. Toh tak mungkin dijerat sebagai mencuri start kampanye, karena pendaftaran untuk calon ke KPUD juga belum dibuka. Lepas dari persoalan estetika dan etika pemanfaatan ruang publik, sesungguhnya baliho-baliho kerap kali menjadi hiburan tersendiri, apalagi jika ‘wajah’ yang dipasang di lembar baliho itu mampu memancing senyum. Tak sedikit dari sekian wajah para tokoh itu yang terlihat lucu bahkan cenderung ganjil. Maaf, entah karena potongan wajahnya yang memang ‘menyedihkan’ dari sononya atau lantaran kostum yang dikenakannya.

Meski menikmati semua pertunjukkan itu, tak bisa dipungkiri suatu saat saya jengkel juga. Terutama jika ada baliho-baliho yang tak ada relevansinya dengan ‘kita’. Seperti baliho sosok tertentu yang akan jadi calon ketua organisasi tertentu yang tak berhubungan dengan masyarakat banyak. Atau untuk jadi ketua organisasi itu dia tak perlu minta ijin atau dukungan dari masyarakat. Jadi tak ada urusan kalo sampai dia harus memasang wajah ramah dengan tangan terkepal di udara dihadapan masyarakat. Kalo diibaratkan barang yang harus dipromosikan maka pemasangan baliho itu adalah promosi yang salah tempat.

Namun ternyata tidak hanya berhenti pada kejengkelan semata, sebab ketika lewat jalan Basuki Rahmat, di pagar salah satu SMP ternama, terpasang baliho besar menghadap jalan. Terpampang tiga pasang foto siswa yang ternyata adalah calon ketua OSIS. Kalimat lain saya tidak hafal, tetapi ada tulisan ‘Pilihlah Yang Amanah’, ‘Gunakan Hak Suara, Jangan Golput’. Lalu ada lambang OSIS dan lambang yang sekilas sama persis dengan KPU namun tertulis Komisi Pemilihan OSIS. Luar biasa, apa coba urusannya memasang baliho itu menghadap ke jalan. Urusan OSIS kan urusan internal. Apa yang mau ditunjukkan ke publik, apakah mau pamer bahwa sistem pedidikan kita sudah demokratis?.

Sekolah yang memasang baliho itu dikenal siswanya pintar-pintar, tentu saja demikian pula dengan gurunya, namun jelas mereka tidak ilmiah. Apa ilmiahnya kalau urusan ketua OSIS mesti dipamerkan ke publik?. Apa ilmiahnya kalau pelajar yang seharusnya diajar tekun belajar malah diajari pamer wajah, didorong-dorong kerajingan selebritas, pasang senyum kepada pemakai jalan yang tidak kenal. Belum lagi, untuk apa sebenarnya pemborosan uang cetak baliho itu. Bukankah dunia pendidikan sering mengeluh kekurangan dana. Jangan-jangan kekurangan itu karena perilaku yang boros, tidak mampu mengelola uang dengan benar.

Dan contohnya jelas, masak untuk pemilihan ketua OSIS mesti mencetak materi promosi yang jelas-jelas tak mendidik. Apa coba yang mau dikatakan oleh baliho itu, jelas baliho tak mengabarkan apa-apa yang relevan bagi kita pengguna jalan. Baliho itu hanya mengambarkan ego para pemasangnya, ego karena kepentingan mereka sendiri dan sialnya mengajak kita yang melewatinya untuk menganggapnya penting juga. Ada banyak persoalan di kota ini yang jauh lebih penting tapi tak disampaikan lewat baliho. Persoalan yang perlu agar masyarakat sadar akan urusan kita bersama, bukan urusan orang per orangan yang dipamerkan dalam baliho-baliho di jalanan.

Pameran kepentingan pribadi nampaknya masih akan terus merajalela. Semua tampil seolah-olah menawarkan kepedulian diri, kebaikan hati, kata indah dengan senyum merekah yang sebenarnya cuma ilusi dalam kehidupan senyatanya. Jadi pikirkan kembali siapapun yang ingin ikut-ikutan memasang baliho, sebab kalau tidak saya akan menganggap wajah anda-anda hanyalah seolah-olah. Seolah-olah baik, seolah-olah peduli, seolah-olah amanah padahal maaf saja, kelakuan anda-anda ini sungguh parah dan tidak ilmiah.

Pondok Wiraguna, 12 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (17)

0 komentar


Korupsi : Konsumsi vs Produksi

Orang yang kecanduan alkohol akan disebut alkoholic. Suatu masa saya pernah mengalami hal itu, jika waktu sudah menunjukkan jam 5 sore dan belum setetespun alkohol melewati tenggorokan dunia sepertinya terasa kacau. Sekarang saya merasa beruntung karena tinggal di Samarinda, daerah yang cukup sulit untuk membuat saya kembali menjadi alkoholic, sebab jenis minuman yang mengandung zat itu tak bebas dijual disini. Dan kalaupun ada harganyapun akan membuat saya berpikir 13 kali untuk membelinya.

Untuk urusan alkoholic mungkin Samarinda bisa menghindari, tapi bagaimana dengan shopoholic aliat gila belanja. Nampaknya sulit, sebab di Samarinda hal yang paling nampak berkembang luar biasa adalah pusat-pusat perbelanjaan. Bukan hanya kebutuhan pokok melainkan gadget dan gaya hidup. Industri gaya hidup dalam bentuk mall, caffee dan tempat-tempat hiburan berkembang pesat di sini. Masyarakat disini adalah masyarakat konsumsi, rajin membeli ini dan itu, tak heran disetiap outlet toko-toko elektronik dan motor selalu ada counter leasing atau kredit turut serta. Kartu kredit pun ditawarkan seperti balon di pasar malam. Para marketer kartu kredit membujuk-mbujuk orang untuk berhutang.

Saya ingat cara pandang Pramudya Ananta Toer terhadap korupsi. Sederhana saja, korupsi adalah hasil dari  keadaan kemiskinan produksi. Sebuah daerah atau bangsa yang rendah produksinya, akan tinggi korupsi. Saya tidak mengkaji dengan dalam pandangan Pram ini, namun saya merasa teori ini benar adanya. Contohnya ya di Samarinda, apa produksi yang dihasilkan secara kreatif oleh masyarakat disini?. Adakah orang-orang yang mempunyai rumah besar, bertingkat dan sederet mobil serta segepok buku rekening adalah para produsen?. Orang-orang kaya disini yang kehadirannya sangat kontras itu mendapat kekayaan dari mana?.

Patut diduga bahwa mereka yang kaya raya, keren dan mentereng memperoleh harta bendanya karena menjarah alam dan merampok anggaran negara (daerah). Mereka tidak berproduksi tapi hanya memanen, tak heran jika kemudian seperti sim salabim, tak perlu cerita seluk beluk derita langsung menjadi kaya.

Menjadi kaya di daerah yang rendah produksinya memang mudah, cukup bermodal akses dan mulai ‘memproduksi’ kekayaan dengan proyek-proyek pembangunan dan setelah itu dilanjutkan dengan ‘proyek pemeliharaan’ dan lama-lama diteruskan dengan ‘proyek renovasi’ hingga kemudian kembali pada ‘proyek pembangunan kembali’. Dan disinilah siklus ‘produksi kekayaan’ akan berkelanjutan.
Dengan demikian ramai proyek pembangunan sebenarnya tidak bertujuan untuk pembangunan, melainkan sebagai cara ‘mengeruk uang’ besar secara berjamaah. Tak heran jika rencana pembangunan biasanya berupa gedung-gedung megah, jembatan panjang, jalan nan lebar dan panjang, polder, kolam retensi, pelabuhan dan lapangan terbang. Pembangunan yang butuh waktu bertahun-tahun, terus dijadwal dan dibahas tiap tahun kenaikan harga dan anggarannya di gedung Dewan.
Urusan kecil-kecil seperti jalan berlubang dan terkelupas, got mampet, trotoar jebol, devider jalan yang rusak, bus sekolah yang mogok tak beroperasi, bekas galian ditutup tanah seadanya, jelas tak menarik hati untuk dikerjakan. Jumlah uang yang masuk kategori pemeliharaan  terlalu kecil. Jadi biarpun orang jengkel dan ngomel-ngomel, pihak yang bertanggungjawab akan tutup mata saja, dibiarkan dahulu sampai parah, hingga bisa dianggarkan sebagai pembangunan ulang. Proyek akan diusulkan jika ‘nilai belanja’-nya besar.

Di sebuah iklan layanan masyarakat yang dibuat oleh sebuah perusahaan bahan kimia, narator menyebutkan bahwa Bumi Borneo menyediakan segalanya. Yang dimaksud tentu saja sumberdaya alam yang melimpah dan punya nilai besar. Tapi coba apa yang terjadi, Bumi Borneo ternyata hanya bisa  ‘mengimpor’ hampir semua kebutuhannya. Data dari BPS menunjukkan komoditi yang surplus hanyalah daging ayam dan ubi. Di luar itu harus didatangkan dari luar pulau. Kenapa tidak mencoba menghasilkan sendiri?. Lagi-lagi tentu saja karena proyek. Mendatangkan sesuatu dari luar akan membuka peluang bagi ‘oknum-oknum’ tertentu untuk menarik fee atau komisi dan sebagainya.

Dan kebijakanpun adalah sebuah proyek, maka membuat daerah ini terus kekurangan daging sapi, sayur, beras, bibit tanaman, dan seterusnya adalah peluang bagi kebijakan untuk terus mengembangkan proyek yang berbasis pada ‘kekurangan’. Maka dilakukanlah proyek-proyek pengembangan yang sebenarnya tak sungguh-sungguh dimaksudkan untuk dicapai outputnya. Yang dikejar dari proyek adalah inputnya, nilai belanjanya bukan nilai hasil. Dengan demikian proyek akan berjalan terus dan tujuan utamanya tidak dicapai. Contoh caranya untuk menghasilkan daging dibuatlah proyek pengemukkan sapi, bukan pembibitan sehingga menghasilkan sapi sendiri. Jadi begitu sapi gemuk dipotong dan habis, maka didatangkan lagi sapi-sapi muda dan bujang untuk kembali digemukkan.

Berkali-kali di lakukan aneka ‘launching’ dan pencanangan untuk mandiri ini dan itu. Setiap hari besar dijadikan momentum dan momentum. Momentum terus berulang, niat untuk bangkit, memnuhi kebutuhan sendiri terus diteriakkan dalam setiap kesempatan. Tapi lagi-lagi itu hanya ‘liur’, niat yang keluar dari mulut pembaca pidato, tapi di hati para perencananya yang terpikir adalah fee dan komisi. Tak ada niat untuk mandiri, memenuhi kebutuhannya sendiri, tak ada cita-cita untuk berproduksi, sebab melakukan produksi itu melelahkan, butuh perjuangan dan keuntungan yang dibagi tak selalu besar jumlahnya.

Kesimpulannya dalam kata ‘pembangunan’ yang dimaksud dengan produksi adalah belanja sebesar-besarnya untuk menghasilkan wujud bangunan semegah-megahnya. Dengan demikian ‘kue’ pembangunan itu bisa dibagi-bagi rata, komisi, fee, supliernya dan lain-lain. Dengan demikian banyak orang akan dapat dan kemudian menghabiskan lagi dengan membelanjakannya. Dan siklus ‘perampokan’ kembali berulang dan berulang.

Pondok Wiraguna, 16 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (16)

0 komentar

Pintar tapi Tak Jujur

Angelina Sondakh dan Miranda S Goeltoem adalah sosok dari sedikit perempuan-perempuan ternama di Indonesia. Keduanya jelas orang yang pintar, cerdas dan mempunyai kepercayaan diri yang tinggi. Angie yang masuk ke kancah legislative nasional lewat jalur celebritas menunjukkan kelas tersendiri dibanding celebriti-celebriti lain yang tenggelam ketika masuk dalam jalur politik. Sementara Miranda juga mencatat prestasi yang tak kalah bersinar, dengan menjadi wanita yang mampu mewarnai jajaran tinggi di Bank Indonesia, sebuah prestasi yang sulit untuk ditandingi siapapun.

Dua perempuan luar biasa itu kemudian menjadi bahan pemberitaan bukan karena prestasinya melainkan karena tuduhan telah melakukan tindak pidana korupsi. Saya yakin banyak orang sulit mempercayai kabar itu. Mereka adalah sosok yang tampil hampir sempurna di muka publik, sosialita papan atas yang tentu saja amat hati-hati dalam bertindak. Tapi percaya atau tidak percaya toh KPK telah menetapkan mereka sebagai tersangka.

‘Kesempurnaan’ Angie maupun Miranda kemudian tercoreng. Pintar itu memang penting, tapi jujur tetaplah yang utama. Ternyata di balik ‘kemolekan’ tutur, tingkah laku dan penampilan mereka tersembunyi sebuah laku yang mengejutkan. Angie konon mengatur-atur dan mengawal proyek-proyek yang menguntungkan dirinya lewat kedudukannya di DPR RI. Sementara Miranda yang jelas populer dan tak punya tandingan, ternyata tak cukup percaya diri menahklukkan DPR RI, sehingga membagi-bagi ‘gula-gula’ untuk melicinkan jalan agar dirinya tetap berdiri di jajaran pimpinan BI.

Dan ternyata bukan cuma dua perempuan hebat yang terjerembab, karena ada satu lagi yang menyusul, yaitu Hartati Murdaya Poo. Pengusaha besar, politisi dan elit partai berkuasa di negeri ini. Hartati juga satu-satu pemimpin tertinggi organisasi keagamaan yang jamaknya dikuasai oleh laki-laki. Hartati lewat orang-orang di perusahaannya melakukan kegiatan ‘germo politik’, mendukung salah satu calon untuk bertempur dalam pemilukada dan setelah sang calon menang beroleh imbalan ijin. Dalam kasus Hartati ijin yang diberikan adalah untuk perkebunan sawit.
Angie, Miranda dan Hartati, sama-sama melakukan sebuah ‘Keharusan yang tidak seharusnya’. Inilah anomali negeri ini dimana hal-hal yang sudah seharusnya dilakukan mesti diembel-embeli balas jasa, succsess fee dan sebagainya.

Adalah seharusnya DPR RI menyetujui proyek-proyek penting yang dibutuhkan baik oleh negara maupun masyarakat. Tak usah dengan suntikan apapun, seharusnya proyek akan diloloskan kalau memang perlu dan tidak diloloskan kalau memang tak menjadi prioritas. Mereka yang duduk dalam kelengkapan Dewan memang bekerja untuk itu.

Demikian juga dengan tugas Dewan untuk menguji dan kemudian meloloskan calon pejabat publik. Tentu saja mereka telah melengkapi diri dengan aneka macam kriteria yang dengan mudah akan dilihat dari calon-calon yang harus diuji. Calon-calon pasti bukan orang yang turun begitu saja dari balik atau belakang tanah, karena harus melewati rangkaian seleksi yang ketat sebelum sampai di hadapan para anggota Dewan yang terhormat.

Dalam soal pemilukada juga demikian. Para calon terlibat ijon dengan para sponsor dan donatur politik. Kalau kepemimpinan adalah amanah maka seharusnya prosesnya tak harus dikotori dengan hamburan uang kepada para pemilik suara. Bukankah kepercayaan tak bisa dibeli?.

Tapi nyatanya ‘Keharusan yang tidak seharusnya’ sudah menjadi ayat penting meski tak tertulis. Di DPR jangan proyek pembangunan, rancangan undang-undang yang tidak berbentuk materialpun harus dimaterialkan. Akar dari semua ini adalah kepentingan, kepentingan segelintir dan sekelompok orang yang kemudian dianggap sebagai kepentingan bangsa dan negara.

Proyek yang seolah-olah untuk membangun sumber daya bangsa dan negara tak lebih dan tak bukan lahir dari keinginan sekelompok orang tertentu untuk membesarkan perusahaannya, membesarkan organisasinya untuk kemudian bisa memperkuat tawar menawar dan pengaruh politik. Pengaruh politik ini penting sebab itu merupakan senjata untuk terus mempertahankan ‘keberlanjutan pendapatan’.

“Keharusan yang tidak seharusnya’ sekali lagi adalah jamak di negeri ini. Bukan hanya Angie, Miranda dan Hartati saja yang fasih melakukannya. Semua ini terjadi mulai dari unit terkecil dari tingkat RT sampai tingkat wilayah nasional. Bahkan praktek ini juga terjadi dalam lembaga-lembaga non negara. Terbongkarnya praktek seperti ini tak menyurutkan para pelaku dan calon pelaku untuk mundur teratur.

Maka kita harus selalu siap untuk melihat orang-orang hebat kemudian terjerembab dalam nista. Orang-orang yang kita anggap pintar namun ternyata tak jujur. Dan itu selalu menyedihkan.

Pondok Wiraguna, 15 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (15)

0 komentar


Tata Ruang dan Tata Laku

Salah satu proses penentuan yang maha melelahkan adalah soal tata ruang. Tarik menarik dalam persoalan ruang memang begitu rumit. Ruang bukanlah lahan kosong dan kering, melainkan tempat dimana berbagai kepentingan yang bisa jadi berlawanan bertarung untuk merebut penguasaannya. Ruang itu sendiri tidak selalu bermakna tunggal, sebab ada ruang ekonomi, politik, sosial, budaya dan pertahanan keamanan. Dalam ruang yang sama semua aspek ini harus dijalankan dan terkadang yang satu mengalahkan yang lainnya.

Benar adanya pernyataan yang menyebutkan bahwa tata ruang itu penting, namun yang jauh lebih penting adalah tata laku di baliknya. Dalam banyak kasus RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) lebih mencerminkan kepentingan ‘ku’. ‘Ku’ disini merujuk pada tata laku atau kepentingan penguasa dan pengusaha. Ruang yang adalah wilayah publik dibagi-bagi secara ‘sembunyi-sembunyi’ dalam ruang-ruang lobby yang tertutup. Kepentingan yang bisa jadi sesaat dibungkus dengan slogan-slogan pembangunan yang seolah bervisi jangka panjang dan lestari.

Tak mengherankan jika kemudian tata ruang tak seiring sejalan dengan kebutuhan masyarakat banyak karena mengacu pada tata laku kelompok tertentu. Banyak pembangunan yang seolah megah tapi tak berguna. Apa urusannya jika kemudian ada jembatan tapi tak ada jalan, ada terminal tapi tak pernah disinggahi oleh kendaraan dan penumpang, ada stadion besar dan megah tapi hanya menjadi tempat kambing merumput.

Tak sulit untuk melihat dan menemukan kesia-siaan dalam ruang publik karena kebijakan tata ruang yang lebih didasarkan pada pengembangan proyek-proyek untuk mengemukkan kantong para pihak yang ber-kong ka li kong. Taman kota disayembarakan, kemudian dibangun tidak berdasarkan desain pemenangnya, alhasil apa yang dimaksudkan sebagai sarana memperindah kota, menjadi tempat warga melepas lelah, mencari angin segar, malah menjadi sarana asyik mahsyuk di malam hari. Perilaku pembangunan yang lepas dari tata nilai, membuat apa yang dimaksudkan sebagai hiasan, solek keindahan kota justru berakhir menjadi persoalan baru. Apa yang dibangun diatas persoalan sebaik apapun tetap akan kembali menjadi persoalan baru.

Ruang adalah cermin dari penguasa dan masyarakatnya. Adab yang dibangun dari ruang merupakan penanda siapakah yang meninggalinya dan bagaimana tata lakunya. Ketika ruang hanya dipahami sebagai pertempuran kepentingan, tempat membangun penanda bagi kenangan kekuasaan, maka akan abai pada aspek lain. Ruang sebagai kepentingan tidak berada dalam tempat yang hampa, ruang berada dalam sebuah lingkungan yang juga mempunyai kebutuhannya sendiri. Bukan hanya masyarakat (manusia), bukan hanya institusi tetapi alam itu sendiri yang butuh keseimbangan agar bisa mengabdikan sumberdayanya bagi kepentingan manusia.

Rencana tata ruang dan wilayah, semakin hari kerap semakin abai pada kepentingan ‘planet bumi’. Dokumen tata ruang selalu dihiasi dengan alih fungsi lahan, mengerus ruang-ruang perlindungan, mengerus ruang preservasi, ruang cadangan yang seharusnya disimpan untuk generasi yang akan lahir jauh ke depan.

Nafsu untuk mengeruk, menghabisi apa yang ada sebesar-besarnya hari ini melahirkan rencana-rencana pembangunan yang ibarat bangunan besar nan mewah tapi hampa. Hampa karena menyingkirkan dan mengusur elemen-elemen yang lemah, yang tidak bisa bersuara, yang hanya mengantungkan pada kebaikan penguasa dan pengusaha.

Tak heran jika kemudian rencana tata ruang yang menjadi fondasi pembangunan ke depan semakin jauh dari kebutuhan masyarakat, tak mempunyai daya tarik bagi warga kebanyakan karena hanya mencerminkan nilai material yang hanya bisa diakses oleh kelompok yang terbatas. Kelompok yang bisa ikut memainkan peran dalam proyek pembangunan, mengutip fee dan menunggu bocoran-bocoran.

Materialisasi mengeser nilai-nilai yang terkandung dalam tata ruang, sebagai sarana manusia dan sesamanya serta mahkluk lain ‘bertemu’ dalam konteks kehidupan bersama yang saling dukung. Apa artinya pelabuhan samudera nan megah, lapangan terbang berstandar internasiona, perkebunan nan maha luas jika kemudian itu hanya menjadi ‘etalase keponggahan’ dari segelintir pengambil untung yang tega menyingkirkan kepentingan masyarakat banyak. Kebesaran dan kemegahan pembangunan banyak kali hanyalah cermin dari panjangnya janji politik yang tak ditepati, penyelewengan mandat.

Jika dibalik rencana tata ruang tersembunyi politik kepentingan untuk menopang jabatan, mengejar kekuasaan, persekongkolan jahat maka bukannya rencana pembangunan yang tersaji melainkan rencana penghancuran. Penghancuran yang mulai dari riak kecil yang semakin lama semakin bergelombang dan mungkin akan berakhir dengan Tsunami kehancuran peradaban. Masih ada waktu untuk menunda atau bahkan mencegah Tsunami dengan secara terbuka dan jujur membahas Rencana Tata Ruang dan Wilayah kita.

Pondok Wiraguna, 13 September 2012
@yustinus_esha

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum