Kutai Lama di Ambang Nestapa
Kurang lebih lima tahun yang lalu
untuk pertama kali saya berkunjung ke Kutai lama, tepatnya ke kompleks
pemakaman Raja perdana dari Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.
Perjalanan ke sana kini lebih mudah karena tidak perlu lagi menyebrangi sungai
dengan perahu, jembatan megah kini telah membentang gagah di atas sungai.
Kalau ada yang berubah, kini
perjalanan ke sana terlihat semakin terang, lantaran lingkungan yang semakin
centang perentang akibat aktivitas pertambangan batubara di sepanjang kanan
kiri perjalanan kesana. Di wilayah Sambutan, Samarinda dan Anggana, Kutai
Kartanegara, terlihat dengan jelas bahwa semakin banyak perusahaan tambang yang
meratakan dan mengeruk bebukitan.
Suasana di sekitar kompleks makam
sendiri tidak terlalu berubah, tak terlalu ramai juga tak sepi. Terlihat
beberapa ibu berjualan air dan kembang untuk perlengkapan peziarahan. Beberapa
yang lainnya berteduh di bawah pepohonan. Nampak pula segerombolan anak-anak
bermain di sekitar kompleks makam. Mereka ternyata berkumpul situ menunggu
peziarah selesai memanjatkan doa di makam untuk dimintai sedekah. Anak-anak
disana terlatih benar memasang wajah untuk merayu peziarah agar tergerak
merogoh kantong dan dompetnya. Anak-anak itu akan terus menempel dan mengikuti
para peziarah yang usai berdoa sampai mendapat apa yang jadi pintanya.
Didalam kompleks makam utama, ada
lima juru kunci. Tiga orang berseragam layaknya pegawai pemerintah. Mereka tak
banyak bicara, pasif dan duduk bersandar di dinding pendopo. Dua juru kunci
lainnya berbaju biasa dengan cepat mengobral cerita. Cerita yang hampir sama
saya dengar lima tahun lagi berulang. Betapa sebenarnya tak banyak yang
memperhatikan tempat ini lagi. Tempat ini ramai dikunjungi para petinggi kala
menjelang pemilu kada. Lepas dari itu dibiarkannya kembali. Nasib para penjaga
kuburpun tetap sama, begitu-begitu saja dari waktu ke waktu. Pendapatannya
tergantung pada niat baik dan sumbangan para peziarah. Konon para juru kunci
yang berseragam mendapat honor dari pemerintah, tapi jumlahnya tak seberapa dan
harus diurus ke ibu kota Kabupaten.
Ketiga ditanya soal lembaga adat
dan apa perannya dalam menjaga warisan kebudayaan di Kutai Lama, para juru
kunci hanya tersenyum lalu berkata, entah apa yang mereka lakukan. Ironis
memang sebab Kutai Kartanegara adalah kabupaten terkaya di Kalimantan Timur,
namun melupakan daerah yang menjadi cikal bakalnya. Menurut para penjaga kubur,
masyarakat di Kutai Lama tak ikut menikmati kekayaan alamnya melainkan hanya
mendapat ampasnya. “Kami hanya mendapat debu batubara”, tutur salah satu dari
juru kunci.
Dan benar, saat saya berdiri di
jembatan naga (dermaga di pinggir sungai), ada pemandangan baru. Tampak di
depan sana ponton berjejer panjang, dan di sebelah kanan nampak conveyor
mencurahkan aliran batubara ke atas ponton. Jaraknya tak terlalu jauh dari
kampung, maka jika angin bertiup kencang tentu saja partikel-partikel lembut,
remah-remah batubara akan ikut terbang bersama angin menerpa kampung dan
pemukiman.
Batubara bagi Kutai Kartanegara
bukanlah cerita baru. Di masa kejayaan Kesultanan Kutai, Sultan telah
memberikan hak pengusahaan batubara pada pengusaha Belanda. Namun kala itu
mungkin tak jadi persoalan karena aktivitas pertambangan belum semasif saat
ini. Kini Wajah Kutai Kartanegara dimana-mana dihiasi tumpukan batubara, bukit
yang terbongkar, jalan hauling yang berdebu dan lalu lalang kendaraan double
gardan yang tak segan menunjukkan kesombongannya di jalan umum.
Dua kali sudah saya ke Kutai Lama
dan tak menemukan sisa-sisa peradaban dan kebudayaan Kerajaan Kutai Kartanegara
perdana disana. Apa yang menonjol justru jejak ekploitasi sumberdaya alam yang
berlangsung sejak lama, mulai dari Migas hingga kemudian kini Batubara.
Tesis bahwa Kerajaan (kesultanan)
Kutai Kartanegara lebih menonjol sebagai organisasi ekonomi tinimbang
organisasi politik sepertinya benar adanya. Hal mana ditunjukkan dalam minimnya
peninggalan sosial dan kebudayaan serta kurangnya penghargaan atas apa yang
ditinggalkan olehnya. Dan Kutai Lama adalah saksi utamanya.
Pondok Wiraguna, 21 September 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar