• Blockquote

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Duis non justo nec auge

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

Kontemplasi : HASTAG (17)

Jumat, 11 Januari 2013 0 komentar

#MenelanLudahSendiri

Roy Suryo konon dalam sebuah percakapan di twitter pernah mengatakan akan menolak dengan elegan apabila ditunjuk menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga. Menurutnya bidang itu bukanlah bidang yang sesuai dengan kompetensinya. Pernyataan itu diungkap ketika ada yang menanyakan andai dalam kesempatan reshuffle presiden menunjuknya sebagai menteri.

Tapi hari ini (Jum’at 11 Desember 2013) atas ijin presiden, Mas Roy boleh berbicara kalau dirinya dipilih oleh presiden untuk menggantikan Andi Malarangeng yang mengundurkan diri karena telah ditetapkan KPK menjadi tersangka korupsi. Dengan legowo, Mas Roy menerima penunjukkan dirinya sebagai menteri yang tidak sesuai dengan bidangnya. Tak ada nada keberatan sedikitpun, bahkan konon beberapa hari lalu, Mas Roy sudah pamit sana-sini di gedung DPR sana. Dan itu disentil oleh Eddy Baskoro, Sekjend Partai Demokrat yang juga adalah putra presiden. Ibas mengingatkan agar jangan ada yang ke G Er –an lebih dahulu sebelum dinyatakan resmi oleh presiden.

Apakah ini berarti Mas Roy menelan ludahnya sendiri. Mungkin saja begitu, kalau apa yang diucapkan di twitter waktu lalu adalah ucapan yang serius. Tapi bisa jadi twit-nya itu hanya celoteh biasa saja. Untuk apa seseorang menanggapi pertanyaan dengan serius kalau yang ditanyakan bukan hal yang mungkin akan terjadi pada dirinya saat itu. Atau karena kaitan pertanyaan adalah andai terjadi reshuffle, maka Mas Roy memakai adat sopan santun, tak boleh langsung mengiyakan, karena kalau jadi menpora waktu reshuffle berarti mengeser koleganya sendiri, jadi itu tidak elok.

Apa yang terjadi kini lain, kursi Menpora kosong karena ditinggal oleh Andi Malarangeng yang memilih untuk berkonsentrasi pada kasus yang menimpanya. Konon Andi dari tersangka ingin berubah menjadi ‘justice colaborator’ untuk mengungkap kasus Hambalang secara terang benderang. Jadi kalau sekarang Mas Roy “Sendhiko Dawuh” atas apa yang ditetapkan oleh Presiden, itu adalah bentuk kesiapan warga negara, kader partai untuk selalu siap sedia ditempatkan dimana saja karena negara memanggil.

Bicara kompeten atau tidak dalam urusan jadi menteri toh juga persoalan yang sumir, antara ya dan tidak, ada dan tiada. Toh pos-pos menteri adalah pos jatah-jatahan. Dan dalam urusan jatah menjatah ini, calon yang diajukan oleh pihak yang diberi jatah biasanya juga tidak berdasar kompetensi.

Buktinya kebanyakan partai yang diberi jatah, mengutus ketua atau petinggi lainnya. Menteri juga bukan jabatan karier, yang menuntut orang untuk meniti perjalanan dari bawah, membangun kompetensi dalam bidangnya. Jadi tak perlu heran, seseorang yang belum pernah ke hutanpun bisa menjadi menteri kehutanan. Seorang yang gaptek-pun bisa menjadi menteri Komunikasi dan Informasi yang sarat dengan urusan teknologi informasi yang laju perkembangannya luar biasa. Jadi karena tidak ada sekolah atau kursusnya maka untuk apa pula bicara soal kompetensi.

Jadi kalau beberapa waktu lalu Mas Roy bicara soal kompetensi, ya itu sekedar basa-basi saja. Omong-omong di warung kopi. Sekarang apa bedanya dengan aktivis lingkungan hidup yang tengah gencar melakukan advokasi pada PSDA yang berkelanjutan. Pasti dia akan menjawab ‘haram hukumnya kerja di perusahaan tambang”. Namun 2 atau 3 tahun kemudian ternyata kemudian bekerja di perusahaan tambang. Apa mau dikata, barangkali yang bertanya yang salah kira. Ya jelas kalau seseorang sedang berada dalam posisi A lalu ditanya akankah menerima jika ada tawaran dari B, kemudian menjawab tidak. Jika satu atau dua tahun kemudian pandangannya berubah, barangkali karena sudah mengalami pencerahan. Bukankah banyak yang mengatakan “ternyata tidak efektif berjuang dari luar, kita harus masuk ke dalam, masuk dalam sistem dan mempengaruhi dari dalam”. Mantra semacam ini dulu juga kerap dipakai oleh aktivis akar rumput yang kemudian beramai-ramai masuk ke arena politik praktis.

Mungkin ada yang bertanya kemana nilai-nilai yang selama ini dipegang kukuh oleh mereka, kok kemudian beralih 180 derajad. Ya tentu saja menguap, atau sudah dikoreksi oleh mereka sendiri. Toh pemahaman akan nilai juga bisa berkembang, bisa jadi selama ini nilai-nilai yang dipegang adalah nilai yang sempit dan pilihan sekarang ini dilandasi oleh nilai yang lebih luas. Pendek kata selalu ada alasan bagi seseorang yang dituduh ‘menelan ludah sendiri’ untuk memberi alasan pembenaran atas apa yang dipilihnya saat ini.

Dan itu sah-sah saja, toh pilihan Mas Roy untuk menerima penunjukkan sebagai Menpora, tidak melanggar hukum dan konstitusi. Demikian juga dengan aktivis lingkungan yang kemudian memilih menjadi pekerja industri ekstraktif, atau main dalam politik praktis. Mereka tahu bahwa banyak orang yang dongkol atau jengkel, tapi selalu ada mantra lain untuk menghadapi tanggapan seperti itu. “Anjing menggongong kafillah tetap berlalu”.

Selamat bekerja Mas Roy semoga anda mampu memperbaiki keanehan-keanehan dalam dunia kepemudaan dan olahraga kita.

Pondok Wiraguna, 11 Januari 2013
@yustinus_esha

Kontemplasi : HASTAG (16)

Kamis, 10 Januari 2013 0 komentar


#CaraCepatMenjadiKaya

Menjadi sukses(kaya) itu adalah impian banyak orang. Bagaimana caranya?. Salah satu yang populer adalah dengan menjadi pengusaha. Tapi bukankah pengusaha butuh modal?. Tenang, sekarang ini ada kursus atau sessi motivasional untuk memberi jalan bagaimana menjadi pengusaha dengan modal dengkul alias utangan. Namun toh tidak semua orang berbakat jadi pengusaha, lagi pula kalau semua jadi pengusaha ya lama-lama saling makan dan pasti sebagian akan tumbang.

Pilihan lain adalah dengan menjadi pegawai pada perusahaan yang mampu memberi gaji dengan baik plus bonus-bonus kinerja yang menggiurkan, lebih besar dari pada gaji. Sektor kesehatan, komunikasi, keuangan dan pertambangan adalah beberapa jenis usaha yang mampu memberikan imbalan yang setimpal untuk pekerjanya.

Ada ‘pekerjaan’ lain yang kini juga menjadi pilihan untuk menjadi cepat kaya. Duduk di kursi legislatif pada saat ini berpotensi untuk melipatgandakan kekayaan secara cepat. Kecepatannya bahkan bisa melampaui seorang pengusaha tersukses sekalipun. Angelina Sondakh, mantan Puteri Indonesia yang kemudian terjun ke politik dan berhasil duduk di DPR RI pada tahun 2003 kekayaannya hanya sekitar 600 juta. Tidak sampai sepuluh tahun kekayaannya telah berlipat menjadi 58 kali dari semula. Catat, kelipatan itu adalah kelipatan kekayaan, harta yang terlihat. Kalau ditambah dengan pengeluaran selama tahun itu maka bisa dipastikan pemasukan ke kantongnya mengelontor terus bak air bah.

Bagaimana mungkin kekayaan seorang politikus yang mengabdikan diri seratus persen untuk dunia politik bisa berlipat-lipat seperti itu. Padahal gaji atau penghasilan yang dibawa pulang dalam sebulan berkisar 60 jutaan. Di titik inilah ruang abu-abu politik yang berbicara. Politik di Indonesia amat terkait dengan proyek-proyek pembangunan. Banyak pengusaha atau badan usaha besar yang omzet-nya bergantung pada proyek-proyek yang diluncurkan oleh pemerintah. Persaingan memperebutkan proyek ini bukan hanya soal kompetensi melainkan juga akses terhadap kekuasaan politik.

Akses bisa terbuka karena kedekatan, tetapi akses juga bisa dibuka dengan ‘kesepakatan-kesepakatan’. Banyak kesepakatan yang lahir sebelum sebuah proyek digarap. Ada kesepakatan baik, namun kesepakatan jahat tak kurang banyaknya. Kesepakatan baiknya tentu saja proyek ditujukan untuk pembangunan bangsa pada bidang tertentu, meningkatkan ekonomi, sumberdaya manusia dan lain sebagainya. Kesepakatan buruk, misalnya agar mutu proyek tetap baik, tapi fee juga bisa dibagi ke berbagai pihak, pengusaha dan penguasa sama-sama untung maka sejak awal harga proyek sudah dinaikkan alias di mark up.

Salah satu cara agar mark up tidak terlalu kentara, bukan hanya harga yang direkayasa melainkan juga proses atau tahapan pekerjaan yang dibuat berlarat-larat dalam dokumen proyeknya. Padahal tahapan-tahapan itu bisa saja dikerjakan sekali jalan, namun dipisah-pisah untuk membuat mata anggarannya tidak terlalu mencurigakan.

Praktek ‘pencurian’ uang seperti ini sudah lazim dan tentu saja para pemeriksa sudah tahu. Tapi apa boleh buat ‘niat’ mencuri sulit untuk diadili apabila tidak ada bukti-bukti fisik yang menyertainya. Jadi biarpun proyek dibuat berlarat-larat, kalau bukti administrasi dan transaksinya sah, ya pemeriksa bisa bilang apa, paling hanya rekomendasi agar kesempatan berikutnya proyek dijalankan lebih efisien.

Soal harta yang berlipat dengan kecepatan ‘supersonic’ tentu saja bukan kepunyaan Angie semata. Rata-rata legislator dengan amatan sekilas saja pasti akan memperlihatkan peningkatan kwalitas dan kwantitas hartanya secara bermakna. Ini tak hanya berlaku di DPR RI melainkan sampai ke DPR Propinsi, Kota dan Kabupaten. Seseorang yang sebelum menjadi anggota DPRD misalnya, ‘ogah’ membeli sepatu berharga 500 ribu keatas, kini kerap menyilangkan kaki saat duduk untuk menunjukkan sol sepatu yang berharga 5 juta. Tadinya tak doyan memakai jaket, kini biarpun panas menyenggat, jaket kulit berharga 3 juta tetap saja dipakainya.

Lantaran perbaikan ekonominya begitu kentara, tak heran jika kemudian anggota DPR kerap menjadi sasaran permintaan sumbangan entah dengan proposal maupun tidak. Ada banyak cara dilakukan oleh orang atau sekelompok orang untuk meminta bantuan uang dari anggota DPR. Mulai yang tanpa basa-basi, langsung todong dengan sapaan Pak Bos, Ketua, dan seterusnya sampai cara paling halus yang perlu kepekaan nurani untuk membaca tanda. Banyak yang memaksudkan undangan atau permintaan untuk menjadi pembicara terhadap anggota DPR, namun tujuan sebenarnya adalah meminta dukungan pendanaan.

Kerapnya anggota DPR ‘diminta-mintai’ membuat mereka menjadi tak bebas dalam bergerak. Setiap melihat atau bertemu orang terbayang dihadapannya adalah para peminta-minta. Dan sebenarnya anggota DPR sukai dimintai-mintai asalkan tidak membuat bolong kantongnya sendiri. Mekanisme ‘meminta-minta’ akhirnya diinstitusionalisasi lewat mekanisme reses dan aneka kunjungan terhadap masyarakat. Dalam pertemuan dengan konstituen itu biasanya anggota dewan akan berlagak “Kami ini wakil anda, maka wajib hukumnya membantu dan memfasilitasi apa yang menjadi kepentingan serta kebutuhan anda”.

Dan biasanya masyarakat akan ramai-ramai menyampaikan ‘aspirasi’ yang tak lebih dari daftar panjang kebutuhan belanja langsung yang nantinya akan dijelmakan menjadi proyek-proyek di tahun anggaran mendatang, atau kalau memang mendesak maka akan dilakukan perubahan pada anggaran pendapatan dan belanja yang sedang berlaku. Dan apabila rangkaian aspirasi dari reses bisa menjelma menjadi proyek maka legislator akan mendapat nama di mata konstituennya plus potensi pendapatan dari proyek-proyek itu. Penerima proyek harus tahu diri bagaimana sejarah proyek itu, dan sejarah itu tidak gratis.

Dengan memelihara konstituen terus sebagai ‘peminta-minta’ dan kemudian legislator bisa meloloskan permintaan itu maka pondasi untuk kembali dipilih entah dalam kedudukan yang sama atau lebih tinggi lagi telah dibangun oleh legislator. Potensi untuk terpilih kembali dalam pemilu mendatang lebih terbuka dan apabila terpilih kembali maka pundi-pundinya akan semakin membengkak, bahkan kemudian meluap hingga perlu ditampung dalam rekening pasangan dan anak-anaknya. Jadi jangan sedih dan marah jika kelak berurusan dengan KPK, rekening pasangan dan anak ikut serta diblokir.

Pondok Wiraguna, 11 Desember 2013
@yustinus_esha


Kontemplasi : HASTAG (15)

Rabu, 09 Januari 2013 0 komentar


#SayaJurnalisbukanPencariIklan
Surat terbuka seorang kawan.

Siang ini saya membaca surat terbuka yang ditulis seorang kawan untuk pabrik berita tempat dimana dia dulu bekerja. Dalam surat itu dia menuliskan alasan harus meninggalkan (keluar) dari tempat kerja yang sangat dicintai lantara praktek kerja yang menciderai prinsip dasar dari kerja produksi berita. “Saya Jurnalis bukan Pencari Iklan” demikian dia menjuduli surat terbukanya.

Surat itu sesungguhnya berisi pergulatan dari seseorang yang mencoba mempertahankan filosofi kerja seorang jurnalis. Jurnalis adalah pemburu berita, mencari dan menulis apa yang perlu diberitakan dan dibutuhkan oleh konsumen berita. Sebuah pekerjaan yang sebenarnya kian sulit saat ini ketika kantor berita dan media-media tumbuh menjadi industri untuk menghasilkan laba.

Pada industri media yang sudah mapan, barangkali reporter atau jurnalisnya bisa berkonsentrasi penuh untuk menghasilkan berita terbaik, berita yang sesuai dengan proyeksi pemberitaan tanpa dicampuri urusan untuk ikut ‘menghidupi’ perusahaan. Tapi jumlahnya tak banyak.

Kebanyakan media masih menempatkan awak pemberitaan dengan tugas-tugas tambahan yang bahkan kemudian menjadi tugas utama, yaitu mencari ‘klien’ pemasang berita dengan bayaran atau barter pembelian (koran atau majalah). Bukan rahasia lagi kalau banyak media hidup karena halaman (air time) kontrak. Yang semestinya diperlakukan sebagai halaman advetorial, namun karena rutin maka tak lagi ada ‘pagar api’. Halaman advetorial diperlakukan sama dengan pemberitaan biasa.

Lalu apa bedanya jurnalis dengan marketing kalau demikian, gugat kawan yang menulis surat terbuka tadi. Perusahaan justru memakai jurnalis untuk sekaligus bertindak sebagai marketing karena posisi jurnalis lebih menguntungkan dihadapan calon klien. Jurnalis bisa mempunyai daya tawar, posisi yang menekan dan kelebihan lainnya dibandingkan dengan marketing biasa. Memberdayakan jurnalis sebagai pencari iklan ibarat satu kali mendayung dua tiga pulau terlampaui.

Dalam pengelolaan perusahaan atau usaha praktek semacam ini bisa dianggap sebagai efisiensi, baik dari sisi keuangan maupun jumlah personel. Namun dari sisi filosofis dan etika jurnalisme, praktek ini adalah pengingkaran terhadap martabat dan kerja seorang jurnalis. Jurnalis sebagaimana guru, pengajar, dokter, ulama adalah profesi yang berdasarkan panggilan, pengabdian untuk meningkatkan martabat dan harkat manusia, bukan untuk mengeruk keuntungan, menjadi mesin dalam sebuah organisasi atau perusahaan.

Kreatifitas kerja seorang jurnalis bukan pada menghasilkan berita yang memberi pemasukan bagi perusahaan secara langsung, melainkan berita yang membuat orang loyal (konsumen media) dan akan terus mengakses pemberitaan. Loyalitas konsumen media pada gilirannya akan meningkatkan oplah dan potensi atau daya tawar media untuk para pemasang iklan. Jadi jurnalis bukanlah pencari iklan, melainkan lewat kerjanya membuat media menjadi terpercaya sehingga akan jadi pilihan pembaca juga pemasang iklan.

Maka saya memahami kegelisahan kawan yang akhirnya lebih memilih keluar dari pabrik berita tempatnya bekerja. Yang meski disesali karena keluar tidak dalam keadaan ‘baik-baik’ namun tentu saja akan melegakan dirinya, tidak membuat dirinya berada dalam persimpangan, pertentangan batin setiap hari. Apahalnya yang membuat sebuah badan usaha menilai kinerja jurnalis yang salah satunya adalah berdasar pada berapa income yang dihasilkan olehnya dari pemasang iklan dan berita?. 

Padahal para awak media, mulai dari level teratas hingga ke bawah pasti akan paham kalau jurnalis tidak boleh diintervensi dan dibebani kerja-kerja yang tak ada kaitannya dengan profesinya sebagai pencari dan penulis berita.

Saya yakin yang berada dalam persimpangan bukan hanya kawan saya tadi melainkan banyak juga jurnalis-jurnalis lainnya. Banyak orang menyuarakan kebenaran, mengenali ketidakbenaran namun ketika mempunyai dampak membahayakan karir, masa depan, pendapatan dan hal-hal lainnya maka lebih memilih untuk diam, menyimpan dalam hati, bergunjing di belakang sambil berharap keadaan akan berubah. Namun jika tidak perlahan-lahan mereka akan melakukan pemakluman, mencari alasan pembenaran untuk larut di dalamnya.

Namun kawan saya ini tidak memilih untuk diam, melainkan bersuara dan bertindak. Ketika semua yang disuarakan tidak mendapat tanggapan dan keadaan masih bertahan pada posisi yang menurutnya tidak sesuai, maka dia memilih untuk keluar. Keluar agar tidak menjadi bagian dari praktek yang menciderai nilai-nilai luhur dari profesinya.

Menjaga integritas memang bukan pekerjaan dan perjuangan yang mudah. Kukuh mempertahankan integritas banyak kali bermakna kita harus siap terpental dan bukan dikenang sebagai pemenang. Tapi integritas memang bukan soal menang atau kalah, melainkan berjalan dalam keselarasan antara nilai dan tindakan. Integritas tidak dikenali oleh orang lain melainkan pertama-tama oleh dirinya sendiri. Dan sesungguhnya banyak orang ‘kecil’ kukuh mempertahankan dan menjaga integritas dirinya tanpa harus memasang baliho besar dan berkoar-koar tentang pakta integritas.

Pondok Wiraguna, 10 Januari 2012
@yustinus_esha

Kontemplasi : HASTAG (14)

Selasa, 08 Januari 2013 0 komentar

Tahun Politik


Ada yang mengatakan tahun 2013 sebagai tahun politik. Istilah yang dimaksudkan untuk memproyeksi bahwa dinamika politik utamanya berkaitan dengan rezim pemilu akan mulai memanas. Pemilu 2014 kian mendekat dan semua organ politik yang punya kepentingan dengan pesta demokrasi itu mulai menginjak gas berpacu untuk melempangkan jalan kemenangan.

Demikian pula di Kalimantan Timur yang akan melakukan pemilu kada pada pertengahan akhir tahun 2013 nanti. Hanya saja dinamika menuju pemilukada sepertinya biasa-biasa. Berbulan-bulan lalu sempat memanas ketika Isran Noor mulai mejeng sana-sini termasuk sampai ‘blusukkan’ ke arena Indonesia Idol dan kemudian meluncurkan Isran Noor Centre. Sampai disitu dan kemudian menghilang. 

Ada juga mantan Pangdam, yang sewaktu masih menjabat ‘dirayu-rayu’ atau coba ‘dicomblangi’ oleh salah satu partai politik. Malu-malu awalnya, namun setelah meninggalkan bumi banua etam ini, sepertinya tergoda dan ingin kembali meminum air sungai Mahakam. Mulailah bergerilya namun belum nampak benar di permukaan.

Ada juga yang jauh-jauh hari menjajakan mukanya di baliho. Seperti biasa menebar keinginan dengan halus untuk menjaring pinangan dari pihak lainnya. Syukur-syukur kalau kemudian digandeng oleh calon dari partai lain. Dan sampai gambarnya memudar, sosok yang menebar senyum di baliho itu toh tak juga masuk dalam orbit calon pemimpin di Kalimantan Timur.

“Slow maar slack” begitu kata orang Manado, pelan tapi pasti. Incumbent baik gubernur maupun wakil gubernur yang masih menjabat. Petahana begitu istilah yang kini hendak dipopulerkan. Awalnya dikabarkan akan tetap bergandengan tangan menuju masa pemerintahan ke dua. Pernah terpasang sebuah baliho dari salah satu organ politik yang memberi dukungan kepada keduanya untuk terus maju bersama memimpin Kalimantan Timur. Baliho yang nampak mencolok dan dipasang kepagian itu tak lama lenyap dari pinggir jalan.

Sang wakil yang pondasi politiknya lemah nampaknya memang berharap untuk terus digandeng oleh pasangannya. Sebab untuk maju sendiri dan kemudian bersaing dengan bekas pasangannya tentu akan berat. Berat di dukungan dan juga berat di ongkos. Bukan rahasia lagi kalau naiknya ke kursi wakil gubernur yang sekarang didudukinya, ibarat ‘kejatuhan durian runtuh’. Nyaris tanpa bekal dan kerja keras.

Dan ternyata gubernur incumbent yang masih bernafsu untuk meneruskan ‘omong besarnya’ yang belum terbukti hasilnya, harus meneruskan kedudukan pada periode ke dua. Siapa tahu hal-hal besar yang direncanakannya akan bisa dicapai sehingga harum namanya. Namun bukan dengan mengandeng kembali wakilnya melainkan memilih calon wakil gubernur dari partai yang kini paling gencar memunculkan wajah ketua umumnya di televisi sebagai sahabat orang-orang kecil se Indonesia.

Gubernur incubent dan pasangan yang adalah pembesar partai politik besar sekarang menjadi satu-satunya calon yang paling jelas dan siap bertarung di pemilukada Kaltim 2013. Pasangan ini telah menjadi pasangan sah yang dicalonkan oleh partai pengusung yang tak perlu dukungan partai lainnya.

“Kada da saingan” begitu nampaknya keadaan menjelang pemilukada Kaltim 2013. Meski yang maju berpasangan adalah dua orang yang terbilang sudah ‘renta’, tapi nyali dari banyak orang yang kerap menganggap diri tokoh dan pemimpin di Kalimantan Timur belum juga kelihatan wujudnya.

Kelesuan juga menghinggapi partai-partai yang biasanya rajin bergerilya kanan-kiri. Menawarkan perahu atau sekedar dukungan yang pastinya akan berbuah imbalan. Nampaknya kini semua itu ‘macet’, tidak lagi mengalir lancar. Partai bahkan harus bekerja keras untuk memunculkan calon-calon baru yang belum jelas juntrungannya untuk melawan incumbent yang nampaknya berhasil menyakinkan warga Kalimantan Timur dengan rencana-rencana besarnya. Mengharapkan cipratan gizi dari incumbent yang sudah ditetapkan sebagai calon oleh partai besar tentu ibarat mengantang angin. Jangankan kepada partai lain, kepada partai pendukungnya saja belum tentu dia royal.

Jika suasana politik di tingkat nasional sudah mulai menunjukkan geliat panas, nampaknya di Kalimantan Timur akan adem ayem saja. Sepertinya isu pergantian pemimpin tidak menjadi perhatian publik. Entah, barangkali publik berkeyakinan dipimpin oleh siapapun Kalimantan Timur akan tetap begini atau begitu. Kondisi atau kehidupan di Kalimantan Timur tidak ditentukan oleh pemimpin. 

Semoga saja tidak begitu. Sebab dengan segala kemampuannya, sudah terlalu lama kelebihan Kalimantan Timur tidak digunakan untuk membangun dasar-dasar kehidupan yang bisa bertahan dalam waktu yang panjang. Sebut saja salah satunya, misalnya air bersih belum lagi kalau bicara listrik dan energi lainnya. Mestinya masyarakat Kalimantan Timur tak perlu menikmati gas dalam bentuk tabung, melainkan pipa-pipa yang langsung terhubung ke rumah-rumah. 

Namun memang tidak mudah memunculkan sosok pemimpin dalam waktu yang sekejap. Dan problem seperti ini selalu menjadi tantangan bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Meski kita mendasarkan diri pada sistem demokrasi, namun dalam urusan pemimpin tetap saja muncul patron-patron tertentu. Kepemimpinan kita tidak terlalu banyak berubah mulai dari jaman kerajaan, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila hingga Demokrasi multi partai dan pemilihan langsung.

Akibatnya hari demi hari harapan masyarakat kepada pemimpinnya semakin tipis. Girah kepemimpinan baru memang muncul dalam pemilukada Jakarta. Tapi “Jokowi Effect” kecil kemungkinan akan terjadi di Kaltim atau tempat lainnya di Indonesia. Jokowi Effect adalah peristiwa yang tak akan terulang dan sulit untuk ditiru dan dilestarikan. Sama persis dengan Leonell Messi yang meraih Ballon D’or untuk ke empat kalinya berturut-turut itu.

Padepokan Batu Lumpang, 8 Januari 2012
@yustinus_esha

Puisi Esai : Ziarah Tanpa Ujung

Senin, 07 Januari 2013 0 komentar


“Dulu air sungai ini jernih sekali,
dasar sungai dan ikan di dalamnya kelihatan dari sini.”.
Diarahkannya pandang ke batang sungai Berambai.
Amai Pesuhu[1] membabar kilas kisah hidupnya.

Batang kayu jembatan kian rapuh dimakan usia.
Berderit menyangga tubuh yang  makin  renta.
20 tahun sudah mengolah belukar ini.
Jalan dari Apokayan[2] hingga Berambai masih terus bergelombang.

Terbayang kala susah hidup disana.
Lamin mulai ditinggalkan karena pesan pembangunan.
Desa jadi sepi, harga-harga melambung tinggi.
Anak muda malu kalah gengsi.

Hanya besi bersayap yang singgah berkala.
Tiada jalan merayap di daratan.
Anak sungai mengular diantara rimbunan hutan.
Perlu berhari-hari hanya untuk sebongkah garam.

Dari Apokayan, semua berpencar.
Ada yang hingga Malaysia.
Ada tersinggah  Kutai Kartanegara.
Ada pula yang mencapai Samarinda.

Bukan hanya hitungan hari.
Bulan bahkan mencapai tahun.
Kaki terus melangkah.
Kanak dan tetua dibawa dalam pikulan.

Di beberapa tepian.
Kami bangun penyinggahan.
Berburu dan berladang sementara.
Menabung tenaga dan semangat untuk melangkah ke hilir sana.

Tak selalu mudah bertemu, hidup bersama orang lain.
Orang hutan itu sebutan kami.
Ada cerita dusta kalau kami berekor.
Gemar memuja roh-roh di pepohonan.

Mereka bilang kami kafir,
hanya karena tak menyebut-nyebut nama Tuhan.
Mereka bilang kami kafir,
hanya karena kami tak mempunyai kitab suci.[3]

Siapa bilang kami tak berjunjungan?.
Siapa bilang kami tak punya ajaran suci?.
Siapa bilang kami tak mempercayai dunia atas?.
Mengapa kami disebut animis primitif?[4].

Tiada benar kami memuja pohon.
Tiada benar kami percaya kekuatan batu.
Sejatinya hutan dan seisinya kami hormati.
Kami jaga selayaknya sebuah harga diri.

Hutan perlambang kehidupan.
Swalayan, supermarket penyedia segala kebutuhan.
Pohon tiada ditebang tanpa alasan kuat.
Ladang tak dipaksa terus menerus menghasilkan panen.

Bumi perlu sesekali istirahat.
Memulihkan duka dan luka.
Membiarkan apapun tumbuh diatasnya bebas.
Ladang berpindah[5], itu cara menghormati bumi.

Atas nama pembangunan.
Demi langkah mengejar kemajuan.
Modernisasi.
Mengejar ketertinggalan dari luar negeri.

Demi mengejar impian kemajuan.
Modernitas.
Sejahtera.
Keluar berpencar.

Mendekat kota.
Bukankah di kota semua kebutuhan lebih mudah didapat?.
Tapi sebenarnya kota tetap selalu jauh disana.
Di pinggiran dalam kami berlabuh.

Tetap kami masih dipandang udik.
Tetap kami disebut masyarakat terpencil.
Tanpa jalan aspal.
Tanpa angkutan umum.

Obyek dan bukan subyek.
Di agama kan.
Disatukan dalam sebuah pemukiman.
Dan hutan yang kami tinggalkan dibagi-bagi untuk pemegang HPH[6].

Bukan hanya tanah dan hutan yang hilang.
Kebudayaan fisik pun dihabisi.
Tatto dipandang sebagai budaya preman.
Telinga panjang diolok-olok sebagai sebuah keanehan.

Habis sudah harga diri.
Simbol dan artefak kebudayaan dirampas tangan penguasa.
Menghias gedung dan fasilitas kebanggaan kota.
Entah menjadi milik siapa?[7].

Kami adalah penanda tanah ini.
Identitas, jatidiri dan wajah nan tersurat.
Namun adab sesungguhnya telah mati.
Kami bahkan tak lagi memiliki diri kami sendiri.

Dari tanah terpencil , kemudian berdiam di tanah pinggir.
Memandang dari jauh hinggar binggar kota.
Pekik derita dan nestapa,
Tertelan dalam senyap kejauhan, makin pudar oleh deru pengeruk batubara.

Tahun 1990, rombongan 36 keluarga tiba.
Disambut belukar dan pokok-pokok tinggi.
Yang punya ngijin kami membuka belukarnya.
Ujar Amai Pesuhu mengingat kembali saat itu.

Hidup indah terbayang di mata.
Air berlimpah, tanah subur, sungai penuh dengan ikan.
Keberkahan terus tiba.
Tanah dan ladang diberi selembar tanda kepemilikan.

Dusun Berambai, menjadi bagian Bukit Pariaman.
Urusan semakin mudah.
Tak perlu bersampan dan berjalan kaki.
Demi selembar kertas bercap di Separi.

Pokok coklat tumbuh menantang langit.
Bunga mekar berbuah padat.
Panenan demi panenan.
Hidup kian tertata.

Tak ada angin tak ada hujan.
Buldozer membuka jalanan.
Lebar dan panjang perlambang keterbukaan.
Namun ternyata adalah petaka[8].

Tanah kami masuk konsesi tambang besar.
Amai menghela nafas panjang.
Hidup perlahan terancam.
Sungai kian coklat tanda pelumpuran.

Gemericik air dan lalu lalang ketinting,
Kicau dan kepak burung,
hilang terbuang.
Berganti deru pengangkut raksasa yang selalu bergegas.

Kebun kami terbelah.
Satu di sisi kanan.
Satu disisi kiri.
Debu di kala panas, limpas air lumpur di kala hujan.

Berpacu dengan waktu.
Kami ingin terus bertanam.
Perusahaan ingin segera menggali.
Kami harus bertahan.

Ke kebun kami ingin berladang.
Berarak membawa cangkul dan parang.
Mereka mengira kami hendak menghadang dan menghalang.
Se-peleton aparat bersenjata datang meradang.

Kami diam tak melawan.
Hanya sekedar mempertahankan tanah kami.
Kami ditangkapi.
Dikriminalisasi karena menghalang-halangi investasi.

Bermalam kami di balik jeruji[9].
Serasa mati berdiri.
Ancaman pasal demi pasal sungguh menakutkan.
Tak pernah kami berurusan dengan aparat yang tak ramah.

Sendiri.
Tak tahu pada siapa dan kemana mesti bersandar.
Banyak organisasi dan lembaga yang bervisi membela.
Hanya tiada yang datang menemani, mendampingi kami.

Aparat dan hukum jelas menakutkan.
Apalagi ditopang mesin investasi.
Uang dan kuasa mereka punya.
Penguasa membela dan berdiri di belakangnya.

Perusahaan kerap bernama,
Jaya, Sejahtera, Prima, Lestari juga Abadi.
Nama indah dan mulia,
Berpondasi nista, duka dan celaka bagi kami.

Otonomi dan reformasi hanyalah janji indah.
Kemandirian masyarakat lokal hanyalah candu.
Kami terpuruk di tanah sendiri.
Dalam iklim demokrasi berbaju reformasi.

Di mana keterbukaan?.
Kalau investasi datang dan ditentukan diam-diam?.
Bukan maling tapi perampok besar.
Menyingkirkan kami terang-terangan.

Dimana partisipasi.
Dimana kami bisa menentukan apa yang baik bagi kami.
Jika kemudian hanya karena selembar kertas,
mereka bisa seenaknya merusak dan merampas bumi kami.

Sudahlah kami yang tua ini.
Bagaimana dengan anak-anak dan cucu kami.
Lihatlah sekolah kosong, guru tak sudi lagi tinggal disini.
Rumah-rumah mulai dibiarkan, sebagian sudah berpindah.

Andai kami menyingkir dari sini.
Lagi..lagi kami akan kalah.
Berpindah dan terus berpindah.
Sampai kapan akan berakhir?.

Ini tanah kami, ladang kehidupan untuk masa depan.
Berlawan bukan tanda tak taat pada negara.
Ada hak kami tertulis diatas tanah ini.
Kalau bukan kami yang menjaga dan menghormatinya, lalu siapa lagi?.

Ditatapnya air sungai yang kian coklat.
Ikan hilang.
Perahu karam.
“Kulit gatal..tumbuh kudis kalau mandi disitu”, keluhnya dalam.

Sebenarnya hidup semakin sulit.
Jangankan menabung, makan hari ini saja belum tentu ada.
Dusun semakin muram.
Tiang-tiang lamin tak jadi dibangun berhias ilalang.

Sakit, sunyi, sendiri.
Biarlah duka ini tersimpan dalam di hati.
Tak ingin kami ribut,
apalagi mengamuk , bakar membakar, membabi buta.

Meski hati berontak.
Raga tersiksa.
Pikiran tak lagi tenang.
Tak sedikitpun makar terbersit.

Tak butuh lebih.
Cukup hargai, akui dan hormati hak kami.
Beri kami kepastian.
Bukan terombang-ambing dalam pusaran.

Amai duduk termenung.
Disenandungkan sebuah tembang.
Kita harus tetap bersatu,
meski berat beban yang harus dipikul.

Angkatlah ..angkat..biarpun berat.
Hanya inilah yang tersisa.
Jika ingin tetap bertahan dan menang.
Tak lagi mengayun kaki kelana.

Amai duduk termenung.
Riuh celoteh cucunya.
Memanjat-manjat pohon,
melompat ke batang air sungai.

Sebentar lagi mereka akan pergi.
Tak mungkin menuntut ilmu disini.
Meski sebenarnya tak tega,
membiarkan mereka pergi keluar sana.

Amai duduk tersenyum.
Cucunya datang membawai setangkai Ihai.
Buat manis yang masih tersisa.
Meski tinggal di pucuk tingginya.

Amai duduk tersenyum.
Cucunya masih bisa menari.
Bahkan ikut delegasi seni hingga luar negeri.
Walau budaya kini jadi komoditi.

Amai duduk tersenyum.
Masih terdengar bunyi lesung.
Alu berpadu.
Emping beris ketan penawar rindu.

Tinggal sedikit, selesailah kami.
Amai tak berniat tenggelam dalam keluh.
Tak bakal lagi ada yang bisa memahat.
Tak ada lagi yang menganyam Anjat.

Bocah-bocah itu lebih suka bermain gitar.
Ketimbang memetik Sampeg.
Bocah-bocah itu lebih suka bermain handphone.
Dari pada mengayun parang dan cangkul.

Bocah-bocah itu tak lagi tahu Balian.
Dedaunan bukan lagi obat.
Akar-akar tak lagi diseduh menambah semangat.
Pupur mengantikan lulur di wajah gadis-gadis.

Perubahan tak mesti harus ditolak.
Karena perubahan adalah keniscayaan.
Namun semua mesti dilandasi atas kesadaran.
Bukan dirampas dari genggam tangan.

Terlalu lama hidup kami ditentukan orang dan kekuasaan.
Amai tegas mengambil kesimpulan.
Dalam usianya yang kian senja.
Amai memutuskan untuk menentukan nasibnya sendiri.

Kebun umat, itu masa depan kami.
Berkumpul, bersekutu untuk bahu membahu.
Mengerjakan ladang kehidupan.
Memutuskan untuk tak lagi menyingkir.

Nyanyian Amai semakin perlahan.
Bocah-bocah lelah dalam peraduan.
Gelap mulai menyergap.
Desing dan kepak nyamuk keras  berirama.

Dua puluh tahun telah lewat.
Berambai semakin kusam.
Amai berniat dalam tekad.
Ini adalah tanah terakhir, persinggahan paripurna.

Samarinda, 24 Juni 2012. Pondok Batu Lumpang
@yustinus_esha


[1] Amai Pesuhu (71 tahun), salah satu tetua kampung Berambai, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara. Tahun 1990 bersama 36 kepala keluarga lainnya datang ke Berambai setelah bermukim di berbagai tempat. Salah satunya adalah lokasi proyek respen (resetlement penduduk) di Data Bilang.
[2] Wilayah Apokayan masuk di Kabupaten Bulungan. Dalam laporan majalah Tempo (24 Mei 1984) dengan judul ‘Desa-Desa Makin Sepi’ diungkapkan tentang fenomena perpindahan, migrasi penduduk keluar dari Kayan secara bergelombang, keluar dari sana menuju Kutai Kartanegara, Samarinda bahkan hingga ke Malaysia.
[3] Van Linden, seorang Antropolog Belanda pernah mengatakan bahwa nasib orang Dayak adalah dijajah, bukan memerintah. Senada dengan itu Magenda (1991) melukiskan betapa orang Dayak selama berabad-abad mengalami marjinalisasi dalam skala yang massif baik oleh kekuatan politik kolonial, nasional dan lokal.Citra populer sebagai kelompok yang ‘terkebelakang, primitif dan liar’ semakin memperparah marjinalisasi yang mereka derita.
[4] Setelah peristiwa G 30 S/PKI, Suku Dayak menjadi obyek untuk diagamakan. Mereka harus memilih untuk menganut agama resmi yang diakui negara, entah itu Muslim atau Kristen. Sekelompok masyarakat Dayak di wilayah Kalimantan Tengah tetap berupaya menjadikan kepercayaan adat mereka menjadi agama, namun tak berhasil. Hingga kemudian mereka menyebut diri sebagai penganut Agama Hindu (Kaharingan) dengan Panuturan sebagai kitabnya.
[5] Perladangan berpindah adalah salah satu cara masyarakat Dayak dalam menjaga daya dukung tanah (natural resources management). Mereka berladang secara alamiah sehingga penting untuk menjaga kesuburan alami tanah. Dengan berpindah mereka melakukan jeda tanam atas ladang mereka untuk kembali memulihkan kesuburan alamiahnya. Namun perladangan ini menjadi tidak populer karena dianggap memicu kebakaran hutan. Sistem ini juga tidak cocok dengan sistem kepemilikan individual dan menyulitkan pemberian hak penguasaan hutan kepada investor.
[6] Di masa orde baru masyarakat Dayak yang hidup dalam lamin (rumah panjang-rumah komunal) di beri rumah-rumah individual dan warga dalam berbagai Lamin disatukan dalam satu wilayah administratif (re grouping desa), serta diberi ladang menetap (seperti transmigran). Proyek ini mengeluarkan mereka dari wilayah hutan yang secara tradisional mereka kuasai. Hutan yang ditinggalkan kemudia dibagi-bagikan kepada para pemegang HPH untuk mengolahnya menjadi industri kayu.
[7] Artefak atau simbol-simbol kebudayaan Dayak (ragam hias, lamin,blawing) secara mencolok bisa ditemui dalam berbagai gedung dan fasilitas umum di Kalimantan Timur. Seolah warna kebudayaan Dayak sangat menonjol. Namun sesungguhnya semua hanya dalam bentuk benda-benda mati. Kebijakan yang berpihak pada kebudayaan yang hidup sangat tidak komprehensif. Warga dan kebudayaan Dayak terus menjadi obyek pembangunan terutama wisata.
[8] Wilayah dusun Berambai dan ladang mereka terkepung oleh lahan konsensi perusahaan tambang PT. Mahakam Sumber Jaya. Untuk masuk dusun berambai harus melalui jalan hauling yang selain berdebu juga berbahaya karena lalu lalang dump truk pengangkut batubara. Dusun ini seperti dusun terpencil, tanpa akses jalan masuk, tidak dialiri aliran listrik dan tak ada angkutan umum ke sana. Padahal jaraknya tidak terlalu jauh dari pusat pemerintahan Kabupaten Kutai Kartanegara.
[9] Aksi damai warga dusun Berambai berakhir dengan penangkapan sebagaian warga. Mereka dikriminalisasi dan hingga kini beberapa diantaranya berstatus sebagai tersangka. Mesti tidak ditahan tetapi mereka dikenai wajib lapor. Dan ini sungguh memberatkan karena mereka harus rutin bolak-balik ke Tenggarong yang tentu saja memerlukan biaya besar untuk ongkos kendaraan.

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum