• Blockquote

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Duis non justo nec auge

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (34)

Jumat, 28 September 2012 0 komentar

Tak Kaya Bukan Berarti Tak Bahagia

Siapa yang tak ingin kaya?. Secara nalar kalau seseorang tingkat kewarasannya masih tinggi maka pasti punya keinginan untuk kaya atau dalam bahasa para motivator dihaluskan menjadi sukses.

Saya tentu saja masih waras, namun justru karena kewarasan itu selalu saya berusaha menekan keinginan untuk menjadi kaya. Kenapa?. Tentu saja dengan nalar saya bisa mengukur kemampuan dan kesempatan pada diri saya untuk menjadi kaya. Dan menurut saya kemungkinan itu kecil. Pertama saya bukan berasal dari trah keluarga yang punya kemungkinan untuk memberi warisan berlimpah, ‘mak bleg’ dan sim salabim begitu dapat warisan lalu kaya. Kedua, dari pekerjaan yang saya jalani sekarang yaitu pekerja tidak tetap, artinya tidak punya pekerjaan tetap, jelas sulit bagi saya untuk menumpuk kekayaan. Ketiga, dilihat dari jaringan yang saya punya sulit pula rasanya ada teman, sahabat atau kenalan yang bisa memberikan pekerjaan atau proyek yang bakal langsung membuat saya kaya.

Dan sebenarnya masih banyak sebab-sebab lainnya yang bisa ditambahkan, tapi cukuplah tiga itu saja. Karena tidak mungkin menjadi kaya, maka cita-cita dan keinginan saya adalah menjadi bahagia. Tidak kaya dan bahagia, mungkin seperti bernada menghibur diri atau ngeles kata anak-anak sekarang. Tapi sesungguhnya tidak kaya namun bahagia tetaplah ilmiah dan bisa dibuktikan lewat berbagai penelitian.

Berbagai riset yang bertujuan membuat peringkat tentang negara terkaya, biasanya menempatkan Amerika Serikat di puncaknya. Kekayaan diukur dari pendapatan yang diperoleh oleh warga negaranya, bukan potensi kekayaan. Kalau bicara potensi kekayaan maka jelas Indonesia masuk dalam peringkat atas. Itu sebabnya Indonesia tidak termasuk negara kaya karena rata-rata pendapatan warganya rendah.

Riset lain yang membuat peringkat tentang negara terbahagia ternyata menempatkan Denmark pada peringkat atas. Indikator bahagia terkait dengan tingkat kepuasan warga atas kondisi atau situasi negaranya. Dan dalam kategori ini Amerika Serikat yang sering dibilang terkaya ternyata tak masuk dalam urutan 10 besar. Dari dua riset ini terbukti bahwa yang terkaya ternyata tidak secara otomatis terbahagia.

Dengan demikian tidak kaya namun bahagia bukanlah omong kosong belaka. Saya tidak tahu apakah Indonesia termasuk disurvey untuk urusan bahagia ini. Semoga tidak, karena kalau disurvey mungkin posisi Indonesia bahkan di luar peringkat 100. Coba apa yang membuat masyarakat Indonesia puas?.

Mulai saja dari hukum, kepastian atau kedaulatan hukum. Coba tanyakan pada mereka yang berperkara, pasti ketidakpuasan bukan hanya keluar dari mulut melainkan bisa nampak dari raut wajahnya. Belum lagi layanan publik, mulai yang paling dasar saja, air bersih misalnya. Kalau air dari PDAM bersih dan mencukupi kebutuhan niscaya banyak depor air isi ulang akan gulung tikar.

Soal energi, mulai dari listrik sampai bahan bakar minyak dan gas , apa pula kata masyarakat kita. Pasti kebanyakan akan bilang preett. Belum lagi kalau kita bicara soal korupsi, maka litani sumpah serapah ketidakpuasan akan dengan lancar keluar dari mulut masyarakat Indonesia. Tingginya angka kekerasan, kejahatan, tawuran, kericuhan, kemunculan kelompok radikal, banyaknya kelompok primordial, suburnya pelacuran, perceraian dan perselingkuhan, perkawinan dan kehamilan tidak dikehendaki, kekerasan dalam rumah tangga, traficking, kerusakan alam dan lingkungan, semarak peredaran obat bius dan seterusnya adalah bukti yang meyakinkan bahwa bangsa kita bukanlah bangsa yang bahagia.

Saya sendiri belum pernah ke Denmark jadi tak tahu bagaimana orang disana bisa menjadi orang yang bahagia.Tapi saya menduga lingkungan disana pasti bersih, udaranya bersih, jalanan bersih, air bersih, hidup menjadi lebih nyaman dan tenang, hari-hari serasa berekreasi. Jadi meski harus bekerja keras, kemungkinan hati tetap adem, ayem dan tentrem. Bahagia karena hati terjaga, tidak marah-marah karena jalan macet, tidak marah-marah karena got berbau apek, tidak marah-marah karena jalanan macet, tidak marah-marah karena bergerak sedikit saja sudah ada punggutan.

Menjaga hati memang penting seperti yang kerap disampaikan oleh AA Gym. Tapi di negeri ini, Indonesia tanah tumpah darah kita, menjaga hati itu adalah pekerjaan paling berat. Tapi sekali lagi meski berat saya tetap berusaha karena dengan mampu menjaga hati saya akan bahagia.

Salah satu cara saya untuk menjaga hati adalah dengan berhenti langganan koran. Konyol bukan, ya bahkan mungkin tolol. Tapi saya punya alasan kuat, pertama karena saya tak punya pekerjaan tetap maka di pagi hari aktivitas yang bisa membuat saya seolah-olah sibuk dan intelek adalah membaca koran.

Nah, dipagi yang seharusnya tenang dan masih segar, justru hati saya kerap mendidih gara-gara membolak-mbalik lembaran berita di koran. Banyak kali berita di koran membuat perjalanan hidup selama sehari dimulai dengan sumpah serapah, rasa marah. Hidup jadi tidak menarik, seperti malas memandang ke depan karena hampir tak ada berita yang menerbitkan harapan. Karena itu saya berhenti berlangganan koran sebab tak ingin mengalami hidup sebagai orang tidak kaya sekaligus tidak bahagia.

Mungkin ada yang bertanya, bukankah di rumah saya ada televisi juga dan berita di televisi tak juga jauh dari koran. Betul, tapi saluran televisi lebih banyak pilihannya, jadi kalau ada yang tak membuat diri saya bahagia saya bisa mencari saluran lainnya. Dengan banyaknya pilihan saluran maka tak susah untuk membuat layar televisi berisi sajian yang membahagiakan selama 24 jam.

Akhirnya meski saya setuju 100% dengan ajakan AA Gym untuk menjaga hati, namun saya bukan pengikutnya. Menurut saya kebahagiaan hati bukan hanya tanggungjawab diri kita belaka. Kebahagiaan tidak seratus persen ditentukan oleh olah spiritual diri kita sendiri, negara juga bertanggungjawab untuk membuat rakyatnya bahagia. Dengan demikian tugas terberat dari pemimpin adalah membuat rakyatnya bahagia.

Nah berkaca dari watak dan kwalitas pemimpin-pemimpin kita kecil rasanya mereka bisa membuat rakyatnya bahagia. Dari tampakkan mukanya saja kebanyakan pemimpin kita sulit membuktikan aura wajahnya adalah rupa yang bahagia.

 Dan terakhir sekali, tak lama lagi kita akan memilih kembali pemimpin yang baru, maka saya yang ingin hidup bahagia hanya akan punya satu kriteria dalam memilih. Calon yang akan saya pilih adalah yang berwajah bahagia.

Pondok Wiraguna, 27 Septermber 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (33)

0 komentar


Konflik Agraria

Di masa awal reformasi, konflik dan kekerasan cenderung berpusat pada beberapa daerah dengan intensitas kekerasan yang begitu tinggi. Kemudian perlahan-lahan konflik itu menyebar , sporadik, rutin dan spontan. Karaktek konflik juga semakin berwarna, jika dulu umumnya konflik berbau etnis maupun agama kini menjadi lebih beragam. Aktor konfliknya juga semakin beragam, jamak, kolektif, komunal dan kolegial dibanding aktor-aktor individu.

Memasuki tahun 2003, saya mulai menetap di Kalimantan Timur. Daerah yang digambarkan sebagai ‘gemah ripah loh jinawi’ dan ‘titi tentrem kerto raharjo’. Dan memang dibanding dengan Sulawesi Utara, terutama kota Manado tempat tinggal saya sebelumnya, di Samarinda saya dengan mudah menemukan kemewahan-kemewahan yang jarang saya lihat disana. Ambil contoh mobil misalnya, disini dengan mudah saya temukan Mobil Hummer, Ferrari, Porche, Aston Martin dan Mercy CSL Coupe berkeliaran di jalanan. Belum lagi mobil double gardan yang jarang saya temui di Manado, disini berhambur di jalan raya berlepotan debu.

Tapi saya tak hendak membahas betapa kayanya daerah ini dan sebagian penduduknya, melainkan persoalan terkait dengan konflik dan kekerasan. Samarinda dan Kalimantan Timur yang multi etnik, menurut saya relatif aman. Tak banyak gejolak terjadi disini. Sesekali terdengar dan terjadi konflik yang ditiupkan berbau etnis dan agama namun tak berkembang menjadi konflik yang masif. Entah apakah karena aparat cepat bertindak atau karena masyarakatnya ogah ‘gila urusan’ untuk ikut-ikutan berkelahi tanpa alasan. Namun selentingan disana-sini, daerah ini memang dijaga agar tetap ‘kondusif’ karena berkaitan dengan urusan ‘kantong’ orang-orang besar dan nasional.

Belum terlalu banyak daerah di Kalimantan Timur yang saya jelajahi benar-benar. Hanya saja dari berbagai cerita dan kabar yang menyakinkan, saya tahu bahwa daerah ini menyimpan potensi konflik yang besar terutama berkaitan dengan masalah lahan (tanah). Persoalan yang sebenarnya terjadi jauh sebelum masa reformasi, yaitu masa-masa awal orde baru. Banyak kelompok masyarakat adat di sini yang tentu saja saat itu masih solid, tergusur dan tersingkir dari tanah mereka demi alasan pembangunan dan modernisasi. Tentu saja kesadaran akan nilai “kapital’ tanah pada saat itu masih rendah, tanah adalah asset yang relatif bebas dari bayang-bayang ‘harga’ uang.

Dengan semakin derasnya arus investasi yang masuk dengan penguasaan lahan yang luas dan bercorak private maka mulailah ada kesadaran baru tentang ‘harga’ tanah. Tanah yang bukan sekedar bercorak ‘harga diri’ melainkan juga karena ada ‘harga ganti rugi’ yang tidak sedikit jumlahnya. Dan mulailah terjadi konflik dalam penguasaan dan pemilikan lahan. Konflik pertama-tama terjadi antara masyarakat dan pemerintah. Konflik yang terjadi karena berangkat dari pijakan yang berbeda soal hak milik. Pemerintah beranggapan bahwa tanah terutama hutan alami adalah milik negara, sementara masyarakat adat juga beranggapan pada hal yang sama. Satu tanah diklaim bersama dalam penguasaan yang tidak selalu sejalan.

Bahkan ketika tetap dibiarkan sebagai hutanpun, konflik tetap saja bisa terjadi. Karena pemerintah menentukan sebagai hutan lindung atau hutan konservasi sehingga ada pembatasan-pembatasan yang membuat masyarakat adat, yang mungkin saja telah turun temurun tinggal disana tak lagi leluasa untuk memanfaatkannya.

Belum lagi kalau kemudian pemerintah menyerahkan ‘hak miliknya’ kepada swasta atau investor sehingga hutan dibongkar, pohon-pohon dipotong, hutan menjadi rata dengan tanah hingga matahari bersinar semakin terang. Tentu saja masyarakat adat menjadi gerah, mereka yang dulu menjaga, namun orang lain yang kemudian memanennya dan mendatangkan kesengsaraan pada ‘pemilik’ tradisionalnya.

Di masa orde baru kegeraman, kemarahan dan sakit hati masyarakat adat akibat perampasan tanah dan lahan kehidupan mereka disimpan dalam-dalam. Saat itu tak mungkin mereka melawan regim yang apabila tidak senang bisa berlaku sangat kejam dan mengerakkan aparat untuk melawan segenap ketidakpuasan masyarakat. Siapa yang melawan dianggap menghambat pembangunan. Dan pembangunan adalah kata suci, siapapun yang melawan akan dianggap musuh negara yang segera akan ditumpas dan dibuat sengsara.

Apa yang dulu disimpan di masa pemerintahan yang represif kemudian muncul pada masa pasca reformasi. Perlawanan dan tuntutan untuk mengembalikan tanah yang dulu dirampas kini muncul dimana-mana. Keinginan untuk kembali mengambil hak atas tanah bukan semata-mata karena ‘harga diri’ melainkan juga karena harga tanah yang kian melambung tinggi. Tanah atau lahan pada saat ini adalah salah satu komoditi yang harganya terus meningkat berlipat-lipat.

Di Kalimantan Timur ada kurang lebih 700 kasus tumpang tindih lahan yang melibatkan baik perusahaan dengan perusahaan atau dengan masyarakat. Kasus yang jelas susah diurai dan ditemukan jalan pemecahannya. Semua bermula dari hukum dan administrasi pertanahan yang tak ditaati. Tanah atau lahan bukan semata komoditi material semata melainkan juga bertautan dengan politik dan kekuasaan.

Sengketa lahan apabila dibawa ke pengadilan akan memakan waktu yang lama, butuh tenaga yang besar dan mungkin juga dana yang tidak kecil. Tak heran banyak yang main jalan pintas entah dengan menggunakan uang atau kekuatan otot.

Di Samarinda dalam beberapa tahun belakangan ini telah terjadi konflik yang cukup besar dalam perebutan tanah. Masing-masing pihak yang merasa berhak mengerahkan gerombolan untuk mempertahankan dan merebut pada sisi yang lain. Peristiwa di Loa Duri membuat beberapa motor terbakar dan beberapa orang masuk rumah sakit karena terkena tebasan senjata tajam. Dan yang terakhir di Handil Bakti, satu orang meninggal akibat bentrokan antara warga dan kelompok yang dikerahkan untuk menjaga lahan.

Saya berani memastikan konflik lahan semakin hari berkobar. Sebab hampir tidak kelihatan upaya dari badan atau pihak yang diberi kuasa oleh negara untuk mengurus tanah, mengurai persoalan lahan secara terbuka. Rencana berkaitan dengan tata ruang dan wilayah juga dibahas diam-diam dan banyak mengandung titipan.

Tanpa kemauan politik yang besar dan kesediaan untuk mengikuti segenap peraturan serta perundangan secara konsekwen, maka sesungguhnya pemerintah dan para pihak yang berkepentingan tengah meletakkan bara dalam sekam. Dan kelak kita akan menuai konflik besar karena urusan lapar lahan.

Pondok Wiraguna, 25 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (32)

0 komentar

Antara Antri IPAD dan Bensin

Ketika masih duduk di bangku sekolah, libur kenaikan kelas adalah sebuah kegembiraan yang tidak terkira. Sebulan penuh tak akan duduk di bangku sekolah, bangun pagi, mandi dalam dingin, cepat-cepat sarapan agar tak terlambat datang ke sekolah. Saya biasa memanfaatkan waktu liburan secara maksimal dengan berlibur ke rumah nenek yang berjarak kurang lebih 10 kilo meter dari tempat tinggal saya. Jarak yang tidak jauh tapi karena kontur geografi dan minimnya angkutan ke sana, maka menempuh jarak itu adalah perjuangan. Sampai dengan kelas 6 SD, perjalanan ke rumah nenek saya separuhnya ditempuh dengan berjalan kaki, menapaki bebukitan dengan jalan berbatu dan disana-sini bercampur dengan tanah liat yang licin di kala hujan.

Perjalanan itu tak mungkin ditempuh tanpa istirahat, sebab banyak bawaan yang menyertai perjalanan itu. Yang terberat tentu saja satu buah jerigen berisi minyak tanah mengingat jaman itu listrik belum sampai kesana. Peristirahatan pertama adalah kilang penyulingan daun cengkeh. Air buangan yang ada di kolam limbah adalah parem yang dahsyat untuk mengurut kaki yang cenat-cenut karena pegal. Harum sulingan cengkeh membuat hidung kembali terasa lega bernafas dan siap kembali menempuh perjalanan yang masih jauh ke depan.

Peristirahatan kedua adalah warung Mbah Tilah, warung sederhana sebelum tanjakan Kalikotak yang dahsyat. Tanjakan yang tinggi, dikanan kiri adalah jurang lalu melewati sungai dan persis diujung jembatan ada belokkan yang juga menanjak. Kelak ketika jalan mulai diaspal, di daerah ini kerap terjadi kecelakaan karena mobil tak kuat menaiki tanjakkan hingga mundur dan berakhir di jurang.

Di warung Mbah Tilah biasanya saya minum limun untuk mengusir kehausan. Terkadang terasa lapar, tapi kalau makan dan kenyang maka pasti malas berjalan. Jadi untuk menganjal perut kalau tidak makan geblek panas, Mbah Tilah biasanya juga menyajikan tempe koro bacem. Tempe yang khas dan tak banyak orang membuatnya.

Ketika sudah mencapai warung Mbah Tilah, rumah nenek terasa sudah dekat meski sebenarnya masih cukup jauh. Limun dan tempe koro bengguk Mbah Tilah memacu semangat untuk cepat melangkah agar tidak terlalu sore tiba di rumah nenek. Jika terlalu sore maka badan akan mengigil ketika nenek memaksa mandi.

Tapi sebenarnya perjalanan ke rumah nenek tidak selalu harus seseru dan sesusah itu, terkadang jika bertepatan waktu atau bisa memberi kabar lebih dahulu, Pak Lik atau Pak De atau orang suruhannya akan menjemput di dekat kantor kecamatan, tempat terakhir kendaraan angkutan dengan kuda. Saya selalu bersorak jika dijemput dengan kuda, karena dengan cepat segera akan sampai ke rumah nenek.

Entah berapa umur nenek saya saat itu, yang pasti sudah sangat tua karena mulai terlihat gejala pikunnya. Nenek terkadang salah bumbu atau minyak saat memasak. Tak heran berkali-kali saya merasa makanan yang disajikan nenek beraroma dan berasa minyak tanah. Di luar urusan nenek yang mulai sedikit pikun, liburan di sana terasa sangat menyenangkan. Ada satu kebiasaan baik di rumah nenek, disaat sore hari sehabis mandi, semua akan berkumpul di ruang tengah untuk menikmati minum teh sore. Teh diseduh kental dan diminum ditemani kue, gorangan atau serpihan gula aren.

Disaat lega seperti itu nenek biasanya bercerita atau memberi nasehat kepada cucu-cucunya termasuk saya. Ya, hampir semua saudara bapak saya tinggal disekitar rumah nenek sehingga kalau berkumpul ramai sekali rasanya. Yang saya ingat, nenek selalu mengatakan betapa kami harus bersyukur bahwa hidup saat ini jauh lebih mudah ketimbang jaman bapak atau ibu saya kecil dulu.

Jaman itu semua serba terbatas, banyak kali harus mengantri ini dan itu serta belum tentu dapat. Saat itu saya tak punya gambaran sengsara soal ngantri. Seingat saya ketika ngantri tiket bioskop atau tontonan yang lain saya malah senang kalau berdesak-desakkan. Antrian yang panjang malah menyenangkan karena ramai.

Saya ingat persis ketika berlibur ke rumah kakek dan nenek dari garis ibu yang dekat stasiun, yang mana saya suka sekali berlibur disana saat menjelang lebaran karena stasiunnya ramai sekali. Dan biasanya saya bersama teman-teman sepermainan saat itu akan pergi ke stasiun menikmati keramaian, melihat segala sesuatu yang harus dilakukan dengan antri.

Kelak saya sadar dengan arti antri yang menyengsarakan ketika suatu masa saya mulai harus antri untuk memperoleh minyak tanah yang langka karena adanya rencana konversi. Hati terasa tak karuan ketika jerigen belum terisi sementara minyak di kompor yang ada di rumah sudah hampir kandas. Kemudian ketika antri bensin, saat di penjual eceranpun bensin menghilang. Bukan hanya capek, lelah dan jengkel tapi juga kekhawatiran yang dalam kalau tidak dapat. Esok mesti berjalan dengan apa kalau bensin di tangki motor kosong.

Di televisi dalam beberapa tahun terakhir ini saya juga menyaksikan antrian yang kerap mengiris hati. Ribuan orang berdesakkan hanya untuk satu paket sembako yang mungkin harganya tak lebih dari 50 ribu. Ironis, sebuah niat baik yang justru kerap berakhir dengan celaka. Sebegitu sengsaranyakah bangsa ini hingga demi selembar uang puluhan ribu, mereka rela berjibaku layaknya mempertahankan negeri dari serangan musuh.

Tapi di televisi pula bisa disaksikan kontras yang lain, antrian yang tak kalah panjang dari orang-orang yang kelebihan uang. Bahkan jauh sebelum loket atau outlet dibuka mereka sudah mengantri demi mendapat model gadget terbaru, demi mendapat selembar tiket konser bintang pujaan mereka yang datang dari seberang sana. Beruntung nenek saya tak lagi melihat antrian seperti ini sehingga tak perlu lagi mengkoreksi kisah, pengalaman dan nasehatnya untuk saya.

Dan pada akhirnya saya setuju pada apa yang diungkapkan oleh nenek bahwa sesungguhnya antri, apapun kepentingan dan perasaan yang ada di benak kita, sesungguhnya memang tidak mengenakkan.

Pondok Wiraguna, 26 September 2012 @yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (31)

Selasa, 25 September 2012 0 komentar

Unreal Reality Apa itu dunia?.

Sebuah pertanyaan yang kian hari kian sulit untuk menjawabnya. Masyarakat tradisional memandang dunia melalui kosmologi yang sederhana, yaitu dunia atas, tengah dan bawah. Dunia atas tempat bersemayam mahkluk yang suci (baik), dunia tengah tempat bersemayam mahkluk hidup (manusia dll) dan dunia bawah tempat bersemayam mahkluk yang jahat. Tentu saja pandangan itu tak diterima lagi, terlalu sederhana. Saya ingat sewaktu kecil, ketika ada lindu (gempa, tanah goyang) maka akan mengatakan bahwa naga (ular raksasa) yang dibawah sana tengah ‘ngulet’ bergerak untuk merenggangkan otot. Sebuah anggapan yang tidak terbukti karena pada akhirnya saya belajar bahwa gempa terjadi karena pergerakan patahan bumi dan juga karena pergerakan magma pada gunung berapi. Maka ada dua jenis gempa yaitu tektonik dan vulkanik.

Gambar perjalanan ke luar angkasa juga membuktikan bahwa di atas sana bukanlah tempat mahkluk-mahkluk nan mulia berterbangan. Tidak ada malaikat tak ada juga bidadari yang bersemayam di atas awan nan lembut. Ternyata awan yang kelihatan seperti kapas dari bumi, lembut sebagian mengandung setrom yang lebih dahsyat dari listrik di rumah. Yang terbang melayang-layang jauh diatas sana ternyata justru benda-benda meteorit yang keras dan mungkin saja panas. Benar bahwa langit, angkasa diatas kita berlapis-lapis seperti tingkatan dengan situasi dan kondisi yang berbeda-beda, namun surga tidak ada disana. Lapisan ke tujuh bukanlah surga yang tertinggi, melainkan daerah dengan kondisi yang sangat ektrim. Perkembangan dunia ilmu pengetahuan, teknologi baik komunikasi maupun transportasi membuat dunia menjadi jungkir balik. Membongkar ulang segenap pengetahuan dan kepercayaan kita selama ini akan realitas yang disebut dengan dunia. Apa yang kita percayai dulu kini tinggal menjadi mitos, cerita, dongeng bahkan khayalan tanpa dasar.

Namun seperti apakah realitas dunia baru, ternyata tak ada juga yang mampu mengambarkan secara cukup dan meyakinkan. Teknologi internet, pengideraan jarak jauh dan lain sebagainya, membawa kita pada realitas baru. Apa yang disebut dengan ‘real time’, apa yang terjadi apa yang kita lihat. What do you see, what do you get, begitulah realitas sekarang ini. Tapi apakah yang kita lihat itu adalah realitas yang sesungguhnya?. Siaran langsung kerusuhan misalnya yang ditayangkan melalui layar televisi apakah itu merupakan kejadian yang sebenarnya dan utuh?. Tidak, sebab yang kita lihat adalah apa yang disiarkan berdasarkan mata sang juru kamera. Mata yang melihat dari sudut pandang tertentu, memilih apa yang menurutnya pantas dan dapat disiarkan.

Dibelakang realitas itu ada pola pikir dan tujuan tertentu. Apa yang disajikan adalah apa yang dipilih. Para pemikir kontemporer memakai istilah pos realitas atau hyper realitas untuk menyebut kenyataan bahwa pengetahuan dan teknologi cenderung menghasilkan realitas artifisial, realitas buatan. Realitas yang meskipun menawarkan pengalaman dan penjelajahan yang baru tapi lepas dari kedekatan, sentuhan, keaslian dan warisan ajaran budaya serta religius yang selama ini menuntun kita. Kita kini kerap berada dalam realitas yang sesungguhnya bukan realitas, realitas seolah-olah, realitas yang tidak lengkap. Sewaktu duduk di bangku kuliah dulu, ada masa saya belajar tentang realitas.

Realitas adalah salah satu persoalan klasik yang dijelajahi, diperbincangkan dan dibahas oleh para filsuf mulai dari Plato hingga Heidegger. Apa itu realitas menjadi pertanyaan dasar?. Apakah realitas adalah fakta yang bisa ditangkap indera semata, sementara yang tidak maka disebut non realitas atau ide. Benarnkah realitas hanya bersifat fisik?. Bagaimana dengan hal yang obyektif namun tidak berwujud atau metafisik?. Apakah tidak bisa disebut sebagai realitas?. Benarkah hal-hal yang melampaui fisik (metafisis) bukanlah realitas?. Berbagai pandangan tentang realitas ini kemudian mengarah pada pemikiran materialisme dan idealisme tentang realitas. Hegel dan Kant kemudian memperbincangan realitas dalam posisi biner atau dualistik yang mengkonstruksi realitas atas dasar pasangan yang membedakan seperti antara zat/substansi, tuh/jiwa,fenomena/noumena,imanen/transenden, fisik/metafisik. Dimana realitas yang satu dianggap lebih tinggi dari realitas yang lain.

Realitas menjadi realitas subyektif dan obyektif, subyek bisa meniadakan realitas berdasarkan pilihan ini atau itu. Bukan ini atau bukan itu. Dunia berkembang dalam pandangan realitas diatas. Namun pandangan itu kini tak lagi cukup untuk melihat realitas perkembangan dunia yang tidak selalu linear dan berimbang. Lahirlah pemikir-pemikir baru yang saya sendiri tidak terlalu mempelajari. Pemikir garda depan tentang realitas yang populer adalah Jean Baudrillard dan Umberto Eco. Pemikiran mereka melampaui pemikiran dualisme realitas menuju apa yang disebut sebagai hyperealitas.

Pemikiran Baudrillard maupun Eco bukanlah pemikiran orisinil mereka, jauh dibelakang mereka ada beberapa pemikir yang mengulik problem tentang imitasi, replika, reproduksi dan seterusnya yaitu Walter Benjamin. Apa yang kemudian dilakukan oleh Baudrillards dan Eco adalah pemikiran tentang realitas sejaman, jaman yang sedang bergerak dan memang perlu dasar-dasar pemikiran baru sebab pemikiran lama tak lagi mencukupi. Entah benar atau salah, apa yang digagas Baudrillard dan Eco tetap menarik untuk diselami agar kita berjalan di dunia dengan penuh kesadaran akan realitas yang kita hadapi. Saya, anda dan kita adalah ciptaan yang kemudian menjadi pencipta, material yang menghasilkan material, realitas yang memperanakkan realitas.

Dunia hiburan misalnya adalah salah satu mesin produksi realitas yang bisa jadi membingungkan. Misalnya fenomena fans atau pengemar yang belum pernah ketemu bintang pujaan tapi seakan-akan mereka sangat dekat. Tak heran histeria akan terjadi kala bintang-bintang pop macam Justien Bieber dan Bintang K-pop mampir ke Jakarta. Berbagai acara reality show baik yang bertujuan untuk membintangkan (aneka idol) maupun yang mengedepankan faktor kasihan, keberuntungan dan sebagainya membuat pemirsa terbius, merasa dekat sesaat dan kemudian hilang tak berbekas, meski sebelum begitu histeris, menangis, senang dan sedih dengan sangat mendalam. Tapi semua bersifat temporer dan bisa menguap dengan cepat seperti awan tersaput angin. Tapi sejujurnya saya bukanlah Baudrillards dan Eco yang mampu menerangkan dengan berlarat-larat.

Saya adalah bagian dari segerombolan manusia yang terkadang bingung melihat realitas kesekitaran, terkadang larut namun terkadang mampu juga mengambil jarak. Dan menurut saya itulah realitas dunia yang sesungguhnya.

Pondok Wiraguna, 25 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (30)

0 komentar


Lebih Besar Mata dari Perut

“Berilah kami rejeki pada hari ini dan ampunilah kesalahan kami seperti kamipun mengampuni mereka yang bersalah kepada kami. Dan jangan masukkan kami dalam pencobaan tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat”.

Begitulah cuplikan doa Bapa Kami yang harus saya hafal sejak kecil dahulu. Doa itu berisi permintaan yang tidak muluk-muluk, bukan kekayaan yang diminta kepada Tuhan, tetapi rejeki yang cukup untuk hari ini. Permintaan akan hidup dalam satu hari ini berjalan dengan baik sebagaimana adanya hidup, tidak berlebihan tapi tak juga berkekurangan.

Doa dan juga ayat-ayat suci yang ada dalam Kitab Suci memang tidak mengajarkan sesuatu yang berlebihan. Tentu kita semua ingat pesan “Makanlah sebelum lapar dan berhentilah makan sebelum kenyang”. Pesan ini tentu saja bermakna sama yakni makanlah secukupnya. Perut yang terlalu lapar akan membuat mulut menjadi kalap. Sementara perut yang kekenyangan akan membuat badan menjadi tidak nyaman. Bukankah kita juga sering diingatkan oleh pepatah lebih besar mata dari pada perut. Maknanya mata memang melihat berbagai hal yang mungkin kita suka, tapi perut kita terbatas untuk menelan apa yang diinginkan oleh mata. Perut tak akan mampu menampung isi satu meja meski mata bergetar melihat nikmat dan lezatnya seisi meja.

Tapi dimasa kini kita tahu persis bahwa rejeki tak sekedar dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan perut semata. Akan ada banyak orang yang tidak perlu bekerja terlalu keras apabila yang ingin dipenuhi hanya kebutuhan perut. Meski perut menjadi alasan, dengan mengatakan seperti ‘ini adalah tempat kita mencari makan’ tapi kenyataannya tak begitu. Apakah perlu harus melakukan korupsi andai seorang bupati hanya mencari makan?.

Perut kita sudah mengalami komplikasi, karena tak sekedar butuh makanan yang lezat belaka. Kini perut bukan hanya menampung makanan tapi juga mereproduksi keinginan. Keinginan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan perut. Apa urusannya jika berhubungan dengan perut orang kemudian merampok bank, mengambil segepok uang yang akan membuatnya terkapar jika dibelikan makanan.

Hidup biasa-biasa saja nampaknya memang sudah tak enak lagi dan rejeki yang secukupnya tak membuat orang bahagia. Untuk menjadi bahagia sekarang ini perlu rejeki yang berlimpah, agar bisa membeli banyak hal yang kita inginkan. Kalau hanya makan nasi pecel, tahu tempe perut rasanya belum puas. Mulut agak susah mengunyah apabila makan malam tidak disertai dengan alunan lagu yang dimainkan oleh pianis di resto yang temaram. Hidup terasa indah apabila meja makan berhiaskan lilin dan sebotol anggur.

Episode makan memakan menjadi absurb. Bagi kebanyakan orang makan merupakan persoalan. Besok makan atau tidak, apa yang harus dimakan besok. Tapi bagi orang lainnya makan menyulitkan, bukan karena tidak mampu tetapi sulit untuk menentukan akan makan dimana, di resto apa, ditemani siapa dan menu istimewanya apa. Dan ada pula sebagian kecil orang yang sudah melewati semua makanan, tempat-tempat yang prestisius dan menu-menu nan luar biasa sulit penyebutannya, mereka inilah yang sibuk berpikir dan bertanya besok siapa lagi yang hendak dimakan?.

Sekali lagi urusan makan memakan tidak lagi sekedar urusan perut. Dibalik kegiatan makan ada kebutuhan badan, ada kebutuhan keinginan, ada gengsi tetapi juga ada kekuasaan. Pada masing-masing tingkatan, makan adalah ritualita yang berbeda.

Ah ternyata makan saja bikin bingung ya. Saya sendiri juga bingung urusan makan memakan ini. Terkadang saya begitu bernafsu, terkadang tidak. Terkadang saya suka ini dan itu , namun lain kali sama sekali tak mau.

Akan lebih baik dalam urusan ini kita kembali kepada Tuhan, bahwa Tuhanlah yang memberi kita rejeki sehingga kita bisa makan pada hari ini. Dan agar makan kita benar adanya, jangan hanya sekedar berkoalisi antara mata, mulut dan perut melainkan juga hati.

Pondok Wiraguna, 23 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (29)

0 komentar


Pendidikan Budi Pekerti

Dulu di sekolah ada pelajaran PMP, Pendidikan Moral Pancasila. Bagi teman-teman yang kurang ajar, PMP sering dipanjangkan menjadi Parlan Maling Pithik dan tentu saja teman saya yang kebetulan bernama Suparlan selalu bermuka tak enak saat ada mata pelajaran PMP.

PMP adalah jenis pendidikan yang masuk dalam bidang budi pekerti. Pelajaran ini kemudian menghilang dari bangku sekolah. Entah sekarang diganti apa, saya tidak tahu karena sudah lama saya tidak sekolah. Pelajaran budi pekerti memang bukan pelajaran yang sulit, tapi hasil pendidikan ini sulit untuk dinilai karena berhasil tidaknya pendidikan ini kelihatan pada amalan bukan pada nilai ujian.

Saya tidak tahu, apakah ada korelasi antara menghilangnya pendidikan budi pekerti dengan kenaikan perilaku tidak berbudi anak-anak usia sekolah saat ini. Lihat saja tawuran yang kini semakin marak dimana-mana, bukan cuma kejar-kejaran dengan tangan terkepal lagi melainkan dengan mengenggam parang, samurai, rantai berujung jeruji dan seterusnya.

Belum lagi ramai cerita anak menggila gara-gara alkohol dan zat adiktif lainnya yang membuat mereka kehilangan kontrol. Ada yang membunuh temannya hanya karena ingin mempunyai hp atau motor kawannya itu. Ada juga yang kemudian rame-rame memperkosa teman perempuannya. Masih banyak lagi cerita panjang yang menunjukkan betapa kita kini masuk dalam kondisi gawat darurat secara budi pekerti.

Masalahnya memang tidak lagi sederhana sekedar ada atau tidak ada pendidikan budi pekerti di sekolah. Pertanyaan justru adakah pendidikan untuk anak-anak itu meski notabene setiap hari mereka bersekolah. Apa yang mereka dapat disekolah, pendidikan jenis apa yang didapat dari orang tua atau justru mereka menimba ilmu dan pembelajaran dari media yang memuat berita dimana sebagaian besar berisi ketidaksenonohan orang-orang dewasa?.

Orang tua baik yang kaya maupun yang miskin, sama-sama bekerja keras dan lupa memperhatikan serta mendidik anak-anak mereka. Merasa sudah cukup menyekolahkannya. Dan bagi yang berlebih bisa menambah dengan les atau kursus disana-sini. Beban anak menjadi berat dan tak ada tempat untuk mengeluh. Silahkan lihat gaya anak-anak sekolah dasar saat ini, banyak yang pergi sekolah dengan menyeret koper layaknya pramugari mau terbang ke luar negeri. Terlalu banyak yang harus dipelajari.

Saya kadang merasa beruntung lahir di tahun 70-an, sehingga masih belum terlalu banyak gangguan. Andai di rumah ada televisi, acaranya juga tak semua menarik hati, lagi pula waktu itu televisi dirumah adalah tv hitam putih jadi lebih sering nampak sebagai barisan semut yang banyak sekali. Tapi cobalah anak-anak saat ini gangguannya luar biasa banyak. Puluhan channel televisi yang mengoda hati, HP, tablet dan internet. Belum lagi iklan-iklan yang mewajibkan untuk membeli paket makanan di toko-toko waralaba yang ada di mall-mall.

Fokus dan konsetrasi menjadi persoalan bagi anak-anak sekarang, sementara harapan orang tuanya begitu tinggi lantaran hidup semakin hari semakin sulit. Saya menyangka anak-anak sekarang mengalami stress sosial yang tinggi tinimbang jaman saya kecil dulu. Stress yang kemudian bisa meledak menjadi perilaku-perilaku yang tak terkendali dan cenderung membahayakan dirinya sendiri. Cobalah diberi motor, hampir semua anak akan memacu motornya seperti kesetanan meski di jalanan sempit sekalipun.

Lalu kalau ada kejadian siapa lagi yang disalahkan?. Ya tentu saja anak-anak itu, tak ada orang tua yang mau disalahkan karena anaknya brengsek. Tak ada masyarakat yang mau disalahkan karena orang-orang mudanya jadi berandalan semua. Tak ada lembaga pendidikan apapun yang mau disalahkan karena menghasilkan generasi yang tidak bermutu.

Pendidikan dan generasi bermutu adalah impian kita, yang mungkin hanya ditemukan di iklan-iklan saat penerimaan murid baru. Di luar itu dunia pendidikan berkutat dengan proyek-proyek yang lebih bertujuan untuk menghasilkan uang. Maka tak heran siapapun yang tak punya uang maka akan sulit sekali memperoleh pendidikan yang seolah-olah bermutu. Bermutu karena berstandar internasional, bermutu karena kepala sekolahnya orang barat, bermutu karena berada di kompleks elit dengan bangunan gagah dan megah.

Pondok Wiraguna, 24 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (28)

Minggu, 23 September 2012 0 komentar

Perubahan Tak Berarti Perbaikan

Bagi banyak orang kemenangan Jokowi atas Foke dalam putaran kedua Pilgub DKI tetaplah mengejutkan. Ada beragam analisa yang bisa dipakai untuk menerangkan kemenangan itu, meski tetaplah selalu tersisa ruang tanya, benarkah begitu?. Benarkah kemenangan itu karena sosok Jokowi itu istimewa. Sebenarnya tidak juga, prestasi Jokowi sebagai Walikota Solo tidaklah luar biasa atau masih wajar-wajar saja. Dan rasanya juga tidak benar bahwa Foke tidak menghasilkan apa-apa dalam kepemimpinannya sebagai gubernur DKI.

Sebenarnya memang agak sulit untuk menerangkan kenapa orang terpilih dan kenapa tidak. Kemenangan ala Jokowi sebenarnya juga terjadi di daerah-daerah lain. Sosok yang sebenarnya ‘underdog’ justru bisa memukul KO calon lain yang dalam berbagai aspek jauh lebih baik. Ada calon yang sebenarnya tak pernah sekolah dan tak punya pengalaman terlibat dalam politik bisa mengalahkan sosok muda, intelektual dan matang dalam dunia politik. Ada sosok yang jelas-jelas cacat secara moral dengan bukti yang meyakinkan bisa mengalahkan calon lain yang catatan hidupnya bersih. Bahkan seorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka atas kejahatan korupsi ternyata masih juga bisa menang telak, alhasil pelantikan harus dilaksanakan di kompleks Lapas.

Dalam kasus Jokowi barangkali pilihan masyarakat menunjukkan adanya keinginan untuk berubah, masyarakat sudah bosan dengan gaya kepemimpinan yang begitu-begitu saja. Maka dalam konteks pemilukada lainnya, kasus Jokowi menjadi susah ditiru, karena amat tergantung pada sosok, bukan pada ide atau gagasan-gagasannya.

Apa yang sering diungkapkan oleh Jokowi akan terasa amat sederhana untuk menghadapi persoalan Jakarta yang amat kompleks. Ingin sesuatu yang baru adalah keinginan yang asali dari manusia baik secara individual dan kolektif. Terpilihnya Obama sebagai Presiden Amerika Serikat tidak lepas dari faktor itu. Tim kampanye pemenangan Obama mampu mendorong munculnya keinginan akan ‘sesuatu yang baru’ pada publik pemilih Amerika. Oleh karenanya tag line yang dipilih adalah ‘Change’, perubahan.

Dan Jokowi bersama timnya atas salah satu cara memakai model itu juga. Jokowi dicitrakan sebagai sosok yang dekat dengan rakyat, mau berada dan bersama masyarakat. Kekuasaan tidak sebagai sesuatu yang sifatnya elitis melainkan kerja untuk rakyat. Masyarakat yang sudah terlalu lama melihat kekuasaan seperti berada dalam menara gading dengan sendirinya akan melihat sosok yang merakyat sebagai sesuatu yang baru, kesederhanaan justru menarik. Masyarakat sadar bahwa presiden, gubernur dan bupati tak perlu harus orang yang pandai. Yang terpenting bagi mereka adalah pemimpin yang mau hadir dan merasakan apa yang dialami oleh masyarakatnya sehingga mampu mengambil keputusan yang tepat.

Namun sesungguhnya persoalan pemilukada tidak sesederhana itu, seperti yang nampak di permukaan melalui berita. Dalam pemilukada di Indonesia, dibalik berbagai peristiwa kerap kali ada sosok-sosok yang tak terlihat namun sesungguhnya dialah yang menopang sosok tertentu yang maju dalam pemilukada. Calon kerap kali hanya merupakan ‘boneka’ dari para ‘king maker’ yang mempunyai kekuasaan tak terlihat namun menjerat entah karena kedudukan politik maupun uangnya yang berjimbun. Maka tak heran ada sosok yang tak begitu dikenal – padahal dalam pemilukada langsung keterkenalan itu penting – bisa menang mengalahkan sosok-sosok lain yang populer.

Kenapa?. Karena mempunyai sokongan uang yang berlimpah dari pihak-pihak yang berkepentingan pada kekuasaan. Berhadapan dengan uang, pemilih memang kemudian menjadi pragmatis, lebih memilih uang tinimbang program. Pemilih sadar benar bahwa program-program yang digembar-gemborkan oleh para calon dalam kampanye 90% tidak akan dilaksanakan. Bagi pemilih diprogramkan atau tidak, sebagai pemimpin atau kepala daerah siapapun yang terpilih pasti mereka harus melaksanakan hal itu.

Kembali ke soal kemenangan Jokowi yang bisa dikatakan monumental karena sosoknya. Maka pertanyaannya adakah ciri-ciri yang pemimpin yang hebat dalam diri Jokowi?. Entahlah, secara impresi tidak sebab dari berbagai tampilannya Jokowi terlihat ‘Slow” jika dibandingkan dengan gerak Jakarta yang serba cepat. Jadi ada baiknya kita bersabar, hanya yang pasti perbaikan selalu membutuhkan perubahan, namun apakah perubahan akan menghasilkan perbaikan, perlu waktu untuk membuktikannya.

Dan lagi-lagi di jaman reformasi ini dengan slogan perubahannya ternyata belum banyak perbaikan essensial yang dinikmati oleh masyarakat. Semoga ini tidak menjadi pengalaman warga Jakarta dibawah kepemimpinan Jokowi.

Pondok Wiraguna, 21 September 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (27)

0 komentar


Phobia : Benci Tanpa Alasan

Tak ada satupun ajaran di dunia ini yang membenarkan kebencian tanpa alasan. Meski demikian kebencian tanpa alasan tampaknya tetap subur bahkan beberapa berkembang menjadi sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan.  Bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang berdasar pada kebencian tanpa alasan muncul dalam bentuk genocide etnic cleansing, anti semit dan aneka phobia terhadap China, Kristen dan Islam.

Sadar atau tidak sejauh pengalaman saya, rasa benci atau ketidaksukaan kepada yang lain kerap kali diajarkan sejak kecil. Secara kolektif kita semua lewat pelajaran sejarah misalnya diajar untuk benci kepada Belanda yang dianggap menjajah Indonesia selama 350 tahun. Kemudian kita juga diajak membenci dengan sangat mendalam Partai Komunis Indonesia, bukan hanya lewat narasi tetapi juga visual yang sangat menonjolkan kekejaman mereka.

Dalam keluarga, dalam lingkungan pergaulan dan masyarakat tempat kita tinggal juga selalu menyimpan bibit-bibit kebencian terhadap ‘the others’, kebencian, salah pandangan yang kemudian diteruskan dan diwariskan kepada generasi berikutnya.

Saya lahir di sebuah desa kecil dan kemudian bersekolah di desa itu bergaul dengan teman yang itu-itu saja, menyimpan kebencian terhadap Cina. Bagi saya dan teman-teman waktu kecil, Cina itu pelit, hanya mau bergaul dengan sesama Cina (tertutup) dan mengambil banyak untuk dalam setiap transaksi. Akibatnya begitu masuk SMP, di Ibukota Kabupaten dengan teman yang beragam, saya jadi gagap. Bukan sekali dua kali saya memukul anak Cina tanpa alasan, asal merasa ada yang tidak menyenangkan dari saya segera saya layangkan pukulan. Konyol mengingat pengalaman waktu itu. 

Bahkan pernah sekali waktu saat jam pelajaran, saya memukul teman saya yang Cina dari belakang.
Namun saya sebenarnya juga pernah mengalami posisi sebagai korban kebencian tanpa alasan. Ketika masih SD saya berada dalam posisi minoritas secara agama. Saya menjadi murid satu-satunya yang beragama Kristen di sekolah. Entah sadar atau tidak, beberapa teman kerap mengata-ngatai saya, kalau mati akan disalib, kalau mati akan jadi babi dan seterusnya. Olok-olok yang jelas membuat saya tidak nyaman dan beberapa kali pernah berpikir untuk minta pindah sekolah.

Di sebelah rumah saya, ada beberapa janda tua dengan rumah besar, kelak saya tahu bahwa mbah-mbah kakung yang tidak saya kenal itu ternyata diasingkan ke pulau Buru karena dianggap tersangkut dengan PKI. Tak jauh dari rumah saya, ada seorang pemuda yang pintar kimia dan seni patung, tapi menganggur. Ternyata dia tak bisa bekerja karena ‘tidak bersih lingkungan’, ayahnya tersangkut dengan PKI. Kakaknya berhasil menduduki jabatan cukup tinggi di pemerintahan ternyata mesti rela untuk ‘tidak mengakui’ orang tuanya dan mendaftar sebagai anak orang lain.

Segenap pengalaman itu membuat sejak kecil saya menemukan bahwa ada banyak kebencian tanpa alasan. Kebencian yang tak hanya membuat perasaan tidak nyaman semata, melainkan juga kebencian yang cenderung ‘membunuh’ mereka-mereka yang tidak bersangkut paut sama sekali.

Kesemuanya membuat sejak dini saya berusaha menghadapi kebencian yang tidak beralasan bukan dengan kebencian. Saya sejak kecil adalah Kristen tapi saya hidup dalam lingkungan Islam, mulai dari keluarga paling dekat. Kakek nenek saya dari bapak maupun ibu adalah Islam, saudara-saudara bapak dan ibu sebagian besar adalah Islam, dan tetangga saya, kanan-kiri, muka –belakang adalah Islam. Dalam hubungan dengan keluarga dan tetangga dekat saya tak menemukan masalah. Tetangga sebelah saya, Mbah Kaji (Haji), rajin mengingatkan saya apabila saya tidak pergi sekolah minggu dan ke gereja. Pada hari raya bahkan keluarga sayalah yang pertama diberi hantaran. Setiap bulan puasa, saya juga selalu mendapat kiriman kolak dan sebagainya. Dalam banyak hal justru Mbah Kaji – lah yang merupakan ‘saudara’ terdekat dari keluarga saya.

Ketika saya membenci Cina di saat sekolah SMP, ternyata saya justru menemukan kebanyakan teman yang baik kepada saya adalah orang Cina. Saya bukan hanya berteman dengan mereka melainkan juga dengan keluarganya. Pengalaman yang kemudian membuat saya tak mudah untuk kembali jatuh ke dalam pengambaran yang salah terhadap orang atau kelompok lainnya.

Saya menyadari ketika jaman saya kecil dulu, kebencian tanpa alasan masih bisa dimaklumi sebab sistem informasi dan komunikasi belumlah secanggih dan terbuka seperti sekarang ini. Maka kurang pergaulan dan kurang pengetahuan kerap kali menjadi penyebab dari timbulnya benci tanpa alasan. 

Apa yang menjadi pengetahuan adalah informasi-informasi yang tersebar dari mulut ke mulut dan cenderung bias. Ketidakseimbangan informasi membuat munculnya stigma dan stereotype-steretype pada kelompok tertentu. Padahal pelit, tertutup, jorok, gampangan, tukang sogok, sombong dan sebagainya ternyata bukanlah sikap kelompok melainkan orang per orang, sehingga bisa mengenai siapa dan kelompok mana saja. Generalisasi tidak mungkin dilakukan untuk semua kelompok menyangkut sikap dan perilaku.

Sayang perkembangan dunia informasi, komunikasi dan transportasi tidak dengan sendirinya menghapus modus ‘kebencian tanpa alasan’. Dalam masa ini ternyata masih saja banyak orang dan kelompok yang ‘pede’ mengumbar pengetahuan yang sesungguhnya tidak benar dan bias. Bahkan muncul gerakan-gerakan kebencian tanpa alasan secara terbuka dan beraksi dengan kekerasan di ruang publik. Dan lagi-lagi kelompok bangsa, suku maupun agama tertentu terus menjadi korbannya.

Benar bahwa pengetahuan ternyata tidak selalu merubah perilaku. Kita kerap tidak mau meninggalkan pengetahuan yang lama dan jelas salah untuk kemudian menganti dengan pemahaman baru yang lebih benar. Dan bagi saya sikap seperti ini, meski kita hidup di jaman yang penuh kemajuan tapi kita tetap berlaku tak lebih baik dari keledai. Sebab konon keledai tak akan jatuh dalam lubang yang sama, dan apakah sebutan yang layak untuk kita, yang justru terus menerus secara sengaja menjebloskan diri dalam lubang yang sama.

Pondok Wiraguna, 22 September 2012
@yustinus_esha

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum