• Blockquote

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Duis non justo nec auge

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

Membangun Masyarakat Rasional

Kamis, 28 Juli 2011 0 komentar


Jika kita sedikit rajin menyaksikan atau membaca pemberitaan di media masa maka dengan segera kita bisa melihat fenomena menurunnya rasionalitas di ruang-ruang publik. Dalam kontes hubungan social kemasyarakatan, rasionalitas seakan ‘tereliminasi’ oleh aneka bentuk perilaku destruktif warga masyarakat dan perilaku elite politik yang selalu menonjolkan sifat berkuasa sehingga melawan logika kebenaran dan kejujuran.

Pada wilayah individu dan kelompok berbagai tindak kekerasan yang terjadi menampakkan gejala irrasionalitas yang akut. Orang tua bisa menyiksa anak-anaknya karena penyebab yang sepele. Perampok, pencoleng dan tukang palak semakin kejam dengan melakukan pembunuhan atau penyiksaan yang akibatnya tidak sebanding dengan ‘harta’ yang didapatkannya. Dalam hubungan percintaan dan atas nama cintapun seorang kekasih bisa melakukan kekerasan terhadap bunga hatinya. Sementara dalam wilayah kelompok, tawuran antar warga juga terjadi dimana-mana, pemaksaan kehendak pada kelompok lain, pengrusakan berbagai fasilitas baik pribadi maupun umum juga semakin kerap dilakukan oleh kelompok warga. Dan ini bisa terjadi karena perasaan suka atau tidak suka belaka. Unjuk rasa atau demonstrasi akhir-akhir ini juga kerap berubah menjadi ‘chaos’ yang akan memakan korban baik dari sisi demonstran, petugas keamanan, masyarakat umum dan fasilitas –fasilitas di sekitarnya.

Di tingkatan penyelenggara pemerintahan (elite politik) irasionalitas juga terus dipertontonkan dengan berbagai rencana kebijakan atau keputusan yang didasari oleh alasan-alasan yang keliru akibat minimnya animo elite politik dalam membela kepentingan rakyat kebanyakan. Ketika rakyat tengah menderita oleh berbagai bencana baik karena alam, lingkungan maupun kesehatan tiba-tiba harga BBM dinaikkan jauh melewati angka yang bisa dibayangkan oleh rakyat. Dan setelah itu pemerintah tidak mampu mengendalikan kenaikan berbagai kebutuhan pokok (penting) lainnya. Pemerintah memang berusaha mengkompensasi penderitaan rakyat dengan sumbangan tunai langsung, namun saat rakyat berebut untuk bisa mendapat tetesan dana itu, para elite politik (eksekutif dan legislative) juga berlomba untuk menaikkan angka tunjangan dan membengkakkan anggaran untuk kepentingan masing-masing. Alasannya tentu saja untuk meningkatkan ‘service’ pada konstituen atau rakyatnya.

Jika cita-cita luhur dari kemerdekaan Indonesia adalah menjadikan segenap warga bangsa ini sebagai mahkluk yang bermartabat dan sejahtera melalui segenap ‘kekayaan’ yang dianugerahkan Sang Pencipta kepada bangsa ini, maka virus irrasionalitas yang berkembang di wilayah publik ini niscaya merupakan ancaman terbesar untuk mencapai cita-cita itu. Kekerasan dalam arti yang seluas-luasnya adalah ancaman terbesar bagi kemanusiaan dan masa depan bangsa ini. Perilaku irrasional yang dicerminkan lewat berbagai kekerasan oleh berbagai komponen bangsa merujuk pada situasi bahwa bangsa ini tengah mempertontonkan perilaku penghancuran dirinya sendiri. Dalam pandangan Aristotelian, bangsa ini kini tengah menunjukkan nafsu binatangisme. Aristoteles mengatakan bahwa apa yang membedakan manusia dengan binatang adalah akal budi. Seorang manusia akan bertindak dan berucap karena atas pertimbangan akal budi, sebuah pertimbangan yang tak lepas dari nilai-nilai (kekayaan social dan cultural) yang berlaku umum di masyarakatnya. Dengan demikian pertimbangan tidak semata-mata karena daya pikir melainkan juga didasari atas kejernihan qalbu (nilai-nilai etik); dan semua ini tidak dimiliki oleh binatang.
Maka bagi Aristoteles, manusia dalam kedudukannya sebagai individu maupun kelompok yang tidak mengedepankan hal itu telah memposisikan dirinya sama dengan binatang.

Binatang adalah sejenis mahkluk yang ‘menghalalkan’ perilaku saling memakan untuk mempertahankan kehidupannya. Dan jika ini diterapkan kepada manusia maka akan senada dengan apa yang dikatakan oleh Thomas Hobbes dengan istilah ‘homo homini lupus’. Sebuah istilah yang mengambarkan bahwa orang lain tidak dihargai sebagai sesama manusia melainkan bagai serigala yang harus dibunuh. Dan seandainya saat ini Thomas Hobbes masih hidup dan menyaksikan apa yang terjadi dalam masyarakat kita maka bukan tidak mungkin baginya untuk kembali mengatakan hal yang sama.

Tentu saja pernyataan diatas tidak hendak mengatakan bahwa seluruh warga bangsa berkarakter ‘lupus’. Sebab pada saat yang sama banyak pula elemen bangsa telah membuat kebulatan tekad untuk melawan gejala ‘lupusisme’ ini dengan berupaya meninggalkan kebiasaan buruk dan mulai menumbuhkan kultur baru. Berbagai bentuk legislasi, pembentukan lembaga-lembaga kuasi negara dan munculnya kelompok-kelompok watch dog merujuk adanya perkembangan adanya keinginan besar untuk membangun ‘habitus baru’ baik dalam ranah budaya, social dan tata pemerintahan. Pembentukan habitus baru yang berpijak pada rasionalitas ini merupakan titik pijak dalam pembangunan sumber daya manusia Indonesia agar mempunyai kwalitas kemanusiaan yang unggul hingga pada akhirnya akan mengantar Indonesia menjadi bangsa yang bermutu.

Kita tidak pernah akan menjadi bangsa yang bermutu apabila masyarakat kita terdiri atas individu-individu yang tidak berbobot. Maka segala macam kebiasaan seperti ketidakjujuran, ketertutupan, keserakahan, sikap mau menang sendiri alias politik pokoknya yang akhirnya akan bermuara pada kekerasan, harus segera di ‘eliminasi’ agar tidak kembali bernyanyi di panggung kehidupan bangsa ini. Erich Fromm pernah menyatakan bahwa masyarakat yang sehat akan terbentuk kalau dalam wilayah publik rasionalitas mendapat tempat yang seluas-luasnya. Karena itu mengedepankan dan mempraktekkan rasionalitas sebagai ‘idol’ untuk menghadapi segenap persoalan bangsa ini (individu maupun kelompok) adalah sebuah urgensi untuk memperbaiki keterpurukan kita. Bersama kita bisa membangun masyarakat rasional.

Pertambangan dan Penghancuran Berkelanjutan

0 komentar


Aksi demo dan blokade masyarakat atas keberadaan dan operasi maskapai pertambangan menunjukkan bahwa ekplorasi dan eksploitasi mineral di Indonesia oleh perusahaan multidolar memang menimbulkan berbagai persoalan baik dari sisi ekonomi, social, politik, budaya dan lingkungan. Hampir semua perusahaan tambang transnasional yang beroperasi di Indonesia pernah atau bahkan sering mengalami kasus serupa.

Dan sebagaimana biasanya jika ada situasi dimana rakyat miskin harus berhadapan dengan sebuah badan multidollar maka kita segera akan berkubang dan terjebak di tengah keramaian polemik para pakar (nirlaba, bayaran, pakar-pakaran atau entah) dan kemudian ditutup komentar state aparatus yang salah tingkah. Padahal sudah jelas dan terang bahwa operasi dari tambang transnasional pasti menimbulkan dampak dalam bentuk :
• Tergusurnya masyarakat local (biasanya masyarakat Adat) dari tempat mereka menimba kehidupan entah itu tanah, gunung, sungai, situs budaya-religius dan sumber daya lainnya karena wilayah-wilayah tersebut masuk dalam area konsensi yang luasnya bisa ribuan hektar.
• Operasi dalam bentuk pengerukan akan merusak keanekaragaman hayati yang ada di wilayah tambang tersebut.
• Pengolahan konsentrat sumber mineral akan menghasilkan limbah yang sangat besar, bisa jadi beracun sehingga secara permanen akan menimbulkan kerusakan dan kehancuran lingkungan termasuk berpotensi mengancam kesehatan masyarakat dan mahkluk hidup lainnya di sekitar daerah tambang.
• Meski sumbangan uang dari sector tambang selalu digembar-gemborkan sangat besar namun jika dibandingkan dengan kerusakan yang ditimbulkan maka dalam jangka panjang keuntungan ekonomis ini menjadi tidak sebanding dengan kerugian akibat kerusakan dan kehancuran alam yang ditimbulkan olehnya.
• Operasi tambang transnasional yang sering dikatakan sebagai industri strategis maka operasinya akan dilindungi oleh otoritas keamanan dengan menempatkan resimen keamanan khusus di wilayah pertambangan. Alhasil jika terjadi konflik dengan masyarakat maka reaksi atau resolusi atas konflik kerap dalam bentuk-bentuk yang melanggar hak asasi warga dan bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Fakta-fakta diatas bukannya tidak direspon oleh kelompok industri tambang transnasional, karena dalam berbagai kampanye mereka terus berusaha memperbaiki citra seperti menyatakan telah memakai dan mengembangkan teknologi yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Namun kita tetap tidak bisa memungkiri bahwa pertambangan di negara yang tergolong rendah perhatiannya pada masalah lingkungan dan tidak mempunyai standar lingkungan yang baik, tetap dan terus menerus masih saja memberi dampak yang buruk bagi masyarakat dan lingkungan di sekitar area pertambangan.

Indonesia, negeri kita yang sangat kaya mineral ini merupakan salah satu contoh dimana eksploitasi dan eksplorasi mineral berlangsung tanpa diimbangi oleh sistem dan peraturan yang memadai. Kenapa ini terjadi?. Sebagai negeri yang kaya akan sumber-sumber mineral, maka Indonesia bisa diibaratkan sebagai bunga dengan madu yang menarik hati lebah untuk mengerubunginya. Sayang meski terhitung sebagai negara yang kaya akan sumberdaya alam, namun selalu terlilit kesulitan untuk memenuhi kebutuhan bagi penyelenggaraan negara atau pemerintahan. Dalam kondisi ini maka dibutuhkan sejumlah investor besar untuk mengamankan neraca keuangan lewat pemasukan yang diperoleh dari aktivitas para investor disini. Semangat untuk memperoleh uang dalam jumlah besar, segera dan tanpa modal kecuali sumber-sumber mineral membuat kita jatuh dalam perilaku eksploitatif yang berlebihan. Jual murah dan jual habis semua sumber-sumber mineral yang memungkinkan untuk memberi pemasukan bagi pemerintah akhirnya menjadi warna yang kental dalam kebijakan pertambangan di negeri ini. Ibarat kata, membiarkan sumber-sumber mineral tetap bersemayam di perut bumi adalah tabu dan dosa hukumnya.

Kondisi seperti ini tak pelak lagi mengundang masuknya serbuan investor asing dalam bentuk maskapai pertambangan besar. Sebuah badan yang tidak semata-mata mereprentasikan pemilik modal tetapi juga negara dan pemerintah dari mana maskapai pertambangan ini berasal. Maka tak heran jika mereka mempunyai kekuatan yang sangat baik baik dari sisi modal keuangan maupun politik. Atau dalam pandangan Aji Sofyan Effendi (News Analysis, Tribun 13 Maret 2006), perusahaan-perusahaan tambang transnasional ini hadir tidak sekedar berusaha dalam sector ekonomi semata, melainkan dalam bentuk korporatokrasi. Mereka hadir sebagai bagian dari sebuah sistem liberalisasi dalam kepemilikan dan pengelolaan sumberdaya alam. Momentum protes dan gugatan dari masyarakat Papua terhadap Freeport dan yang kemudian diikuti oleh masyarakat Lombok Barat pada Newmont serta masyarakat lain terhadap perusahaan-perusahaan lain sebelumnya bisa membangunkan para aktor penyelenggara negara dari perspektif ‘terlena’ oleh ketersediaan kekayaan sumber daya alam kita.

Pemerintah mungkin bisa berkilah bahwa operasi maskapai tambang internasional ini memberi kontribusi yang besar bagi pemasukan negara. Namun besaran kontribusi ini tidak bisa dipakai sebagai alasan untuk tetap mempertahankan keberadaan mereka karena pada kenyataannya kontribusi yang besar itu hanyalah bagian kecil dari keuntungan yang dibawa keluar. Operasi tambang internasional di Indonesia tak lepas dari dukungan keuangan dari lembaga-lembaga keuangan internasional yang sahamnya juga dimiliki oleh pemerintah mereka. Dengan demikian perusahaan tambang internasional ini terikat untuk mengembalikan dukungan itu plus keuntungannya termasuk didalamnya adalah pembelian barang-barang belanja untuk operasi pertambangan lewat fasilitas import. Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh Price Waterhouse Coopers (PWC) pernah dinyatakan bahwa pembelanjaan yang dilakukan oleh pertambangan besar di Indonesia mencapai hampir 95,3 % untuk pembelian lewat import. Ini berarti uang yang ditangguk lewat operasi pertambangan itu mengalir kembali ke kantong negara asing dan hanya 4,7% sisanya yang tinggal di dalam negeri.

Jadi rasanya aneh jika industri keruk (termasuk sedot) mineral oleh maskapai-maskapai pertambangan asing ini tetap dipandang sebagai primadona oleh pemerintah kita. Toh, angka sumbangan yang sepintas sangat besar ternyata tidak sebanding dengan jumlah keuntungan yang dinikmati oleh perusahaan penambang, perusahaan pendukung lainnya plus negara dan pemerintah dimana perusahaan itu berasal. Belum lagi jika sumbangan yang diberikan itu dibandingkan dengan kehancuran lingkungan akibat operasi tambang maka mempertahankan eksistensi maskapai pertambangan internasional di negeri ini ibarat kita tengah mengandaikan nasib generasi yang akan datang dengan harga yang amat-amat murah.

Adalah tidak salah jika sebagian besar dari kita masih beranggapan bahwa bumi Nusantara ini adalah sebuah berkah karena dilimpahi sumberdaya alam yang sangat kaya dan beragam. Namun mestinya kita harus segera membuka mata atas kenyataan bahwa sebagian besar kekayaan itu kini telah musnah dan punah akibat operasi perusahaan tambang internasional. Maskapai yang sering kita pandang sebagai perusahan yang transparan, peduli lingkungan, dan beroperasi atas standard dan sertifikasi lingkungan yang amat ketat. Padahal sepak terjang mereka dibalik ‘kemegahan dan kebersihannya’ amat sering kotor luar biasa. Sogok menyogok bukanlah praktek yang dihindari oleh mereka apalagi ketika berhadapan dengan kasus-kasus yang menuntut kemenangan untuk mempertahankan kredibilitas mereka. Akibatnya kita yang menyangka diri masih begitu kaya dengan sumberdaya alam, hanya tumbuh menjadi pasar (bagi sumberdaya alam kita sendiri) tanpa kapasitas produktif yang tangguh. Industri kita kerap kali tidak lebih dari industri makelar, yang memproduksi sesuatu sesuai pesanan yang kemudian mudah saja ditolak apabila tak sesuai. Padahal peran industri dan maskapai lokal yang kuat amat penting terutama karena sekarang ini peran-peran korektif negara perlahan-lahan mulai disikat abis oleh tuntutan pelaku pasar dunia.

Lantas, bagaimanakah agar sumberdaya alam tetap menjadi ‘berkah’ bukan sebuah ‘kutuk’ karena operasi industri keruk (termasuk sedot) yang destruktif sehingga berpotensi menimbulkan bencana ekologis?. Mungkinkah kita merubahnya?. Mungkin saja, asalkan demokratisasi yang semakin bisa berkerja bisa membuka ‘akses dan kontrol’ bagi masyarakat luas atas kekayaan sumberdaya alam di wilayahnya. Sejalan dengan itu upaya untuk meringkus para calo, makelar, pemburu rente dan pencari surplus efisiensi pasar harus terus digiatkan sembari mendewasakan kita semua agar mampu mengelola dan mengolah sumberdaya alam secara bijaksana dan berkelanjutan. Kekayaan sumberdaya alam memang seharusnya tidak boleh menjadi kutuk. Karena itu kita tidak boleh abai akan suara-suara saudara kita yang tenggelam dalam terjangan air bercampur lumpur karena lenyapnya daerah resapan air, mati kelaparan karena sumber-sumber kehidupan mereka digusur, mandi, minum air serta menghirup udara yang tercemar; dan sebagian lagi tengah berjuang untuk hidup di hamparan laut yang menjadi tempat buangan berton-ton limbah tailing setiap harinya.

Rasisme Budaya dan Korupsi : Wajah Politik Porno Kita

0 komentar

Untuk mengugat kompetensi orang-orang yang duduk di Akademi Jakarta (AJ) dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), beberapa waktu lalu FBR, Forkabi dan elemen masyarakat Betawi lainnya ‘ngeronda’ ke Kompleks Taman Ismail Marzuki. Rame-rame ini dibuka dengan orasi untuk ‘manasin’ suasana yang intinya menyatakan bahwa TIM adalah milik warga Betawi, nama TIM sendiri mencerminkan hal itu karena diambil dari nama komposer kenamaan, kebanggaan masyarakat Betawi. Tetapi kini di TIM bercokol orang-orang yang hanya ‘merujak’ anggaran dari Pemda DKI tetapi tak peduli pada kesenian (juga kebudayaan) Betawi. Dan bagi para peronda ini merupakan sikap kurang ajar, maka sang orator dengan tegas berteriak “…..yang kurang ajar!!”, “Kudu di ajar bang!” jawab peserta aksi serempak. Dan sepanjang aksi pengurus AJ dan DKJ diajar dengan sumpah serapah peserta aksi. Salah satu orator yang diklaim sebagai Budayawan Betawi bahkan memimpin doa yang meminta pada Tuhan untuk menjatuhkan azab berupa sakratul maut selama 4 tahun sebelum mereka mati dan seterusnya. Dinding-dinding di salah satu gedung dalam kompleks TIM juga tak luput dari hajaran cat yang berisi sumpah serapah. Dan entah apa hubungannya tapi di dinding muncul coretan JIL (Jaringan Islam Liberal) dan Yahudi yang juga turut dilaknat.

Aspirasi yang hendak disampaikan oleh elemen masyarakat Betawi tersebut mungkin merupakan cermin dari keterdesakan kebudayaan Betawi dalam ‘pertarungan budaya’ dengan budaya-budaya lain di Jakarta. Dan AJ juga DKJ dipandang sebagai kelompok yang turut mendesak budaya Betawi ke pinggiran karena yang duduk didalamnya adalah orang-orang yang tidak mengerti sekaligus tidak peduli kepada kebudayaan Betawi. Sehingga jalan pemecahannya adalah AJ dan DKJ diserahkan kembali kepada masyarakat Betawi. Lepas dari apakah jalan pemecahan itu benar atau salah, namun aspirasi seperti itu bisa dipahami. Namun apa yang sulit dipahami adalah cara mereka dalam beraksi. Ada sebuah kontradiksi dalam aksi, dimana mereka bersuara untuk memperjuangkan kebudayaan dengan cara yang tidak berbudaya. Jika aksi ini dikategorikan sebagai politik budaya Betawi (atau mengatasnamakan Betawi) maka sesungguhnya aksi ini justru membongkar kebobrokan politik yang hanya mengedepankan etika individu dan kelompok sambil menafikan etika social dan membawa korban orang (barang atau fasilitas) yang sebenarnya tidak tersangkut dengan apa yang dipersoalkan. Dalam bahasa Yves Michaud dalam Violence et Politique (1978) disebut secara sarkatis sebagai ‘politik porno’ karena mengenakan prinsip ‘tujuan menghalalkan cara’.


Jadi meski FBR (Forum Betawi Rempug) termasuk salah satu organ yang getol mengawal ‘RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi’ tapi nyatanya justru mempraktekkan politik porno. Aksi di TIM seperti yang diceritakan diatas adalah sekedar ilustrasi untuk menunjukkan bahwa politik porno atau dalam bahasa Haryatmoko (Etika Politik dan Kekuasaan – 2003) dikatakan sebagai manajemen kekerasan sebagai cara efisien dan handal; saat ini bisa dikatakan merupakan wajah dari dunia politik kita baik politik masyarakat sipil, sector swasta maupun penyelenggara negara. Dengan mudah kita bisa melihat betapa kasa dan tidak senonohnya dunia perpolitikan kita sehingga bisa lebih tepat disebut sebagai kekejian, bak pembunuh berkepala dingin dalam dunia gangster.

Jika kita menelisik lebih dalam pada perjalanan dan pengalaman politik kekuasaan di Indonesia, agaknya kita memang telah terjerat dalam ‘spiral politik porno’. Salah satu persoalan yang membuat kita tidak bisa keluar dari spiral politik porno adalah “nafsu dan sahwat korupsi” yang mewujud dalam aneka cara, skala dan tujuan. Korupsi bukan lagi menjadi ‘aib’ melainkan jadi ‘ikon’ yang tak lagi dianggap mencoreng identitas bangsa ini. Lelah rasanya bertanya kenapa korupsi tak juga berkurang di negeri ini?. Apakah hukum kita begitu lemah?. Apakah penegak hukum kita begitu impoten?. Atau ada apa dengan kita sebenarnya?.

Suatu saat, satu rombongan yang terdiri dari mahasiswa dan pemuda dari Kalimantan Timur ‘ngeluruk’ ke Jakarta untuk mendesak institusi negara yang bertugas memburu koruptor agar serius atau mengusut tuntas salah satu kasus korupsi yang diduga melibatkan ‘orang besar’ di Kalimantan Timur. Lepas dari cerita besar di belakangnya, fakta ini menunjukkan gambaran tentang betapa sulitnya mengusut tuntas pelaku korupsi di Indonesia. Di berbagai media kita bisa melihat banyak orang di panggil dan diperiksa, berkali-kali, selama berjam-jam dan keluar dengan wajah kusut dan kisut (tapi segera tersenyum dan melambaikan tangan jika ketemu gerombolan wartawan). Tetapi beberapa saat kemudian hasilnya nihil, kalaupun sempat masuk pengadilan, kerja para penyidik dan penuntut sepertinya hanya buang-buang uang, waktu dan tenaga, karena sang terdakwa akhirnya dibebaskan. Koruptor bak cerdik pandai, yang mereproduksi kuasa dan kemampuan untuk membuat celah dalam hukum. Kuroptor seperti seorang bapak keluarga yang membuat peraturan, yang mana peraturan itu tak mungkin dikenakan kepadanya. Akibatnya sang bapak keluarga leluasa untuk menyimpang dari peraturan yang dibuatnya sendiri.

Bapak yang baik selalu memegang adagium ‘Jangan sekali-kali makan sendiri’. Maka hasil korupsi selalu dipakai untuk memberi ‘Makan sampai kenyang’ orang-orang lainnya. Logikanya adalah dengan melibatkan sebanyak mungkin orang maka laku korupsi bisa steril dari penyelidikan dan kecurigaan. Andai kata tertangkap maka cepat kembalikan, atau berikan umpan informasi tentang korupsi yang lebih besar lagi. Toh ada kebijakan ‘memburu koruptor dengan koruptor’. Politik porno koruptor yang bersedia mengembalikan uang terbukti sangat ampuh. Para koruptor yang sudah ‘membiakkan’ uang yang dikemplang dari dana BLBI kemudian ‘mudik’ ke kampung halaman dan sowan ke istana untuk menyatakan kesediaan membayar hutangnya akhirnya diampuni dan dilepas dari segala tuntutan hukum. Aneh bin ajaib, coba saja andai koruptor yang diampuni itu adalah ‘Ki dalang dari segala dalang’ atau ‘Eyang guru dari segala guru’ korupsi, maka bagaimana mungkin kita bisa membongkar kasus korupsi sampai ke akar-akarnya atau dalam bahasa popular Sang Jaksa Agung RI “Kroni-kroninya”.

Ketiadaan sangsi hukum atau impunity, entah itu dalam bentuk tidak diusut atau justru diampuni seharusnya tidak boleh diterapkan untuk salah satu koruptor-pun. Praktek politik porno semacam ini hanya akan ‘saling lempar batu sembunyi tangan’ atau hanya akan membuat kambing hitam berkeliaran dimana-mana. Kelonggaran hukum dari dan oleh aparat penegak hukum bukan hanya sekedar akan membebaskan koruptor dari sekapan dinding penjara; melainkan juga akan melahirkan kekejian-kekejian lain karena dibawah naungan hukum. Lihat saja perilaku intimidatif dan anarkis dalam bentuk aneka sweeping bahkan pengusiran oleh kelompok tertentu pada kelompok atau individu lain ternyata juga tak pernah mampir di meja sidang. Alhasil justru jadi trend model yang diikuti oleh banyak kelompok masyarakat sipil di negeri yang mengaku demokratis ini.

Akhirnya jika kita hendak mengeliminasi salah satu ‘top hit’ dalam tangga lagu popoler politik porno kita, sebut saja kasus Pak Harto yang tentu saja tidak akan kita lupakan jasanya, janganlah dihentikan. Bang Ali Sadikin dan AM. Fatwa sebagai korban politik orde baru mungkin sudah memaafkan Pak Harto dengan menjengguknya saat terbaring di rumah sakit. Namun apa yang diperbuat oleh Pak Harto pada bangsa dan negeri ini tidak bisa begitu saja disamakan dengan yang dilakukan pada Bang Ali dan Pak Fatwa. Menutup kasus Pak Harto (entah dengan memaafkan, mengampuni, atau membiarkan berlalu begitu saja….) sama halnya dengan menutup lembaran kitab hukum bagi orang-orang di sekitar Pak Harto yang sejak awal ikut-ikutan berbaris menjerumuskan sekaligus memperoleh keuntungan darinya.

Salam Suka Suka Bokep
@yustinus_esha

Politik Itu Lucu

0 komentar


Pandangan positivistic tentang politik sebagai ilmu yang paling mulia diungkapkan oleh Plato. Politik dalam pengertian ini adalah segala sesuatu atau hal ihkwal yang dimaksudkan untuk mengatur kehidupan bersama secara lebih baik. Berbanding terbalik dengan pernyataan itu, perilaku dan wajah politik kontemporer justru menyatakan “politik itu kotor”. Ungkapan semacam ini muncul dan popular dalam masyarakat, karena praktek dan perilaku politik yang menonjol selama ini yaitu perebutan lahan di wilayah kekuasaan yang erat kaitannya dengan kedudukan, uang dan mobilisasi massa. Politik ibarat matematika tanpa angka, sehingga bagi kebanyakan orang bicara politik justru bikin jidat jadi berkerut, kepala pening dan bibir mencibir. Politik yang menjadi panglima dimana-mana ternyata belum mampu menghasilkan tegaknya hukum yang menjadi harapan warga. Dan kerap memicu munculnya berbagai kemerosotan dan ketidakpastian dalam kehidupan ekonomi, social, keamanan bahkan budaya.

Seburuk itukah wajah politik kita?. Mungkin tidak seandainya kita bisa sedikit lapang dada, sembari memandang praktek dan proses politik tanpa keinginan untuk ikut-ikutan berpolitik. Atau dengan kata lain politik bisa jadi hiburan apabila kita tertawa karena melihat aksi-aksi politik daripada ditertawakan karena berpolitik. Ucup Kelik (Wapres Republik BBM) mengatakan bahwa “Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa mentertawakan dirinya sendiri”. Jadi marilah tertawa sepuas-puasnya sebelum muncul undang-undang yang melarang kita mentertawakan politik plus politisi kita.

Saat ini tanda yang paling menonjol dari demokrasi di Indonesia adalah semakin banyaknya demonstrasi. Aneh memang, sebab penyelenggara pemerintahan sekarang ini (eksekutif dan legislative) adalah hasil pilihan rakyat secara langsung. Maka seharusnya mereka lebih dekat, mengerti masalah dan mendengarkan rakyat lewat saluran politik yang ada. Maraknya demonstrasi merujuk adanya ketidakberesan dalam komunikasi politik antara rakyat dengan penyelenggara pemerintahan. Mereka yang dulu bermulut manis kini begitu terpilih justru sibuk memikirkan dirinya sendiri dan lebih membahas pembagian kursi atau wilayah yang berkaitan dengan wilayah basah dan wilayah padamu negeri plus besaran pendapatan mereka dengan memperanakpinakkan jenis-jenis tunjangan. Pada sisi lain ada semacam kesengajaan untuk membiarkan demonstrasi tetap marak (posisi ambil untung) karena pesan atau masalah yang disampaikan para demonstrator bisa jadi peluru untuk menyerang pihak lain yang tidak sejalan. Jika masalahnya memang urgent dan punya efek besar untuk rakyat maka akan ada alasan yang kuat untuk membentuk aneka macam pansus dan rakor.

Untuk urusan pansus dan rakor, penyelenggaran pemerintahan nampaknya kompak, karena sama-sama mengemari model ini bahkan untuk urusan-urusan yang sangat mendesak sekalipun. Lewat Pansus dan rakor sepintas reaksi atas masalah begitu cepat, namun biasanya hasil dan penyelesaian tetap lambat. Sebab dalam pansus atau rakor selalu ada pihak yang sengaja tidak ingin kompak hingga memicu tarik ulur antar pihak, hujan interupsi dalam pleno, serobot sampai sabotase mike, sampai dengan politik amplop. Akibatnya masalah semakin meluas, apalagi jika turut dipanas-panasi oleh pemberitaan di berbagai media. Pihak yang terpancing atau bernafsu terlibat untuk menyumbang tenaga dan pikiran makin banyak sehingga persoalan justru tambah ruwet. Penyelesaian masalah yang berlarut kembali akan melahirkan arus demontrasi pro dan kontra. Maka wajar jika si Polan saat ditanya soal bagaimana keterlibatannya dalam proses demokrasi, akan segera menjawab “selalu terlibat dari satu demonstrasi ke demonstrasi lainnya dengan bersemangat apalagi jika uang sakunya bagus”. Soal isi, EGP-lah yang penting hafal perintah korlap soalnya kalau salah teriak bisa celaka karena bakal dituduh sebagai penyusup. Dan dalam demonstrasi yang panas teriakan kata ‘penyusup’ sama artinya dengan ‘gebuk dia sampai bonyok dan kapok’.

Politik kita memang tak bisa lepas dari bau uang meski wujudnya tidak selalu kentara. UUD dipahami sebagai Ujung-Ujungnya Duit dan Sila Pertama Pancasila menjadi Keuangan Yang Maha Kuasa. Politik memang butuh uang sekaligus juga menghasilkan uang. Tak heran jika orang-orang yang dimasa remajanya emoh politik disaat dewasa tiba-tiba begitu bernafsu untuk mengeluti bidang politik praktis. Kalo tidak punya uang maka diluar banyak mak comblang, calo, germo dan preman politik yang bersedia membantu mempertemukan dengan ‘investor politik’ yang tak banyak permintaan kecuali akses dan jaminan memperoleh proyek dimasa mendatang.

Politisi yang ketika sudah memegang jabatan mengusulkan atau menetapkan ‘pengharaman’ menunjukkan paradoksal dengan cara mencapainya. Dulu untuk meningkatkan citra segala cara dan jalan dihalalkan, kalau perlu ijazah pun dipalsu (dibeli juga) biar kelihatan mentereng karena punya banyak gelar yang selangit, mengaku sebagai bagian dari konstituennya sejak dari kandungan, rela berpanas dan berbecek ria memasuki lorong dan gang sempit di perkampungan, pasar tradisional sambil tak segan merogoh kantong untuk memberi bantuan kepada mereka yang menderita. Jika ini diungkit maka bukan politisi namanya kalau tak pintar berkelit, mempersoalkan dan dipersoalkan adalah perkara biasa, menemukan cara meloloskan diri dari persoalan justru jadi ujian bagi politisi. Jika terbukti mampu meloloskan diri dari berbagai persoalan maka gelar terhormat sebagai politisi licin akan segera disematkan kepadanya. Emangnya belut apa?. Dalam politik segala macam hal memang bisa dipersoalkan, gara-gara sepucuk surat atau sepenggal kalimat pernyataan maka seseorang bisa menjadi obyek bulan-bulanan di gedung dewan dan jalanan. Seruan mundur biasanya lantang diteriakkan, namun karena terbiasa menyanyikan lagu ‘pantang mundur’ maka tak seorangpun pejabat publik yang rela mengundurkan diri jika tersangkut persoalan. Karena besok akan ada persoalan baru yang segera mengubur persoalan lama alias lenyap dengan sendirinya. Maka tak salah jika dinamika politik hanya mengambarkan proses pergumulan dari satu persoalan ke persoalan lain tanpa pernah menyelesaikannya secara tuntas.

Namun keinginan untuk menuntaskan persoalan bukan berarti tidak ada dalam diri para penyelenggara pemerintahan kita. Sayangnya resep yang dikuasai oleh mereka hanyalah peraturan dan undang-undang tanpa ‘memberdayakan’ modal social dan cultural yang bisa membantu ketrampilan masyarakat mengatasi persoalan sendiri tanpa campur tangan yang terlalu besar dari state apparatus. Jika saja nafsu untuk menghasilkan peraturan dan undang-undang tidak dibatasi maka negeri ini akan dipenuhi dengan sejuta peraturan dan undang-undang yang akan menyulitkan warga untuk menghafal, mengerti dan mentaatinya. Jangan heran kalau senjata berkelit macam “oh, itu dilarang to, saya kok tidak tahu ya”, bakal jadi kebiasaan warga jika tersangkut penertiban. Dan jika setiap peraturan dan perundangan itu mengisyaratkan pembentukan institusi ekstra negara untuk menjamin pelaksanaannya, maka negeri ini juga akan dipenuhi dengan badan, dewan, komite dan komisi yang akhirnya akan memberatkan keuangan negara. Kelahiran aneka institusi ektra juga menghasilkan sentuhan dengan institusi pemerintah yang juga mengurusi persoalan yang sama. Kalau sentuhannya manis ya nggak masalah, tapi bagaimana jika yang terjadi justru saling tinju, siapa yang akan jadi wasit atau mendamaikannya?. Soalnya masing-masing punya payung hukum untuk membenarkan sepak terjangnya. Akhirnya donor atau lembaga bantuan asing akan datang untuk menawarkan diri menjadi mediator atau fasilitator. Alamak!!! Aneh bukan?.

Akhirnya, entah apa pula manfaat tulisan ini bagi para pembaca yang terhormat (seandainya ada yang membaca pula). Namun yang pasti tulisan ini hanya ingin menawarkan satu alternatif jikalau para pembaca sudah bosan menyaksikan tayangan dan pemberitaan di pelbagai saluran TV yang isinya itu-itu juga alias seragam, maka politik layak dipertimbangkan untuk merangsang urat tawa kita biar bergerak. Karena politik akan menyajikan sumber tawa yang berbeda-beda setiap harinya. Jika politik bisa membuat kita ketawa maka politik telah menyumbang sesuatu yang berarti untuk masyarakat, ya paling tidak masyarakat akan semakin sehat karena tertawa sesungguhnya memang baik untuk kesehatan. Akhirnya jika masyarakat menjadi sehat maka kesempatan untuk menunjukkan rasa cinta kepada negeri ini akan semakin besar, caranya adalah dengan tidak berlama-lama membiarkan kejanggalan-kejanggalan dari perilaku politik kontemporer kita saat ini.

FEATURE : Memberi Roh Pada Berita

Rabu, 27 Juli 2011 0 komentar

Musuh dari koran yang mendasarkan oplah pada penjualan eceran adalah hujan seharian. Jika hujan terus menerus menguyur bisa dipastikan para loper enggan berhujan-hujanan untuk menjajakan koran. Koran yang tak terjual itu hanya akan jadi bungkus kacang goreng atau bumbu dapur di lapak-lapak pedagang pasar. Ya, umur berita di koran hanya 24 hari, setelah itu tak berguna lagi kecuali untuk para tukang kliping berita dan analis media. Saluran media yang begitu beragam dan sebagian mampu menghadirkan berita siaran langsung dan ditempat (real time and on the spot news) membuat persaingan pemberitaan menjadi begitu ketat.

Tebaran berita dimana-mana, sepotong-sepotong dan terkadang dihadirkan tanpa konteks atau background membuat konsumen media menjadi kurang terpuaskan. Ada kebutuhan untuk membaca berita yang lebih dalam (in depth) dan punya sentuhan kemanusiaan. Media bisa dikutuk sebagai pemicu kekerasan apabila terus menyajikan berita kerusuhan atau konflik antar komunitas tanpa konteks. Demikian juga bisa dianggap melanggengkan pelecehan seksual atau ketidakhormatan pada perempuan apabila memberitakan sekadar peristiwa kekerasan seksual belaka. Maka agar sebagian berita menjadi awet dan untuk memenangkan persaingan merebut konsumen, beberapa media mulai menambah berita-berita feature.

Batasan Feature
Feature adalah tulisan berita yang memanfaatkan materi straight/spot news dengan memberikan unsur atau sentuhan manusiawi dibalik peristiwa yang terjadi. Interpretasi diberikan kepada sebuah peristiwa dengan menempatkannya pada konteks atau perspektif tertentu. Dengan demikian feature merupakan artikel berita yang kreatif dan bersifat subyektif dengan memberi sentuhan emosional dengan menggunakan materi yang menarik meski tidak selalu penting. Selain menghibur, feature juga dimaksudkan untuk memberi informasi tentang sebuah kejadian, keadaan atau situasi yang berkaitan dengan aspek kehidupan manusia.

Berbeda dengan penulisan berita pada umumnya, butuh kreatifitas dari penulis untuk menghasilkan sebuah feature. Kreatifitas penulis terwujud dalam “menciptakan” cerita dari sebuah berita. Meski demikian kreatifitas penulis tetap terbatas dalam kerangka fakta, bahan yang ditulis bukanlah “cerita khayalan atau berita fiktif”.

Subyektifitas penulis feature dalam tulisannya tercermin dalam pola atau gaya penceritaan. Penulis menuturkan cerita berdasarkan emosi dan pikirannya sendiri. Tetapi tidak selalu subyektifitas dituturkan dalam bentuk “aku”, sebab hal ini bisa memancing penulis untuk menonjolkan dirinya sendiri dalam tulisan. Ada pedoman yang umumnya ditaati, jika kita bukan merupakan tokoh utama, jangan sebut atau tonjolkan diri dalam tulisan itu.

Informasi Yang Menghibur
Ada banyak kejadian yang dianggap tidak mempunyai nilai berita jika dilihat sepintas lalu. Hal yang nampaknya biasa saja karena kita sering temui dimana-mana. Anak penjual koran perempatan, pengemis di jalanan, orang gila yang berkeliaran, museum yang sepi pengunjung atau taman hiburan/kebun raya yang tak terawat.

Kejadian-kejadian yang biasa seperti diatas barangkali tidak menarik untuk para penulis berita biasa (straight/hard news). Tapi dibalik kejadian itu sebenarnya ada aspek kehidupan yang dibiarkan. Kondisi seperti ini ditangan para penulis feature akan mampu dirubah menjadi sebuah tulisan yang mampu mengelitik nurasi, hati dan perasaan manusia. Bahkan mungkin bisa menjadi sebuah pemicu untuk perubahan yang konstruktif.

Sampah, dalam pemberitaan sehari-hari selalu dikaitkan dengan perilaku jorok, tidak terangkut, dibuang sembarangan dan menumpuk pada hari-hari tertentu. Sampah adalah limbah yang membuat pusing para pemimpin kota, membuat kehidupan warga tidak nyaman dan menutupi saluran air sehingga menyebabkan air got meluap kala hujan deras. Tapi ditangan seorang penulis feature, sampah diceritakan sebagai penghasil uang untuk banyak orang. Dengan memberikan contoh para pemulung dan aktifitas daur ulang sederhana, mengajarkan tentang betapa sampah ternyata berharga. Apa yang diemohi, dianggap tidak berguna ternyata di tangan orang tertentu bisa menjadi berharga. Penulis feature menuturkan aktivitas “merubah sampah menjadi rupiah” dalam tulisannya.

Dengan memberi konteks dan perspektif yang lain tema tentang “sampah” mampu memberikan inspirasi, pendidikan tentang pengelolaan dan pengolahan sampah tanpa menakut-nakuti warga akan resiko yang ditimbulkan oleh sampah.

Dalam pemberitaan salah satu cara untuk meraih pembaca adalah menjaga ekslusifitas. Pokok persoalan boleh sama, tetapi apabila ditulis dalam bentuk feature maka eklusifitasnya akan terjaga. Karena feature akan memberikan sesuatu yang lebih dalam dari apa yang disampaikan oleh sebuah berita langsung. Dibalik sebuah peristiwa selalu ada cerita. Itulah yang ditangkap dalam sebuah tulisan feature. Tulisan feature akan memberi warna lain, informasi yang lebih mempunyai nilai kebaruan, menyegarkan, menghibur dan menyentuh indera pembacanya.

Batasan Waktu
Setiap media bersaing untuk memberitakan berita sebagai yang pertama dan utama. Ini membuat para jurnalisnya berjibaku layaknya pasukan perang. Bergerombol kesana kemari mirip kawanan domba mengejar pengembalanya (narasumber). Tapi usaha kerasnya itu kemungkinan besar hanya akan berumur 24 jam, setelah itu luruh dan menjadi tidak penting lagi. Koran dengan halaman berita straight news, keesokan harinya turun derajadnya menjadi tumpukkan keras yang hanya menyesaki ruangan.

Hal ini tidak berlaku untuk halaman koran yang berisi tulisan feature. Pembaca tidak perlu tergesa-gesa untuk membacanya karena takut ketinggalan berita. Feature bukan tulisan yang mudah “punah” dalam semalam. Feature bisa disimpan lebih dari 24 jam, bahkan berhari-hari sampai berminggu-minggu. Dalam hitungan berbulan-bulanpun feature masih relevan dan tetap up to date untuk dibaca. Jika kita seorang publisher, maka naskah feature bisa merupakan cadangan pengisi kolom berita. Dan kita tak takut untuk mencadangkannya karena tahu bahwa tulisan itu tak akan dimakan usia.

Menjadi penulis feature biasanya juga lebih nyaman dibandingkan penulis berita biasa. Sebab tidak dikejar oleh deadline. Berita biasa harus segera ditayangkan agar tidak basi, penundaan satu atau dua hari sama hampir sama besarnya dengan pembatalan publikasinya. Karena tekanan waktu yang tidak besar, maka penulis feature cukup leluasa untuk mengadakan riset, pengamatan atau observasi lapangan untuk melengkapi bahan sehingga tulisannya akan semakin bermutu. Dengan menulis feature seorang penulis akan mengasah kemampuan dan kreatifitasnya untuk “menceritakan” sebuah kejadian.

Karena sifatnya yang bukan sekedar informatif maka tekanan feature ada pada fakta-fakta penting, fakta yang merangsang emosi pembaca entah itu menghibur, memunculkan simpati, mendorong empati publik sehingga merasa senasib misalnya dengan para korban bencana dan lain-lain. Dengan warna seperti itu maka feature sering disebut dengan kisah human interest, kisah yang berwarna, berita yang bercerita atau mempunyai roh karena mampu menggerakkan.

Teknis Penulisan
Dibandingkan dengan menulis straight news, feature memang lebih sulit. Dalam menulis berita biasa kita tak perlu bersusah-susah menyusunnya. Urutannya sudah jelas mulai dari yang paling penting makin ke bawah makin tidak penting. Unsur berita atau rumusnya sudah jelas yaitu 5 W dan 1 H. Pembukaan berita (lead) biasanya juga dimulai dari orang atau terakhir ini mulai muncul kecenderungan mulai dari kesimpulan.

Dalam menulis feature, unsur berita yaitu 5 W dan 1 H tetap harus ada tetapi harus lebih dari sekedar itu. Feature selalu mempunyai unsur lain yaitu cerita di balik berita, selalu ada latar belakang dalam sebuah kejadian. Kisah di balik berita atau latar belakang di balik sebuah kejadian itulah yang penting untuk digali dan dirangkai kaitannya dengan kejadian yang nampak di permukaan.

Feature selalu dimulai dari penentuan angle yang tajam dan ketat. Layaknya seorang memotret melalui sebuah kamera, sudut mana yang akan kita ambil, belakang, depan, kanan, kiri, atas atau bawah. Fokuskan pada sesuatu yang paling menarik. Angle yang tajam akan membuat kita fokus pada bahan atau sumber mana yang harus digali, dilengkapi dan didalami. Menulis feature ibarat kita pergi ke sebuah pameran buku dan kita sudah tahu buku apa yang hendak kita beli.

Menulis berita sama dengan menyusun fakta-fakta, sementara menulis feature berarti menuturkan rangkaian fakta dalam konteks tertentu. Oleh sebab itu penulis feature dituntut untuk mengembangkan struktur dan alur kisah (plot) dengan lancar dan kontektual. Feature adalah kisah, maka perlu “tokoh” yang akan bercerita atau berkisah dalam cerita kita. Selain mempunyai warna, feature juga dituntut mempunyai irama. Kalimat ditulis dengan runtut, lancar, mengalir dan menarik dengan dibumbui peribahasa, anekdot, humor, metafora atau gaya bahasa lainnya.

Meski secara generik ada struktur pembuka, isi dan penutup, namun tetap saja ada keleluasaan bagi penulis untuk keluar dari struktur itu. Struktur disesuaikan dengan alur yang hendak dibangun. Alur kronologis dan kilas balik misalnya mungkin lebih mudah, namun kemungkinan besar kurang mempunyai daya kejut dan ruang kreatif untuk memainkan gaya tulisan menjadi tidak leluasa.

Penulis feature yang terampil sebenarnya banyak mengadopsi gaya penulisan fiksi (sastra) sehingga plot atau alurnya menjadi menarik. Ada alur yang sifatnya konvergen, dimana ada banyak kisah terpisah dan kemudian disatukan di akhir pada sebuah peristiwa yang punya kaitan atau pertalian sama. Atau alur divergen yang bermulai dari satu peristiwa kemudia menyebar menjadi berbagai kisah.

Terakhir sebuah tulisan feature apabila terlepas dari newspeg-nya (cantelan berita) atau disebut feature lepas, harus diberi konteks agar pembaca punya alasan untuk merasa perlu membacanya. Konteks bisa berkaitan dengan waktu, misalnya kisah seorang anak veteran yang menjadi tukang parkir dikaitkan dengan peringatan hari perjuangan nasional. Atau alasan soal daya tarik misalnya banyaknya aborsi di kalangan pelajar SMU beberapa bulan setelah usai liburan sekolah. Alasan yang lebih mudah tentu dikaitkan dengan kepentingan umum atau pelayanan publik, seperti soal korupsi, penegakan hukum, persediaan air bersih dan energi, kenaikan harga barang dan lain sebagainya.

Dan sama seperti tulisan lainnya, feature juga harus mempertahankan fokus, perlu ada batasan agar tulisan tidak lari kesana kemari, ngelantur tanpa arah. Meski menulis feature ibarat melukis di kanvas untuk menghidupkan imajinasi tapi tetap ada batasan atau pagar yang tak boleh dilanggar. Apa gunanya sebuah cerita yang menarik tapi membuat pembaca lelah karena tidak jelas ujung pangkalnya.

Macam-Macam Feature


Berikut ini beberapa jenis tulisan feature yang biasa di muat atau dipublikasikan melalui media massa :

Profil
Feature profil berisi kisah yang mengungkapkan sisi menarik dari seorang tokoh. Menarik karena kisahnya istimewa, dramatik, melalui berbagai macam liku-liku tapi tetap bertahan dan lain sebagainya. Seorang yang “istimewa” itu diceritakan dengan penuh warna. Maka profil tidak sekedar berisi daftar riwayat sukses dan tanggal-tanggal penting belaka. Dalam profil yang terutama diangkat adalah karakter, tingkah laku dan pemikirannya. Termasuk tanggapan dari orang-orang disekitarnya atau yang mengenalnya.

Untuk memperoleh informasi yang kaya tentu saja tokoh yang menjadi pokok tulisan harus diamati dengan seksama, kalau perlu diikuti kesehariannya. Wawancara yang mendalam perlu dilakukan agar memperoleh kutipan-kutipan kalimat langsung darinya yang mengambarkan siapa dia sesungguhnya. Untuk memperkaya tulisan, wawancara kepada orang yang dekat atau sahabat-sahabatnya juga perlu dilakukan. Kerap kali wawancara semacam ini akan melahirkan kejutan, seperti munculnya rahasia yang belum pernah diungkap, kisah-kisah lucu atau konyol dari subyek profil kita.

Tidak semua cerita yang didapat perlu untuk ditulis, barangkali ada yang mau menceritakan tapi meminta untuk tidak dituliskan. Hal itu tidak menjadi masalah, sebab informasi bukan semata untuk menjadi bahan tulisan tetapi menjadi sumber penting bagi kita untuk mengambarkan tokoh tersebut.
.

Sejarah - Memorabilia
Banyak peristiwa penting yang punya pengaruh pada masyarakat. Semua itu bisa ditulis kembali pada saat memperingatinya Namun feature sejarah bukan semata menuliskan tentang peringatan atas peristiwa tertentu saja. Kisah masa lalu sering pula dikaitkan dengan kejadian di saat ini. Peristiwa bencana sering dikaitkan dengan kejadian serupa di masa lalu.

Feature sejarah juga berisi pengambaran atau lukisan tempat-tempat bersejarah (landmark) entah berupa monumen, gedung dan lain sebagainya. Namun sejarah tidak selalu berkaitan dengan perjuangan melainkan juga sejarah penemuan, sejarah hiburan, film, pengobatan (medis), pola perumahan, kuliner, industri, agama, migrasi dan sebagainya.

Setiap daerah, organisasi, institusi atau lembaga pasti memiliki catatan menarik dalam perjalanan sejarahnya. Semua bisa menjadi tulisan yang menarik dengan cara mempelajari dokumen-dokumen tertulis serta mewawancarai saksi mata atau mereka yang terlibat di dalamnya.

Expedisi – Petualangan – Survival
Kisah perjalanan yang menantang seperti mendaki gunung, mengarungi samudera, memanjat tebing atau menyusuri sungai akan melahirkan lukisan pengalaman yang istimewa apabila dituliskan dalam bentuk feature. Disana ada kisah tentang perjuangan untuk mencapai sesuatu, bahkan perjuangan antara hidup dan mati. Kisah disini termasuk pengalaman seseorang selamat dari sebuah bencana besar, kecelakaan atau peristiwa lainnya.

Pada feature jenis ini kutipan dan deskripsi suasana adalah sangat penting. Cerita direkonstruksi dari pelau atau saksi mata. Dilengkapi dengan berbagai dokumen lain yang terkait. Feature jenis ini biasanya dimulai dari aksi atau momen yang paling menarik atau dramatis.
.
Seasonal - Musim
Yang dimaksud dengan musim tidak semata berkaitan dengan iklim. Musim disini dalam arti luas seperti musim buah, musim liburan, musim ujian, kelulusan sekolah, penerimaan murid baru dan lainnya. Termasuk juga hari-hari besar seperti lebaran atau natal. Karena ini merupakan peristiwa yang biasa atau terus berulang, maka tingkat kesulitan penulisan feature ini menjadi lebih tinggi.

Kesulitan menulis feature seasonal adalah mencari angle atau sudut pandang yang jarang dilihat oleh orang lain tetapi sekaligus tetap menarik. Feature jenis ini lebih menuntut penulis untuk terlibat langsung didalamnya agar bisa menangkap peristiwa atau kejadian yang unik dalam berbagai peristiwa tersebut.

Interpretatif (analisis berita)
Kajian atas pemberitaan yang telah lalu melahirkan jenis tulisan feature interpretatif. Lewat tulisan ini diberikan deskripsi dan penjelasan yang lebih detail dan komprehensif terhadap topik-topik yang telah diberitakan. Lewat feature interpretatif akan diberikan konteks baik institusional, programatik atau aksi, trend atau kecenderungan dan tujuan-tujuan dari aksi tertentu. Munculnya kelompok musik dalam bentuk band yang sekarang mengejala bisa diterangkan dengan trend di dunia, menguatnya kolektifitas, atau menurunnya figur yang kuat dalam bermusik dan lain sebagainya.

Kekerasan yang mengejala di mana-mana, bisa ditinjau dari sisi afiliasi organisasi, gagasan atau ide di balik kekerasan, tujuan dan perjuangan pelaku kekerasan serta alasan yang mendasari aksinya. Menulis feature berdasarkan berita jauh lebih mudah karena gagasannya telah tersedia. Kesulitannya justru mengungkap fakta-fakta di balik itu. Untuk aksi-aksi tertentu, narasumber tidak mudah untuk ditemukan dan juga tak mudah untuk diajak berbicara.

Tip dan Trik – Panduan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan aplikasi sangatlah cepat. Tidak semua orang punya waktu dan kesempatan untuk mempelajari itu semua. Bayangkan hampir setiap hari muncul berbagai tipe gadget, kendaraan atau perabotan lainnya. Jenis pengetahuan lain seperti kuliner dalam bentuk resep juga muncul setiap saat.

Feature jenis ini secara praktis membeberkan tentang bagaimana melakukan sesuatu hal. Bagaimana kiat membeli peralatan elektronik, bagaimana menurunkan berat badan secara cepat, bagaimana memelihara tanaman tertentu atau bagaimana melakukan pembiakan silang. Pendek kata banyak sekali bidang yang bisa di tulis dengan model panduan atau kiat. Bidangnya tidak sekedar terbatas pada persoalan material belaka melainkan masuk ke wilayah psikologi dan emosional. Termasuk di dalam jenis ini adalah kiat menarik lawan jenis, membina hubungan yang hangat dalam perkawinan, memelihara anak dan lain sebagainya.

Banyak orang butuh tahu ini dan itu, namun mereka tak ingin dianggap bodoh, digurui dan dinasehati. Maka sekalipun nampak sederhana, feature jenis ini justru sulit penulisannya sebab penulis dituntut menjelaskan hal yang sulit menjadi mudah untuk siapa saja. Namun juga dituntut untuk rendah hati, membebaskan diri dari merasa pintar sendiri. Menunjukkan sesuatu dengan bahasa yang netral atau tidak menggurui merupakan satu kesulitan tersendiri. Feature jenis ini cocok ditulis oleh seseorang yang mempunyai latar belakang pengetahuan tertentu atau seseorang yang sangat mencintai atau mengemari bidang tertentu. Seseorang dengan jam terbang yang tinggi dalam dunia IT misalnya akan mampu membagikan kiat-kiatnya yang mungkin tidak dipunyai oleh kebanyakan ahli IT lainnya.

AKU INGIN PULANG, NYANYI PERANTAU JELANG RAMADHAN

Selasa, 26 Juli 2011 0 komentar

Satu minggu menjelang puasa, bulan yang penuh magfirah.

Para manager dan event organiser pada berbagai tempat hiburan malam di Samarinda berlomba memanfaatkan waktu tersisa. Berbagai acara dengan label “ Closing Party” digelar agar bisa mendulang pengunjung untuk terakhir kali. Sebab satu atau dua hari menjelang puasa, semua tempat hiburan malam harus meliburkan diri dan buka kembali setelah hari lebaran nanti.

Bukan hanya para manager dan event organizer saja yang mulai sibuk, counter-counter penjualan tiket juga mulai lebih sering menerima telepon menanyakan harga tiket ke sini atau kesana. Perbincangan soal tiket mulai mudah terdengar di berbagai sudut kota.

“Dapat yang harga berapa tiketnya?”.
“Saya waktu itu iseng bertanya, begitu disebut ada yang 700 ribu, langsung saya bayar”.
“Wah, murah itu, saya dapat yang 1 juta 90 ribu”.

Tiket ramai diperbincangkan karena para PERANTAU hendak PULANG ke kampung halaman saat bulan ramadhan nanti untuk merayakan lebaran di tanah kelahirannya. Pulang atau kemudian dikenal sebagai mudik selalu meramaikan suasana bulan ramadhan. Rangkaian mulai dari ramadhan sampai lebaran adalah sebuah peristiwa eksistensial, peristiwa yang sangat penting. Maka tak heran jika setiap orang yang menjalaninya ingin merayakan dalam kebersamaan di “RUMAH”.

PULANG ke RUMAH bagi PERANTAU bukan berarti kembali ke tempat tinggal, ruang tempat mereka istirahat selepas bekerja. Mereka ingin pulang ke tempat dimana hati dan pikiran menyatu. Tempat dimana mereka dilahirkan, dibesarkan dan mengalami berbagai macam peristiwa yang meninggalkan pengalaman positif. Dengan merantau mereka telah meninggalkan rumah itu, dan dalam jangka waktu tertentu muncul panggilan jiwa untuk bernostalgia. Nostalgia merupakan panggilan kerinduan akan sesuatu yang hilang dan hanya akan dapat ditemui kembali apabila kembali ke rumah.

Semakin besar kenangan, tabungan kejadian hidup yang baik dan menyenangkan terjadi disana maka kerinduan akan semakin besar. Dorongan untuk pulang menjadi sangat dominan, maka pulang ke rumah di masa ramadhan adalah sebuah keharusan. Sebuah peristiwa eksistensial yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kebahagiaan menjalani sisa hari ramadhan dan merayakan hari raya idul fitri akan terasa lengkap apabila dilakukan di rumah tempat nyamannya badan dan hati terjadi. Hari raya lebaran akan terasa buram apabila dilaksanakan di tempat yang jauh dari sanak saudara, jauh dari tempat kita dilahirkan, dibesarkan tempat segala kenangan indah dalam album kehidupan.

Perjalanan pulang dari tanah rantau ke rumah (kampung halaman) adalah perjalanan spitual, perjalanan untuk kembali “menjadi”. Spirit yang pararel dengan teologi puasa atau mati raga. Puasa sesungguhnya merupakan perjalanan atau laku spiritual agar siapapun yang menjalaninya kembali menjadi “Insan Allah”. Orang atau sosok yang beriman karena menjalankan perintah dan petunjuk Allah dengan sukarela dan penuh kesadaran agar mencapai kondisi hidup berada dalam naungan dan ridhoNYA
Orang beriman adalah para perantau, yang selalu rindu pulang lewat peziarahan untuk kembali berjuang menemukan tempat asalinya. Puasa adalah sebuah perjuangan untuk “mematikan” diri dari kecenderungan baik badani maupun pikiran yang menjauhkan diri dari rumah ALLAH. Lewat puasa seseorang sedang mempersiapkan diri agar kelak jika sewaktu-waktu harus melakukan perjalanan pulang yang terakhir (mati) maka akan sampai tempat tujuan atau rumah yang sesungguhnya yaitu SURGA. Pulang ke surga berarti kembali ke rumah bersama-sama ALLAH.

Realitas PERANTAU, PUASA dan RUMAH (pulang) adalah sebuah pengembaraan yang belum berakhir. Di tanah rantau, para perantau rela bekerja keras, tak kenal waktu, berjuang dan jarang bersenang-senang demi mengumpulkan materi untuk dibawa pulang nanti. Kerja keras selama setahun di tanah rantau akan dinikmati dengan penuh keriangan di rumah saat lebaran nanti. Dan pada saat itulah keberhasilan material menjadi sama dengan keberhasilan spiritual.


Salam Marhaban Ya Ramadhan
Batu Lumpang, 26 Juli 2009
@yustinus_esha

Balada Konser Tikus : Potret Buram Petani di Negeri Agraris

Senin, 25 Juli 2011 0 komentar


Pak Sastro hanya bisa tercenung saat terpaksa harus memanen padi di sawahnya yang tak begitu luas. Tikus telah menyerbu sawahnya dan hanya menyisakan seperempat dari hasil yang biasanya. “Tikus-tikus sekarang sudah begitu pandai sehingga bisa membedakan mana umpan yang beracun dan tidak, maka susah dibasmi. Satu-satunya cara adalah dengan menangkap satu persatu dan membunuhnya”, begitu keluh Sastro. Dan memang sulit menangkal aksi tikus itu jika harus menangkap satu persatu karena sebelum tikusnya habis terbasmi jelas padi di sawahlah yang lebih dulu akan disikat habis olehnya. Jadi Sastro dan kawan-kawannya hanya bisa pasrah memanen sisa-sisa pesta dari sang tikus yang makin berani karena tetap bertandang meski sawah sudah ditunggui. Sembari bersiap-siap untuk menjalani hidup dibawah penderitaan pada hari-hari ke depan karena hasil panen tak bakal cukup untuk menopang kehidupannya bersama anak istri. Utang untuk modal tanam musim lalu pasti takkan terbayar; dan akan semakin besar karena untuk musim tanam berikutnya pasti harus kembali berutang terutama untuk membeli pupuk yang meroket harganya di kala jelang musim tanam.

Nasib yang menimpa pak Sastro adalah gambaran umum dari petani kita yang semakin hari lahannya semakin menyempit (atau bahkan hanya mengarap lahan orang lain), bertani dengan teknologi yang rendah, produksi tergantung pada hujan dan hidup pas-pasan sehingga gangguan terhadap proses produksi lahan berpotensi untuk semakin memerosokkan mereka dalam jurang kemiskinan. Dengan kondisi seperti ini maka sulit dibayangkan bahwa petani kita di Indonesia akan bersaing mengejar ketertinggalan dari negara lain yang pertaniannya kian bertambah maju. Pada jaman dimana banyak subsidi masih dinikmati oleh kaum tani, hidup mereka saja sudah sedemikian sulit; apalagi di saat ini dimana subsidi sudah mulai dipreteli satu persatu maka jumlah petani yang semakin miskin akan semakin banyak. Dengan demikian proses pemberdayaan petani menuju pertanian yang mensejahterakan petani akan menjadi lebih sulit untuk dilakukan. Sebab pertanian modern akan membutuhkan bibit unggul, pupuk, obat-obatan pembasmi serangga-hama dan peralatan berteknologi lainnya yang tentu saja akan meningkatkan ongkos produksi sehingga akan dirasakan semakin mahal oleh petani. Dan mahalnya ongkos produksi tidak akan dijamin oleh pendapatan yang diperoleh dari penjualan hasil karena selama ini harga hasil olahan petani tetap stabil rendah.

Sebagai salah satu penandatangan perjanjian GATT, Indonesia harus membuka pasarnya bagi produk-produk pertanian dari luar negeri. Dengan demikian posisi petani kita yang lemah akan menjadi semakin sulit karena harus berhadapan vis a vis dengan produk pertanian luar negeri yang umumnya dihasilkan oleh sistem industri pertanian yang sudah mapan dan effisien. Mereka telah mempunyai sistem dan jaringan pemasaran yang amat luas sehingga harganyapun menjadi terjangkau dan persediaan (stok) selalu terjaga. Kita mungkin bisa berkilah bahwa segmen atau pangsa yang dituju oleh produk pertanian dan hasil olahan lainnya dari luar negeri adalah kelas masyarakat menengah keatas. Sementara hasil pertanian tradisional biasanya lebih banyak dibeli dan dikonsumsi oleh masyarakat kelas bawah. Namun justru disinilah letak persoalannya, karena petani tradisional akan kehilangan potensi pasar dari konsumen yang mempunyai daya beli tinggi yang mana bisa meningkatkan tingkat penghasilan mereka. Sebab jika produk pertanian tradisional tetap dibeli oleh masyarakat kelas bawah yang daya belinya juga rendah maka kecil kemungkinan bagi petani untuk meningkatkan pendapatannya. Asumsi bahwa produk pertanian luar negeri hanya menyasar kelas menengah ke atas terbukti juga tidak benar karena dengan mudah sekarang ini kita temukan beras dari Thailand atau Myanmar ( termasuk apel dari New Zealand, pir dan jeruk dari China, pepaya dari Hawai dan durian dari Thailand) telah dijual oleh lapak-lapak kakilima di pinggir jalan dan pasar tradisional. Dengan demikian segmen pasar tradisional yang tadinya milik petani perlahan mulai digerus oleh agen/distributor produk pertanian negeri yang tentu saja mempunyai sistem penjualan yang lebih menarik dibanding petani tradisional.

Selain beras, Indonesia mungkin masih mempunyai komoditi buah dan bunga local yang mempunyai kekhasan tersendiri atau exotic. Sehingga mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai komoditi unggulan. Sayang tantangannya juga besar karena Indonesia juga bukan penghasil satu-satunya sebab Thailand dan Philipina juga mempunyai buah-buah tropis yang sama dengan kita. Dan pertanian di Thailand sudah lebih maju dimana mereka sudah bisa mengatasi kendala musim buah sehingga buah-buah tertentu pasokannya sudah terjaga sepanjang tahun di pasaran. Riset dan pengembangan agricultural belum menjadi perhatian bagi pemerintah kita, kalaupun ada hasilnya juga tidak dimassalkan kepada para petani. Akibatnya petani hanya berkutat pada produksi padi yang hasilnya juga tidak pernah mendudukkan petani sebagai pemenang, karena tahun demi tahun petani dihajar sampai babak belur dengan merajalelanya beras import dari Thailand, Myanmar dan Vietnam.

Rezim telah silih berganti tapi nasib dan wajah petani tetap buram. Pada jaman perjuangan untuk meraih kemerdekaan, petani berdiri dibelakang pejuang dengan menyediakan makanan dan minuman lewat dapur-dapur umum agar pejuang bisa bertempur dengan tenaga penuh. Namun setelah memasuki masa-masa kemerdekaan, pelan-pelan posisi petani mulai dilemahkan lewat ekperimentasi kebijakan pembangunan rezim berikutnya. Lewat revolusi hijau petani dijadikan bemper agar Indonesia bisa masuk dalam percaturan politik kapitalisme global dengan memobilisasi teknologi pertanian yang mencabut petani dari budaya, pengetahuan dan praktek pertanian local. Revolusi hijau lewat intensif dan ektensifikasi membuat petani kehilangan kekuasaan atas alat produksi, mereka bukan lagi produsen melainkan konsumen dari bibit dan pupuk serta teknologi yang dikuasai oleh penguasa kapital global. Petani akhirnya menjadi kelompok ‘massa mengambang’ yang kehilangan kekuatan cultural, social dan politik.

Kini di masa reformasi, sosok petani adalah sosok yang benar-benar kalah dan lemah. Keberadaan organisasi berbasis petani atau mengatasnamakan petani belum menunjukkan manfaat serta kekuatan bagi petani untuk meraih kembali kekuatan politik, social dan kulturalnya. Organisasi yang seharusnya menjadi jembatan untuk memperjuangkan aspirasi petani untuk dirumuskan dalam kebijakan politik pembangunan pemerintah justru lebih sering lebih banyak menjadi alat perjuangan politik pribadi petingginya. Independensi organisasi-organisasi berbasis petani juga patut dipertanyakan. Alhasil untuk mempertahankan kehidupannya banyak petani yang mengambil pilihan untuk menggadaikan atau bahkan menjual lahannya yang sama artinya dengan menjual hidupnya. Kemudian mereka menjadi pekerja di bekas lahan miliknya yang telah berpindah menjadi milik orang lain. Atau hanya bisa memandang bangunan rumah atau gedung mewah yang berdiri megah diatas bekas lahan mereka yang kini jadi lahan menanam duit para investor. Maka wajar jika disaat tidak ada pekerjaan (bukan musim tanam atau panen) mereka akan berbondong-bondong untuk pergi ke kota untuk mencari pekerjaan sampingan dengan menjadi pekerja musiman di sector informal. Bahkan ada yang datang ke kota untuk mengais rejeki dengan menjadi pengemis. Pendek kata apapun akan ditempuh untuk mempertahankan kehidupan meski dengan risiko kehilangan harga diri karena dianggap sebagai pendatang haram sehingga akan menjadi buruan satpol PP.

Bulog yang awalnya mempunyai kedudukan strategis dalam politik perberasan nasional dengan tugas untuk menjaga keseimbangan harga panen dengan cara membeli beras petani saat kondisi surplus beras lewat peraturan pemerintah nomor 7/tahun 2003, telah berubah fungsinya. Melalui peraturan ini Bulog berubah menjadi perusahaan umum (Perum Bulog), karena fungsi Bulog sebelumnya dianggap monopolis sehingga dianggap bertentangan dengan liberalisasi pasar sehingga akan mengakibatkan distorsi harga. Konsekwensi perubahan menjadi perum berakibat Bulog tidak lagi mendapatkan bantuan dana khusus dari pemerintah untuk mendukung kinerjanya. Dengan demikian Bulog menjadi tidak berbeda dengan perusahaan-perusahaan lain yang didirikan untuk mencari rente dan harus berusaha mencari dukungan finansial sendiri melalui pinjaman kepada bank-bank komersial yang berbunga tinggi. Jelas kini bahwa perani menjadi korban dari derasnya arus neoliberalime yang digulirkan di Indonesia oleh agen-agen pengembang pembangunan macam Bank Dunia, ADB dan IMF yang dulu-dulunya dianggap ‘dewa penolong’ karena memberi pinjaman untuk pembangunan irigasi dan skema-skema kredit bantuan pertanian. Padahal bantuan-bantuan itu ternyata merupakan ‘topeng’ bagi kepentingan korporatokrasi global, untuk memasukkan dan memasarkan hasil koorporasi barat lewat program intensifikasi pertanian dengan mempergunakan pupuk anorganik (Zat Kimia)dan bibit-bibit rekayasa genetik.

Jebakan bantuan lembaga-lembaga pengembang ini akhirnya membuat negara kita jatuh dalam belitan utang yang berkepanjangan. Posisi sebagai negara ‘pengutang berat’ menjadikan kebijakan pertanian yang dihasilkan oleh pemerintah bukan lagi bercorak untuk ‘mensejahterakan’ petani melainkan untuk untuk kesejahteraan konsumen atau dengan kata lain bukan ketahanan pertanian melainkan ketahanan pangan. Sementara itu di lapangan persawahanan diindikasikan bahwa penggunaan kimiawi secara terus menerus dan penerapan komposisi yang tidak tepat akan membuat kondisi tanah menjadi kritis atau tingkat kesuburan alami tanah turun secara drastic. Tanah pertanian menjadi rakus pupuk, maka lama kelamaan akan terjadi penumpukkan endapan atau residu pupuk kimia di dalam tanah. Efek lainnya adalah hama (serangga atau gulma) makin lama juga semakin kebal terhadap obat pemberantasnya. Siklus pertahanan alamipun menjadi terputus sehingga binatang penganggu berkembang biak tanpa diimbangi oleh perkembangan predator alaminya.

Pemerintah mungkin saja tidak menutup perhatian pada petani, namun sayang perhatiannya tidak terfokus pada pembuatan kebijakan pertanian sehingga petani mampu bertahan dan mengembangkan diri dalam kancah persaingan global. Perhatian yang diberikan oleh pemerintah terutama hanya menempatkan petani dalam konteks agenda pemberantasan kemiskinan dimana memang petanilah yang kebanyakan menjadi sasarannya. Namun kebijakan ini akan tetap sekedar menjadi program rutin setiap rezim dan tidak pernah berujung pada keberhasilan yang bermakna. Bahkan lama-kelamaan kemiskinan justru akan berkembang menjadi komoditi untuk mendongkrak citra aktor-aktor politik agar bisa digambarkan sebagai sosok yang populis. Agenda pemberantasan kemiskinan yang abai terhadap permasalahan petani dan kebijakan pertanian yang sesungguhnya tidak akan pernah menolong petani bangkit dari keterpurukkannya. Petani perlu diberdayakan untuk mewujudkan hasil pertanian yang punya nilai ekonomis tinggi dengan meningkatkan ketrampilan kewirausahaan yang kreatif dan inovatif agar tidak tergusur dalam menghadapi kecenderungan pasar yang kian liberal.

Jika tidak demikian maka kehidupan Pak Sastro dan kawan-kawan tidak sekedar diburamkan oleh polah tikus ‘beneran’ di sawahnya, melainkan juga tikus ‘jadi-jadian’ di lapangan kehidupannya sebagai warga negara. Pak Sastro mungkin sudah takut bermimpi untuk menjadi berkecukupan dalam segala kebutuhannya, namun membangun kehidupan persis di atas garis kemiskinan akan sangat membantunya untuk mempertahankan martabatnya sebagai manusia dan warga negeri ini. Sehingga mereka tidak terus-terusan menjadi ‘obyek penderita’ akibat nafsu eksplotitatif dari pemangku kebijakan dan pelaku bisnis yang sekedar memburu rente, koruptif dan tidak memerdekakan.

Salam Cangkul Tumpul
@yustinus_esha

KORUPSI, KONSUMSI dan PERTUMBUHAN EKONOMI

0 komentar


Sebagai mahasiswa fakultas ekonomi, Anto bukanlah mahasiswa yang baik di kacamata orang tuanya. Penampilannya selalu kurang (kurang rapi, kurang mandi,kurang tidur, kurang sopan,kurang sehat, dll), bahkan bisa disebut sebagai kurang ajar karena sebagai mahasiswa Anto tidak menunjukkan semangat luar biasa dalam mempelajari hal yang seharusnya dipelajari olehnya sebagai mahasiswa. Kalau soal buku tentu saja Anto rajin membaca buku, kalau soal diskusi tentu Anto termasuk kategori macam diskusi, kalau soal jaringan (ingat network penting dalam ekonomi) tentu Anto tak kurang apapun bahkan mirip laba-laba jarena jejaringnya dimana-mana. Cuma sayang apa yang dibaca, apa yang didiskusikan dan apa yang dijejaringkan bukanlah ekonomi mainstreams sebagaimana didapat di bangku kuliah. Bayangkan saja bagaimana muka bapaknya saat bertanya “apa itu IMF?’ , dan dijawab dengan nada geram oleh Anto “Internasional Masacre Fund, itu”. Dan mulai saat itu tak ada lagi perbicangan diantara mereka.

Meski sibuk demo sana-sini toh suatu saat Anto sadar bahwa dia harus menyelesaikan kuliahnya agar tidak terus menerus terkungkung dalam status mahasiswa. Setelah segenap persyaratan dipenuhi dan dengan debat sana-sini, proposal penulisan skripsi selesai diketiknya untuk dibawa kepada dosen pembimbing. Dengan penampilan yang agak berbeda dari biasanya, Anto membawa proposal berjudul Korupsi, Konsumsi dan Pertumbuhan Ekonomi : Sebuah Tinjauan Kritis Atas Perilaku Mahkluk Ekonomi di Indonesia Pasca Krisis.

Belum sempat membaca bagian setelah judul, sang dosen dengan muka tidak mendidik langsung mengeluarkan sumpah serapah “Apa-apapun kamu ini!!”.
“Baca dulu boss!!” jawab Anto tenang saja, sambil melanjutkan “ Begini saja, daripada boss lelah membaca, bagian setelah judul akan saya terangkan”. Dan mulailah Anto menerangkan kegelisahannya mencermati pertumbuhan ekonomi yang konon mencapai antara 3 – 5 % per tahun sebagaimana yang diungkapkan para ekonom (yang sebagian adalah dosen di Universitas-nya) lewat berbagai macam acara talk show yang bertebaran di televisi saat ini. Pertumbuhan itu setinggi itu sebenarnya tidak perlu disyukuri karena berbasis pada ekonomi ekspansif dan bukan distributive atau terbagi merata untuk kesejahteraan rakyat. Pada titik ini Anto setuju, namun keberatan dengan pernyataan yang mendasarkan pertumbuhan ekonomi pada agregat konsumsi belaka. Dimata Anto pertumbuhan ekonomi perlu juga dijelaskan dari agregat korupsi, karena korupsi akan memacu konsumsi.

Meski diam-diam tertarik pada penjelasannya, sang dosen masih dengan galak bertanya “Basis teori ekonomi mana yang kamu pakai untuk melakukan analisa korupsi memacu konsumsi?”.
Kembali Anto menjelaskan bahwa korupsi di Indonesia bukan dipicu oleh kebutuhan melainkan keserakahan dan ini dibuktikan bahwa yang melakukan korupsi umumnya adalah mereka yang berkecukupan atau bahkan sudah berlebihan hingga mampu memberi warisan kesejahteraan pada anak cucunya. Dan terbukti biar ada kenaikan gaji berkali-kali toh tetap saja korupsi jalan terus. Nah, ditengah kondisi ekonomi negara yang kembang kempis, banyak pengangguran,investasi produktif nol besar, tapi kok toko-toko tidak pernah sepi. Mall dibangun dimana-mana, ruko-rukan bak cendawan, perumahan mewah laris manis, pusat-pusat grosir bermunculan dimana-mana, ini menandakan bahwa sector konsumsi tumbuh dengan baik yang ditandai pula dengan pertumbuhan perusahaan pembiayaan untuk kredit konsumsi. Ini kan yang perlu ditanyakan, siapa yang mampu membiayai hobby belanja di tengah susahnya memperoleh uang saat ini?. Tentu saja orang-orang yang bisa memperoleh uang dengan gampang. Mereka ini bisa saja para pemenang undian yang ibarat dapat uang jatuh satu karung, pemenang kontes-kontes popularitas, para artis atau bintang entah nyanyi,sinetron, film atau komedi, atau barangkali para penerima ganti rugi terutama yang tanahnya jadi konsensi perusahaan tambang atau pembangunan proyek komersial, termasuk didalamnya tentu saja para penerima warisan apalagi kalau warisan berupa perusahaan yang sehat dan menguntungkan. Namun pada akhirnya yang paling dinamis mengerakkan sector konsumsi adalah para koruptor.

Kembali sang dosen masih belum percaya walau sedikit terpana, “Coba kamu langsung saja pada intinya, tunjukkan persisnya bagaimana korupsi memacu konsumsi”.
Anto makin bersemangat, mengetahui diam-diam dosennya tertarik. Korupsi bukanlah sebuah tindakan tunggal dan berdiri sendiri. Dalam korupsi selalu ada lingkaran yang saling terkait dan ini menjelaskan kenapa korupsi susah diberantas. Korupsi biasanya merugikan negara tapi sering menguntungkan banyak orang. Dalam proyek pembangunan fisik korupsi bisa menebalkan kantong mulai dari pemberi pekerjaan, pimpro, pemborong (mulai dari pemilik sampai mandor) dan penyedia jasa lainnya yang berkaitan dengan proyek apalagi kalau proyeknya dibiayai oleh APBN (yang biasanya berasal dari utangan luar negeri). Masing-masing koruptor ini punya lingkaran tersendiri baik yang ke atas maupun ke bawah, lingkaran ini harus dipelihara untuk memastikan keamanan ibarat sebuah bumper yang bisa dipakai untuk melindungi jika ada tabrakan. Biaya ‘keamanan’ atau apapun namanya secara tidak langsung menjadi cara distribusi hasil korupsi ke berbagai pihak, namun distribusi hasil korupsi tidak selalu terjadi dalam bentuk seperti itu. Distribusi hasil korupsi bisa muncul dilakukan dalam berbagai cara baikyang berbau politik, social atau bahkan religius. Di tangan koruptor inilah tergantung hidup banyak orang baik yang benar-benar untuk hidup atau sekedar untuk bersenang-senang.

Sebagai negara dengan predikat koruptif kelas wahid, tentu saja jumlah koruptornya berjibun, demikian pula jumlah uang yang dijadikan ‘bancakan’.Oleh karenanya banyak orang ikut menikmati, mencicipi dan kemudian membelanjakannya. “Sehingga dengan semakin banyaknya orang yang korupsi maka akan semakin banyak pula orang yang berbelanja dan hasilnya pertumbuhan ekonomi negara akan meningkat” demikian penjelasan dari Anto mengakhiri sesi diskusinya dengan sang dosen pembimbing. Dengan sikap yang cukup tenang sang dosen mengatakan bahwa apa yang dikemukakan Anto sangat menarik dan baik sambil tak lupa menambahkan apa yang menarik dan baik belum tentu bisa dilakukan. Sang dosen kemudian berdiri dan mengulurkan tangan sembari mengatakan “Coba, cari tema lain yang lebih sesuai dengan teori yang kami ajarkan”.

Meski agak kecewa, pada akhirnya toh Anto bisa menerima sambil berguman “Apa boleh buat , toh pada dasarnya hidup dan kehidupan universitas ini serta yang ada didalamnya bisa jadi terlibat juga dalam lingkaran korupsi”.

Salam Merampok Negeri
@yustinus_esha

METAMORFOSA : Dari Pejabat Bisnis ke Pejabat Publik

0 komentar


Kini banyak dari mereka yang duduk sebagai penyelenggara pemerintahan atau bilang saja sebagai pejabat adalah orang-orang yang berasal dari kalangan eksekutif bisnis yang dikenal ‘sukses’. Mereka adalah para pengelola usaha, pemimpin yang handal dan cakap dalam dunia bisnis. Orang-orang yang layak disebut sebagai yang dihormati, disegani dan diakui mampu membesarkan sebuah usaha bisnis local menjadi usaha yang multinasional. Kini mereka meninggalkan jabatan di kelompok usaha mereka untuk berkecimpung dalam bidang politik dan meraih jabatan publik. Ada yang kemudian melepaskan kaki tangannya dari wilayah bisnis, ada yang menyerahkannya pada istri, anak atau menantu, tetapi tentu saja masih ada yang diam-diam mengendalikan bisnisnya dari tempat dimana dia duduk sekarang.

Masuknya para pebisnis handal dalam bidang politik tentu saja bukan sesuatu yang tidak disengaja. Institusi politik di masa reformasi banyak merekrut para pebisnis handal untuk turut menyumbangkan sumberdaya mereka dengan mengisi pos-pos strategis, utamanya dalam wilayah pengembangan ekonomi. Tentu saja jelas,motivasi merekrut mereka dalam wilayah ini karena selama ini mereka terbukti atau bisa menunjukkan keberhasilannya dalam membangun ‘kerajaan bisnis’ yang mampu menguasai perekonomian dalam tingkatan tertentu. Bagi kalangan bisnis, panggilan untuk menjadi pejabat publik tentu saja sebagai bagian tanggungjawab social mereka sebagai warga negara untuk tidak sekedar mensejahterakan diri mereka dan kelompok bisnisnya melainkan juga masyarakat yang lebih luas. Dan tentu saja ini bagian dari ‘balas jasa’ atas ‘very good governance’ dari pemerintah selama ini yang melindungi mereka lewat berbagai kebijakan dimasa krisis; dimana pemerintah betul-betul baik hati karena mengelontori dunia bisnis dengan uang triyulnan rupiah agar mereka tidak bangkrut.

Masuknya pebisnis dalam wilayah jabatan publik kerap menghasilkan sebutan ‘the dream team’ di pemerintahan. Sebutan ini membutakan kenyataan bahwa misi utama dari pemerintahan adalah melakukan kebaikan dan bukan menghasilkan uang sebanyak mungkin. Dan bak memimpin sebuah ‘kerajaan bisnis’ para mantan pebisnis ini sehari-hari sangat sibuk untuk berusaha sebanyak mungkin ‘mencari’ uang untuk menutup dan menambal APBN yang bolong disana-sini alias defisit. Kalau perlu APBN tertutup sehingga punya cadangan devisa sebagai mana layaknya deposito di bank. Alhasil dengan berbagai trik dan manuver, dan kalau perlu lobby sana-sini ketetapan dan restu untuk menjual asset negara (yang layak jual) dengan judul program privatisasi disetujui. Tentu saja kaum yang tergolong nasionalis dan patriotis tidak setujui, menjual asset negara ke swasta apalagi asing bagi mereka sama dengan jual tanah air, menjual kedaulatan negeri ini. Dan seperti biasa para pebisnis selalu berpatokan pada peraturan bukan perasaan (termasuk didalamnya cinta tanah air), apabila ketetapan politik sudah diambil maka tindakan itu legal dan konstitusional, titik. Kalau soal ada perlawanan itu biasa karena para ‘pelawan’ itu tidak sungguh-sungguh mengerti bagaimana mencari uang untuk negeri ini. Bagi pejabat mantan pebisnis ini bukan tempatnya mencampuradukan kepentingan mengumpulkan uang dengan perasaan atau romantisme terhadap negara. Pendek kata apapun harus dilakukan selama itu legal, konstitusional dan menguntungkan.

Gigihnya perlawanan terhadap usaha yang ‘tidak nasionalis’ ini terus bergulir sampai sekarang. Dan seiring dengan pergantian pemerintah, pejabat mantan pebisnispun berganti, ada yang berganti jabatan tetapi ada pula yang berganti orangnya. Tetapi nafsu untuk mengumpulkan uang sebanyak mungkin untuk negara tidak berubah hanya berganti saja caranya. Barangkali tidak lagi menjual ini itu yang sudah jadi, tetapi dengan membuat lapangan dan kemudian mengundang para pemain untuk bermain didalamnya. Dan biar banyak pemain terkenal datang ke lapangan, mereka diiming-imingi dengan berbagai kemudahan dan fasilitas yang memudahkan mereka mengembangkan permainannya. Melihat tawaran menarik para pemain terkenal ini biasanya bergabung untuk membentuk klub agar bisa menciptakan strategi permainan yang baik dan efektif alias cantik namun yang penting bisa menang lawan siapapun kalau perlu menang lawan yang punya lapangan. Permainan klub ‘luar’ yang cantik dan menjanjikan kemenangan, tak mungkin membuat tumbuhnya klub local. Ibarat sebuah pertaruhan maka tak ada petaruh yang akan menjagokan ‘ayam’ yang jelas-jelas akan lari karena tidak punya taji.

Tapi bukan mantan pebisnis namanya, kalau para pejabat negeri ini tidak mampu berkilah. “Nggak soal, biarpun bukan punya kita toh mereka bermain disini, kalau pertandingannya bagus kan banyak yang nonton. Kita bisa sediakan jasa lain seperti lahan parkir plus tukang parkirnya, jual makanan dan minuman, sediakan penginapan, tempat hiburan, mengelola dan mengolah sampah, dan jasa-jasa lainnya yang tak terbilang jumlahnya”.
“Bagaimana mungkin, kok jadinya seperti itu?”.
“ Ya mungkin saja, apa sih yang tak mungkin di negeri ini!!”.

Alamak!!!, Err…ruar biasa memang eksekutif mantan pebisnis kita.

Salam Double Koin
@yustinus_esha

Mall : Mereguk Bahagia Dunia

0 komentar

Mendengar kata filsafat, rata-rata orang akan berpikir tentang situasi yang rumit, berbelit-belit dan melampaui atau menjauhi kenyataan. Benarkah demikian, mestinya tidak sebab filsafat sebenarnya sesuatu yang dekat dengan keseharian hidup kita. Setiap orang hidup pasti pernah mempertanyakan sesuatu tentang hakekat diri, siapa aku?, apa tujuan hidup?, Benarkah Tuhan ada?, Apa itu kebenaran?, dan lain sebagainya. Sadar atau tidak, pertanyaan essensial seperti itu kerap datang entah diundang atau tidak. Orang juga cenderung mencari jawab atas berbagai fenomena yang ditemui sepanjang hidupnya.

Pemikiran dan ajaran filsafat dari berbagai jaman berserak dimana-mana. Banyak nama dikenal dan dikenang sebagai filsuf besar, baik mewakili periode jaman maupun kategori/aliran filsafatnya. Namun dari antara semua itu, ada satu pemikiran yang paling kerap dikutip atau populer sampai sekarang. Cogito ergo sum demikian dinyatakan oleh Rene Decartes salah satu filsuf yang mengusung paham esksitensialisme. Kutipan ini amat sering didengar terutama saat orang bicara soal eksistensi. Pernyataan ini menegaskan bahwa segala sesuatu patut diragukan apabila tidak disertai proses berpikir. Kenyataan ada karena kita berpikir.

Meski populer, tesis filsuf Perancis ini layak diuji kembali saat ini. Benarkah orang ada (bertindak) karena berpikir, sebab banyak bukti yang menunjukkan orang bertindak karena trend, karena iklan dan apa kata orang. Maka wajar apabila ada yang memlesetkan ayat suci Decartes menjadi 'saya berbelanja maka saya ada'. Dan mereka yang merasa berarti atau hidup dikala belanja kemudian dijuluki sebagai 'shophaholic' alias keranjingan belanja.

Trend dan konsumerisme telah menjadi 'iman' baru bagi para jemaah pembelanja dengan menjadikan mall sebagai pusat peribadatannya. Di kalangan atas, aktifitas keranjingan belanja bisa menghabiskan uang diluar nalar. Singapore, Paris, New York, Hongkong dan Ghuangzo adalah surga. Dan dengan enteng puluhan bahkan ratusan juta dihabiskan per bulan untuk segala sesuatu yang kebanyakan tidak diperlukan atau hanya disimpan di dalam almari. Pada kelompok yang kurang mampu, ada berita seorang gadis menjual keperawanannya demi membeli handphone model terbaru. Rupanya semakin banyak orang 'gatal' kalau melihat iklan promosi barang baru.

Penanda yang paling fundamental dari pencitraan konsumerisme adalah mall. Mall, tumbuh dimana-mana dengan kecepatan yang luar biasa. Jarak antara satu dengan yang lainnya semakin dekat. Secara rinci, mall didesain agar pengalaman hidup sepenuhnya dinikmati dalam satu tempat. Udara yang sejuk, lorong memanjang dengan pemandangan indah di kanan kiri, bermacam outlet yang menyediakan barang maupun jasa dari yang paling penting sampai yang hanya berguna untuk orang tertentu. Cafe, food court, game zone dan lainnya yang bakal membuat waktu berlalu tak terasa. Pendek kata jika hidup kita hanya terpaku pada memuaskan nafsu dari kelima panca indera, maka mall adalah jawaban yang sempurna. Paul Mazursky pembuat film 'Scene from The Mall' mengatakan : Apapun yang bisa terjadi dalam hidup anda, bisa terjadi di mall.

Di Samarinda ini apa sih hiburan untuk kita selain pergi ke mall, itu sebuah ungkapan seseorang ketika ditanya kenapa doyan sekali pergi ke mall. Dan tepat, mall memang bukan sekedar tempat belanja. Tapi juga tempat lari dari kepenatan hidup, sejenak meredam stress, menghilangkan bete daripada diam di rumah membaca koran atau menonton televisi yang isinya berita korupsi tiada henti. Mall lebih cepat menyajikan realitas imajiner yang memuaskan hati, ketimbang berbagai rencana pemerintah membangun bandara, jalan tol, pelabuhan dan sebagainya. Mall diam-diam dibangun dan jadi. Sementara rencana pemerintah terus ribut kanan kiri dan tak pernah jelas kapan akan terwujud.

Pernyataan bahwa hanya mall yang bisa menjadi hiburan mungkin dengan gampang bisa dibantah. Bukankah di Samarinda juga ada KRUS (Kebun Raya Unmul Samarinda), ada taman membentang di sepanjang tepian Mahakam, ada Desa Budaya Pampang, ada Museum dan Taman Budaya serta Water Park. Benar begitu, namun kebanyakan tempat tadi semakin hari semakin tak terurus, fasilitas dan keindahannya memudar tanpa sentuhan baru, bukannya dapat kesenangan melainkan lebih banyak merepotkan. Itu berbading terbalik dengan mall yang semain hari tambah semakin lengkap fasilitasnya. Mall semakin merepresentasi diri sebagai one stop shopping, entertaining dan bahkan educating.

Jika kita jeli mengamati kehidupan di mall maka sesungguhnya kita tengah mengamati potongan kehidupan masyarakat kontemporer. Dan yang pasti buat sebagian laki-laki, mall adalah tempat memelihara kesehatan mata juga kesehatan hati. Berada di mall tak bakal membuat hati jadi beku, sebab dalam satu jam kita (kaum laki-laki) bisa jatuh cinta berkali-kali.

Salam Belanja Meski Tak Ada

@yustinus_esha

Tato : Dari Apo Kayan ke Samarinda

0 komentar

Masihkan orang berpikir bahwa tato adalah penanda bagi mahkluk yang cenderung kriminal dan tindik (piercing) adalah peradaban massa silam?.
Minggu, 24 Juli 2011, bertempat di gedung PKM Universitas Mulawarman Samarinda digelar event eksibisi tato. Siapapun yang hadir di tempat itu dengan segera akan merubah persepsi atau pandangan tentang tato dan tindik. Kurang lebih ada 10 tato artist (penato atau tukang tato) yang membuka “lapak” untuk menunjukkan kemampuan dan gaya tato-nya. Dan mayoritas yang di tato adalah perempuan yang wajah dan lagaknya sama sekali tidak seram. Aura yang merebak malah mencerminkan bahwa tato adalah seksi.

Bumi Borneo dan Mentawai adalah daerah yang menyimpan narasi penting dalam catatan perjalanan sejarah tato di Nusantara. Di Borneo, masyarakat Dayak terutama sub etnis Dayak Kenyah (Kayan) dan Dayak Iban mempunyai tradisi menoreh tanda di tubuh. Pada masyarakat Kayan, adalah lazim seorang perempuan di tato. Upacara penatoan dilakukan tatkala si anak perempuan mulai menginjak masa dewasa, atau saat sudah mengalami haid yang pertama. Upacara tato yang rumit dan panjang dimaksudkan untuk memberi penanda tubuh bagi perempuan agar terhindar dari serangan roh jahat. Motif tato yang merupakan perpaduan antara kehidupan manusia, binatang dan tetumbuhan di sekitarnya adalah lambang sekaligus ekpresi harapan atas kesuburan, keamanan (keselamatan), kebajikan dan kesehatan.

Tato pada masyarakat Dayak juga melambangkan harmonisasi antara kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Lewat upacara penatoan, seseorang mendekatkan diri pada yang transeden. Entah kepada para dewa maupun roh nenek moyangnya yang mereka hormati. Tubuh yang ditato bukanlah tubuh kontemporer, melainkan tubuh yang berhubungan dengan kosmos atau dunia, dunia atas, tengah dan bawah.

Meski termasuk sebagai salah satu pioner budaya tato, kini tak banyak lagi masyarakat Dayak yang terampil melakukan tato tradisional mereka, generasi mudanya juga tak lagi sudi ditato layaknya kakek dan nenek mereka. Tato Dayak tergerus oleh modernitas, “tubuh yang bertato” di pandang sebagai tubuh masa silam yang bercorak primitif dan tak cocok untuk masa sekarang. Dan terbukti dalam ekshibisi tato yang diselenggarakan di PKM Unmul tak ada satupun penato tradisional Dayak yang bisa dihadirkan.

Melihat gelaran ekshibisi yang mayoritas di hadiri anak-anak muda dengan “dres code” hitam-hitam, tato di saat ini adalah kontinuitas sekaligus diskontinuitas dari rajah tradisional suku-suku di Nusantara maupun dunia. Kontinuitas karena tato (permanen) dari dulu sampai sekarang adalah sama yaitu memasukkan (dengan berbagai cara) zat pewarna di lapisan bawah kulit tubuh manusia. Sementara diskontinuitas terjadi karena tradisi tato dulu dan sekarang tak lagi berhubungan baik dalam ritual penatoan maupun tujuannya.

Tato kini banyak dilakukan oleh masyarakat urban atas pilihan sukarela atau bebas. Tato tidak lagi dimandatkan oleh aturan atau tradisi dalam sistem kepercayaan atau sosial tertentu. Andaipun ada spirit dibalik penatoan, maka mereka sesungguhnya memilih untuk keluar atau melawan budaya mainstreams lingkungan terdekatnya (keluarga, sekolah, tempat kerja).

Lepas dari itu semua dari dulu sampai sekarang, sesungguhnya tubuh tidak pernah netral. Tubuh selalu diintepretasi sesuai dengan jamannya. Tubuh selalu dijaga, dirawat dan diperindah dengan berbagai cara. Yang paling normal dan biasa adalah ritual bersih-bersih, mandi, keramas, creambath, facial dan lain-lain hingga di lindungi dan diperindah dengan pakaian serta perlengkapan lainnya. Namun sejak jaman dulu pula ada kecenderungan tubuh direkayasa, entah dengan mengurangi atau menambahkan sesuatu.

Semua itu adalah sebuah proses dialog, manusia berdialog dengan tubuhnya sendiri untuk mendapatkan tubuh yang nyaman untuk dirinya sendiri dan syukur-syukur bagi orang lain. Dan tato sebagaimana seseorang merubah (mencat) warna rambut, rebounding dan krol untuk merubah bentuk rambut, memutihkan atau mengelapkan kulit, menyedot lemak agar langsing, merubah bentuk hidung,mengencangkan payudara, mengembalikan keperawanan, merubah kelamin agar selaras antara fisik dan psikis adalah sebuah proses internal, perjalanan mencari jati diri agar seseorang merasa menjadi dirinya sendiri. Kenyamanan pertama adalah ketika kita merasa nyaman dengan tubuh (diri) kita sendiri.

Salam "Tatu" (terluka)

Batu Lumpang 24 Juli 2011

MEDIA : Menyeret Tato Ke Pop Culture

0 komentar

Media memegang peran penting dalam dinamika sosio kultural di masyarakat. Di tengah iklim yang menindas, media bisa menjadi corong dari penguasa untuk menekan masyarakat agar bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan penguasa. Namun dalam iklim demokratis atau kebebasan informasi media kerap kali menjadi corong terdepan memicu tumbuhnya budaya altenatif, budaya baru di luar mainstream atau pakem sebelumnya.

Aspek gaya hidup adalah salah satu bagian dari pemberitaan yang menduduki porsi tinggi dibaca atau ditonton oleh konsumen media. Dan tidak sedikit pula media yang mengkhususkan diri untuk menyorot persoalan gaya hidup. Kini banyak lahir media yang jelas-jelas membranding dirinya sebagai “life style magazine” atau “life style channel”. Selain media mainstreams, muncul pula media-media komunitas yang fokus pada isu-isu tertentu.

Tato dengan segala dinamikanya di masa silam, diuntungkan oleh keadaan ini. Tato hadir sebagai “tubuh yang mendunia” di halaman dan lembar media. Tubuh-tubuh bertato di berbagai belahan dunia hadir tersaji di hadapan mata, entah lewat film layar lebar, keping vcd, layar televisi atau lembar-lembar halaman majalah. Tato kembali mengeliat dalam sejarah modern lewat penampilan “Kelompok Gitar Rancak” Guns and Roses di penghujung tahun 80-an. Gaya tato dari Axel Rose dan kawan-kawannya segera menginspirasi kaum muda urban untuk menirunya. Selain Guns and Roses, kelompok musik lain macam Mutley Cruel, Megadeth, Poison, Sepultura hingga White Lion, para personelnya menghiasi tubuhnya dengan tato.

Gaya tato lain diperkenalkan oleh Jonathan Davis, vokalis Red Hot Chili Peppers (RHPC) yang menghiasi tubuhnya dengan motif tribal’s. Dan setelah itu muncul pula sosok-sosok selebritas yang segera menjadi inspirasi bagi kaum muda untuk menandai tubuhnya dengan tato. Dunia selebritas (artis musik, film dan model) memang menjadi kiblat bagi anak-anak muda perkotaan untuk menampilkan citra diri sebagai kaum modern, kaum pengikut budaya populer.

Epigon kaum muda perkotaan tidak selalu mengarah ke pemain musik atau bintang film barat, tetapi juga selebritas asia dan lokal. Gaya model kondang Karenina yang mengikuti “one point tato” Drew Barimore segera diikuti oleh gadis-gadis lainnya. Selebritas perempuan lain yang gemar menato dirinya adalah Melani Subono dan Nafa Urbach. Luna Maya mengemparkan jagad pemberitaan lewat tato kecilnya yang terekam dalam video skandal seksualnya dengan Ariel Peterpan.

Namun tato tidak sekedar berkaitan dengan selebritas dari dunia seni, tato juga turut dipopulerkan oleh para olahragawan Pemain basket NBA dengan jelas menunjukkan rajah yang menghiasi tubuhnya, Dennis Rodman adalah salah satunya. Dari dunia olahraga tentu saja David Beckham adalah ikon yang paling populer dari menularkan demam tato. Gaya yang sama diikuti pula oleh Wayne Rooney yang menato nama anak di tubuhnya. Para petinju juga banyak yang menghiasi tubuhnya dengan tato, Mike Tyson bahkan merajah bukan hanya bagian tubuhnya melainkan sampai ke wajahnya.

Daftar selebritas baik dunia maupun Indonesia yang gemar menato tubuhnya dengan mudah bisa diperpanjang. Dan para selebritas inilah yang setiap hari mengisi jagad pemberitaan media lewat berbagai macam acara maupun kolom. Segenap aktivitas pemberitaan membuat media telah menempatkan tato dalam jagad budaya populer. Banyaknya selebritas yang “sangat feminim” tapi tak ragu untuk menato tubuhnya meruntuhkan stigma bahwa tato hanya berkembang pada kelompok maskulin yang sangar dan kriminal (liar). Sadar atau tidak, media telah menempatkan bahwa tato pada perempuan bercitra “sexy”.


Salam Coret Tubuh
Batu Lumpang, 25 Juli 2011
@yustinus_esha

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum