• Blockquote

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Duis non justo nec auge

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (92)

Jumat, 16 November 2012 0 komentar


Data Mencerdaskan Bangsa

Perihal berterus terang dan terbuka ternyata masih menjadi persoalan besar meski UU Kebebasan Informasi Publik telah disahkan dan diberlakukan di republik ini. Hambatan untuk terbuka, memberi informasi tanpa prasangka ternyata masih sangat berat. Mulai dari yang remeh temeh sampai alasan-alasan lain yang kadang sulit untuk dijawab oleh peminta informasi lantaran pertanyaannya aneh bin ajaib. Contohnya seorang teman meminta informasi di sebuah instansi pemerintah kabupaten, tahu yang meminta adalah organisasi yang berasal dari kota lain, lantas ditanya “Untuk apa, anda yang berasal dari Kota X, minta data dan informasi dari daerah ini?”.

Masih ada cerita lain dari kawan yang meminta informasi dengan surat tugas dari sebuah lembaga yang ada di Ibukota. Surat tugas itu justru jadi malapetaka, sebab belum juga dijawab ada atau tidaknya data yang diminta, kawan tadi langsung disoal. Data atau informasi tak bisa diberikan kepada badan atau organisasi yang namanya tidak terdaftar resmi pada badan terkait di daerah itu.

Sebaiknya jika mengalami hal-hal seperti itu jangan langsung panas kepala dan mendidih hati kita. Rasanya percuma mau menerangkan isi dari UU KIP kepada mereka. Sebab jangan-jangan bentuk dan wujud UU-nya saja belum pernah mereka lihat. Saya yakin seyakin-yakinnya sebagian besar aparatur negara di daerah tidak tahu apa itu PPID (Pejabat Pemberi Informasi Daerah). Lebih konyol lagi, ketika menjawab pengajuan permintaan informasi ada yang menjawab ‘Kalau kami tak mau memberikan, mau apa?”. Nah, diminta informasi malah mengajak berkelahi.

Ada berbagai macam dalih, saat disebutkan bahwa permintaaan informasi harus ditanggapi sebagaimana diamanatkan oleh UU, salah satunya adalah dengan menyatakan bahwa PPID belum ditunjuk, atau belum keluar peraturan daerah tentang hal itu. Padahal mestinya tak perlu sibuk-sibuk menunjuk petugas baru atau malah menyekolahkan orang-orang tertentu untuk menduduki jabatan itu. Cukup memanfaatkan sumberdaya yang ada selama ini, toh di dalam setiap badan atau organisasi biasanya telah ada jabatan humas. Bukankah mereka sudah terbiasa memberikan informasi, menyebarluaskannya entah kepada media atau melalui cara-cara lainnya.

Ketika berbicara soal kebebasan informasi, saya merasakan ada semacam tembok besar di kalangan aparatur negara juga mereka-mereka yang menerima atau menggunakan dana pemerintah nasional maupun daerah. Tembok yang dibangun atas dasar ketakutan, sikap yang berlebihan dan hitung-hitungan yang dilandasi atas buruk sangka. “Kami bisa saja memberikan data yang diminta, tapi harus dipastikan data itu digunakan untuk hal-hal yang baik”, begitu perkataan yang sering terdengar dari para pihak yang berwenang.

Terkadang muncul dalam benak saya, bahwa dalih maupun dalil yang diucapkan tak lebih dari sekedar ingin cari mudah, entah karena data tidak ada, tersebar sehingga makan waktu untuk mengumpulkannya atau yang lebih celaka karena mereka memang melakukan hal-hal yang tidak baik. Adalah celaka misalnya data-data yang dikumpulkan sembarangan dan menghasilkan informasi yang tidak akurat diketahui oleh pihak lain.  Maka tinimbang mempermalukan diri dan instansi maka ditahanlah data-data itu agar tidak tersebar ke publik. Cukuplah data-data itu hanya diketahui antar sesama mereka yang memakai platform TST (tahu sama tahu).

Setahu saya UU mengisyaratkan agar data atau informasi bisa diperoleh dengan cara yang cepat, mudah dan murah. Sebuah slogan yang sebenarnya tidak sulit untuk diwujudkan dalam jaman segala sesuatu sudah serba online. Apa sulitnya setiap institusi atau lembaga pemerintah menyusun sebuah sistem informasi yang berbasis pada Tehnologi Informasi Komunikasi. Dan kemudian masing-masing sistem itu diintegrasikan dalam sebuah sistem yang terkoneksi dan ditampilkan dalam bentuk situs web sehingga dengan sekali klik apa yang dibutuhkan oleh pencari informasi bisa tersaji.

Jejak untuk terus terang dan terbuka sebenarnya bisa dilacak di beberapa situs milik pemerintah daerah di mana tersedia halaman sistem informasi perencanaan dan pembangunan daerah. Di halaman itu tersedia berbagai kategori informasi beserta turunannya, lengkap dan detail. Pesoalannya, halaman itu hanya menyediakan form tanpa isi. Ataupun kalau ada informasi maka umurnya sudah tua, lebih dari lima tahun yang lalu.

Jika ditanyakan soal kenapa situs-situs milik pemerintah daerah atau SKPD sering tidak update informasinya, jawaban yang klasik adalah kurangnya sumberdaya untuk mengelola situs tersebut. Saya heran, sumberdaya apa lagi yang dibutuhkan?. Bukankah pengelola situs hanya bertugas untuk mengupload data di halaman atau form yang tersedia. Sementara isi atau informasi yang dibutuhkan semua berasal dari pekerjaan atau program-program rutin dari masing-masing lembaga.

Jadi kalau boleh disimpulkan sebenarnya pemerintah dan lembaga publik lainnya sebenarnya mempunyai masalah yang sama soal ketersediaan data, data yang valid, terus menerus diperbaharui dan terpusat. Nampak jelas dalam sebuah organisasi  dimana didalamnya ada berbagai bidang, masing-masing menyimpan datanya sendiri-sendiri, digunakan hanya demi kepentingannya sendiri.

Kekhawatiran bahwa jika data diberikan kepada pihak luar lalu akan digunakan untuk kepentingan yang tidak benar, bagi saya adalah taktik untuk menutupi mutu data yang rendah yang bisa dipakai oleh pemohon untuk mengkritik pemberi data. Dan saya yakin seyakin-yakinnya kebanyakan birokrat kita bertelinga tipis, tak tahan dikritik tapi tak mau juga memperbaiki diri.

Saya pernah membaca semacam slogan yang berbunyi ‘Data Mencerdaskan Bangsa’ dalam sebuah publikasi dari BPS. Semoga slogan indah ini bukan sekedar kata-kata sampah.

Pondok Wiraguna, 16 November 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (91)

Kamis, 15 November 2012 0 komentar


Malioboro bukan Malboro

Ingat Yogya, pasti ingat Malioboro. Sebuah kawasan yang selalu menjadi tujuan para pelancong nusantara kala berkunjung ke Yogyakarta. Dulu kerap kali saya tertukar-tukar kala menyebut Malioboro dengan Malboro, merk rokok putih produksi Amerika. Setiap kali ke Yogya, saya selalu menyempatkan diri mampir ke Malioboro, berjalan dari ujung mulai dari ‘teteg’ Stasiun Tugu sampai Pasar Bringhardjo atau Mirota Batik sebelum perempatan dekat Kantor Pos.

Malioboro bukan sekedar nama sebuah jalan dan tempat keramaian tradisional  yang konon sudah ada semenjak tahun 1758. Malioboro merubahan garis dalam ruang spiritual yang menghubungkan antara Gunung Merapi, Tugu, Keraton Yogya dan Segoro Kidul (laut selatan). Nama Malioboro sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti karangan bunga. Dinamakan begitu karena dulu di kanan kirinya dipenuhi dengan tanaman bunga.

Berhubungan dengan bunga atau kembang, tak jauh dari ujung Malioboro yang berada di sebelah timur Stasiun Tugu, ada sebuah gang yang menjadi legenda. Daerah yang terkenal dengan sebutan Sarkem alias Pasar Kembang. Dilihat dari namanya maka Sarkem mempunyai hubungan dengan Malioboro yaitu sama-sama mengandung kata bunga. Dan bunga-bunga di Sarkem adalah wanita-wanita malam yang berawal dari sejarah ‘pergundikan’ di masa-masa pendudukan Belanda.

Menelusuri jalan Malioboro dan sekitarnya cukuplah bagi kita untuk mendapat adukkan pengetahuan dan pengalaman tentang Yogya mulai dari sejarah sampai kehidupan kontemporernya. Bangunan bersejarah berada di bagian selatan, sekitar perempatan dimana disana ada Monumen Serangan Umum 11 Maret. Monumen dengan halaman yang luas itu sering dipakai sebagai lokasi konser dadakan dan pertunjukan tari serta seni tradisional lainnya. Berhadapan dengan monumen itu, diseberang jalan adalah Istana Negara dengan hamparan rumput hijau di halaman. Disebut sebagai Istana Negara karena pernah ditempati oleh presiden Sukarno kala ibukota Indonesia pindah ke Yogyakarta.

Di sebelah monumen masih berdiri kokoh Benteng Vredeburg, yang kini ramai menjadi lokasi wisata sejarah sekaligus kerap menjadi tempat ekshibisi untuk memamerkan karya-karya seniman di berbagai bidang. Vredeburg dalam bahasa Belanda berarti jembatan kemerdekaan. Diseberang jalan bagian selatan monumen, masih tersisa bangunan tua bercorak Belanda dan kini dipakai sebagai Kantor Pos, Gedung BI dan BNI. Dan ke arah timur tak jauh dari monumen itu, ada tempat favorit kesukaan anak saya yaitu Taman Pintar. Taman yang dibangun di lokasi yang dulu lebih dikenal sebagai Shopping Centre, pasar buku besar di kota Yogya.

Di bagian utara monumen, terletak pasar monumental yaitu Bringhardjo yang berasal dari kata Beringin (pohon Beringin) dan Hardjo (harapan akan kesejahteraan rakyat). Pasar tradisional ini dulu dikenal sebagai kerajaan copet, tak heran disepanjang lorong pasar ini diberi papan peringatan ‘awas copet’. Pasar yang merupakan pusat dari segala macam produk batik ini lorongnya memang sempit, maka pada hari-hari yang ramai perlu kesabaran untuk mencari apa yang kita inginkan karena kita mesti berdesak-desakkan di lorongnya yang sempit.  Diseputaran pasar ini, bagian depan, kanan dan kiri kita bisa menemukan penjual pecel disertai baceman tahu-tempe-ayam, sate, dawet dan jajanan tradisional lainnya. Bahkan saya masih menemui penjual buah ‘cimplukan’ di samping bagian depan.

Malioboro sebagai sebuah kawasan sesungguhnya adalah Mall yang maha raksasa dengan arcade panjang di sisi kanan kirinya. Dan disepanjang kanan kiri itu berjejer baik toko maupun lapak-lapak pedagang kaki lima dengan komoditas utama pakaian dan pernak-perniknya serta makanan dan jajanan. Cinderamata aneka rupa, dengan trend berganti tahun demi tahun berjejer di sepanjang jalan Malioboro, soal harga, ketrampilan menawar menjadi kuncinya. Menelusuri jalanan Malioboro pasti kita akan menemui sekelompok orang menawarkan Dagadu, kaos Yogya yang melegenda hingga menjadi merk generik untuk kaos-kaos dengan kata-kata unik. Sejatinya kini di sepanjang Malioboro muncul brand-brand lain seperti garenk, capung, mronggos dan lain sebagainya, namun nama Dagadu terlanjur lebih mudah melekat di lidah. Dagadu berarti matamu, diambil dari bahasa yang diramu berdasar huruf Jawa yang dipakai di kalangan GALI (Gabungan Anak Liar), kelompok preman yang dulu tersohor di Yogyakarta.

Di chanel HBO ada sebuah mata acara yang berjudul Scam City, berisi modus-modus penipuan maupun kelicikan dari orang-orang setempat di lokasi keramaian kota. Dan Malioboro pun mempunyai cerita yang sama. Warung-warung makan di sepanjang Malioboro di malam hari (terutama di jalur depan antara hotel Ina Garuda dan Malioboro Mall) dulu dikenal hanya memasang nama menu tanpa disertai harga. Mereka yang memesan makanan dan ditenggarai berasal dari luar Yogya (dikenali dari logat atau wajahnya) akan dikenai harga yang selangit. Praktek ini kemudian membuat orang-orang malas bersantap di sepanjang jalur Malioboro.

Masih ada banyak cerita tentang Malioboro yang bisa diekplorasi. Tak cukup waktu sehari untuk mengenali berbagai macam cerita dan pengalaman di sekitar Malioboro. Namun jangan khawatir, ketika ke Yogya dan ingin mengenal Malioboro dari dekat, maka tinggallah di sekitar jalan Ndagen, Sosrowijayan atau Pasar Kembang, disana banyak hotel, losmen, guest house mulai dari yang bertarif puluhan  hingga ratusan ribu semalam, tergantung dari tebal tipisnya kantong kita. Hanya saja pada masa-masa liburan besar perlu perjuangan untuk mendapatkan kamar.

Kala malam, kaki pegal dan badan cape tapi tak ingin menghabiskan waktu di dalam kamar, carilah taksi dan minta sopir untuk mengantar ke Taman Purawisata. Dengan tiket masuk 10 – 15 ribu kita akan menyaksikan penampilan grup musik mulai dari lagu-lagu kenangan sampai goyang dangdut nan asoy. Buat saya, duduk di Taman Purawisata, ditemani sebotol bir sambil menyaksikan sekelompok orang menari-nari bergoyang di depan panggung menjadi hiburan tersendiri.

Nah, bagi yang punya keinginan untuk mendapat pengalaman ‘lebih’, coba saja pulangnya naik becak. Kalau kita naik becak sendirian di malam hari, kebanyakan tukang becak akan bertanya “tidak cari teman mas/pak, mahasiswi, masih muda-muda dan tidak mahal”. Nah ...lo ....!!!. Selanjutnya terserah anda.

Pondok Wiraguna, 15 November 2012
@yustinus_esha


Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (90)

0 komentar


Sekolah Yuk
Saat masih tinggal bersama orang tua, saya melihat sendiri betapa sengsaranya bapak dan ibu kala adik saya mogok sekolah. Pagi-pagi yang seharusnya tenang berubah menjadi gaduh dan riuh karena bapak dan ibu mulai dari cara halus sampai kasar memaksa adik saya yang tanpa alasan tak mau berangkat sekolah.

Pengalaman yang sama saya lihat juga pada kakek dan nenek, yang selalu kerepotan karena adik bungsu ibu saya juga kerap mogok sekolah. Berkali-kali mogok dan berkali-kali minta pindah sekolah sehingga selalu membuat tambahan kesibukan yang tak perlu untuk kakek dan nenek.

Kelakuan yang sama ditunjukkan oleh seorang kemenakan, yang tanpa alasan juga kerap mogok sekolah. Para profesional mulai dari dokter hingga psikolog anak diminta untuk mendignosa masalah dan mencari jalan keluar. Tiap kali treatment berhasil, mau sekolah lagi dan orang tua mulai lega, kembali lagi kemenakan berulah, begitu seterusnya. Syukur masa Sekolah Dasar dilahapnya meski dengan nilai akhir yang pas-pasan. Badai datang kembali, belum tiga bulan sekolah di SMP, kemenakan saya ini mogok kembali.

Dan tak seperti kebanyakan anak yang malu kalau tidak sekolah, kemenakan saya ini malah bertingkah sebaliknya. Pagi-pagi ketika teman-temannya berangkat ke sekolah, dia ini ikutan juga keluar rumah, mengendarai motor keliling kampung. Orang-orang disekitarnya kemudian menjulukinya sebagai Pak Lurah.  Siangnya ketika teman-temannyapulang sekolah, dia bermain dengan teman-temannya hingga sore hari tanpa beban. Tentu saja ini membuat beban batin kedua orang tuanya menjadi berat. Bapaknya yang sehat-sehat sempat terkena stroke ringan gara-gara kelakuannya ini.

Berkaca pada pengalaman itu, sebagai orang tua seorang putri, saya merasa gembira karena putri saya hampir tak pernah terlihat gejala malas pergi ke sekolah. Entah apa yang membuat dia bersemangat pergi ke sekolah, apakah karena ingin bermain dengan temannya atau pergi jajan di kantin, saya tak terlalu peduli.

Saya ingat ketika masih di TK dulu, biarpun hujan deras, dia tetap memaksa untuk pergi ke sekolah. Padahal sekolahnya kerap kena banjir sehingga kalau hujan dari semalam biasanya tidak ada pelajaran. Tapi meski diingatkan begitu, tetap saja dia ingin pergi ke sekolah, kalau benar nanti sekolahnya kebanjiran baru dia rela tidak bersekolah.

Sekarang putri saya sudah kelas satu SD, masih terbata-bata ketika diminta membaca. Saya dulu memang tidak memaksa dia untuk belajar membaca saat masih TK, menurut saya biarlah dia bermain saja dan mengenal atau belajar apa yang ingin dipelajarinya. Saya tahu bahwa ketika masuk SD dan kemudian belum cukup lancar membaca maka akan mengalami kesulitan. Dan benar memang begitu karena semua buku paket mengandaikan anak-anak sudah bisa membaca.

Entah karena merasa tertinggal dari sebagian temannya, anak saya kemudian mau untuk ikut les membaca yang awalnya tidak menarik minatnya sama sekali. Setelah mengikuti les perkembangan kemampuan membacanya terlihat meningkat. Dan itu wajar saja karena suasana dan sistem belajar di tempat les dan sekolah berbeda. Di tempat les muridnya lebih sedikit, setting tempat belajarnya juga berbeda sehingga guru berdekatan dengan muridnya serta lebih fokus karena yang dipelajari hanya baca tulis, atau berhitung saja.

Ketika satu tingkatan les dilewati, saya tawarkan untuk les privat di rumah saja, ternyata anak saya tidak mau, dia tetap ingin melanjutkan pelajarannya tambahan di tempat lesnya selama ini. Sepertinya dia menyukai belajar di tempat les dengan suasana yang cocok untuknya. Dan memang benar tempat les walau didesain dengan tingkatan (kelas) suasananya jauh lebih bebas dibanding dengan kelas di sekolah-sekolah umum. Siswa bisa duduk bebas, dengan susunan meja berkeliling sehingga lebih dekat dengan gurunya.

Suasana belajar seperti inilah yang sebenarnya dibutuhkan dengan anak-anak. Anak-anak yang masih belajar untuk berkonsentrasi, masih perlu bantuan dari guru untuk segala sesuatunya. Yang mengherankan untuk saya kenapa sekolah-sekolah umum tidak belajar pada lembaga-lembaga pendidikan di luar sekolah yang nampaknya makin lama makin disukai oleh anak-anak. Hampir tak pernah terlihat wajah murung dan malas dari anak-anak yang pergi mengikuti pelajaran tambahan di tempat les.

Gejala-gejala banyak anak stress di sekolah umum mulai kentara, terlalu banyak pelajaran yang harus diketahui dan dihafal membuat anak-anak pergi dan pulang sekolah menanggung beban baik secara fisik maupun mental. Dengan beban yang berat kemungkinan prestasi anak-anak menjadi kurang baik, semangat belajarnya kurang tinggi. Sampai dirumah orang tua yang khawatir akan perkembangan pengetahuan anaknya menjadi keras dan terkadang kasar untuk menekan anak agar belajar.  Dan jika ini terjadi terus menerus, anak-anak bukannya takut melainkan malah bisa jadi protes dengan mogok sekolah.

Kemenakan saya yang baru lulus SD dan belum lama masuk SMP mogok sekolah. Tentu saja orang tuanya panik dan bingung. Namun tak berhasil membujuknya. Hingga kemudian kemenakan saya bersedia belajar dengan sistem Home Schooling, dengan siswa yang terbatas dan belajar seminggu tiga kali. Kini sudah lebih dari tiga bulan, kemenakan saya ini mengikuti pelajaran di home schooling dan senang-senang saja karena bisa pergi belajar dengan pakaian bebas. Hanya saja dengan sistem pembelajaran seperti itu, balik menimbulkan beban berat untuk orang tua. Untuk belajar yang membuat anak nyaman, dibutuhkan biaya per semester sekitar tiga juta rupiah plus iuran bulanan sekitar empat ratus ribu rupiah.

Atas semua pengalaman dari kemenakan saya itu, saya bersyukur bahwa anak saya terus bersemangat mengikuti pelajaran di sekolah. Sampai hari ini belum pernah satu haripun absen mengikuti pelajaran di kelas. Bahkan suatu hari dia menyembunyikan keadaannya yang kurang sehat sehingga saya ditelepon gurunya untuk menjemput di sekolah dan membawanya pulang beristirahat.

Saya percaya bahwa anak-anak selalu mempunyai keinginan untuk tahu banyak hal dan tugas saya adalah menjaga itu tanpa menambah beban untuknya dengan menitipkan apa yang saya inginkan agar anak saya ketahui. Saya mencoba terus untuk belajar agar mempercayai anak sambil menemani dan membantunya dikala bantuan saya dibutuhkan olehnya.

Pondok Wiraguna, 14 November 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (89)

Senin, 12 November 2012 0 komentar


Damai Bersama Kopi

Suatu kali saya pernah menyumpah salah satu cafe di bilangan Samarinda, lantaran pelayanan di cafe yang saat itu belum lama dibuka lambat dan tidak akurat. Saya berjanji nggak akan mau lagi singgah di cafe itu, titik. Dan berbulan-bulan setelahnya saya masih teguh memegang sumpah dan janji itu, sampai tiba pada suatu masa saya tak bisa menghindar lagi untuk pergi kesana. Teman yang mengajak kesana mengatakan sekarang layanan cafe itu sudah jauh lebih baik dibanding semula.

Saya tak punya harapan tinggi ketika pergi kesana dengan beberapa teman. Setelah di beri buku list menu, saya melihat daftar minuman kopi Nusantara, ada kopi Sidikalang, Mandailing, Lintong, Flores dan sebagainya, saya memilih kopi Sidikalang. Dan benar tak terlalu lama datang secangkir kopi Sidikalang dengan tampilan yang mengesankan. Saya mencium baru harum, harum bukan karena parfum melainkan seduhan kopi yang sempurna. Dan sebetulnya amat jarang saya menyeruput kopi tanpa gula, namun malam itu saya mencobanya dan kopi terasa tidak pekat dimulut. Tepat sesudah itu saya mencabut ‘kutuk dan sumpah serapah’ saya atas cafe itu.

Ingatan saya kemudian melayang ke Pematang Siantar, tempat pertama yang saya kunjungi di Sumatera setelah transit sejenak di Medan. Di kota itu saya baru tahu sebutan berbagai jenis kopi di Sumatera, yang semula hanya saya kenal dengan sebutan kopi Aceh. Ternyata ada kopi Sikalang, Mandailing dan Lintong, dan kopi Aceh yang terkenal ternyata adalah kopi Gayo. Kopi memang populer di Sumatera, di Pematang Siantar selain angkutan motor besar (BSA) yang menarik perhatian saya adalah kedai-kedai kopi yang buka sejak pagi hari di mana-mana.

Kopi, bijian yang ditemukan pengembala sapi di Ethiopia dan kemudian menyebar menjadi minuman kesehatan di tanah Arab, hingga berkembang menjadi ‘anggur hitam’ di Eropa, masuk ke Indonesia dibawa oleh orang Belanda. Kopi awalnya dikembangkan di tanah Jawa, konon pertama di daerah yang kini dikenal sebagai Pondok Kopi. Dari situ kemudian kopi menyebar ke hampir seluruh penjuru Nusantara dan menghasilkan kopi dengan ke-khasan masing-masing. Kopi yang dikembangkan adalah jenis Arabica dan kemudian bumi Nusantara dikenal menjadi produsen kopi Arabica terbesar se dunia. Sisa-sisa kebesaran kopi Nusantara masih dikenal dan dikenang sampai sekarang.

Di daerah-daerah tertentu kebiasaan minum kopi masih bertahan, ada rumah-rumah kopi yang didirikan sejah puluhan tahun yang lampau dan terus ramai setiap harinya. Ketika saya tinggal di Manado dulu, rumah kopi yang terkenal adalah di sekitar Tikala (biasa disebut rumah kopi Tikala) yang menjual minuman kopi, teh, susu kopi, teh susu dan pangganan kecil. Dan ada lagi daerah monumental yang dikenal sebagai tempat duduk dan ngobrol-ngobrol sambil ngopi yaitu Jarod (Jalan Roda), sebuah jalan diantara pertokoan yang terletak di tengah kota Manado (Manado Stat).

Di Minahasa juga ada rumah-rumah kopi yang terkenal yang menyajikan kopi dengan ditemani biapong yang berisi unti atau daging babi. Menyantap kopi dan satu dua buah biapong cukup untuk sarapan pagi. Bicara soal kopi, Sulawesi Utara mempunyai kopi yang ternama dan digemari oleh warganya yaitu kopi Kota Mobagu. Saya yang menyenangi minum kopi semenjak di Jawa dulu menemukan ‘surga’ kopi ketika tinggal di Manado, kopi rutin saya konsumsi, minimal 3 gelas sehari. Sampai-sampai kalau lewat jam 3 sore saya belum minum kopi, kepala terasa sakit.

Namun secara tradisional, rumah-rumah kopi saat itu berisi orang-orang yang mulai menua. Arus minum kopi yang baru tidak dipelopori oleh rumah atau kedai atau pondok kopi tradisional. Arus minum kopi di anak-anak muda, baik kelas kantoran maupun mahasiswa diintroduksi oleh gerai-gerai kopi waralaba yang berasal dari luar negeri. Kebiasaan minum kopi untuk ‘hang out’ menjadi bagian dari arus Amerikanisasi lewat gerai kopi Starbuck dan kawan-kawan.
Awalnya saya tak terlalu tertarik dengan gerai kopi waralaba, selain karena urusan dompet juga karena mulut terbiasa dengan kopi hitam yang diseduh memakai ceret kuningan diatas tungku dengan arang yang membara. Namun sekali waktu saya diajak ke Excelso yang ada di sebuah mall. Dan suprise ternyata disana ada Cappucino Toraja, saya memilih itu dan semenjak itu hampir tak ada pilihan lain setiap kali saya singgah ke cafe itu. Selain meminum kopi, menu favorit lainnya adalah Tuna Sandwich yang membuat perut kenyang, meski kemudian dompet menipis drastis.

Kini berbagai gerai kopi lokal dengan sentuhan global bermunculan dimana-mana, peminum kopi semakin muda saja usianya dan kopi disajikan dalam berbagai maca bentuk serta kombinasi. Hadirnya kedai-kedai modern dengan perlengkapan kopi maker yang mekanis ditambah peracik kopi (Barista) yang terlatih membuat secangkir kopi yang disajikan terasa paten dan menetap baik aroma maupun rasanya.

Kopi menjadi minuman yang kembali merakyat, namun sekaligus naik menjadi minuman yang eklusif untuk jenis-jenis tertentu. Contohnya kopi Luwak, jenis kopi yang muncul dari sejarah perjalanan  kerja paksa di kebun kopi (Onderneming) Belanda. Waktu itu para pekerja yang adalah ‘koeli’ paksa tidak boleh mengkonsumsi kopi yang ditanam dan dipanen di kebun. Mereka kemudian memungguti kopi yang dimakan oleh Luwak yang menyisakan biji-biji utuh didalam kotorannya. Dan konon biji kopi yang keluar sebagai ‘tai luwak’ ini terasa istimewa lantaran terfermentasi dalam perut sang Luwak. Kopi ini menjadi kopi pilihan karena Luwak hanya doyan memakan kopi yang benar-benar masak (merah). Karena larangan para Meneer Holland, para kuli perkebunan justru bisa menikmati kopi berkualitas hasil pilihan (quality control) dari satwa yang menjadi hama bagi perkebunan kopi.

Di gerai-gerai kopi waralaba, kopi Luwak (bukan sebagai merk) menurut “Wali” saya, KH. Arifin Assegaf menghasilkan satu jenis pilihan menu kopi dengan ‘rasa uang’ saking mahalnya. Secangkir kecil kopi luwak bisa berharga antara 100 – 200 ribu rupiah, dan ini masuk akal karena kopi Luwak alami (bukan luwak di kandang) dalam bentuk biji kering mencapai harga lebih dari satu juta rupiah per kilonya.

Saya tak tahu persis apa nikmatnya kopi Luwak meski saya pernah mencicipi ketika berkunjung ke Pulau Dewata Bali. Dalam perjalanan menuju Pura Alun Datu, saya sempat mampir ke lokasi perkebunan kopi, menyaksikan pengolahan kopi tradisional yang disangrai dengan gerabah. Di tempat itu ada juga kopi Luwak namun hasil ternakkan di kandang. Tempat lokasi yang kerap disebut sebagai jenis lokasi ekowisata desa (mungkin kebun ini masuk dalam JED, Jaringan Ekowisata Desa), disajikan aneka minuman kopi, teh, jahe gratis, namun untuk kopi Luwak ditarik harga sebesar 40 ribu untuk satu kali shoot alias segelas kecil (sekali). Saya mencobanya, namun tak bisa mengambarkan seperti apa rasanya, sebab saya hanya penikmat kopi tapi tak ahli dalam mendeskripsi perbedaan masing-masing kopi.

Apapun jenis kopinya, mulai dari kopi tubruk sampai kopi yang diolah dengan coffee makers, mulai yang disajikan di rumah kopi sederhana sampai cafe waralaba yang dilengkapi AC dan Wifi, menurut saya kopi memang mendamaikan. Damailah Indonesia dengan kopi, selamatkan generasi nusantara dari kekurangan kopi, begitu slogan kopi Blandongan, yang meski sederhana tapi selalu ramai dengan pelanggan.

Pondok Wiraguna, 13 November 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (88)

0 komentar


Festival Mahakam Berlalu Tanpa Pesan dan Kesan

Pertama-tama saya harus minta maaf karena setelah tinggal di Kota Samarinda kurang lebih 10 tahun, pengetahuan saya tentang Festival Mahakam – yang entah sudah diselenggarakan berapa kali – ternyata nol besar. Persoalannya memang saya tidak pernah sungguh-sungguh meluangkan waktu untuk mencermati Festival Mahakam yang berlangsung pada suatu waktu. Terkadang saya tahu ada Festival Mahakam melalui berita atau baliho besar yang dipasang di pinggir jalan. Namun mohon maaf sekali lagi baliho besar itu ternyata tak mampu memancing minat saya untuk kemudian datang menyaksikannya.

Pada tahun 2003 saya pernah diberi sebuah buku yang judul persisnya saya lupa namun ada kata Mahakam-nya, juga cerita tentang ‘hantu banyu’ yang konon populer di daerah yang dilewati oleh sungai Mahakam. Hanya saja saya tak benar-benar membaca buku itu dengan cermat karena isinya ternyata puja-puji untuk keberhasilan program-program walikota yang memimpin Samarinda saat itu. Namun ada hal penting yang masih saya ingat yaitu keberhasilan penataan kawasan Citra Niaga, kawasan yang arsitekturnya mendapat penghargaan Aga Khan Awards.

Saya tidak tahu apakah ada satu buku atau tulisan yang cukup panjang tentang Festival Mahakam yang cukup komprehensif karena memuat latar belakang dan seluk beluk tentang Sungai Mahakam serta kebudayaan atau filosofi peradaban yang tumbuh di sekitarnya. Menurut saya penjelasan seperti ini penting karena bagaimana sebuah festival yang mengambil nama dari sungai besar yang melintas di kota ini akan menjadi tersohor kalau orang tak tahu apa sesungguhnya peran dan sumbangsih sungai Mahakam untuk eksistensi kota ini.

Festival sejauh pengertian dalam diri saya adalah sebuah perayaan dari masyarakat di suatu daerah atau kawasan untuk merayakan kebudayaan (paling tidak kesenian) secara komunal. Para penampil mempersiapkan diri secara serius bukan karena ingin dikenal, mendapat upah atau diberitakan melainkan karena ingin menjaga apa yang ditampilkannya sebagai khasanah kekayaan budaya daerahnya.

Sayangnya kebanyakan festival didesain dan dilaksanakan dalam konteks proyek pengembangan pariwisata yang dampaknya tak pernah dievaluasi secara serius namun terus rutin dilaksanakan. Soal ini saya ingat persis pengalaman ketika masih tinggal di Kota Manado, yang juga mengelar sebuah festival yang disebut dengan nama Festival Bunaken. Meski Bunaken adalah kawasan wisata yang tersohor hingga ke luar negeri, namun pengetahuan masyarakat Manado yang adalah pemilik Bunaken ternyata kebanyakan hanya sebatas nama Bunaken. Sesungguhnya tak banyak orang Manado pernah menginjakkan kakinya di pulau Bunaken, menyaksikan keindahan karang dan ikannya sekalipun hanya dengan perahu ‘bottom glass’.

Festival Bunaken kemudian pernah dirangkai menjadi Festival Bunaken Tondano (Fesbudaton), sebuah acara yang besar yang menghubungi laut dengan danau. Untuk melaksanakan festival ini dibangunlah sebuah kawasan pameran di samping Danau Tondano. Kawasan yang dimaksudkan kemudian menjadi lokasi menetap untuk kegiatan-kegiatan yang memamerkan khasanah kekayaan budaya Manado dan Minahasa serta daerah lainnya. Kala itu di Sulawesi Utara masih dikenal sebagai propinsi Bohusami (Bolaang Mongondow, Hulontalo, Sangihe dan Minahasa). Sebutan yang kemudian hilang ketika Gorontalo berpisah menjadi propinsi tersendiri.

Sama dengan Festival Mahakam, saat pelaksanaan Fesbudaton saya juga hanya melihat sekilas, memperhatikan keramaian dan hiruk pikuk pemberitaan. Festival yang dihadiri atau mungkin dibuka oleh BJ. Habibie justru menarik perhatian saya karena kisah yang disampaikan oleh teman-teman mahasiswa yang memakai kesempatan untuk berdemo menentang reklamasi di kawasan teluk Manado. Demo yang kemudian melahirkan seorang aktivis mahasiswa muda menjadi tokoh hingga kemudian menduduki jabatan anggota DPRD Propinsi Sulut dua kali berturut-turut di masa setelah reformasi.

Dari sisi catatan jelas bahwa tulisan atau buku tentang Bunaken jauh lebih banyak dan lebih lengkap dibanding dengan Sungai Mahakam atau Danau Tondano. Dokumentasi dalam bentuk lainnya seperti foto atau film juga jauh lebih banyak. Sejauh saya tahu ada beberapa fotografer dengan reputasi internasional tinggal berbulan-bulan dan berburu foto di Bunaken. Dan mungkin inilah yang menjadi kelemahan fatal dari Sungai Mahakam, yaitu dokumentasi tentangnya kurang atau bahkan tidak ada. Dokumentasi ini penting agar masyarakat Samarinda dan juga masyarakat lainnya mempunyai keterhubungan berdasar pengetahuan tentang Sungai Mahakam, atas dasar kekaguman maupun keprihatinan terhadap kondisinya saat ini. Keterhubungan inilah yang kemudian akan membangkitkan ghirah untuk menyambut dan berpartisipasi dalam Festival Mahakam baik sebagai pengisi, pengembira maupun penonton.

Namun sekali lagi apa yang saya tuliskan diatas hanyalah pemikiran atas dasar ketidaktahuan serta kedangkalan pengetahuan atas Festival Mahakam. Semoga tidak demikian adanya, satu hal yang ingin saya tegaskan adalah agar jangan sampai kita masyarakat Samarinda kehilangan jejak atas sungai yang luar biasa ini lantaran tak ada yang menorehkan jejak-jejak Sungai Mahakam dan peradaban yang tumbuh di sekitarnya secara sungguh-sungguh, serius dan didorong oleh kecintaan bukan karena upah dari proyek wisata yang terkesan ‘utopis’.

Pondok Wiraguna, 12 November 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (87)

0 komentar

E-KTP Eeeee....... Kok Nda Jadi-jadi

Setiap manusia sebagai ciptaan bernilai sama di hadapan Tuhan dan sesama, demikian ringkasnya ajaran mulia yang saya yakin diterima oleh sebagian besar dari kita tanpa protes. Hanya saja jumlah manusia yang amat banyak ini justru perlu pembeda, dan itulah yang disebut sebagai identitas. Identitas kemudian dimaterialisasi dalam bentuk untuk pertama adalah selembar surat atau akta lahir. Dan kemudian pada umur tertentu seseorang di Indonesia misalnya akan memperoleh selembar kartu yang disebut dengan KTP (Kartu Tanda Penduduk), namun tak berarti yang belum punya KTP dianggap bukan penduduk.

Proyek identitas ini di Indonesia adalah proyek jangka panjang yang belum tuntas-tuntas sampai sekarang. Bertahun-tahun lalu kita menyadari ada persoalan besar terkait dengan identitas dalam konteks kependudukan, hingga lahirlah sebuah keinginan untuk memberi identitas tunggal pada masing-masing orang atau istilah kerennya Single Identification Number. Proyek ini kemudian diejawantahkan dalam E-KTP.

Sebuah proyek yang sejak awal ramai diperbincangkan dan entah apa kabarnya saat ini. Saya sendiri pernah ikut-ikutan heboh terkena demam E-KTP, sampai gelisah menunggu undangan untuk pemotretan yang tidak sampai-sampai. Di kantor kecamatan saya melihat betapa ramai dan antusias orang untuk berfoto, merekam sidik jari dan retina mata untuk menjadi penanda yang sahih bagi kartu identitas yang baru. Seperti namanya yang mengandung istilah E, istilah yang merujuk pada teknologi komunikasi dan informasi, layanan pembuatan E KTP akan berhenti apabila jaringan internet lemot dan listrik mati.

Kini enam bulan lebih waktu telah saya lewati dan tak ada kabar kapan E KTP saya akan jadi. Pernah beberapa bulan lalu saya mendapat semacam pemberitahuan untuk mengambil E KTP saya di kecamatan. Dan penuh semangat saya pergi namun ternyata belum jadi juga. Konon E KTP ini diproses di Jakarta, sehingga wujud dalam bentuk selembar kartu identitas juga dicetak disana lalu dikirim dalam bentuk paket ke masing-masing daerah. Nah, akibat kelalaian pengirimnya konon E KTP yang sudah jadi banyak yang tersesat ke daerah lain.

E KTP sebagai sebuah proyek nasional, nasib dan kelakuannya tidak jauh berbeda dengan proyek-proyek nasional (massal) lainnya yang memang kerap kali tidak terkontrol dengan baik, tersendat-sendat dan sulit diprotes karena melibatkan banyak pihak yang kesemuanya jago ‘ngeles’. Secara sepintas proyek E KTP ini untuk saya sangat menguntungkan bagi produsen kamera Canon. Namun untuk saya patut disyukuri, dimana seri 1000D mengalami penurunan harga yang significan sehingga terjangkau oleh para ‘newbie’ dalam dunia fotografi. Bahkan kemudian Canon mengeluarkan seri 1100D dengan kemampuan yang mungkin lebih hebat dari 1000D namun harganya jauh lebih bersahabat.

Kembali ke soal E KTP, kolom-kolom informasi di dalamnya yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk dicantumkan dalam lembarnya ternyata masih disertakan. Kolom seperti agama, status perkawinan dan pekerjaan misalnya ternyata masih muncul. Menurut saya seharusnya kolom seperti ini tak perlu ada. Apa kepentingannya coba?. Untuk apa informasi tentang agama, kawin atau belum kawin, kerjanya apa untuk menjadi syarat agar kita dianggap penduduk yang sah, bisa memberi suara dalam pemilukada, mendapat santunan dari pemerintah, dan berbeda dengan orang lainnya. Identitas sebagai pembeda antara satu orang dengan orang lainnya toh sudah cukup hanya dengan nama, tanggal lahir, alamat, tanda tangan, foto, juga bio identity seperti sidik jari dan rekaman retina mata.

Untuk apa orang ditandai dengan agama yang dianutnya, toh bisa saja agamanya berubah bahkan bisa jadi seseorang tidak beragama sebagaimana ditentukan oleh negara. Kolom agama bahkan bisa memancing diskriminasi, misalnya dalam urusan tertentu, pengurusnya sentimen pada agama tertentu sehingga ketika menemukan KTP dengan agama itu maka pemegangnya akan dipersulit. Yang terpenting dari KTP sebenarnya justru nomor identitas kependudukan yang sulit dipalsukan atau digandakan, itu saja. Sehingga mestinya KTP seringkas kartu kredit atau kartu ATM yang kerap hanya memuat nama dan seri nomor tertentu secara kasat mata di lembar kartunya. Informasi lain disimpan dalam microchip yang ada di kartu itu dan tidak perlu diketahui oleh orang lain kecuali oleh mereka yang ditugaskan mengoperasikan alat baca (validasi) untuk kartu itu.

KTP sebagai kartu identitas tak perlu diberi tugas lain atau diboncengi kepentingan lain seperti sebagai pendataan jumlah penduduk yang beragama tertentu. Pendataan yang konon penting untuk menghitung barangkali uang pembinaan pada masing-masing agama termasuk kepentingan pendirian rumah ibadah agama dimana ada ketentuan untuk mendirikan rumah ibadah perlu jumlah tertentu dari pengikutnya. Sebuah kebijakan yang aneh karena Tuhan dan Negara berharap kita taat beribadah namun untuk mendirikan rumah ibadah syaratnya justru tak terkait dengan keinginan untuk beribadah. Mestinya berdiri atau tidaknya rumah ibadah tergantung pada kemauan dan kemauan pengikut agama itu bukan pada hitung-hitungan jumlah pengikutnya.

Seorang teman saya pernah mengungkapkan gurauan (yang sebenarnya adalah keprihatinan) bahwa aturan seperti ini akan menyulitkan orang Kristen Protestan. Teman ini memelesetkan ayat dengan mengatakan di kalangan umat protestan ‘Barang 2 atau 3 orang berkumpul maka akan berdiri gereja”, seharusnya ayat itu ‘Barang 2 atau 3 orang berkumpul Tuhan akan hadir”. Dengan ragam gereja protestan bak bintang di langit maka banyak denominasi atau persekutuan gereja protestan sulit mendirikan gereja karena terganjal aturan negara tentang pendirian rumah ibadah.

Wah, sudah melantur saya ini, masak dari E KTP malah berkembang ke rumah ibadah. Sebaiknya saya hentikan saja tulisan ini sampai disini dengan doa “Ya Tuhan, semoga E KTP saya cepat jadi hingga bersemayam di dompet saya yang tipis ini”.

Pondok Wiraguna, 13 November 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (86)

0 komentar


Gunung  : Tak Kan Lari Walau Dikejar

Sejak kecil saya mengemari kegiatan petualangan di alam bebas, lintas alam begitulah saya dan teman-teman menyebutnya dahulu. Saking bersemangatnya ketika SMP dulu, saya dan ke empat teman lain sampai mbolos sekolah hanya untuk mengikuti lomba lintas alam yang diselenggarakan oleh KNPI dalam rangka peringatan hari kemerdekaan RI.

Berbekal kostum yang digambar sendiri dengan spidol besar, berlima kami memacu langkah, menelusuri jalanan menuju perbukitan, menuruni lembah, menyebrang sungai, berlari di pematang sawah menempuh jarak puluhan kilo meter yang membentang di tiga kecamatan. Hasilnya sebelum mencapai finish, kami berlima giliran terkena kram.

Setiap hari minggu, saya dan teman-teman sering memanfaatkan waktu untuk menelusuri berbagai perbukitan yang jaraknya tak jauh dari tempat tinggal saya. Terkadang kami naik dari sisi barat kampung dan pulang dari sisi timur kampung dengan badan perih, penuh bilur lantaran tersayat rumput-rumput tajam. Meski lelah tetapi selalu menyenangkan, karena di atas perbukitan itu ada buah-buahan yang bisa dipetik seperti jambu kluthuk (jambu biji), jambu monyet, asam dan duwet.

Meski gemar berpetualangan, naik turun bukit, tapi tak pernah sekalipun saya bergabung dengan kelompok pencinta alam. Saya melakukan kegemaran berpetualang di alam bebas secara bebas, hanya bersama gerombolan teman-teman yang punya kegemaran serupa.

Mendaki gunung yang sesungguhnya untuk kali pertama justru terjadi di Sulawesi Utara. Gunung pertama yang saya daki adalah gunung Klabat. Dengan pengetahuan yang terbatas dan persiapan yang minim, gunung ternama di Sulawesi Utara itu saya daki bersama lima teman lainnya. Meski perlahan akhirnya kami bisa sampai puncak dalam keadaan kedinginan lantaran tak membawa jaket tebal dan tenda. Sepulang dari pendakian itu, salah seorang teman terkapar di tempat tidur lantaran terserang malaria.

Gunung berikutnya yang saya daki adalah Gunung Soputan, gunung api yang masih aktif namun tak terlalu tinggi. Hanya saja perjalanannya untuk mencapai puncaknya terasa jauh. Siang hari menelusuti bebukitan hingga sampai di pos istirahat berupa kawasan hutan pinus. Disana kami mendirikan tenda untuk istirahat menunggu subuh untuk kemudian berjalan mendaki hingga puncaknya. Gunung Soputan adalah gunung favorit untuk pendakian, tak heran jika pos istirahat terasa selalu ramai. Banyak yang tinggal berkemah sampai berhari-hari lamanya. Soal kebutuhan makanan dan minuman, tak perlu dikhawatirkan, sebab siapapun yang telah terbiasa tak butuh waktu lama untuk turun naik dari pos istirahat ke kampung di kaki gunung itu.

Setelah Soputan, gunung lain yang saya daki adalah gunung Mahawu, Masarang dan Lokon. Ketikanya adalah gunung yang terletak di Kota Tomohon dan bukanlah gunung yang tinggi. Ketika gunung ini adalah lokasi yang cocok untuk melakukan olahraga hiking, karena tak butuh waktu lama untuk naik dan menuruninya.

Pengalaman pendakian terakhir dan sekaligus paling berkesan adalah pendakian di Gunung Lokon Tua. Saat itu saya tengah terlibat dalam kampanye pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan. Saat mengambil fokus kampanye tentang Non Timber Forest Product (hasil hutan non kayu), saya mengikuti kegiatan pencari rotan di Gunung Lokon Tua.
Berangkat bersama pencari rotan, berbekal beras dan bumbu dapur serta gula kopi, kami menaiki badan gunung perlahan sambil memperhatikan kanan kiri menandai di mana nanti rotan yang akan diambil. Dalam perjalanan pencari rotan menyempatkan menebang beberapa ruas bambu, ternyata untuk mengambil air yang ada di ruas batang bambu. Air itu dimasukkan dalam jerigen, karena haus saya langsung menenggak air dari potongan ruas bambu dan ternyata segar rasanya.

Ketika matahari mulai redup, kami sampai di puncak. Segera kami menyiapkan tempat untuk dipakai bermalam. Satu lembar terpal dihamparkan dan selembar lainnya dijadikan atap. Dingin mulai berhembus, dan dengan tungku darurat mulailah pencari rotan memasak air panas untuk membuat kopi. Beberapa orang lain mencari dedauanan dan batang bambu, ternyata daun dan bambu dipakai untuk memasak nasi dan juga sayuran dari dedaunan yang ada di hutan. Malam itu kami menyantap nasi dan sayur yang dimasak diatas gunung, sementara lauknya adalah bekal yang dibawa dari kampung.

Setelah bersantap dan hari mulai gelap beberapa pencari rotan mulai sibuk memasang jaring untuk menjerat kelelawar. Ada juga yang mulai membuat bunyi-bunyian dengan mengesekkan batang bambu pada parang, konon bunyi itu untuk memancing tikus keluar dari persembunyiannya. Tikus hutan atau kawo’ adalah binatang buruan favorit bagi orang Minahasa. Tikus dengan ujung ekornya berwarna putih adalah salah satu jenis santapan istimewa.  Selain dijerat atau dijebak dengan perangkap, cara menangkap tikus ini adalah dengan ditembak memakai senapan angin. Tikus yang ada di dahan jika tersorot lampu akan diam, dan saat itulah bidikkan diarahkan. Harus tepat agar ketika terjatuh tikus itu sekarat atau mati, kalau tidak maka akan lari dan susah ditemukan.

Bermalam di gunung, beratap langit dalam buaian aneka suara membuat saya belajar betapa kecilnya diri kita di hadapan alam. Meski demikian kita akan nyaman apabila mampu menjadi bagian dari alam, menikmati segenap berkah kehidupan yang dibawa olehnya. Dengan pelajaran ‘camping’ di alam bebas, saya menemukan bahwa alam menyediakan apa yang kita butuhkan dengan berbagai cara dan cukup atau tidaknya akan tergantung dari bagaimana cara kita memanfaatkannya. Rotan di gunung Lokon Tua yang tidak terlalu banyak jenisnya mampu menghidupi keluarga para pencari rotan. Om Atik adalah salah satunya, laki-laki berusia 50 tahunan ini terus mewariskan tata cara pemanenan rotan, agar rotan-rotan itu terus ada dan membuat dapur mereka tetap mengepul dan kehidupan terus berputar.

Atas salah satu cara, meski tanpa belajar dan menjadi aktivis lingkungan hidup, Om Atik telah mempraktekkan langkah ‘pengelolaan pegunungan yang berkelanjutan’.

Pondok Wiraguna, 12 November 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (85)

Minggu, 11 November 2012 0 komentar


Kekerasan Massal

Suatu siang di Jalan Danau Maninjau dari kejauhan saya menyaksikan kerumuman banyak orang dewasa di pinggir jalan. Dalam hati saya menduga tengah ada perkelahian atau keributan sehingga saya memperlambat laju kendaraan sambil bersikap waspada.  Ketika melewati kerumunan itu ternyata ada seorang laki-laki diikat di tiang listrik, saya lihat beberapa orang melayangkan bogem mentah ke kepalanya baik dari depan maupun dari belakang.  Beberapa ibu-ibu mencegah orang memukuli laki-laki itu, namun tetap saja berkali-kali pukulan lolos mengenai kepala orang itu. Bahkan kemudian ada yang mengambil balok dan memukul tepat di kepala, balok yang nampaknya sudah lapuk, patah ketika membentur kepala orang itu dengan keras.

Usut punya usut ternyata laki-laki itu ditangkap warga karena masuk ke dalam rumah orang diam-diam. Jadi warga yang menangkapnya menyimpulkan laki-laki itu patut diduga hendak mencuri. Pasalnya apa urusannya orang asing, tidak dikenal oleh orang sekitar situ, diam-diam masuk ke dalam rumah orang. Setelah beberapa lama dibogem dan dipukuli akhirnya datanglah polisi yang kemudian mengangkutnya dalam mobil patroli.

Sekilas ketika melihat sang terduga pencuri itu dipukuli, orang-orang yang berkerumun dan menghajar dengan aneka pukulan seakan punya niat untuk ‘menghabisi’-nya hingga tuntas. Sang terduga pencuri dihajar bukan karena kekesalan warga atas upayanya ‘yang diduga’ hendak melakukan pencurian. Pukulan warga pasti berisi segenap kejengkelan atas pencurian-pencurian di hari-hari yang lalu. Bisa jadi sang terduga pencuri ini telah dianggap biasa mengambil barang diam-diam di daerah itu.

Masyarakat secara kolektif kerap menyimpan kekesalan bahkan dengan bersama atas sesuatu yang terjadi berulang namun pelakunya tidak terindentifikasi, tidak tertangkap dan tidak ditangani secara semestinya oleh para penegak hukum. Di banyak tempat perlakuan terhadap pencuri (orang yang diduga mau mencuri) lebih lugas, dibunuh dengan disiksa secara sadis. Ada yang disiram bensin lalu dibakar, dipukuli dengan benda keras, dihantam dengan batu.

Amuk massa seperti itu tidak hanya terjadi pada pencuri saja melainkan pelaku-pelaku kejahatan lain yang tertangkap tangan saat (diduga) hendak atau tengah melakukan aksinya. Bahkan beberapa kejadian seseorang yang sungguh-sungguh tidak melakukan kejahatan namun diteriaki maling oleh sekumpulan orang  hidupnya bisa berakhir, namanya saja yang pulang ke rumah.

Kecenderungan massa untuk melakukan penyelesaian persoalan dengan kekerasan semakin lama semakin besar meski perundangan dan aparat penegak hukum telah disempurnakan serta direformasi dari hari ke hari. Apa yang terjadi di hadapan kita kita adalah ironi dan kontradiksi, di negara yang berazas demokrasi, hukum adalah panglima, kekerasan masih terus terjadi secara telanjang di hadapan mata dan pelaku-pelaku dibiarkan bebas begitu saja tanpa konsekwensi apapun.

Padahal bukan sekali dua kali kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat secara bersama-sama ini menimpa korban yang sama sekali tidak bersalah, orang yang secara semena-mena dituduh hanya karena kurang cekatan menjawab, hanya karena mempunyai ciri-ciri yang diasosiasi terkait dengan kejahatan yang dipikirkan oleh masyarakat, hanya karena salah berada di sebuah tempat, atau bahkan hanya karena keisengan segerombol orang.

Kejadian ini tentu saja menyakitkan bukan hanya bagi korban melainkan juga bagi orang terdekat, keluarga dan teman-teman baiknya, yang kemudian akan menyimpan kekesalah, rasa sakit hati yang kalau tidak diselesaikan akan berubah menjadi dendam yang tersimpan membatu dalam hati. Dendam yang sewaktu-waktu bisa meluap dengan cara yang sama yaitu amuk yang tak terkendali.

Inilah yang disebut dengan lingkaran kekerasan, bahwa kekerasan akan melahirkan kekerasan baru demikian seterusnya tanpa henti. Akan lahir korban,  kambing hitam atau sasaran untuk sebuah kekerasan ekplisit. Adalah tugas kita semua untuk memutus lingkaran kekerasan dengan menyerahkan segala persoalan yang telah diatur oleh Undang-Undang ke tangan otoritas hukum. Dan adalah tugas otoritas hukum untuk menyelesaikan persoalan dalam koridor moral keadilan yang pada gilirannya akan membuat masyarakat percaya dan tunduk kepada Undang-Undang.

Pondok Wiraguna, 10mNovember 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (84)

0 komentar


Remote Control

Gambaran tentang Indonesia di balik kepala kita kesemuanya tergantung pada remote control. Dengan remote control di tangan maka kemungkinan besar kita akan menyaksikan dan mendengar 7 dari 10 berita yang tersaji dihadapan kita berisi kabar yang membuat kecewa, sedih,  prihatin, sakit hati dan pesimis. Mahasiswa dan siswa rajin tawuran, tahanan kabur dari penjara, berkilo-kilo sabu diselundupkan, TKI ditembak, perampok menyamar menjadi sopir taxi, gusuran, banjir badang dan seterusnya.

Keprihatinan atas apa yang tersaji melalui layar televisi membuat beberapa pemerhati informatika sosial menelurkan gerakan ‘swicth your television off’. Sayang gerakan mematikan televisi sehari ini tidak populer, seperti mendulang air laut dengan gayung. Padahal gerakan seperti ini ingin mengajak masyarakat untuk berefleksi tentang dampak paparan siaran televisi terhadap diri anggota masyarakat. Apa yang terjadi kala kita menonton televisi dan apa yang terjadi kala kita tidak menonton televisi.

Saya mengajak kepada kita para pemirsa televisi untuk sesekali mengisi hari tanpa siaran televisi. Pengalaman saya ketika tidak ada televisi di sekitar, hidup terasa lebih ringan dan damai. Tak banyak hal-hal yang sebenarnya tidak perlu bagi kita untuk ikut kita pikirkan. Tak banyak gangguan ingatan yang bakal membuat tidur kurang nyenyak dan gelisah.

Berita penyerbuan dari satu desa ke desa lain di Lampung yang disertai dengan pemblokiran jalanan, membuat istri saya berkali-kali menanyakan keadaan adik saya yang tinggal di Lampung sana. Istri saya menjadi khawatir kalau-kalau adik saya akan mengalami ‘apa-apa’ karena kejadian itu. Padahal lokasi tempat tinggal adik saya jelas jauh dari tempat kejadian, dan dampak dari kejadian itu tak sampai menjangkau tempat tinggalnya.

Televisi dibanding dengan moda saluran berita lainnya memang mempunyai kelebihan yaitu membuat kejadian riil hadir di hadapan pemirsa. Namun kelemahan dari gambar yang dihadirkan oleh televisi adalah kenyataan bahwa berita dihadirkan lewat kamera tunggal, berita yang tersaji adalah apa yang ditangkap oleh juru kamera televisi. Kita dipaksa merumuskan dan menerima kejadian itu berdasar apa yang dilihat dan menarik perhatian juru kamera televisi itu.

Setiap orang selalu mempunyai angle atau sudut pandang sendiri dalam melihat sebuah peristiwa. Apa yang menarik dan dianggap penting bisa jadi berlain-lainan antara satu orang dengan orang lainnya. Dengan demikian selalu ada kecenderungan untuk menangkap sebuah kejadian atau fenomena secara tidak utuh. Setiap kejadian bisa mempunyai ribuan frame atau bingkai sehingga bisa disajikan bahkan tanpa kaitan secara langsung dengan kejadian itu, inilah yang kemudian dinamakan sebagai bias.

Dalam urusan pemberitaan ada adagium “bad news is good news’, kabar buruk adalah berita baik. Berita baik artinya menarik perhatian banyak orang, ear maupun eye catching. Orang tertarik untuk menyaksikan dan mendengar kabar itu. Maka berita yang disuka kerap kali tidak jauh dari warta yang berisi kabar nan bombastis. Tak heran jika kemudian berita tentang anak Indonesia yang berhasil menemukan bentuk rekayasa teknologi tertentu kalah bertahan dibanding dengan berita seorang model yang dalam pengaruh alkohol mengendarai mobil dan menabrak banyak orang. Dan ternyata kala mengendarai mobil, selain mabuk, sang model itu hanya mengenakan pakaian dalam, pakaian yang hanya layak dipakai di kamar tidur dan kamar mandi.

Atas semua ini, saya sama sekali tidak bermaksud untuk mengajak kita semua menjauhi televisi. Tidak menonton dan berlangganan saluran televisi. Saya hanya ingin agar penonton televisi menjadi kritis atas apa yang tersaji di dalam layar televisi. Tidak semua kejadian di televisi adalah sebuah kenyataan, kenyataan di layar televisi adalah kenyataan yang direkayasa, kenyataan yang dipilih. Maka menonton tanpa disertai dengan daya kritis akan membuat kita terperdaya dan membangun pengetahuan dari informasi yang tidak lengkap atau bahkan bias.

Televisi juga kerap kali menyajikan fakta yang dilebih-lebihkan, atau hyper realitas, kenyataan yang melebihi kenyataan itu sendiri. Apabila kenyataan seperti ini ditangkap mentah-mentah oleh pemirsa maka pemirsa akan masuk dalam dunia yang tidak riil, hidup dalam bayang-bayang yang diciptakan, terdeterminasi oleh sebuah kenyataan yang tidak tentu adanya.

Selamat menonton televisi yang kini pilihan channel salurannya sudah berjibun. Namun jangan sekali-kali menyerahkan hidup dan sumber pengetahuan kita hanya di dalam sebuah remote control.

Pondok Wiraguna, 11 November 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (83)

0 komentar


Republik (Gertak) Sambal

Dalam setiap aksi demonstrasi, pemimpin demo atau korlap kala diwawancarai oleh media kerap menyatakan apabila tuntutan yang mereka sampaikan tidak ditanggapi oleh pihak yang dituntut maka mereka akan kembali melakukan aksi dengan jumlah massa yang lebih besar. Pernyataan seperti ini terus berulang dari satu demontrasi ke demontrasi lainnya yang mana jumlah massa ternyata tidak semakin besar. Akibatnya pernyataan seperti ini - yang mungkin saja sudah menjadi patron artinya meski tak dikatakan oleh korlap namun secara otomatis akan ditulis atau disampaikan oleh jurnalis dalam berita – dianggap sebagai gertak sambal oleh para pihak yang dituntut pendemo.

Entah darimana istilah gertak sambal itu muncul. Gertak adalah tindakan untuk menakut-nakuti, semacam ancaman akan melakukan sebuah laku tertentu dengan syarat tertentu. Anak-anak kecil misalnya jika sulit untuk dinasehati kerap di’gertak’ oleh orang yang lebih tua. Gertak yang disertai dengan gerakan tubuh tertentu, misalnya seperti ingin memukul, mencubit atau bahkan mencekik, akan membuat yang digertak sejenak mengkeret, tidak melakukan apa yang tadi dilakukan dan tidak diperkenankan.

Sementara sambal adalah sejenis bahan olahan yang berasa pedas karena mengandung unsur utama cabe. Gertak dan sambal yang kemudian menjadi istilah gertak sambal adalah upaya untuk menakut-nakuti. Persoalan yang ditakut-takuti itu takut beneran atau tidak itu nggak penting. Dalam banyak kasus gertak sambal adalah senjata terakhir yang harus dilakukan oleh seorang atau kelompok agar tetap kelihatan ada dan punya pengaruh serta rencana ke depan.

Namanya juga gertak sambal, meski bombastis dan terkesan garang tetap saja bersifat sementara layaknya pedasnya sambal yang meski membuat mulut terasa terbakar toh lama-lama juga hilang. Efek sambal sepedas apapun paling juga membuat perut mules dan mencret-mencret. Hanya saja kalau terus menerus bisa juga membuat badan lemes, kena usus buntu dan kemudian dioperasi.

Saling gertak biasa ditemui dalam kehidupan terutama politik dalam arti luas. Setiap kelompok selalu mempunyai visi dan misi sendiri yang terus diperjuangkan. Sesuatu yang kemudian kerap bertabrakan dengan kepentingan kelompok lain dan juga kepentingan umum. Atas nama kepentingan umum dan moralitas bangsa, ada kelompok yang bertindak ‘baik’ namun berada di luar koridor hukum sehingga meresahkan masyarakat umum. Berkali-kali kelompok ini diperingatkan namun tetap saja bebal bahkan balik mengancam dengan gertak sambal kepada siapapun yang mencoba menghalang-halangi mereka.

Pemerintah dalam berhadapan dengan kelompok yang kerap melontarkan gertak sambal juga berlaku serupa. Ancaman pemerintah untuk membubarkan, memproses kekerasan yang mereka lakukan, tindakan main hakim di depan publik juga tak lebih dari gertak sambal. Gertak sambal yang bertemu gertak sambal akhirnya hanya melahirkan senyum kecut di wajah masyarakat.

Soal sambal, saat ini banyak yang serius dengan urusan ini. Banyak sekali rumah makan mencantumkan kata sambal. Seperti Ikan Bakar Sambal Amat, Sambal Desa, Ayam Sambal Yogya dan yang lebih ektrim sambal yang amat pedas diasosikan dengan mercon karena sensasi serasa meledak di mulut. Akhirnya ada rumah makan Bebek Mercon, Oseng Mercon dan Tahu Mercon yang bikin mulut ber-hush-hush. Nda percaya coba saja Tahu “Hush-Hush Hu Tahu”.

Saya yakin masyarakat pasti cape menghadapi aneka macam gertak sambal. Gertak sambal pada pembalak liar, gertak sambal pada koruptor, gertak sambal pada KKN, gertak sambal untuk memberantas kemiskinan, gertak sambal untuk mengatasi macet dan banjir. Gertak sambal yang dirangkai dalam sebuah rencana yang kerap diberi label “Rancangan Aksi Nasional” dan lain sebagainya.
Bagi banyak orang makanan mungkin terasa hambar jika tak disertai sambal. Orang Minahasa kerap bilang tanpa ‘rica’ makanan susah masuk ‘gergantang’. Tapi kalau sedikit-sedikit main gertak sambal apa kita gak takut dan khawatir kalau negeri ini tak lebih dari sekedar restoran yang memasang plang nama “Republik (gertak) Sambal”.

Pondok Wiraguna, 12 November 2012
@yustinus_esha

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum