Data Mencerdaskan Bangsa
Perihal berterus terang dan
terbuka ternyata masih menjadi persoalan besar meski UU Kebebasan Informasi
Publik telah disahkan dan diberlakukan di republik ini. Hambatan untuk terbuka,
memberi informasi tanpa prasangka ternyata masih sangat berat. Mulai dari yang
remeh temeh sampai alasan-alasan lain yang kadang sulit untuk dijawab oleh
peminta informasi lantaran pertanyaannya aneh bin ajaib. Contohnya seorang
teman meminta informasi di sebuah instansi pemerintah kabupaten, tahu yang
meminta adalah organisasi yang berasal dari kota lain, lantas ditanya “Untuk
apa, anda yang berasal dari Kota X, minta data dan informasi dari daerah ini?”.
Masih ada cerita lain dari
kawan yang meminta informasi dengan surat tugas dari sebuah lembaga yang ada di
Ibukota. Surat tugas itu justru jadi malapetaka, sebab belum juga dijawab ada
atau tidaknya data yang diminta, kawan tadi langsung disoal. Data atau
informasi tak bisa diberikan kepada badan atau organisasi yang namanya tidak
terdaftar resmi pada badan terkait di daerah itu.
Sebaiknya jika mengalami
hal-hal seperti itu jangan langsung panas kepala dan mendidih hati kita.
Rasanya percuma mau menerangkan isi dari UU KIP kepada mereka. Sebab
jangan-jangan bentuk dan wujud UU-nya saja belum pernah mereka lihat. Saya
yakin seyakin-yakinnya sebagian besar aparatur negara di daerah tidak tahu apa
itu PPID (Pejabat Pemberi Informasi Daerah). Lebih konyol lagi, ketika menjawab
pengajuan permintaan informasi ada yang menjawab ‘Kalau kami tak mau memberikan,
mau apa?”. Nah, diminta informasi malah mengajak berkelahi.
Ada berbagai macam dalih, saat
disebutkan bahwa permintaaan informasi harus ditanggapi sebagaimana diamanatkan
oleh UU, salah satunya adalah dengan menyatakan bahwa PPID belum ditunjuk, atau
belum keluar peraturan daerah tentang hal itu. Padahal mestinya tak perlu
sibuk-sibuk menunjuk petugas baru atau malah menyekolahkan orang-orang tertentu
untuk menduduki jabatan itu. Cukup memanfaatkan sumberdaya yang ada selama ini,
toh di dalam setiap badan atau organisasi biasanya telah ada jabatan humas.
Bukankah mereka sudah terbiasa memberikan informasi, menyebarluaskannya entah
kepada media atau melalui cara-cara lainnya.
Ketika berbicara soal
kebebasan informasi, saya merasakan ada semacam tembok besar di kalangan
aparatur negara juga mereka-mereka yang menerima atau menggunakan dana
pemerintah nasional maupun daerah. Tembok yang dibangun atas dasar ketakutan,
sikap yang berlebihan dan hitung-hitungan yang dilandasi atas buruk sangka.
“Kami bisa saja memberikan data yang diminta, tapi harus dipastikan data itu
digunakan untuk hal-hal yang baik”, begitu perkataan yang sering terdengar dari
para pihak yang berwenang.
Terkadang muncul dalam benak
saya, bahwa dalih maupun dalil yang diucapkan tak lebih dari sekedar ingin cari
mudah, entah karena data tidak ada, tersebar sehingga makan waktu untuk
mengumpulkannya atau yang lebih celaka karena mereka memang melakukan hal-hal
yang tidak baik. Adalah celaka misalnya data-data yang dikumpulkan sembarangan dan
menghasilkan informasi yang tidak akurat diketahui oleh pihak lain. Maka tinimbang mempermalukan diri dan
instansi maka ditahanlah data-data itu agar tidak tersebar ke publik. Cukuplah
data-data itu hanya diketahui antar sesama mereka yang memakai platform TST
(tahu sama tahu).
Setahu saya UU mengisyaratkan
agar data atau informasi bisa diperoleh dengan cara yang cepat, mudah dan
murah. Sebuah slogan yang sebenarnya tidak sulit untuk diwujudkan dalam jaman
segala sesuatu sudah serba online. Apa sulitnya setiap institusi atau lembaga
pemerintah menyusun sebuah sistem informasi yang berbasis pada Tehnologi
Informasi Komunikasi. Dan kemudian masing-masing sistem itu diintegrasikan
dalam sebuah sistem yang terkoneksi dan ditampilkan dalam bentuk situs web sehingga
dengan sekali klik apa yang dibutuhkan oleh pencari informasi bisa tersaji.
Jejak untuk terus terang dan
terbuka sebenarnya bisa dilacak di beberapa situs milik pemerintah daerah di
mana tersedia halaman sistem informasi perencanaan dan pembangunan daerah. Di
halaman itu tersedia berbagai kategori informasi beserta turunannya, lengkap
dan detail. Pesoalannya, halaman itu hanya menyediakan form tanpa isi. Ataupun
kalau ada informasi maka umurnya sudah tua, lebih dari lima tahun yang lalu.
Jika ditanyakan soal kenapa
situs-situs milik pemerintah daerah atau SKPD sering tidak update informasinya,
jawaban yang klasik adalah kurangnya sumberdaya untuk mengelola situs tersebut.
Saya heran, sumberdaya apa lagi yang dibutuhkan?. Bukankah pengelola situs hanya
bertugas untuk mengupload data di halaman atau form yang tersedia. Sementara
isi atau informasi yang dibutuhkan semua berasal dari pekerjaan atau
program-program rutin dari masing-masing lembaga.
Jadi kalau boleh disimpulkan
sebenarnya pemerintah dan lembaga publik lainnya sebenarnya mempunyai masalah
yang sama soal ketersediaan data, data yang valid, terus menerus diperbaharui
dan terpusat. Nampak jelas dalam sebuah organisasi dimana didalamnya ada berbagai bidang,
masing-masing menyimpan datanya sendiri-sendiri, digunakan hanya demi
kepentingannya sendiri.
Kekhawatiran bahwa jika data
diberikan kepada pihak luar lalu akan digunakan untuk kepentingan yang tidak
benar, bagi saya adalah taktik untuk menutupi mutu data yang rendah yang bisa
dipakai oleh pemohon untuk mengkritik pemberi data. Dan saya yakin
seyakin-yakinnya kebanyakan birokrat kita bertelinga tipis, tak tahan dikritik
tapi tak mau juga memperbaiki diri.
Saya pernah membaca semacam
slogan yang berbunyi ‘Data Mencerdaskan Bangsa’ dalam sebuah publikasi dari
BPS. Semoga slogan indah ini bukan sekedar kata-kata sampah.
Pondok Wiraguna, 16 November
2012
@yustinus_esha