Remote Control
Gambaran tentang Indonesia di
balik kepala kita kesemuanya tergantung pada remote control. Dengan remote
control di tangan maka kemungkinan besar kita akan menyaksikan dan mendengar 7
dari 10 berita yang tersaji dihadapan kita berisi kabar yang membuat kecewa,
sedih, prihatin, sakit hati dan pesimis.
Mahasiswa dan siswa rajin tawuran, tahanan kabur dari penjara, berkilo-kilo
sabu diselundupkan, TKI ditembak, perampok menyamar menjadi sopir taxi, gusuran,
banjir badang dan seterusnya.
Keprihatinan atas apa yang
tersaji melalui layar televisi membuat beberapa pemerhati informatika sosial
menelurkan gerakan ‘swicth your television off’. Sayang gerakan mematikan
televisi sehari ini tidak populer, seperti mendulang air laut dengan gayung.
Padahal gerakan seperti ini ingin mengajak masyarakat untuk berefleksi tentang
dampak paparan siaran televisi terhadap diri anggota masyarakat. Apa yang
terjadi kala kita menonton televisi dan apa yang terjadi kala kita tidak
menonton televisi.
Saya mengajak kepada kita para
pemirsa televisi untuk sesekali mengisi hari tanpa siaran televisi. Pengalaman
saya ketika tidak ada televisi di sekitar, hidup terasa lebih ringan dan damai.
Tak banyak hal-hal yang sebenarnya tidak perlu bagi kita untuk ikut kita pikirkan.
Tak banyak gangguan ingatan yang bakal membuat tidur kurang nyenyak dan
gelisah.
Berita penyerbuan dari satu
desa ke desa lain di Lampung yang disertai dengan pemblokiran jalanan, membuat
istri saya berkali-kali menanyakan keadaan adik saya yang tinggal di Lampung
sana. Istri saya menjadi khawatir kalau-kalau adik saya akan mengalami
‘apa-apa’ karena kejadian itu. Padahal lokasi tempat tinggal adik saya jelas
jauh dari tempat kejadian, dan dampak dari kejadian itu tak sampai menjangkau
tempat tinggalnya.
Televisi dibanding dengan moda
saluran berita lainnya memang mempunyai kelebihan yaitu membuat kejadian riil
hadir di hadapan pemirsa. Namun kelemahan dari gambar yang dihadirkan oleh
televisi adalah kenyataan bahwa berita dihadirkan lewat kamera tunggal, berita
yang tersaji adalah apa yang ditangkap oleh juru kamera televisi. Kita dipaksa
merumuskan dan menerima kejadian itu berdasar apa yang dilihat dan menarik
perhatian juru kamera televisi itu.
Setiap orang selalu mempunyai
angle atau sudut pandang sendiri dalam melihat sebuah peristiwa. Apa yang
menarik dan dianggap penting bisa jadi berlain-lainan antara satu orang dengan
orang lainnya. Dengan demikian selalu ada kecenderungan untuk menangkap sebuah
kejadian atau fenomena secara tidak utuh. Setiap kejadian bisa mempunyai ribuan
frame atau bingkai sehingga bisa disajikan bahkan tanpa kaitan secara langsung
dengan kejadian itu, inilah yang kemudian dinamakan sebagai bias.
Dalam urusan pemberitaan ada
adagium “bad news is good news’, kabar buruk adalah berita baik. Berita baik
artinya menarik perhatian banyak orang, ear maupun eye catching. Orang tertarik
untuk menyaksikan dan mendengar kabar itu. Maka berita yang disuka kerap kali
tidak jauh dari warta yang berisi kabar nan bombastis. Tak heran jika kemudian
berita tentang anak Indonesia yang berhasil menemukan bentuk rekayasa teknologi
tertentu kalah bertahan dibanding dengan berita seorang model yang dalam
pengaruh alkohol mengendarai mobil dan menabrak banyak orang. Dan ternyata kala
mengendarai mobil, selain mabuk, sang model itu hanya mengenakan pakaian dalam,
pakaian yang hanya layak dipakai di kamar tidur dan kamar mandi.
Atas semua ini, saya sama
sekali tidak bermaksud untuk mengajak kita semua menjauhi televisi. Tidak
menonton dan berlangganan saluran televisi. Saya hanya ingin agar penonton
televisi menjadi kritis atas apa yang tersaji di dalam layar televisi. Tidak
semua kejadian di televisi adalah sebuah kenyataan, kenyataan di layar televisi
adalah kenyataan yang direkayasa, kenyataan yang dipilih. Maka menonton tanpa
disertai dengan daya kritis akan membuat kita terperdaya dan membangun
pengetahuan dari informasi yang tidak lengkap atau bahkan bias.
Televisi juga kerap kali
menyajikan fakta yang dilebih-lebihkan, atau hyper realitas, kenyataan yang
melebihi kenyataan itu sendiri. Apabila kenyataan seperti ini ditangkap
mentah-mentah oleh pemirsa maka pemirsa akan masuk dalam dunia yang tidak riil,
hidup dalam bayang-bayang yang diciptakan, terdeterminasi oleh sebuah kenyataan
yang tidak tentu adanya.
Selamat menonton televisi yang
kini pilihan channel salurannya sudah berjibun. Namun jangan sekali-kali
menyerahkan hidup dan sumber pengetahuan kita hanya di dalam sebuah remote
control.
Pondok Wiraguna, 11 November
2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar