Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (84)

Minggu, 11 November 2012


Remote Control

Gambaran tentang Indonesia di balik kepala kita kesemuanya tergantung pada remote control. Dengan remote control di tangan maka kemungkinan besar kita akan menyaksikan dan mendengar 7 dari 10 berita yang tersaji dihadapan kita berisi kabar yang membuat kecewa, sedih,  prihatin, sakit hati dan pesimis. Mahasiswa dan siswa rajin tawuran, tahanan kabur dari penjara, berkilo-kilo sabu diselundupkan, TKI ditembak, perampok menyamar menjadi sopir taxi, gusuran, banjir badang dan seterusnya.

Keprihatinan atas apa yang tersaji melalui layar televisi membuat beberapa pemerhati informatika sosial menelurkan gerakan ‘swicth your television off’. Sayang gerakan mematikan televisi sehari ini tidak populer, seperti mendulang air laut dengan gayung. Padahal gerakan seperti ini ingin mengajak masyarakat untuk berefleksi tentang dampak paparan siaran televisi terhadap diri anggota masyarakat. Apa yang terjadi kala kita menonton televisi dan apa yang terjadi kala kita tidak menonton televisi.

Saya mengajak kepada kita para pemirsa televisi untuk sesekali mengisi hari tanpa siaran televisi. Pengalaman saya ketika tidak ada televisi di sekitar, hidup terasa lebih ringan dan damai. Tak banyak hal-hal yang sebenarnya tidak perlu bagi kita untuk ikut kita pikirkan. Tak banyak gangguan ingatan yang bakal membuat tidur kurang nyenyak dan gelisah.

Berita penyerbuan dari satu desa ke desa lain di Lampung yang disertai dengan pemblokiran jalanan, membuat istri saya berkali-kali menanyakan keadaan adik saya yang tinggal di Lampung sana. Istri saya menjadi khawatir kalau-kalau adik saya akan mengalami ‘apa-apa’ karena kejadian itu. Padahal lokasi tempat tinggal adik saya jelas jauh dari tempat kejadian, dan dampak dari kejadian itu tak sampai menjangkau tempat tinggalnya.

Televisi dibanding dengan moda saluran berita lainnya memang mempunyai kelebihan yaitu membuat kejadian riil hadir di hadapan pemirsa. Namun kelemahan dari gambar yang dihadirkan oleh televisi adalah kenyataan bahwa berita dihadirkan lewat kamera tunggal, berita yang tersaji adalah apa yang ditangkap oleh juru kamera televisi. Kita dipaksa merumuskan dan menerima kejadian itu berdasar apa yang dilihat dan menarik perhatian juru kamera televisi itu.

Setiap orang selalu mempunyai angle atau sudut pandang sendiri dalam melihat sebuah peristiwa. Apa yang menarik dan dianggap penting bisa jadi berlain-lainan antara satu orang dengan orang lainnya. Dengan demikian selalu ada kecenderungan untuk menangkap sebuah kejadian atau fenomena secara tidak utuh. Setiap kejadian bisa mempunyai ribuan frame atau bingkai sehingga bisa disajikan bahkan tanpa kaitan secara langsung dengan kejadian itu, inilah yang kemudian dinamakan sebagai bias.

Dalam urusan pemberitaan ada adagium “bad news is good news’, kabar buruk adalah berita baik. Berita baik artinya menarik perhatian banyak orang, ear maupun eye catching. Orang tertarik untuk menyaksikan dan mendengar kabar itu. Maka berita yang disuka kerap kali tidak jauh dari warta yang berisi kabar nan bombastis. Tak heran jika kemudian berita tentang anak Indonesia yang berhasil menemukan bentuk rekayasa teknologi tertentu kalah bertahan dibanding dengan berita seorang model yang dalam pengaruh alkohol mengendarai mobil dan menabrak banyak orang. Dan ternyata kala mengendarai mobil, selain mabuk, sang model itu hanya mengenakan pakaian dalam, pakaian yang hanya layak dipakai di kamar tidur dan kamar mandi.

Atas semua ini, saya sama sekali tidak bermaksud untuk mengajak kita semua menjauhi televisi. Tidak menonton dan berlangganan saluran televisi. Saya hanya ingin agar penonton televisi menjadi kritis atas apa yang tersaji di dalam layar televisi. Tidak semua kejadian di televisi adalah sebuah kenyataan, kenyataan di layar televisi adalah kenyataan yang direkayasa, kenyataan yang dipilih. Maka menonton tanpa disertai dengan daya kritis akan membuat kita terperdaya dan membangun pengetahuan dari informasi yang tidak lengkap atau bahkan bias.

Televisi juga kerap kali menyajikan fakta yang dilebih-lebihkan, atau hyper realitas, kenyataan yang melebihi kenyataan itu sendiri. Apabila kenyataan seperti ini ditangkap mentah-mentah oleh pemirsa maka pemirsa akan masuk dalam dunia yang tidak riil, hidup dalam bayang-bayang yang diciptakan, terdeterminasi oleh sebuah kenyataan yang tidak tentu adanya.

Selamat menonton televisi yang kini pilihan channel salurannya sudah berjibun. Namun jangan sekali-kali menyerahkan hidup dan sumber pengetahuan kita hanya di dalam sebuah remote control.

Pondok Wiraguna, 11 November 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum