• Blockquote

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Duis non justo nec auge

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (73)

Sabtu, 03 November 2012 0 komentar

Sang Koster di Twitland

Saya yakin sebagian dari kita mengenal istilah macan forum, sebuah sebutan bagi seseorang yang selalu bicara berapi-api, panjang dan penuh semangat dalam setiap pertemuan. Penting maupun tidak penting, relevan atau tidak relevan, bukan itu ukurannya. Macan forum menugaskan pada dirinya sendiri harus menyumbangkan suara dalam setiap pertemuan yang dihadirinya. Macan forum masuk dalam kategori kaum vocalis, yang menyakini bahwa dirinya berarti apabila aktif ketika berada dalam sebuah kerumunan. Saat berada di dalam kelas, ketika belum saatnya diberi kesempatan untuk bertanya, sudah lebih dahulu mengacungkan tangan menyela penjelasan guru. Dalam rapat, ketika pemimpin baru membuka rapat, tangannya sudah diacungkan untuk meminta waktu, menginterupsi penjelasan yang belum jelas kemana arahnya.

Kerap kali saya merasa jengkel dengan jenis manusia semacam ini, para macan forum yang merasa pintar dan aktif dengan cara cepat-cepat mengacungkan tangan, mengumbar kata-kata yang hampir tak pernah singkat dan padat. Namun terkadang saya kagum juga pada kemampuan bicara, memutar kata, mencari pembenaran atas alasan dan seterusnya. Banyak kali para vocalis ini memang nampak pintar, membaca banyak buku karena dalam pembicaraan mereka kerap kali menyertakan kutipan kata atau pemikiran dari orang ini dan itu.

Namun pengalaman saya kerap kali mengatakan yang sebaliknya, justru mereka yang kerap kali diam, duduk dan menyimak dalam pertemuan-pertemuan ternyata mempunyai pengetahuan yang jauh lebih banyak dan dalam. Kaum pendiam ini kerap disebut sebagai manusia jenis ‘koster’. Koster adalah sebutan untuk penjaga gereja, selain menjaga kebersihan, koster juga melayani pastor/pendeta dalam mempersiapkan ibadah-ibadah atau kegiatan rohani lainnya. Koster adalah orang yang paling tahu seluk beluk gereja, tetapi tidak pernah bicara tentang gereja dan tidak juga pernah dimintai pendapat tentang problematika yang terkait dengan gereja.

Nah di masyarakat kita sebetulnya banyak tersembunyi jenis manusia ‘koster’, yang tidak pernah bicara maupun diminta pendapatnya meski dia tahu banyak tentang persoalan dalam masyarakat. Maka jika suatu saat sang koster ini punya kesempatan, tak bisa menghindar dan terpaksa bicara banyak orang akan terkejut mendengar paparannya. Kemudian banyak yang berujar, “Eh, selama ini saudara kemana saja, kok tak terdengar suaranya, padahal apa yang saudara katakan tadi adalah apa yang benar-benar kita butuhkan”. Beruntung kini dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, tersedia saluran bicara dan berkata-kata dalam rupa jejaring sosial. Perkembangan yang mencelakakan kaum vocalis karena jejaring sosial tidak banyak memberi ruang panjang untuk kata-kata yang berlarat-larat. Vocalis di media sosial juga dengan mudah direspon oleh orang lain. Respon yang lebih lugas karena hambatan psikologis relatif terhapus di media sosial. Seseorang tidak mudah terintimidasi oleh kedudukan, tampilan dan aneka hal fisik lainnya sebagaimana lazim ada dalam pertemuan tatap muka.

Media sosial menjadi kesempatan bagi kaum koster untuk mengungkapkan pendapat dan gagasan-gagasan mereka. Maka tak heran jika kemudian kita menemukan seseorang yang dalam kehidupan sehari-hari pendiam, tak banyak bicara dan jarang memberikan pendapat ternyata menjadi seseorang yang sangat rajin berkicau di twitland. Kehadiran sosial media memang membuat ruang publik menjadi semakin demokratis. Hambatan sosial, kultural dan psikologis semakin terkikis. Ruang kesemena-menaan tak dengan leluasa dipraktekkan. Kata-kata seperti siapa loe, nggak kenal gue ya, dengan mudah ditangkis bahkan membuat siapapun yang mengucapkannya bakal menyesal. Sebab bukannya orang menjadi takut, melainkan malah bisa balik dihajar oleh banyak orang, salah-salah malah borok dirinya sendiri bakal diumbar oleh orang lain.

Akhirnya saya menghimbau kepada para pengambil kebijakan, para pelayan publik, pelayan umat dan jemaat untuk rajin-rajin memantau sosial media. Karena disana voice of voicelless ditemukan, mengatakan hal yang sebenarnya tanpa keinginan untuk mendapat imbalan ini dan itu.

Dan mulailah tutup telinga terhadap bisik-bisik di sekitar anda, bisik-bisik atau teriak-teriakkan keras dengan kata-kata yang tidak dipikir dalam-dalam.

Pondok Wiraguna, 3 November 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (72)

0 komentar


SAGU : Kapurung, Sinonggi dan Papeda

Saya masih sempat punya pengalaman, melihat orang menebang pohon aren dan kemudian menarik batang pohon itu dengan bantuan potongan batang-batang pohon sebagai rodanya. Orang beramai-ramai menarik dari kebun menuju rumah pembuat tepung dari  batang aren.  Namun kini sulit mencari pohon aren yang masih tumbuh di kampung saya. 

Seingat saya pohon aren dulu sering di ‘deres’, menghasilkan air nira atau legen, yang bisa langsung diminum atau kemudian dimasak hingga menjadi gula aren. Ada juga yang mengambil ijuk yang mengelilingi batangnya, untuk dipilin menjadi tali ijuk atau diurai kemudian dibuat menjadi sapu.  Kalau jumlahnya banyak ada juga yang membuatnya menjadi atap rumah. Tapi lagi-lagi ini adalah cerita dulu, ketika tali plastik, nilon dan rafia belum meraja lela sebagaimana saat ini. Sapu ijukpun kini mulai langka, diganti dengan sapu plastik yang jauh lebih murah dan awet.

Saya sendiri tak tahu bagaimana orang di kampung saya mengolah batang aren dan hasilnya apa?. Kelak ketika saya di Sulawesi baru merasakan olahan dari batang sejenis aren, yang biasa disebut sagu. Karena teman-teman saya banyak dari Ambon, saya sempat merasakan sagu lempeng, sagu yang dicetak berbetuk kotak-kotak dan keras. Untuk memakannya harus dicelupkan dalam kuah atau air teh. Ada juga sejenis sagu lempeng, namun terbuat dari ubi kayu, ‘embal’ begitu orang kepulauan Key menyebutnya. Rasanya hampir sama dengan sagu, dan cara memakannyapun sama dengan dicelup di air kuah, teh atau kopi.

Ketika mulai berteman dengan kawan-kawan yang berasal dari Sulawesi Selatan, pada saat tertentu mereka memanggil untuk menikmati ‘kapurung’, masakan dari sagu yang dimakan dengan kuah sayur dan ikan. Kapurung terasa lebih menyegarkan dibanding sagu lempeng atau embal. Sementara orang-orang dari kepulauan Sangihe dan Talaud lebih suka mengolah sagu menjadi sagu lempeng yang dibakar dan disantap dengan ikan bakar. Barangkali ketika menyantah sagu lempeng bakar, ikan yang dibakar adalah ikan-ikan segar maka terasa sungguh nikmat.

Suatu saat ketika saya pergi ke Sulawesi Tenggara, saya menemukan ‘Sinonggi’, sama seperti Kapurung, sagu dimakan dengan kuah sayur, tapi yang agak mengherankan, kuah utamanya justru dari kuah sayur nangka. Tiba-tiba saja saya merasa ada semacam kedekatan dengan sayur favorit di masa kecil itu sehingga Sinonggi saya lalap dengan lahap. Rupanya ada yang mengamati semangat makan saya akibatnya setiap kali saya pergi ke Sulawesi Tenggara, Sinonggi menjadi ritual santapan yang menetap.

Bertahun-tahun saya hanya mendengar cerita tentang serunya makan Papeda di Papua. Teman-teman yang pulang dari sana selalu mempunyai cerita tentang Papeda, makan lem katanya. Dan benar ketika menginjakkan kaki di Sorong, Papua Barat, setiap sore saya diajak masak dan makan Papeda. Sagu dimasak dengan air panas di baskom besar, dan sekilas memang mirip lem kanji dalam jumlah yang besar. Serunya makan Papeda adalah saat mengambil dari baskom untuk dipindah ke piring yang rasanya tidak selalu mudah.

Bagi saya memakan sagu memang sensasional. Ketika makan sagu lempeng saya kemudian mesti mengukur-ukur kala minum air, sebab kalau tidak hati-hati kebanyakan minum air akan membuat sagu mengembang dalam perut dan akibatnya perut terasa sesak. Sementara ketika menyantap, Kapurung, Sinonggi atau Papeda, sungguh terasa perjalanannya ketika melewati tenggorokan, ‘mak leer’ sulit untuk dibahasakan.

Pengalaman memakan sagu, melengkapi pengalaman saya dalam hubungannya dengan bahan pangan pokok. Saya terlahir di kebudayaan petani beras, jadi nasi adalah makanan utama saya. Namun di jaman saya kecil, jaman yang tidak selalu enak itu, saya masih menemui makanan pokok selain nasi yang lazim dikonsumsi saat itu. Ada Tiwul yang terbuat dari tepung gaplek, ubi kayu yang dijemur hingga kering. Tiwul yang tak punya rasa itu dimakan dengan ‘kluban’ dan ikan asin. Sesekali Tiwul dimasak dengan diberi gula jawa dan ditaburi parutan kelapa, dan jadilah santapan menemani minum teh di pagi atau sore hari.

Selain tiwul ada juga Gadung, yang dibuat dari umbi pohon yang merambat. Untuk mengolah Gadung, perlu kehati-hatian sebab kalau tidak, makanan ini akan mengandung racun yang membuat pusing kepala setelah memakannya. Makanan lain untuk sarapan pagi adalah ‘Grontol’ yang bahannya adalah jagung pipil yang dimasak hingga pecah-pecah. Rebusan jagung yang telah ‘meletus-letus’ itu ditaburi dengan parutan kelapa yang agak muda, agar semakin nikmat disiram dengan ‘Juruh’, saos kental hasil lelehan gula jawa.

Ketika di Minahasa, saya hampir tak menemui kebiasaan memakan makanan pokok dari Sagu. Orang Minahasa lebih suka sarapan pagi dengan pisang rebus, bukan sembarang pisang melainkan pisang “Goroho’. Dua tiga buah pisang Goroho rebus di pagi hari sudah cukup untuk menganjal perut sesaat sebelum melakukan aktivitas harian. Pisang rebus ini nikmat dimakan dengan ditemani rica, terutama rica Roa. Selain pisang Goroho, masyarakat Minahasa dulu juga suka sarapan pagi dengan nasi Jagung. Beras jagung dimasak dengan dicampur beras padi, nasi hasil masakan campuran jagung dan padi ini konon tahan untuk menganjal perut orang-orang yang bekerja keras di kebun.

Saya merasa beruntung bisa menikmati dan mengalami sensansi menyantap aneka makanan pokok kekayaan negeri ini. Kekayaan yang kini hampir dilupakan dan terus dilupakan. Kini anak-anak kala bosan memakan nasi, akan lebih memilih kentang, roti dan mie yang kesemuanya bahannya bukan dihasilkan oleh masyarakat dan kebudayaan negeri ini.

Pondok Wiraguna, 3 November 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (71)

0 komentar


RICA dari Manado untuk Nusantara

Ketika konflik di Ambon (Maluku) terjadi  yang kemudian disusul konflik Poso juga Ternate (Maluku Utara), saya masih tinggal di Manado. Mau tidak mau Manado terpengaruh dengan kedatangan pengungsi dari daerah-daerah yang berkonflik itu. Terutama saat pengungsian dari Maluku Utara, di Kota Manado dan Bitung, muncul berbagai tempat penampungan pengungsi yang kemudian kerap disebut sebagai kamp.

Dalam berbagai diskusi tentang dampak konflik, saya dan teman-teman mengkhawatirkan posisi Manado yang bisa saja menjadi daerah konflik berikutnya. Kekhawatiran yang wajar saja, meski Manado saat itu dikenal sebagai daerah yang aman dengan slogannya Torang Samua Basudara. Dalam sela-sela diskusi ada saja teman yang tidak serius menanggapi kondisi Manado saat itu. Menurutnya Manado tetap saja akan aman, apapun kondisi di luar. Hanya ada satu perkecualian yang menurutnya bisa membuat Manado terguncang. Dia mengatakan “Manado bakal rusuh kalau di kebun dan pasar tak lagi ada Rica”.

Kalau dipikir-pikir meski sifatnya hanya gurauan, apa yang dikatakan oleh teman itu ada benarnya juga. Ketenangan hidup di Manado memang salah satunya ditentukan oleh Rica. Naik turunnya harga Rica bisa mempengaruhi emosi orang Manado. Ibu-ibu bakal naik ‘greel’ alias marah-marah kalau harga Rica perlahan mulai naik-naik ke puncak gunung.  Dan seberapapun mahalnya harga Rica, pasti akan dibeli. “Mo rasa apa makang kalau nyanda ada Rica”, pendek kata sesedap apapun makanan kalau tidak ada Rica ya percuma, susah mo maso gergantang, atau tidak enak ketika ditelan.

Yang dimaksud dengan Rica adalah cabe rawit, cabe yang pedasnya membuat rambut berdiri. Rica umumnya ditanam dan berasal dari Minahasa, Gorontalo atau Palu, sementara yang berasal dari Surabaya umumnya kurang disukai karena kurang pedas. Hampir semua masakan di Manado selalu harus disertai Rica. Ikan goreng, terong goreng, tempe goreng, tahu goreng semua disiram dengan saos Rica. Bahkan makan pisang goreng, ubi goreng, singkong rebus dan pisang rebuspun selalu dicocol dengan Rica, cabe yang ditumbuk dan akan lebih nikmat dicampur dengan ikan Roa atau Bakasang.

Hampir semua masakan yang populer di Manado membutuhkan jumlah Rica yang banyak, karenanya banyak dinamakan Rica-Rica. Ada ayam Rica-Rica, Babi Rica, Bebek Rica-Rica dan seterusnya. Masakan lain yang tidak nikmat kalau tidak pedas adalah RW (masakan daging Anjing). Tak heran, serangan pertama bagi orang yang baru datang ke Manado dan rakus adalah sakit perut atau bahkan mencret-mencret karena perut tidak tahan menghadapi serangan Rica.

Kebiasaan menyukai yang pedas-pedas membuat Rica menjadi salah satu indikator penting di Kota Manado, naik turunnya harga Rica mempengaruhi kehidupan di kota itu. Orang-orang disana bisa jadi tak peduli pada berbagai kejadian di daerah lain, tapi bila itu terkait dengan Rica, pasti akan jadi urusan semua orang.

Tinutan (bubur Manado) dan Klappertart adalah salah satu kuliner yang terkenal dan populer dari Manado, namun kekayaan kuliner yang menyumbang pengaruh besar dalam kuliner di Indonesia adalah Rica-Rica. Kini yang namanya Rica-Rica dengan mudah ditemukan dalam daftar menu berbagai warung, restoran dan rumah makan di berbagai penjuru Indonesia. Meski tidak selalu sama pedasnya dengan Rica-Rica di Manado.

Saat saya pulang ke Purworejo dan berkeliling malam hari di Lapangan Purworejo yang merupakan satu-satunya tempat keramaian di malam hari. Tenda-tenda makanan diatas trotoar yang mengelilingi lapangan itu banyak memajang tulisan Rica-Rica, entah itu ayam atau bebek dan juga kelinci. Terlihat bahwa pengaruh Rica-Rica sudah meng-indonesia.

Atas cara yang lain, kebiasaan memakan yang pedas-pedas juga menginpirasi pengusaha kuliner untuk menelurkan menu-menu yang seba pedas. Banyak rumah makan kini memasang tagline Sambal. Sambal menjadi menu utama untuk menarik pembeli. Ada banyak pilihan sambal yang membuat rambut berdiri dan mulut bersiul-siul kepedasan. Bahkan untuk yang extrims pedasnya, masakannya diberi titel Mercon. Disebut mercon karena pedasnya terasa meledak di mulut, hati-hati untuk yang tak tahan bukan cuma mulut yang terasa robk, kepalapun bakal ikut nyut-nyutan.

Untuk mengambarkan masakan yang sangat pedas, orang Manado kerap berucap “Pedis Manucu”, atau pedasnya terasa sampai menusuk ulu hati. Makan makanan yang pedas memang bisa jadi menyiksa diri, tapi jauh lebih nikmat dari pada makan makanan yang pahit. Apa enaknya hidup di Indonesia yang dalam banyak hal mulai terlihat dan terasa kecut serta pahit ini kalau tidak dihantam dengan masakan pedas.

Maka rasanya tidaklah lebay apabila saya berucap “Rica dari Manado untuk Nusantara”.

Pondok Wiraguna, 2 November 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (70)

0 komentar


Sukses

Sukses yang pertama itu adalah menjadi orang baik, orang yang patuh pada kebaikan. Ini kalimat yang tidak secara sengaja saya dengar keluar dari mulut Mario Teguh pengasuh acara MTGW di Metro TV.  Saya sendiri bukan pengemar acara ini, bukan karena tidak mau sukses tetapi masih banyak hal lain yang menarik tinimbang berdiam di depan TV melihat Mario Teguh beraksi.

Mario Teguh juga sederet motivator lainnya memompa semangat bagi para pemirsa atau hadirin yang datang pada sessi-sessi motivasi untuk optimis dan sukses. Lepas dari berbagai sinisme dari orang-orang yang tidak menyukai acara-acara semacam ini, saya merasa para motivator ini menyumbangkan salah satu faktor penting dalam dinamika masyarakat Indonesia. Di tengah berbagai pesimisme atas kondisi kehidupan dalam arti yang luas, para motivator memompakan semangat optimis, semangat yang memandang masa depan terbentang luas di hadapan.

Untuk menjadi sukses terkadang kita memang perlu dorongan dari orang lain, orang yang kita cintai, orang yang kita percayai dan orang yang kita teladani. Jalan menuju sukses pertama dirumuskan dalam sebuah niat “Saya ingin menjadi ....”. Menjadi ini dan itu sebagai tujuan, sehingga jalan menuju sukses adalah membangun titik-titik dari keadaan kini kepada tujuan. Titik-titik itu merupakan serangkaian pencapaian yang kemudian menjadi garis, garis menuju sukses.

Sukses sendiri mempunyai banyak makna, saling berbeda antara satu orang dengan orang yang lainnya. Dengan berdasar pada paradigma materialitas maka sukses adalah sukses finansial. Seseorang dianggap atau menganggap diri sukses apabila mapan secara keuangan. Puncaknya adalah mendapat pemasukan dari ‘Passive Income’, dengan demikian semakin cepat pensiun dianggap semakin sukses. Makna pensiun bukan berarti tidak bekerja, melainkan kerjanya tak lagi mengejar uang, karena uangnya sudah cukup atau bertambah dengan sendirinya.

Tentu saja sukses model diatas tidak bisa dicapai oleh banyak orang. Jenis sukses yang lebih umum diukur melalui pencapaian terbaik dalam suatu bidang. Sukses yang ditandai dengan menjadi juara atau mendapat penghargaan. Sukses seorang penyanyi apabila mendapat penghargaan dalam anugerah musik terbaik, sukses seorang sutradara adalah mendapat penghargaan dalam sebuah festival film, sukses seorang perenang adalah mendapat kalungan medali dalam sebuah pertandingan.

Hanya saja untuk kita yang mungkin tak bisa mencapai dua model sukses diatas, jangan terlalu khawatir, sedih dan merasa gagal. Masih banyak sukses-sukses lain yang bisa dicapai dalam hidup ini. Ibu-bapak saya yang telah membina keluarga lebih dari 40 tahun dan ke tujuh anaknya tak ada satupun yang pernah dipenjara tentu saja bisa dianggap sebagai suami-istri yang sukses. Sukses dalam membina hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah lembaga perkawinan.

Dalam hidup ini, saya yakin setiap orang pasti mempunyai berbagai sukses, meski itu sukses-sukses kecil. Namun rangkaian sukses-sukses kecil jika digabungkan, dihubungkan dalam sebuah titik-titik perjalanan hidup niscaya akan jadi sukses besar. Apapun kesuksesan itu, saya meyakini bahwa sukses yang sejati adalah kala hidup kita berarti bukan hanya bagi diri kita sendiri melainkan juga bagi orang lain, bagi banyak orang.

Magister saya di masa pendidikan rohani mengatakan dan mengajarkan bahwa perjalanan hidup manusia adalah perjalanan menuju kepenuhan sejati. Menjalankan tugas perkembangan dan tanggungjawab kemanusian. Tugas perkembangan dan tanggungjawab kemanusiaan adalah menjaga keutuhan ciptaan yaitu sesama manusia dan alam serta seisinya.

Banyak orang telah mengukir sukses di dunia ini, beberapa bahkan tercatat dan dikenang dari generasi ke generasi, menjadi sosok yang abadi karena terus dikenang oleh jaman. Namun jika kita cermati perkembangan berbagai kondisi saat ini, dalam bentuk kejadian bencana, kejahatan dan konflik-konflik lainnya, nyatalah bahwa sukses utama belumlah dicapai, atau belum menjadi bentuk perhatian dari masyarakat banyak. Masih terlalu banyak orang mengingkari tugas dan tanggungjawab kemanusiaannya, masih banyak orang menjadi harimau dan serigala pada manusia lainnya. 

Jika kembali kepada kata-kata Mario Teguh diatas, maka masih banyak orang yang tidak berkembang menjadi manusia baik, tidak patuh pada kebaikan. Dan ini kontras terhadap cita-cita dari kebanyakan kita sewaktu kecil yaitu ingin menjadi orang yang berarti untuk nusa dan bangsa.

Pondok Wiraguna, 4 November 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (69)

Rabu, 31 Oktober 2012 0 komentar

Sempitnya Patriotik Kita

Entah ada hubungan atau tidak antara sejarah yang kerap menyatakan bahwa selama 350 tahun bangsa ini melawan penjajah dengan kenyataan besarnya sifat dan perilaku ‘patriotik’ yang kini banyak dipertontonkan di penjuru negeri. Patriotik yang saya maksud adalah semangat bela bangsa (baca kelompok) untuk memerangi kelompok lainnya .

Right or wrong pokoknya is my group, begitu yang terjadi. Saya tak bisa menilai perasaan diri saya sendiri ketika di televisi melihat ratusan orang berbondong-bondong di jalanan menenteng aneka senjata tajam, mengantongi bom molotov dan berbaris bak pejuang hendak menyerang desa sebelah. Benarkah mereka hendak menjaga martabat dirinya yang diinjak oleh orang lain, jenis martabat seperti apa yang hendak dibela?. Tanpa bermaksud mengecilkan masalah yang dianggap memicu ‘perang’ atau penyerangan antara warga yang satu dengan yang lainnya, saya kerap merasa tindakan yang tersaji dalam pemberitaan adalah ‘lebay’. Apakah tidak lebay kalau ibarat memadamkan puntung rokok harus memakai mobil pemadam kebakaran, bukankah puntung rokok akan tuntas mati diinjak dengan kaki.

Kasus terakhir di Lampung misalnya, bisa dipastikan sudah ada semacam ‘dendam’ atau ‘ketidaksenangan’ komunal dari satu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lainnya. Jadi daun-daun kering sebenarnya sudah berserak dimana-mana, peristiwa yang dipersoalkan sejatinya hanya pemantik api yang mengobarkan dendam dan ketidaksenangan yang telah lama dipendam. Semenjak sumpah pemuda dikumandangkan, bangsa ini berjanji untuk bertanah air, berbangsa dan berbahasa yang satu yaitu bahasa Indonesia. Konsekwensinya, kita tak akan menyoal siapapun untuk memilih tempat tinggal, berusaha sukses dan hidup dimanapun juga selama itu berada dalam wilayah Indonesia.

Dulu di masa orde baru kita mengenal dan memaklumi ‘keakuan’ Indonesia dengan dua kategori, pribumi dan non probumi. Kita hampir tidak mempersoalkan kesukuan dalam konteks ke-Indonesian. Semua suku-suku nusantara dianggap sebagai pribumi, sah sebagai warga bangsa dan negara, yang diluar itu dianggap non pri alias penumpang bangsa dan negara ini. Maka kelompok yang selalu menjadi sasaran ketidaksenangan adalah warga keturunan China. Dan sialnya ‘ketidaksenangan’ terhadap non pri terutama yang bermata ‘sipit’ juga dilembagakan oleh negara lewat berbagai peraturan-peraturan yang membuat masyarakat keturunan China mengalami kesulitan dalam persoalan administrasi kependudukan.

Keadaan ini bergeser di masa otonomi daerah, yang awalnya berkaitan dengan kursi kekuasaan sehingga muncul istilah putra daerah. Istilah yang kemudian mengkategorisasi penduduk di sebuah wilayah sebagai penduduk lokal dan penduduk pendatang. Muncul hipotesis-hipotesis soal originalitas penduduk di sebuah kawasan. Siapa yang tidak ‘dianggap’ sebagai suku yang original di kawasan itu akan dianggap sebagai pendatang. Mereka yang kemudian sudah beranak pinak di kawasan itu, tercatat sebagai warga secara sah dalam sistem administrasi kependudukan, namun secara sosiologis tidak dianggap sebagai suku lokal maka akan dicap sebagai pendatang.

Elemen-elemen yang dulu dilekatkan kepada kelompok non pri kemudian dilekatkan kepada kelompok pendatang. Keberhasilan kelompok pendatang yang lebih besar diakibatkan oleh semangat kerja dan keinginan memperbaiki kehidupan dianggap sebagai manifestasi bentuk penghisapan atas sumberdaya lokal. Masyarakat pendatang yang berhasil kemudian dianggap perampok, berhasil menjadi kaya dan sejahtera karena berlaku tidak jujur, menipu atau main kotor pada penduduk lokal.

Ini adalah ancaman termuktahir pada bangunan kebangsaan kita saat ini. Secara sporadik bentuk-bentuk ketidaksenangan dari kelompok yang mengklaim diri sebagai ‘masyarakat lokal’ mulai gemar menyerang mereka yang dianggap ‘masyarakat pendatang’. Dan masyarakat yang dianggap sebagai pendatang tentu saja tidak terima dengan cap itu, mengingat mereka kebanyakan juga sudah putus hubungan dengan daerah yang menjadi asal usul atau tempat kelahiran kakek dan nenek (mungkin juga buyut) mereka.

Hanya saja persoalan ini kini cenderung dibiarkan, didekati dari sisi keamanan dan stabilitas bukan dari sisi spirit kebangsaan. Alhasil persoalan ini kemudian cenderung meluas dari satu wilayah ke wilayah lainnya, terjadi silih berganti. Satu dihentikan, muncul lagi di tempat lainnya. Mirip serangan kepada masayrakat keturunan China di masa lalu, yang berpindah dari satu kota ke kota lainnya seperti sebuah urutan perjalanan.

Saya kerap kali berpikir, bahwa warga negeri ini enggan menjadi patriotik bagi negara dan bangsa, semangat patriotiknya disempitkan dalam ‘keakuan’ yang berbasis pada suku atau bahkan sub etnis belaka. Tak heran jika kemudian kita lebih banyak diam, kala bangsa dan negara ini terus dinista oleh negara tetangga.

Pondok Wiraguna, 25 Oktober 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (68)

0 komentar


Melaknat Alam

Ketika anak saya mulai bisa berjalan, terselip sebuah kebahagiaan besar saat dia mengerti  ketika disuruh membuang kertas atu plastik ke tempat sampah. Saking rajinnya bahkan terkadang sendokpun masuk ke dalam kotak sampah. Menurut saya moralitas kebersihan itu penting dan utama untuk diketahui oleh anak-anak sejak dini. Membuang sampah pada tempatnya adalah wujud penghayatan iman pertama yang mestinya dijalankan sejak anak-anak sebelum mengimani Tuhan dengan sungguh-sungguh.

Mungkin ada yang berpikir saya keterlaluan, karena meninggikan sampah dibanding Tuhan. Persoalannya adalah rumah saya letaknya tidak jauh dari tempat pembuangan sampah sementara. Meski dibuat oleh warga di RT saya, namun saya yakin lebih dari 2-3 RT yang memanfaatkannya. Berdiri di depan rumah, memandang TPS itu tak berapa lama akan terlihat berapa rendahnya moralitas sampah masyarakat. Banyak mereka yang membuang sampah tak sudi berhenti, hanya memelankan kendaraan dan kemudian melempar sampah yang telah terbungkus plastik. Sebagiaan yang berbakat main basket atau bowling mungkin lemparannya tepat masuk ke dalam bak, tapi kebanyakan yang lain meleset dan tercecer di luar TPS.

Di hari minggu atau hari libur, opera tempat pembuangan sampah sementara lebih konyol lagi. Yang dibuang bukan sekedar sampah rumah tangga melainkan juga potongan pohon yang jumlahnya melebihi kapasitas, juga bongkaran bangunan yang tentu saja tidak akan diangkut oleh mobil sampah. Sore hari, TPS yang penuh tidak enak untuk dilihat dan kerap memancing orang-orang tertentu untuk membakar sampah yang ada di situ. Niatnya baik untuk mengurangi volume sampah hingga menjadi abu, namun dia tak memperhitungkan asap yang terkadang membawa bebauan masuk ke rumah-rumah di sekitarnya. Tak jarang mata dan hidung terasa pedih karena terpapar asap hasil pembakaran kulit bawang yang baunya menyengat.

Aneh kita adalah penghasil sampah tapi tak mau berurusan dengan sampah, pingin membuang sampah jauh dari rumah. Tak peduli tempat itu di mulut gang, di tanah kosong, yang penting jauh dari rumah sendiri. Padahal tidak semua yang kita anggap sebagai sampah adalah bahan buangan, bahan yang tak berguna lagi. Coba lihatlah dengan jeli, berapa banyak orang yang bisa hidup dengna cara berurusan pada barang yang kita anggap sampah. Banyak, jumlah anggota Front Pembela Islam sebenarnya sama banyaknya dengan Front Pemulung Indonesia.

Ada persoalan memang, bahwa sejak kecil kita hanya diajarkan membuang sampah pada tempatnya, tetapi hampir tak diajarkan bagaimana mengelola sampah, memanfaatkan apa yang kita anggap sampah agar tidak memenuhi tempat sampah, mengolah sampah organik agar tidak dibuang di tempat sampah umum. Tapi kemungkinan besar persoalan ini juga berkaitan dengan ruang. Saat ini rumah kebanyakan lebih luas dari tanahnya, tak tersedia lagi halaman, baik depan maupun belakang sehingga tak ada ruang untuk mengelola sampah.

Ini berbeda dengan saat saya kecil dulu yang tinggal di desa, kala itu rumah sebagian besar hanya sekitar 40% dari luas tanahnya sehingga tersedia ruang besar untuk membuat ‘jugangan’.  Tiap-tiap rumah mempunyai lubang sampah sendiri, ketika hampir penuh lubang itu ditutup dan membuat lubang baru. Setelah berapa lama lubang lama yang ditutup itu akan menjadi tempat untuk menanam pohon. Sampah yang telah membusuk didalamnya telah berubah menjadi pupuk organik menyuburkan tanaman yang ditanam di atasnya.

Sementara sampah rumah tangga biasanya tidak dibuang ke lubang sampah, melainkan dimanfaatkan untuk memberi makan pada binatang peliharaan. Entah itu kucing, anjing, ayam, kelinci dan lain-lainnya. Sampai dengan masa SMA, di kampung saya tak ada tempat pembuangan sampah sementara dan tak ada pula mobil pengangkut sampah yang keliling. Tak ada pula tanah kosong, ujung gang yang menjadi tempat pembuangan sampah, semua sampah diurus sendiri-sendiri oleh warga masyarakat.

Urusan sampah domestik memang kerap dianggap urusan kecil meski jumlah atau volume yang dihasilkan oleh masyarakat per harinya sebenarnya sangat besar. Dan seperti biasa urusan kecil memang tidak menarik untuk pengambil kebijakan dan masyarakat kebanyakan. Jangankan sampah kecil, sampah-sampah besar saja dibiarkan. Saya tak hendak mengada-ada, lihat saja obral besar perijinan untuk mengekploitasi sumberdaya alam yang terus dilakukan dimana-mana. Bukankan ekploitasi itu disamping menghasilkan pemasukan besar juga menghasilkan sampah besar, elemen-elemen yang mencemari bukan hanya tanah, air melainkan juga udara. Ekploitasi besar-besaran juga menimbulkan potensi bencana yang besar, dan setiap kejadian bencana selalu meninggalkan sampah yang luar biasa besarnya pula.

Sampah baik besar maupun kecil adalah sebuah pertanda bahwa kita gagal menghormati alam. Kita lebih suka atau terbiasa berlaku sebagai pelaknat alam.

Pondok Wiraguna, 27 Oktober 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (67)

0 komentar

Lagu dan Tari : Antara Aku dan Anakku

Secara naluriah bocah-bocah kecil apabila mendengar musik yang rancak pasti akan ikut mengoyang-ngoyangkan, menari-nari. Sambil menari ada pula yang ikut berusaha menyanyikan syairnya. Lucu dan mengemaskan. Seingat saya dulu, kebiasaan menari dan menyanyi ini terus dipupuk hingga sekolah dasar. Di TK misalnya, lagu-lagu diajarkan dengan gerakkannya. Begitu pula di SD, kita mesti siap-siap untuk maju ke depan kelas menyanyikan lagu satu persatu.

Giliran menyanyi satu-satu meski kadang mendebarkan namun menghibur hati, mirip dengan audisi nyanyi popularity contest di TV-TV. Ada yang menyanyi dengan menatap langit-langit, bergoyang tidak ikut irama lagu, keringatan, salah ambil nada dan seterusnya. Beberapa anak yang bagus menyanyinya dan berani biasanya akan dipilih untuk mengisi acara di RSPD (Radio Siaran Pemerintah Daerah) yang memberi kesempatan kepada TK dan SD secara bergiliran. Di radio, sebelum bernyanyi biasanya anak-anak akan mengucapkan “Bapak dan Ibu, saya ingin bernyanyi, lagu saya adalah ....... “.

Karena saya lahir dan sekolah di Jawa Tengah, maka pada jaman itu bukan hanya lagu-lagu anak-anak dan nasional yang berbahasa Indonesia saja yang diajarkan melainkan juga lagu atau tembang berbahasa Jawa. Ada lagu-lagu dolanan, lagu berbahasa jawa yang kocak dan sederhana semacam “Aku duwe pithik, pithik tukung, saben dino tak pakani jagung ....”. Juga lagu lagu mocopat, yang syairnya berat dan filosofis. Selain lagu, saat itu saya dan teman-teman sekolah dulu diajari pula tarian-tarian tradisional.

Maka pada hari-hari tertentu pergi ke sekolah bukan hanya membawa buku dan alat tulis melainkan juga sampur, selendang panjang yang dipakai oleh penari. Berbagai gerak tari mulai dari gerakan tangan, jari, leher, dagu, pinggang dan kaki diajarkan oleh guru. Tarian bukan hanya diajarkan pada jam pelajaran kesenian melainkan juga saat kegiatan ektrakurikuler pramuka. Biasanya di jam kegiatan pramuka yang diajarkan adalah tari komunal atau grup seperti Ndolalak dan Jaran Kepang. Menguasai satu atau kedua tarian ini bisa membuat kita terpilih menjadi delegasi mewakili sekolah untuk mengikuti Jambore (Pekan Perkemahan Pramuka) Kabupaten.

 Cerita soal lagu dan tari adalah menjadi pengingat bagi saya betapa saat itu masa-masa pendidikan di TK dan SD adalah masa yang menyenangkan, penuh nada dan gerak, yang kerap kali juga mendatangkan gelak, tawa bahagia yang lepas. Adakah anak-anak TK dan SD sekarang juga mengalami hal yang sama?. Sejauh saya amati dari anak saya, ketika masih di TK, pengalamannya mungkin tidak terlalu jauh dengan TK di jaman saya dulu. Yang membedakan mungkin hanya area saja, dimana TK-TK sekarang halamannya tidak seluas TK di jaman saya dulu. Soal mainan bahkan lebih lengkap demikian juga dengan alat bantu pendidikannya. Pendidikan di TK masih penuh dengan gerak dan lagu, meski kini sudah mulai disisipi dengan pengenalan bahasa Inggris, baca, tulis dan berhitung (Calistung).

Tapi ketika memasuki SD, saya tidak menemukan adanya pertambahan perbedaharaan lagu dan gerak yang ditunjukkan oleh anak saya. Saya buka buku paket pelajarannya, ada beberapa lagu yang tertulis di dalamnya namun ketika saya minta anak saya menyanyikannya ternyata tidak bisa. Ternyata bagian lagu itu dilewati tidak diajarkan. Kemudian saya tanya adakah tarian yang diajarkan dalam pelajaran di sekolah ternyata juga tidak.

Anak-anak SD sekarang ini sejak hari pertama masuk sudah dijejali dengan pengetahuan dan pengetahuan. Bocah-bocah kecil ini pagi-pagi sudah harus menanggung beban berat, berangkat sekolah dengan tas penuh berisi buku paket pelajaran. Sekurangnya ada tiga buku paket yang tebal dan lebar, ditambah buku LKS, dan masing-masing pelajaran dua buku tulis. Luar biasa, bahkan tas anak kuliahanpun kalah berat andai tidak berisi Laptop.

Masa-masa pendidikan dasar (tingkat SD) adalah masa dimana anak-anak masih kental dengan kebutuhan bermain. Maka pembelajaran seharusnya menyenangkan, sesuai dengan watak dan perkembangan anak dalam usia itu. Salah jika bangsa ini menaruh beban kegagalan bangsa pada anak-anak dengan menjejali berbagai macam hal yang seolah membuat bangsa ini tertinggal dari bangsa lain dalam mata pelajaran anak-anak SD.

Sadar atau tidak kita secara sengaja menghasilkan generasi stress melalui pendidikan dasar. Dan stress anak adalah juga stress ganda pada orang tuanya. Banyak orang tua akhirnya secara tidak sengaja melakukan kekerasan pada anaknya karena prestasi buruk anak di sekolah. Dengan demikian anak yang tertekan di sekolah semakin tertekan kala kembali di rumah. Stress anak dan juga stress orang tua yang bertemu, kemungkinan akan melahirkan cara-cara ‘kotor’ untuk mengatasinya dengan segera. Cara termudah tentu saja dengan membayar ini dan itu sehingga rapor anak tidak terbakar kala evaluasi semester atau kenaikan kelas.

Sebagai orangtua, saya tak ingin diri saya dan juga anak mengalami stress gara-gara pendidikan yang seharusnya menyenangkan. Maka maafkan saya kalau tidak memberi contoh yang baik, dengan sikap yang amat minimalis, yaitu saya sudah merasa bahagia dan gembira ketika anak saya rajin dan bersemangat bersekolah. Itu saja.

Pondok Wiraguna, 1 November 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (66)

0 komentar


Galau

Siapa yang tidak pernah galau?. Barangkali tidak pernah ada orang yang belum pernah mengalami kegalauan. Soal mengakui atau tidak, tentu saja bukan itu masalahnya. Memang banyak yang tidak mau mengakui atau berbagi pada orang lain soal kegalauannya, agar tidak dianggap lemah atau takut dicap lebay. Padahal sesungguhnya galau itu penting, galau pertanda seseorang sadar akan tantangan dan hari esok. Maka mereka yang sungguh-sungguh tak pernah galau bisa kita sebut sebagai orang tak punya kesadaran alias bebal terhadap kehidupan.

Saya merasa sebagai bangsa, kita adalah bangsa yang tengah galau. Galau akan masa depan bangsa ini yang dipenuhi dengan berbagai pertanyaan dan kekhawatiran melihat berbagai perkembangan yang terjadi disana-sini. Jayabaya pernah meramalkan fase-fase yang akan dijalani oleh bangsa ini sebelum memasuki kejayaannya kembali. Fase dimana terjadi kekacauan karena ulah atau perilaku individu yang berkuasa, kemudian fase kekacauan akibat ulah komunitas, dan kemudian memasuki fase keteraturan dimana masyarakat dan penguasa telah belajar dari pengalaman yang lampau sehingga bertindak lebih bijaksana.

Fase pertama dan kedua terus saja terjadi, silih berganti, namun fase ketika tidak segera datang. Ketika Suharto jatuh dan orde baru digeser oleh orde reformasi dan otonomi daerah, harapan memasuki fase baru kehidupan menyembul dalam benak seluruh warga bangsa ini. Tapi nyatanya ditunggu sekian lama perbaikan tak juga kelihatan, demokratisasi tidak bekerja sebagaimana yang diharapkan. Dalam banyak hal situasi saat ini jauh lebih buruk dari masa-masa bangsa ini berada dibawah kepemimpinan Diktator Suharto.

Saya tentu tak hendak berpikir untuk kembali ke masa-masa kepemerintahan otoriter Suharto yang di permukaan menghasilkan ketertiban sosial yang cukup tinggi. Bagi saya demokrasi, meski bukan sebuah sistem yang barangkali terbaik, namun tetap merupakan sistem yang tercocok untuk kita sebuah bangsa yang punya keragaman tinggi. Demokrasi memungkinkan terjadinya koreksi kebijakan secara sistematik oleh kekuatan masyarakat dan ini yang selalu kita perlukan.

Kalau kemudian kini seolah demokrasi belum menghasilkan ketentraman, keamanan dan bahkan kesejahteraan bagi masyarakat itu bukan karena kesalahan sistemnya. Kegagalan demokrasi lebih dikarenakan belum tingginya komitment dan kehendak politik dari aktor-aktor demokrasi untuk melaksanakan perangkat dan sarana demokrasi secara benar. Partai sebagai salah satu pilar terpenting dari demokrasi, belum menjadikan pendidikan politik sebagai program utama, rekruitment masih berjalan serampangan, platform dan perjuangan partai masih mengikuti arus populer demi mengejar peluang kekuasaan dan kedudukan politik.

Untuk menghindari konflik, menghindari gangguan dan ganjalan dalam menjalankan kekuasaan, partai pemenang pemilu membangun koalisi dengan partai-partai lain. Koalisi yang di atas permukaan dibangun dengan niat baik, mengelola negara dan bangsa secara bersama, sesungguhnya adalah sebuah persekongkolan untuk mengamankan perjalanan kekuasaan lima tahun ke depan. Tak heran jika kemudian koalisi justru penuh gejolak, tenang di dalam tetapi kerap main sindir dan cubit di luaran.

Tak heran jika kemudian koalisi politik juga menjadi koalisi galau, koalisi yang tidak ‘blended’ melainkan antara satu dan lainnya bertindak dalam kerangka aksi dan reaksi. Masing-masing saling meneropong, terus menghitung untung dan rugi sendiri-sendiri. Politik akhirnya diabdikan pada kepentingan partai atau para petingginya tapi bukan untuk daulat rakyat.

Kembali ke soal galau yang sesungguhnya merupakan pertanda adanya kesadaran dan harapan akan masa depan yang lebih baik, saya tetap merasa bahwa kegalauan tak boleh terlalu lama dibiarkan tanpa jawaban yang pasti. Kalau galau kemudian hanya melahirkan kegalauan yang lebih dalam, saya khawatir bangsa ini akan memasuki tahapan bangsa yang depresi dan tidak waras. Bangsa yang kemudian bertindak tanpa kesadaran dan bersandar pada insting atau dorongan sesaat dalam merespon sesuatu. Dan tanda bahwa bangsa ini mulai kehilangan akal sehatnya dengan mudah disaksikan dimana-mana.

Pondok Wiraguna, 30 Oktober 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (65)

0 komentar

Lingkaran Kekerasan

Butuh perjuangan untuk menahan kantuk agar mata tetap terjaga kala televisi menyiarkan berbagai pertandingan antar club yang ikut serta dalam penyisihan piala Euro Champion. Pertandingan yang bakal berakhir saat matahari mulai menyembul di ufuk, membuat saya bakal terlelap di waktu orang kebanyakan mulai bangun pagi. Butuh 3 -4 jam bagi saya untuk istirahat sebelum nanti dibangunkan oleh anak saya untuk mengantarnya pergi les atau menemani belajar sepulang sekolah. Rutinitas seperti ini membuat saya tak harus menyaksikan berita pagi, berita yang menurut teman saya membuat kita berpikir bahwa kerusakan negeri ini sudah paripurna. Saya sendiri bukan pemerhati berita, bahkan langganan koran sudah saya hentikan sebulanan lebih lantaran malas membaca berita yang itu-itu saja.

Namun sesekali terpaksa saya mesti mendengarkan atau melihat berita yang isinya tak jauh dari teror bom, kekerasan dan amuk massa, tawuran antar pelajar dan kampung, bentrok antara perusahaan dan warga, konflik lahan, banjir, kereta anjlok, kecelakaan, penyelundupan dan penyalahgunaan narkoba, kebut-kebutan di jalan dan sebagainya. Tentu saja stasiun berita tak hendak membuat hidup kita merana sejak pagi dengan menayangkan berita-berita yang tak mengenakkan hati. Berita ditayangkan agar kita tahu apa yang sedang terjadi di seluruh negeri, tetapi berita ditayangkan juga agar para pembuat kebijakan mengambil langkah untuk melakukan perbaikan-perbaikan atas berbagai kekurangan di banyak bidang.

Sayang berita tinggallah menjadi berita. Kekerasan aparat yang diprotes di mana-mana tidak juga membuat mereka bertindak bijaksana saat menghadapi protes atau demo yang dilakukan oleh warga. Aparat tetap gemar menghambur peluru, pukulan dan tendangan, dengan dalih para demonstran bertindak anarkis. Saya kerap merasa heran dengan kenyataan aparat keamanan (polisi) yang kerap berlaku terbolak-balik. Pada hal-hal yang seharusnya dihadapi dengan persuasif mereka bertindak represif, pada hal-hal yang diharuskan mereka bertindak represif, justru mereka hanya berdiri sebagai penonton. Dengan alasan jumlah personelnya kalah dengan jumlah massa, polisi kerap menyaksikan penghakiman (tepatnya pembunuhan) massa berlangsung dihadapan mereka.

Masyarakat belajar dari kejadian demi kejadian, perisitiwa amuk massa, perkelahian antar kampung, serbuan ke kampung sebelah, pemblokiran dan seterusnya hampir tak pernah diproses oleh polisi secara jelas. Meski ada sejumlah nyawa yang melayang, kematian itu dianggap sebagai konsekwensi logis dari konflik yang manifes dengan kekerasan, bukan sebagai sebuah pembunuhan yang disengaja atau bahkan direncanakan. Barisan orang di jalanan dengan membawa berbagai senjata tajam tidak ditanggapi sebagai sebuah motif keinginan membunuh pihak lain (yang dianggap sebagai lawan). Terlalu naif kalau saya harus menyimpulkan bahwa polisi sengaja membiarkan kejadian-kejadian konflik untuk menarik keuntungan bagi diri kelembagaan mereka.

Saya tak berniat menista, jika kemudian mencurigai alasan ketidakmampuan polisi menghadapi gejolak sosial dengan segera akan dipakai polisi untuk meminta dukungan pendanaan yang lebih besar baik dari negara maupun daerah. Soal deteksi dini misalnya, polisi terlihat sangat lemah membaca gerakan dalam masyarakat yang seolah-olah langsung jadi besar, padahal semestinya tidak demikian.

Serbuan satu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lain dengan mengerahkan ratusan orang, memobilisasi dengan truk atau kendaraan pengangkut jelas perlu persiapan, dan semua ini tak terbaca oleh polisi. Padahal di banyak tempat ada posko (sekretariat) yang memasang plang besar kemitraan masyarakat dengan polisi. Hal mana menunjukkan bahwa polisi bermintra dengan komunitas untuk mendeteksi dengan dini kemungkinan-kemungkinan gangguan keamanan dan instabilitas antar komunitas.

Saya tak tahu sejauh mana polisi telah mereformasi kinerja kelembagaannya, sejauh mana secara kelembagaan mereka merubah paradigma pendidikan calon-calon polisi. Namun sharing dari seorang mantan pembesar polisi di jaman kepresidenan Gus Dur, yang kini beralih profesi menjadi seorang pendidik, menyebutkan bahwa seorang polisi adalah hasil didikan melalui rangkaian kekerasan.

Maka tak heran jika kemudian polisi seolah-olah biasa-biasa saja menghadapi berbagai kejadian kekerasan dalam masyarakat, termasuk terbiasa melakukan kekerasan dikala hal itu tidak diperlukan.

Pondok Wiraguna, 29 Oktober 2012
@yustinus_esha

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum