Galau
Siapa yang tidak pernah galau?.
Barangkali tidak pernah ada orang yang belum pernah mengalami kegalauan. Soal
mengakui atau tidak, tentu saja bukan itu masalahnya. Memang banyak yang tidak
mau mengakui atau berbagi pada orang lain soal kegalauannya, agar tidak
dianggap lemah atau takut dicap lebay. Padahal sesungguhnya galau itu penting,
galau pertanda seseorang sadar akan tantangan dan hari esok. Maka mereka yang
sungguh-sungguh tak pernah galau bisa kita sebut sebagai orang tak punya
kesadaran alias bebal terhadap kehidupan.
Saya merasa sebagai bangsa, kita
adalah bangsa yang tengah galau. Galau akan masa depan bangsa ini yang dipenuhi
dengan berbagai pertanyaan dan kekhawatiran melihat berbagai perkembangan yang
terjadi disana-sini. Jayabaya pernah meramalkan fase-fase yang akan dijalani
oleh bangsa ini sebelum memasuki kejayaannya kembali. Fase dimana terjadi
kekacauan karena ulah atau perilaku individu yang berkuasa, kemudian fase
kekacauan akibat ulah komunitas, dan kemudian memasuki fase keteraturan dimana
masyarakat dan penguasa telah belajar dari pengalaman yang lampau sehingga
bertindak lebih bijaksana.
Fase pertama dan kedua terus saja
terjadi, silih berganti, namun fase ketika tidak segera datang. Ketika Suharto
jatuh dan orde baru digeser oleh orde reformasi dan otonomi daerah, harapan
memasuki fase baru kehidupan menyembul dalam benak seluruh warga bangsa ini.
Tapi nyatanya ditunggu sekian lama perbaikan tak juga kelihatan, demokratisasi
tidak bekerja sebagaimana yang diharapkan. Dalam banyak hal situasi saat ini
jauh lebih buruk dari masa-masa bangsa ini berada dibawah kepemimpinan Diktator
Suharto.
Saya tentu tak hendak berpikir
untuk kembali ke masa-masa kepemerintahan otoriter Suharto yang di permukaan
menghasilkan ketertiban sosial yang cukup tinggi. Bagi saya demokrasi, meski
bukan sebuah sistem yang barangkali terbaik, namun tetap merupakan sistem yang
tercocok untuk kita sebuah bangsa yang punya keragaman tinggi. Demokrasi
memungkinkan terjadinya koreksi kebijakan secara sistematik oleh kekuatan masyarakat
dan ini yang selalu kita perlukan.
Kalau kemudian kini seolah
demokrasi belum menghasilkan ketentraman, keamanan dan bahkan kesejahteraan
bagi masyarakat itu bukan karena kesalahan sistemnya. Kegagalan demokrasi lebih
dikarenakan belum tingginya komitment dan kehendak politik dari aktor-aktor
demokrasi untuk melaksanakan perangkat dan sarana demokrasi secara benar.
Partai sebagai salah satu pilar terpenting dari demokrasi, belum menjadikan
pendidikan politik sebagai program utama, rekruitment masih berjalan
serampangan, platform dan perjuangan partai masih mengikuti arus populer demi
mengejar peluang kekuasaan dan kedudukan politik.
Untuk menghindari konflik,
menghindari gangguan dan ganjalan dalam menjalankan kekuasaan, partai pemenang
pemilu membangun koalisi dengan partai-partai lain. Koalisi yang di atas
permukaan dibangun dengan niat baik, mengelola negara dan bangsa secara
bersama, sesungguhnya adalah sebuah persekongkolan untuk mengamankan perjalanan
kekuasaan lima tahun ke depan. Tak heran jika kemudian koalisi justru penuh
gejolak, tenang di dalam tetapi kerap main sindir dan cubit di luaran.
Tak heran jika kemudian koalisi
politik juga menjadi koalisi galau, koalisi yang tidak ‘blended’ melainkan
antara satu dan lainnya bertindak dalam kerangka aksi dan reaksi. Masing-masing
saling meneropong, terus menghitung untung dan rugi sendiri-sendiri. Politik
akhirnya diabdikan pada kepentingan partai atau para petingginya tapi bukan
untuk daulat rakyat.
Kembali ke soal galau yang sesungguhnya
merupakan pertanda adanya kesadaran dan harapan akan masa depan yang lebih baik,
saya tetap merasa bahwa kegalauan tak boleh terlalu lama dibiarkan tanpa
jawaban yang pasti. Kalau galau kemudian hanya melahirkan kegalauan yang lebih
dalam, saya khawatir bangsa ini akan memasuki tahapan bangsa yang depresi dan
tidak waras. Bangsa yang kemudian bertindak tanpa kesadaran dan bersandar pada
insting atau dorongan sesaat dalam merespon sesuatu. Dan tanda bahwa bangsa ini
mulai kehilangan akal sehatnya dengan mudah disaksikan dimana-mana.
Pondok Wiraguna, 30 Oktober 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar