Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (65)

Rabu, 31 Oktober 2012

Lingkaran Kekerasan

Butuh perjuangan untuk menahan kantuk agar mata tetap terjaga kala televisi menyiarkan berbagai pertandingan antar club yang ikut serta dalam penyisihan piala Euro Champion. Pertandingan yang bakal berakhir saat matahari mulai menyembul di ufuk, membuat saya bakal terlelap di waktu orang kebanyakan mulai bangun pagi. Butuh 3 -4 jam bagi saya untuk istirahat sebelum nanti dibangunkan oleh anak saya untuk mengantarnya pergi les atau menemani belajar sepulang sekolah. Rutinitas seperti ini membuat saya tak harus menyaksikan berita pagi, berita yang menurut teman saya membuat kita berpikir bahwa kerusakan negeri ini sudah paripurna. Saya sendiri bukan pemerhati berita, bahkan langganan koran sudah saya hentikan sebulanan lebih lantaran malas membaca berita yang itu-itu saja.

Namun sesekali terpaksa saya mesti mendengarkan atau melihat berita yang isinya tak jauh dari teror bom, kekerasan dan amuk massa, tawuran antar pelajar dan kampung, bentrok antara perusahaan dan warga, konflik lahan, banjir, kereta anjlok, kecelakaan, penyelundupan dan penyalahgunaan narkoba, kebut-kebutan di jalan dan sebagainya. Tentu saja stasiun berita tak hendak membuat hidup kita merana sejak pagi dengan menayangkan berita-berita yang tak mengenakkan hati. Berita ditayangkan agar kita tahu apa yang sedang terjadi di seluruh negeri, tetapi berita ditayangkan juga agar para pembuat kebijakan mengambil langkah untuk melakukan perbaikan-perbaikan atas berbagai kekurangan di banyak bidang.

Sayang berita tinggallah menjadi berita. Kekerasan aparat yang diprotes di mana-mana tidak juga membuat mereka bertindak bijaksana saat menghadapi protes atau demo yang dilakukan oleh warga. Aparat tetap gemar menghambur peluru, pukulan dan tendangan, dengan dalih para demonstran bertindak anarkis. Saya kerap merasa heran dengan kenyataan aparat keamanan (polisi) yang kerap berlaku terbolak-balik. Pada hal-hal yang seharusnya dihadapi dengan persuasif mereka bertindak represif, pada hal-hal yang diharuskan mereka bertindak represif, justru mereka hanya berdiri sebagai penonton. Dengan alasan jumlah personelnya kalah dengan jumlah massa, polisi kerap menyaksikan penghakiman (tepatnya pembunuhan) massa berlangsung dihadapan mereka.

Masyarakat belajar dari kejadian demi kejadian, perisitiwa amuk massa, perkelahian antar kampung, serbuan ke kampung sebelah, pemblokiran dan seterusnya hampir tak pernah diproses oleh polisi secara jelas. Meski ada sejumlah nyawa yang melayang, kematian itu dianggap sebagai konsekwensi logis dari konflik yang manifes dengan kekerasan, bukan sebagai sebuah pembunuhan yang disengaja atau bahkan direncanakan. Barisan orang di jalanan dengan membawa berbagai senjata tajam tidak ditanggapi sebagai sebuah motif keinginan membunuh pihak lain (yang dianggap sebagai lawan). Terlalu naif kalau saya harus menyimpulkan bahwa polisi sengaja membiarkan kejadian-kejadian konflik untuk menarik keuntungan bagi diri kelembagaan mereka.

Saya tak berniat menista, jika kemudian mencurigai alasan ketidakmampuan polisi menghadapi gejolak sosial dengan segera akan dipakai polisi untuk meminta dukungan pendanaan yang lebih besar baik dari negara maupun daerah. Soal deteksi dini misalnya, polisi terlihat sangat lemah membaca gerakan dalam masyarakat yang seolah-olah langsung jadi besar, padahal semestinya tidak demikian.

Serbuan satu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lain dengan mengerahkan ratusan orang, memobilisasi dengan truk atau kendaraan pengangkut jelas perlu persiapan, dan semua ini tak terbaca oleh polisi. Padahal di banyak tempat ada posko (sekretariat) yang memasang plang besar kemitraan masyarakat dengan polisi. Hal mana menunjukkan bahwa polisi bermintra dengan komunitas untuk mendeteksi dengan dini kemungkinan-kemungkinan gangguan keamanan dan instabilitas antar komunitas.

Saya tak tahu sejauh mana polisi telah mereformasi kinerja kelembagaannya, sejauh mana secara kelembagaan mereka merubah paradigma pendidikan calon-calon polisi. Namun sharing dari seorang mantan pembesar polisi di jaman kepresidenan Gus Dur, yang kini beralih profesi menjadi seorang pendidik, menyebutkan bahwa seorang polisi adalah hasil didikan melalui rangkaian kekerasan.

Maka tak heran jika kemudian polisi seolah-olah biasa-biasa saja menghadapi berbagai kejadian kekerasan dalam masyarakat, termasuk terbiasa melakukan kekerasan dikala hal itu tidak diperlukan.

Pondok Wiraguna, 29 Oktober 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum