Lingkaran Kekerasan
Butuh perjuangan untuk menahan kantuk agar mata tetap terjaga kala televisi menyiarkan berbagai pertandingan antar club yang ikut serta dalam penyisihan piala Euro Champion. Pertandingan yang bakal berakhir saat matahari mulai menyembul di ufuk, membuat saya bakal terlelap di waktu orang kebanyakan mulai bangun pagi. Butuh 3 -4 jam bagi saya untuk istirahat sebelum nanti dibangunkan oleh anak saya untuk mengantarnya pergi les atau menemani belajar sepulang sekolah. Rutinitas seperti ini membuat saya tak harus menyaksikan berita pagi, berita yang menurut teman saya membuat kita berpikir bahwa kerusakan negeri ini sudah paripurna.
Saya sendiri bukan pemerhati berita, bahkan langganan koran sudah saya hentikan sebulanan lebih lantaran malas membaca berita yang itu-itu saja.
Namun sesekali terpaksa saya mesti mendengarkan atau melihat berita yang isinya tak jauh dari teror bom, kekerasan dan amuk massa, tawuran antar pelajar dan kampung, bentrok antara perusahaan dan warga, konflik lahan, banjir, kereta anjlok, kecelakaan, penyelundupan dan penyalahgunaan narkoba, kebut-kebutan di jalan dan sebagainya.
Tentu saja stasiun berita tak hendak membuat hidup kita merana sejak pagi dengan menayangkan berita-berita yang tak mengenakkan hati. Berita ditayangkan agar kita tahu apa yang sedang terjadi di seluruh negeri, tetapi berita ditayangkan juga agar para pembuat kebijakan mengambil langkah untuk melakukan perbaikan-perbaikan atas berbagai kekurangan di banyak bidang.
Sayang berita tinggallah menjadi berita. Kekerasan aparat yang diprotes di mana-mana tidak juga membuat mereka bertindak bijaksana saat menghadapi protes atau demo yang dilakukan oleh warga. Aparat tetap gemar menghambur peluru, pukulan dan tendangan, dengan dalih para demonstran bertindak anarkis.
Saya kerap merasa heran dengan kenyataan aparat keamanan (polisi) yang kerap berlaku terbolak-balik. Pada hal-hal yang seharusnya dihadapi dengan persuasif mereka bertindak represif, pada hal-hal yang diharuskan mereka bertindak represif, justru mereka hanya berdiri sebagai penonton. Dengan alasan jumlah personelnya kalah dengan jumlah massa, polisi kerap menyaksikan penghakiman (tepatnya pembunuhan) massa berlangsung dihadapan mereka.
Masyarakat belajar dari kejadian demi kejadian, perisitiwa amuk massa, perkelahian antar kampung, serbuan ke kampung sebelah, pemblokiran dan seterusnya hampir tak pernah diproses oleh polisi secara jelas. Meski ada sejumlah nyawa yang melayang, kematian itu dianggap sebagai konsekwensi logis dari konflik yang manifes dengan kekerasan, bukan sebagai sebuah pembunuhan yang disengaja atau bahkan direncanakan. Barisan orang di jalanan dengan membawa berbagai senjata tajam tidak ditanggapi sebagai sebuah motif keinginan membunuh pihak lain (yang dianggap sebagai lawan).
Terlalu naif kalau saya harus menyimpulkan bahwa polisi sengaja membiarkan kejadian-kejadian konflik untuk menarik keuntungan bagi diri kelembagaan mereka.
Saya tak berniat menista, jika kemudian mencurigai alasan ketidakmampuan polisi menghadapi gejolak sosial dengan segera akan dipakai polisi untuk meminta dukungan pendanaan yang lebih besar baik dari negara maupun daerah.
Soal deteksi dini misalnya, polisi terlihat sangat lemah membaca gerakan dalam masyarakat yang seolah-olah langsung jadi besar, padahal semestinya tidak demikian.
Serbuan satu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lain dengan mengerahkan ratusan orang, memobilisasi dengan truk atau kendaraan pengangkut jelas perlu persiapan, dan semua ini tak terbaca oleh polisi. Padahal di banyak tempat ada posko (sekretariat) yang memasang plang besar kemitraan masyarakat dengan polisi. Hal mana menunjukkan bahwa polisi bermintra dengan komunitas untuk mendeteksi dengan dini kemungkinan-kemungkinan gangguan keamanan dan instabilitas antar komunitas.
Saya tak tahu sejauh mana polisi telah mereformasi kinerja kelembagaannya, sejauh mana secara kelembagaan mereka merubah paradigma pendidikan calon-calon polisi. Namun sharing dari seorang mantan pembesar polisi di jaman kepresidenan Gus Dur, yang kini beralih profesi menjadi seorang pendidik, menyebutkan bahwa seorang polisi adalah hasil didikan melalui rangkaian kekerasan.
Maka tak heran jika kemudian polisi seolah-olah biasa-biasa saja menghadapi berbagai kejadian kekerasan dalam masyarakat, termasuk terbiasa melakukan kekerasan dikala hal itu tidak diperlukan.
Pondok Wiraguna, 29 Oktober 2012
@yustinus_esha
Orang boleh pandai setinggi langit, namun kalau tidak menulis maka akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah (Pram)
Pages
Label:
Kolom
Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (65)
Borneo Menulis
Rabu, 31 Oktober 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
Cari Blog Ini
Sekolah dan Bengkel Menulis Naladwipa
Merupakan hasil kerjasama Naladwipa Institute, Komisi Kepemudaan Keuskupan Agung Samarinda dan Desantara Foundation. Kegiatan ini diikuti oleh anak-anak muda untuk mengasah wawasan, kepekaan dan ketajaman untuk melihat apa yang terjadi di kesekitarannya.
Menulis Adalah Panggilan Jiwa
Blog ini merupakan wahana bagi peserta sekolah menulis Naladwipa dan Komkep Kasri untuk mempublikasikan tulisannya. Namun tetap terbuka bagi siapapun yang hendak mengirimkan tulisan juga. Silahkan masukkan tulisan ke badan email dan kirim ke borneo.menulis@gmail.com
Tulisan akan ditata sedemikian rupa tanpa merubah isi dan subtansinya.
Tulisan akan ditata sedemikian rupa tanpa merubah isi dan subtansinya.
Popular Posts
-
Antara Antri IPAD dan Bensin Ketika masih duduk di bangku sekolah, libur kenaikan kelas adalah sebuah kegembiraan yang tidak terkira. Sebu...
-
Daun-daun masih basah, karena tadi sore hujan baru usai menyirami kampung yang berada di tepi sungai Kelian. Kini malam berganti terang pur...
-
Hujan rintik-rintik ditemani senja sedang merayap meraih malam di saat saya memasuki pintu gerbang desa Kutai Lama Kecamatan Anggana Kutai ...
-
Masihkan orang berpikir bahwa tato adalah penanda bagi mahkluk yang cenderung kriminal dan tindik (piercing) adalah peradaban massa silam?. ...
-
Berita merupakan produk aktivitas jurnalistik atas dasar informasi yang berdasar pada fakta. Jika sang jurnalis hadir atau berada dalam sebu...
-
Empat bulan lalu Ardi bersama keluarganya pindah rumah, ke tempat tinggal yang kini adalah miliknya sendiri. Bertahun-tahun Ardi, Esta istr...
-
Media memegang peran penting dalam dinamika sosio kultural di masyarakat. Di tengah iklim yang menindas, media bisa menjadi corong dari peng...
-
Resep apa yang digunakan oleh seseorang sehingga mampu melahirkan tulisan yang menawan. Sederhana saja, ramuan jitu dalam menulis hanya satu...
-
Istilah LSM sebenarnya contradictio in terminis atau korupsi makna. Sebagai sebuah institusi yang dinamai dengan Lembaga Swadaya Masyarakat...
-
Kemacetan tak lagi milik kota-kota metropolitan macam Jakarta, Bandung, Surabaya atau Medan. Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang kin...
Ayo Menulis
Jika anda percaya bahwa kata-kata mampu menggerakkan perubahan maka mulailah menulis. Semua pantas ditulis dan perlu untuk dibagikan.
Daftar Link
Partisipan
Arsip Blog
- 06/26 - 07/03 (3)
- 07/03 - 07/10 (3)
- 07/10 - 07/17 (6)
- 07/17 - 07/24 (6)
- 07/24 - 07/31 (12)
- 07/31 - 08/07 (3)
- 08/14 - 08/21 (2)
- 08/28 - 09/04 (2)
- 09/04 - 09/11 (3)
- 10/02 - 10/09 (11)
- 09/02 - 09/09 (10)
- 09/09 - 09/16 (4)
- 09/16 - 09/23 (12)
- 09/23 - 09/30 (8)
- 09/30 - 10/07 (12)
- 10/07 - 10/14 (8)
- 10/14 - 10/21 (10)
- 10/28 - 11/04 (9)
- 11/04 - 11/11 (9)
- 11/11 - 11/18 (10)
- 11/18 - 11/25 (8)
- 11/25 - 12/02 (6)
- 12/02 - 12/09 (3)
- 12/09 - 12/16 (3)
- 12/30 - 01/06 (1)
- 01/06 - 01/13 (5)
Kunjungan
BORNEO MENULIS
0 komentar:
Posting Komentar