Macet, Update Status Saja

Rabu, 05 Oktober 2011


Kemacetan tak lagi milik kota-kota metropolitan macam Jakarta, Bandung, Surabaya atau Medan. Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang kini gampang diperoleh lewat kredit membuat kota-kota seluruh Indonesia terancam kemacetan terutama pada jam-jam tertentu. Fenomena bottle neck ditemui dengan mudah ditemui di berbagai penjuru kota. Jalan menjadi penuh karena kendaraan dari berbagai jurusan bertemu di satu jalur.

“Lihat saja di jalur ini”, ujar Mas Romo menunjuk jalur jalan di tepian Sungai Mahakam. “Pada jam-jam tertentu kendaraan menyemut, beriringan panjang merayap seperti ular kekenyangan”. Sambil menyedot kretek kesayangannya, Mas Romo menyatakan bahwa semua berebutan menyeberangi jembatan Mahakam yang panjang tapi sempit. “Jalanan ini menjadi cermin soal siapa kita. Berada di atas jalan ini dengan mudah kita melihat orang-orang yang mau menang sendiri, memacu kendaraannya tak peduli keselamatan orang lain, seolah-olah jalan hanya menjadi miliknya sendiri”, ungkap Mas Romo.

Dino mengamini apa yang dikatakan Mas Romo. Bukan satu dua kali dirinya hampir terkena serangan jantung di jalanan. Motor tiba-tiba nyelonong dari sebelah kiri, berbelok tanpa memberi tanda, muncul dari gang dengan gagah berani dan mengobral klakson meski tahu kalau bunyinya tak bakal mengerakkan rangkaian kendaraan didepannya. “Jalanan kita sekarang ini memang ruang pertunjukkan orang-orang yang tak sayang nyawanya sendiri”, kata Dino mengomentari ungkapan Mas Romo. “Banyak orang sebenarnya selamat bukan karena ketrampilannya berkendara, melainkan karena beruntung saja”, sambung Ahmad yang beberapa bulan lalu patah tangannya karena diseruduk anak-anak SMA yang kebut-kebutan. “Hati-hati di jalanan bukan jaminan keselamatan, sebab banyak pengendara lainnya yang berkendara dengan serampangan. Bertemu dengan mereka bisa membuat kita celaka. Ini buktinya”, lanjut Ahmad sambil menunjukkan bekas luka di pergelangan tangannya.

Jalan memang ruang pertemuan, ada berbagai kepentingan memperebutkan ruang sempitnya. Dan tidak semua menghendaki kelancaran. Sebab tak sedikit pula yang bersyukur apabila jalanan macet, padat merayap. Kumpulan orang yang frustasi di jalanan, tersenggat matahari atau terguyur hujan adalah rejeki alias peluang untuk menghasilkan uang. Pengemis, pengamen, penjual asongan, pencari sumbangan dan marketer lainnya tentu girang kalau jalanan penuh.

“Perempatan jalan, tempat lampu lalulintas berada adalah tempat favorit mereka mengais rejeki. Semakin lama berhenti semakin baik, sehingga koran yang dijajakan bakal cepat habis, itu doa anak-anak penjual koran”, ujar Mas Romo yang kerap menemui anak-anak kecil terkantuk-kantuk dengan koran di dadanya hingga larut malam.

“Lalu bagaimana kita bisa mengurai kemacetan?”, tanya Ahmad pada Mas Romo.

“Pertama ini memang soal infrastruktur, ada ketidakseimbangan antara pertumbuhan kendaraan dengan pertumbuhan jalan baru. Jalan yang ada tidak lagi cukup menampung populasi kendaraan apabila secara bersamaan kendaraan-kendaraan ini berada di jalanan”, kata Mas Romo. “Tapi pada sisi lain juga soal perilaku pembangunan, jalan yang dibangun tidak dipelihara secara rutin sehingga banyak lubang disana sini yang membuat pengendara tidak lancar menelusurinya. Itu masih diperparah lagi dengan banyaknya kendaraan yang diparkir di kanan kiri jalan tanpa perasaan. Banyak orang tak punya garasi tapi ngotot membeli mobil”, lanjut Mas Romo.

“Betul Mas Romo, badan jalan sering dianggap sebagai tempat penitipan kendaraan. Tapi soal kemacetan juga terkait dengan budaya atau perilaku kita berkendaraan. Tidak mau mengalah, mau menang sendiri kerap membuat jalanan jadi stuck, terkunci tak bisa maju juga tak bisa mundur”, kata Dino menyumbangkan pikirannya.

“Kalau begitu, benar dong kita perlu jalan TOL. Tapi kok saat pemerintah berinisiatif membangun jalan TOL banyak yang ribut tak setuju?”, kata Ahmad memberi kesimpulan.

“Wah, itu soal lain Mad. Tidak ada hubungan antara kemacetan jalanan dan rencana pembangunan TOL. TOL yang direncanakan bukan untuk mengatasi kemacetan, melainkan agar kekayaan bumi, sumberdaya alam kita lebih mudah dan cepat dibawa lari keluar”, sahut Dino dengan cepat.
“TOL mungkin memang perlu, sebab ada yang berpikir kurang afdol kalau kota besar tidak mempunyai TOL. Tapi jalan TOL bukanlah jalan yang dibangun oleh pemerintah, melainkan investasi swasta. Jadi pemerintah tak perlu memaksa, andai tidak ada investor yang berminat membangunnya maka itu pertanda bahwa TOL belum diperlukan”, sambung Mas Romo menambah keterangan Dino.

“Oh, gitu to Mas Romo. Lalu kapan kemacetan ini akan berakhir”, tanya Ahmad lagi.

“Jujur saja kalau soal itu saya tak tahu. Kalau saya sih lebih baik kita membiasakan diri dengan kemacetan, kalau perlu menikmatinya sebab persoalan ini masih lama pemecahannya”, jawab Mas Romo.

“Makanya Mad, kalau di jalanan bekali dirimu dengan Smartphone. Jadi kalau terjebak macet, kita masih tetap bisa browsing atau update status”, sambung Dino.

“Macet lagi..macet lageeee ... padahal si Komo gak lewat lho ....” sent by smartphone kreditan, powered by provider yang lemoot mlulu. Begitu update status di dinding facebook Ahmad beberapa hari kemudian.

Yustinus Sapto Hardjanto
Sociocultural Networker’s

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum