• Blockquote

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Duis non justo nec auge

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

  • Vicaris Vacanti Vestibulum

    Mauris eu wisi. Ut ante ui, aliquet neccon non, accumsan sit amet, lectus. Mauris et mauris duis sed assa id mauris.

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (82)

Kamis, 08 November 2012 1 komentar

NATAL OH NATAL

Seorang teman menanyakan kepada saya kenapa yang disebut sebagai pohon Natal adalah pohon Cemara atau Pinus?. Saya tak tahu harus menjawab apa karena tidak ada penjelasan secara dogmatis maupun teologis yang saya pelajari menjelaskan tentang hal itu. Yang kerap saya dengar adalah pohon Natal sering disebut sebagai pohon terang. Mungkin disebut pohon terang lantaran ada bintang yang ditaruh di pucuk tertinggi plus lilitan lampu warna-warni. Entahlah. Saya mencoba merasionalisasi kenapa dipilih pohon Cemara dan Pinus, mungkin pohon ini dianggap bisa bertahan dalam segala cuaca, tetap hijau meski dihantam panas, diguyur hujan dan diselimuti salju. Karena sifatnya ini maka pohon ini dipilih untuk menjadi salah satu ikon Natal untuk melengkapi ikon lain yang jumlahnya tidak sedikit itu.

Mas Ton (Alm), demikian TH Sumartana (pengagas Interfidei) biasa dipanggil, pernah punya pemikiran soal ini. Menurutnya pemakaian Cemara atau Pinus pada hari Natal bercorak warisan kolonial. Mestinya orang Kristen mencari dan memakai pohon (andai harus) yang asli Indonesia dan mempunyai sifat yang sama yaitu bertahan dalam segala cuaca. Dan setelah dipikir-pikir, pohon yang tahan pada cuaca panas dan hujan adalah pohon Pisang.

Saya membayangkan andai pilihan pohon pisang disetujui oleh orang-orang Kristen di Indonesia sebagai pohon Natal maka beban natal akan semakin berkurang. Tak perlu kita membeli pohon Natal di toko yang harganya makin tahun makin mahal saja. Mahal dan tidak efektif serta efisien karena hanya dipakai setahun sekali. Begitu dipakai lalu disimpan dan apabila menyimpannya kurang baik maka rusak dan tidak elok lagi untuk dipajang pada tahun depan.

Tentu saja karena tidak banyak teolog yang punya pikiran serupa dengan Mas Ton, maka urusan pohon Natal ini tak menjadi bahasan teologis di kalangan para klerus dan pemuka-pemuka gereja. Dan gagasan tentang pohon pisang menjadi pohon Natal asli Indonesia tidak berkembang dan bergulir menjadi sebuah gagasan besar, menjadi sebuah pemikiran teologi lokal yang kemudian menjadi laku dalam tradisi perayaan Natal Indonesia.

Tradisi perayaan hari-hari besar keagamaan memang membawa pernak-pernik tersendiri yang tidak selalu punya kaitan atau urgensi dengan makna perayaan itu sendiri. Pohon Natal, lampu kelap-kelip, kapas sebagai penganti salju, gantungan-gantungan di pohon natal, patung malaikat dan lain sebagainya tidak selalu harus ada dalam perayaan Natal. Natal tetaplah menjadi Natal meski tanpa itu semua. Tapi tentu saja akan terasa hambar, ada yang kurang andai Natal tak disertai dengan hiasan-hiasan itu.

Dan perasaan bahwa hari ini berbeda dengan hari-hari lainnya, bisa jadi menjadi lebih penting bagi kita yang merayakan hari besar agama dibanding dengan pesan atau makna dari perayaan itu sendiri. Saya ingat ketika tahun pertama berada di Manado begitu terkejut saat menghadiri Misa Malam Natal yang justru sepi. Sesuatu yang berbalikkan dengan pengalaman saya ketika masih tinggal di Jawa Tengah dimana malam Natal justru menjadi sangat meriah, karena kerap diwarnai dengan Tablo atau peragaan perjalanan Yosef dan Maria hingga melahirkan Bayi Yesus di kandang domba. Perayaan malam Natal biasanya disiapkan secara serius dengan aneka latihan yang panjang.

Usut punya usut ternyata pada malam Natal keluarga-keluarga di Manado belum selesai kesibukannya mempersiapkan aneka hidangan untuk meramaikan Natal besoknya. Kala itu di rumah-rumah pada malam Natal, asap berkepul di belakang rumah berasal dari tempat pembakaran (pengasapan) hidangan (sayur, daging dan nasi) yang dimasak di dalam buluh (bambu). Semua bahu membahu bukan hanya dari pagi hari melainkan mungkin sejak dari kemarin hari untuk mempersiapkan bahan dan bumbu yang hendak dimasak.

Ketika saya bertanya kepada seorang teman kenapa malam Natal kok malah sepi, secara bergurau teman itu menjawab, “Kalau malam-malam itu baju baru nda kelihatan”. Jawaban teman ini meski bergurau namun senada dengan sindiran yang kerap dialamatkan pada orang Manado yang konon suka pesta dan bergaya. Ada satu slogan yang populer waktu itu yakni “Boleh kalah nasi asal jangan kalah aksi”. Soal bergaya dengan aneka pakaian baru di hari Natal, meski terasa anekdotal namun bukanlah omong kosong.

Di sana dulu saya kerap menemui seseorang yang tidak pergi ke gereja dengan alasan tak punya baju dan ‘cepatu’ gereja. Hanya saya menduga ini bukan karena orang ingin bergaya melainkan karena mereka begitu menghormati gereja, sehingga pergi beribadah harus dengan pakaian yang khusus dan istimewa, pakaian dan perlengkapan yang tidak dipakai untuk keperluan sehari-hari. Soal ini saya ingat ketika dicekal, tidak diperkenankan masuk di salah satu gereja yang ada di kota Manado lantaran saya pergi misa memakai baju kaos, meski kaos itu berkrah.

Dan benar ketika misa atau ibadah perayaan Natal pada tanggal 25 pagi, gereja memang gemerlap. Umat yang datang serasa istimewa, memakai baju-baju baru. Para wanita memakai gaun panjang, berumbai dan banyak pernak-pernik, kaum lelaki banyak yang memakai jas dengan dasi warna-warni dan sepatu mengkilap. Natal kemudian memang terasa lebih gemerlap meski di terang hari.

Tapi itu cerita Natal di Manado dulu-dulu, saya tak tahu apakah masih seperti itu sampai sekarang ini. Sebab yang saya ceritakan tadi adaah fenomena sementara yang bisa saja berubah seiring dengan waktu. Cara dan gaya orang merayakan Natal bisa berkembang dari waktu ke waktu, meski ada yang tak berubah yaitu Natal selalu bercorak gemerlap dan meriah, penuh dengan warna-warni.

Sampai disini dulu cerita seputar Natal dari saya. Karena ini sudah memasuki bulan November, saya ingin berjalan keliling pasar swalayan, melihat-lihat model pohon natal dan hiasan yang sedang menjadi trend. Bukan karena ingin membeli, melainkan saya hanya ingin bilang “Wow” sambil mengurut dada kala melihat harganya. Natal oh Natal, alangkah mahalnya harga-harga pohon untuk merayakan kelahiranMU.

Pondok Wiraguna, 9 November 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (81)

0 komentar


SETAN KKN

Cerita tentang setan banyak saya dengar waktu kecil. Ada bermacam-macam setan, ada yang menakut-nakuti dan menganggu  namun ada yang bisa diajak berkongsi oleh manusia. Salah satunya yang bisa diajak bekerja sama adalah Tuyul. Konon Tuyul bentuknya seperti anak kecil, gundul dan tidak pakai baju. Orang yang ingin kaya dengan mudah, biasanya memelihara Tuyul yang digambarkan bisa mencuri uang di rumah orang lain tanpa ketahuan. Kisah di masa kecil dulu, konon pemelihara Tuyul bisa ditandai dari adanya kamar di rumah itu yang jendelanya tak pernah dibuka.

Ketika hari mulai gelap karena matahari mulai tenggelam plus belum ada listrik, kami anak-anak biasanya dilarang keluar. Sebab pada jam itu setan-setan bergentayangan. Ada yang namanya Lampor yaitu setan yang suka ‘menculik’ anak-anak dan kemudian menaruh diatas dahan pohon besar dan tinggi. Ada juga setan yang sering membuat orang tersesat atau salah jalan, merasa berjalan ke tujuan yang hendak dicapai ternyata berakhir di kuburan atau puncak bukit.

Maka waktu itu kalau berjalan malam saya dan teman-teman selalu waspada melihat kanan kiri, memasang mata dan telinga terhadap segala macam bunyi-bunyian serta penampakan-penampakan di depan mata. Kalo di kejauhan ada nyala seperti obor berjalan, maka kami akan bilang ada hantu Oncor. Kalau ada bunyi seperti lemparan kerikil dari atas maka kami akan bilang ada hantu Krutuk, kalau ada bunyi jatuh yang keras dan kemudian mengelinding maka kami akan berlalu cepat dan tak mencari apa yang jatuh. Sebab jangan-janga itu adalah hantu yang nampaknya seperti kelapa namun bisa meringgis seperti mulut manusia yang penuh gigi.

Namun meski diliputi oleh cerita-cerita seputar hantu dan kabar tentang berbagai macam hantu yang gentanyangan seperti Pocong dan Wewe, sekalipun saya belum pernah melihat hantu. Lebih sering saya dan kawan-kawan merasa melihat hantu atau tanda-tanda adanya hantu disekitar kami. Kalau diperhatikan sungguh-sungguh apa yang sering kami anggap hantu adalah lambaian daun pisang kering, atau pelepah daun kelapa yang patah dan melambai-lambai tertiup angin. Kalau hantu Oncor, barangkali memang ada orang berjalan di jauh sana dan membawa obor untuk penerangan.

Setan, Hantu, Tuyul, Jin dan Iblis atau apapun sebutannya memang kerap diceritakan, dikisahkan, namun sedikit sekali yang melihatnya. Karenanya menjadi mudah bagi kita untuk membawa-mbawa setan dan segala macam variannya pada segala urusan tanpa takut ada komplain dari mereka.  Setan sering kita pakai sebagai umpatan, untuk mengatakan sesuatu yang keterlaluan. “Dasar setan atau kelakuan setan” begitu kala kita mengumpat atas kelakuan orang tertentu yang menjengkelkan atau membuat kita marah.

Setan memang kerap kita pinjam untuk mengambarkan bahwa kelakuan seseorang tertentu itu terjadi bukan karena keinginan sendiri melainkan karena pengaruh setan. Tak ada orang tua yang memperkosa anak perempuannya kalau tak kerasukan setan, begitu kerap kali banyak orang bilang. Padahal kelakuan itu tak ada hubungannya dengan setan. Kelakuan seseorang adalah buruk tentu saja karena orang itu sendiri bukan karena setan.

Kalau benar setan yang bertanggungjawab atas segala macam kekacauan, kasus yang membuat misalnya para pelayan masyarakat kemudian justru mengkorupsi uang masyarakat, maka sebenarnya tak sulit-sulit amat untuk memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kita tak perlu membentuk KPK dan satgas percepatan pemberantas korupsi, melainkan membentuk badan atau satuan dinas untuk menangkap setan alias brigade ghostbuster.

Bukankan di banyak televisi dulu kerap ditayangkan acara yang menunjukkan kaum yang disebut ‘paranormal’ mampu menangkap setan, hantu dan saudara-saudara lainnya. Kenapa bukan mereka ini saja yang diserahi tugas untuk memberantas KKN. Toh, biasanya setan kalau ditanya oleh paranormal akan menjawab dengan jujur tentang apa yang dilakukannya kepada manusia.

Tapi saya yakin yang namanya KKN itu tak ada hubungannya dengan setan. Kalau kemudian pelakunya kerap kita gambarkan perilakunya mirip setan, saya juga ragu apa memang begitu. Bagi saya para pelaku KKN jelas-jelas lebih ‘setan’ daripada setan itu sendiri.  Kelakuan para pelaku KKN ibaratnya dalah kelakuan koalisi setan dari berbagai aliran sehingga meski sudah terang benderang tanda dan gejalanya namun ternyata tak bisa ditangkap, tak tersentuh oleh hukum bahkan mereka menjadi hukum itu sendiri.

Pondok Wiraguna, 9 November 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (80)

0 komentar


OBAMA Bukan Presiden Kita

Tidak sengaja saya menyaksikan pidato kemenangan Obama di layar televisi tak lama setelah beberapa stasiun televisi internasional merilis jumlah elektoral vote yang diperoleh Obama telah melewati jumlah minimal untuk memenangkan pemilihan presiden USA.  Obama, presiden USA pertama keturunan Afrika memang tampil memikat dalam pidato tanpa teks. Hadirin yang kebanyakan orang muda (dan saya yakin terdidik) menyimak dengan taat kata demi kata yang keluar jelas dari mulut Obama.

Sesekali hadirin bertepuk tangan memberi aplaus yang meriah manakala Obama mengucapkan kata-kata yang menyentuh, kata-kata yang penting dan punya impresi untuk para pendengarnya. Kerapnya aplaus diberikan membuat Obama mempunyai jeda untuk menarik nafas dalam dan menjaga ritme pidatonya agar tetap tertata.

Terus terang jarang saya melihat penyampaian pidato yang membuat orang terpaku, menyimak dengan tekun dan penuh perhatian. Yang sering kali saya temui justru orang mulai menyumpah-nyumpah dan ngerundel maksudnya dalam hati tapi terartikulasi secara pelan di mulut. Atau sekarang lebih sering orang asyik sendiri dengan gadget manakala di depan sana ada sosok tertentu tengah menyampaikan pidatonya. Dan tentu saja kalau pidatonya panjang dan berlarat-larat maka banyak orang seolah memperhatikan dengan menopang dagu dan menutup mata.

Presiden SBY berkali-kali marah, bahkan kepada anak-anak tatkala dalam penyampaian arahan atau pidato darinya para hadirin tidak memberi perhatian. Tentu SBY tahu bahwa tak banyak orang di Indonesia yang mampu mendengar atau menyimak pidato sambil memejamkan mata, tidur terpengkur. Konon yang mampu melakukan hal itu hanyanya almarhum Gus Dur, Abdurahman Wahid, presiden Indonesia ke 4.  Ada banyak cerita tentang alhmarhum Gus Dur yang meski tertidur namun tetap bisa menyimak diskusi yang diikutinya dan mampu menjawab persoalan-persoalan yang diungkap ketika ditinggal tidur dengan tepat.

Dalam tidur namun tetap bisa menaruh perhatian, mungkin ibarat seseorang yang tengah dihipnotis. Bukankah ketika Uya Kuya  kerap melakukan itu saat mempunyai acara reality show di salah satu stasiun televisi. Sasaran diminta tidur dan dalam tidurnya ternyata bisa menyimak pertanyaan-pertanyaan Uya Kuya dan menjawabnya.

Dalam tradisi spiritualitas tertentu, sessi-sessi pengajaran atau pemberian wejangan dari sang guru atau sesepuh biasanya didengar oleh para murid atau jemaah sambil bersila, menunduk dan memejamkan mata. Seolah-olah seperti tertidur dan sang guru tidak pernah terganggu dengan gaya murid-muridnya yang mana beberapa memang tertidur betulan.

Hal-hal yang berat mungkin saja memang lebih enak diterima dalam keadaan tenang, mata terpejam sehingga pikiran bisa fokus pada apa yang tengah diungkapkan. Persoalan atau penjelasan yang berat memang akan terasa lebih mudah diterima apabila badan dan pikiran dalam kondisi rileks. Dan diam, tertunduk serta memejam mata akan membuat badan dan jiwa cepat terasa rileks.

Hanya saja soal sikap dalam mendengarkan pidato, wejangan atau penyampaian, ada orang-orang tertentu yang sensitif, cepat tersinggung manakala yang hadir tidak duduk dengan tegap, kepala lurus memandang ke depan dengan dagu rata, dan mata menatap penuh perhatian. Siapa yang tidak berlaku begitu akan dianggap tidak menyimak dengan baik. Dan saya kita presiden kita sekararang ini, yaitu SBY mempunyai pandangan seperti itu. Maka bukan sekali dua kali, beliau menghentikan penyampaiannya dan menegur hadirin yang asyik berbisik-bisik ke kanan kiri, terkantuk-kantuk atau ribut sendiri.

Kalau saya sendiri dalam urusan bicara di depan publik, tak pernah sekalipun berpikir untuk menuduh hadirin dihadapan saya sebagai tidak memperhatikan apa yang saya sampaikan. Saya menyadari orang pasti akan memperhatikan apa yang kita sampaikan kalau pokok yang kita sajikan itu menarik, penting untuk mereka dan menimbulkan impresi tertentu entah itu motivasi, penguatan atau hiburan. Maka ketika saya bicara di depan banyak orang apa yang saya perhatikan adalah sinyal yang dikirim melalui bahasa tubuh orang-orang yang ada di hadapan saya. Manakala mereka seperti tak tertarik maka saya ganti topik, manakala mereka bosan maka perlu saya selipkan sedikit humor untuk menarik kembali perhatian. Namun jika semua jurus sudah mempan maka saya dengan sukarela akan mengakhirinya.

Dalam banyak kasus, kurangnya perhatian hadirin pada penyampaian di podium kerap terjadi bukan karena tidak mau memperhatikan. Kebanyakan acara terutama acara resmi susunan agenda acaranya begitu panjang dan melelahkan. Hingga kemudian ketika tiba pada mata acara yang penting, para hadirin sudah kelelahan memasang mata dan telinga untuk menatap penuh perhatian dan menyimak penuh kesadaran. Belum lagi banyak acara yang dihadiri oleh orang-orang penting kerap molor dari jadwal semula, padahal biasanya para hadirin diminta sudah berada dalam ruangan satu atau setengah jam sebelum acara dimulai. Saya misalnya yang adalah perokok berat pasti akan gelisah dan sulit konsentrasi apabila telah berada dalam ruangan lebih dari 2 jam tanpa menghisap tembakau gulung.

Saya bukan ahli ‘public speaking’, namun tentu saja boleh berharap dan memberi sedikit kiat serta masukkan bagi siapapun yang punya kesempatan untuk berbicara di depan umum. yang pertama dan utama adalah tahu diri, dalam arti siapkan benar apa yang hendak kita ungkapkan sehingga bermanfaat untuk mereka yang mendengarkannya. Dan akhirnya jangan salahkan apalagi marahi para pendengar kalo tak memperhatikan apa yang kita katakan melainkan tanyakan pada diri sendiri ‘Jangan-jangan apa yang kita sampaikan memang tidak menarik dan tidak penting untuk para hadirin’.

Pondok Wiraguna, 7 November 2012
@yustinus_eshaA

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (79)

0 komentar

Dongeng, Kisah Sebelum Tidur

Setiap komunitas pasti mempunyai cerita atau dongeng yang diturunkan turun temurun. Saya yang terlahir di jaman sebelum listrik menerangi kampung dan televisi masih langka mengalami masa dimana orang tua terbiasa mendongengkan cerita kepada anak-anaknya sebelum tidur. Kisah yang didongengkan bermacam-macam, mulai dari kisah tentang terjadinya sesuatu (sungai, gunung, danau, desa dan lain-lain), kisah tentang binatang, kisah pewayangan, dewa-dewi sampai cerita tentang kesaktian dari tokoh-tokoh tertentu.

Setiap dongeng selalu mengandung pesan moral tentang perilaku yang mesti dilakukan dan mesti dihindari. Saat itu rasanya setiap orang tua mempunyai stok hafalan cerita-cerita yang kemungkinan diturunkan dari orang tuanya. Setiap cerita mempunyai alur atau pakem tersendiri, kemampuan orang dalam menceritakan, memberi bunga-bunga itu yang membedakan sebuah cerita menjadi menarik atau tidak. Sekarang saya menjadi orang tua, dan saya mempunyai seorang anak yang tentu saja juga menyukai dongeng. Sering kali sebelum tidur dia meminta saya bukan mendongeng melainkan membacakan dongeng. Dongeng yang berasal dari buku terbitan toko ternama dan berisi berbagai cerita Barbie.

Ya, nampaknya kebiasaan mendongeng cerita-cerita tradisional Indonesia (dongeng lokal Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Sumatra, Papua dll), perlahan mulai terkikis. Bukan karena anak-anak tak suka lagi dongeng, melainkan telah muncul pendongeng-pendongeng lain yang lebih menarik tinimbang orang tua, bapak ibu, om tante atau kakek dan nenek. Kemajuan teknologi, komunikasi dan informasi membuat pendongeng tradisional kalah. Pertama radio misalnya, dongeng-dongeng di radio misalnya lebih menarik karena ada pemerannya dan dihiasi dengan musik latar sehingga lebih hidup. Saya ingat di jaman keemasan radio dulu cerita serial drama radio Saur Sepuh menduduki rating yang tinggi dan selalu dinanti siarannya.

Masa keemasan radio berlanjut dengan televisi, hampir setiap rumah mempunyai televisi. Cerita di televisi jauh lebih karena menyajikan gambar dan tokoh atau pemerannya memakai kostum sesuai dengan watak tokohnya, demikian pula setting atau latar cerita juga disesuaikan dengan apa yang hendak digambarkan. Cerita dari orang tua semakin tenggelam. Jika bosan menyaksikan tayangan televisi, di setiap rumah kini tersedia juga dvd player, anak-anak bisa memilih cerita atau film-film yang disukainya. Penetrasi dongeng dan cerita melalui kemajuan teknologi ini menyebar bukan hanya dikota-kota melainkan juga merasuk hingga ke desa-desa.

Kini tidak hanya anak kota saja yang mengemari dan bergaya layaknya bintang-bintang Korea, sebab anak-anak desa pun fasih menyebut nama film drama dan bintangnya serta band-band bergaya K-pop. Selain dongeng menjadi tak menarik, para pendongengnyapun juga ikut-ikut kerajingan menonton televisi dan dvd. Kini bapak, ibu dan anak sama-sama menontong dongeng dan cerita meski mungkin berbeda kesukaannya. Jadi sulitlah menemukan malam di mana bapak atau ibu mendongeng di bilik kamar tidur anaknya, yang terjadi justru kini bapak, ibu dan anak ribut memperebutkan remote untuk memutar dongeng atau cerita yang mereka sukai.

Beruntunglah khasanah dongeng daerah yang mendapat perhatian dan telah ditulis dalam bentuk buku dan kemudian sebagian dikembangkan dalam bentuk film entah dalam format siaran layar lebar, televisi atau DVD. Namun teramat banyak khasanah dongeng nusantara yang belum sempat digali, didokumentasikan entah dalam bentuk tulisan atau bentuk lainnya. Dongeng-dongeng ini terancam akan hilang karena penghafalnya mulai berkurang dan proses untuk menurunkan dari satu generasi ke generasi lainnya semakin terkikis jaman.

Nah, pertanyaannya mungkinkan kebiasaan mendongeng itu dihidupkan kembali. Tentu saja masih mungkin dan memang perlu, namun tentu saja sulit untuk diwujudkan. Pasti orang tua setuju bahwa dongeng banyak mengandung nilai, menjadi sarana untuk melakukan pendidikan moral dan ahklak bagi anak-anak, tetapi apakah orang tua sekarang punya waktu?. Atau apakah anak-anak akan tertarik dengan cara mendongeng orang tuanya yang barangkali tak menarik.

Maka diperlukan cara lain, dalam urusan dongeng mendongeng ini. Dongeng mungkin tak perlu lagi dikisahkan di kamar anak-anak, tidak juga perlu setiap malam kala anak-anak hendak tidur. Dongeng akan lebih menarik jika dilakukan dalam kelompok dan dibawakan oleh pendongeng yang mempunyai kemampuan bertutur atau berkomunikasi secara baik dan dibantu dengan perangkat-perangkat tertentu. Dongeng dalam kelompok bisa dilakukan di lingkungan sekolah, baik formal maupun informal, seperti sekolah minggu, sanggar belajar, tempat pengajian Alqur’an dan lain sebagainya.

Kelompok pembelajaran (agama maupun ketrampilan lainnya) di luar sekolah biasanya mempunyai sumberdaya yang jauh lebih mumpuni ketimbang orang tua. Tantangannya adalah melahirkan para pembimbing kelompok-kelompok belajar informal di luar sekolah menjadi pendongeng-pendongeng yang handal. Pendongeng yang mampu memberi pendidikan pekerti dan ahlak melalui cerita dengan cara yang menarik. Dongeng yang membuat anak-anak kemudian mampu tidur nyenyak di malam hari, bukan seperti dongeng televisi atau DVD yang malah membuat anak-anak lupa waktu tidurnya.

Pondok Wiraguna, 8 November 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (78)

Rabu, 07 November 2012 0 komentar

Tidak Luarbiasa Tapi Istimewa

Dalam sebuah epidose Kick Andy di Metro TV, Andy F Noya sang host menghadirkan beberapa anak muda (SMP – SMA) yang mempunyai prestasi dalam rekayasa penemuan teknologi tepat guna.

Ada seorang anak remaja laki-laki yang mengembangkan sepatu kejut (mengandung strom dengan voltase 2000 volt) untuk dipakai oleh perempuan sebagai pelindung untuk mencegah tindakan pelecehan seksual. Lalu ada seorang remaja putri yang gemar memainkan gadget, yang mengembangkan alat charger yang ditempel di sepatu sehingga saat berjalan bisa sekalian mengisi baterei gadgetnya. Dan terakhir sepasang remaja SMA yang mengembangkan urine untuk diolah menjadi energi penggerak mesin. Temuan-temuan yang ditampilkan oleh mereka barangkali bukan sesuatu yang baru dan luar biasa. Banyak barang atau alat serupa yang beredar di pasaran atau sudah dibuat oleh pabrik. Tetapi menjadi istimewa karena alat atau inisiatif itu dikembangkan oleh anak-anak remaja dengan alasan atau motif pendorong yang istimewa.

Alat untuk mengejutkan atau membuat shock pelaku kejahatan sudah lazim dan tersedia di pasaran dalam berbagai bentuk. Namun temuan sepatu yang mengandung stroom muncul dari kepedulian seorang remaja yang prihatin melihat tingginya angka pelecehan dan kejahatan seksual terhadap perempuan di lingkungannya. Remaja yang bingung ketika ditanya soal cita-citanya itu menjawab bahwa dirinya ingin mempunyai arti baik pada dirinya maupun orang lain. Dan itu dibuktikan dengan ciptaannya, sepatu perempuan yang diberi komponen tertentu sehingga mampu melindungi pemakainya ketika terancam dengan cara menendangkan sepatu itu untuk menghidupkan tombol yang memantik stroom.

Sementara remaja putri yang tak bisa lepas dari gadgetnya itu, adalah tipikal seorang remaja yang terangsang mencari jalan keluar atas permasalahan yang dihadapinya. Sadar kalau batereinya harus selalu penuh, namun terkadang tak bisa selalu dilakukan karena pasokan listrik di daerahnya kerap mati hidup. Kebutuhan berkomunikasi dan bersosialisasi melalui HP, mendorongnya untuk menciptakan cara agar pasokan energi tidak tergantung kepada listrik dari PLN. Hasilnya adalah charger di sepatu yang mampu mengisi baterei HP dengan langkah kaki . Jalan bukan hanya menyehatkan raga tapi juga memastikan pasokan baterei HP tetap penuh.

Sepasang bocah SMA pengembang energi dari urine sadar bahwa pasokan energi yang terbarukan di negeri ini semakin hari semakin menurun. Ketahanan energi fosil dimata mendatang akan menjadi persoalan. Mereka melihat potensi buangan limbah manusia (air seni) yang tidak dimanfaatkan dan jumlahnya cukup besar, terbuang begitu saja dan bahkan bisa menjadi bahan pencemar. Dengan teknik pengolahan yang lazim (biogas) mereka mampu mengembangkan lebih jauh dimana energi dari biogas mampu dikonversi menjadi energi statis untuk disimpan dalam baterei yang mempu mengerakkan perangkat tertentu.

Dalam skala besar, mereka merencanakan energi urine ini untuk mengerakkan mobil elektrik. Sekali lagi, saya ketika menyaksikan episode Kick Andy lewat layar Metro TV, merasa tidak ada temuan yang baru dan luar biasa. Teknologi kejutan listrik , membangkit energi dengan gerakan dan aneka biogas adalah temuan-temuan yang sudah lazim. Tapi episode ini tetap menjadi istimewa, karena mereka adalah anak-anak muda, anak yang peduli pada lingkungannya, anak yang mencari jalan keluar bagi masalahnya dan anak yang mencari alternatif pemanfaatan atas bahan buangan.

Apa yang mereka lakukan dan temukan merupakan angin segar dalam dunia pendidikan serta riset dan pengembangan sejak usia dini. Meski mungkin belum terlalu populer, kegiatan riset dan pengembangan di kalangan anak-anak remaja, usia pendidikan dasar dan menengah baka menjadi arus tersendiri yang semoga semakin lama semakin menguat mengeser arus tawuran yang akhir-akhir ini ramai terjadi.

Prestasi anak-anak remaja ini semoga bisa menginspirasi jutaan teman sebaya mereka di pelbagai pelosok Indonesia. Jika anak-anak remaja mengemari riset dan pengembangan maka waktu mereka akan habis untuk melakukan ekplorasi atas hal-hal yang menarik hati dan kepedulian mereka. Andai ini terjadi maka saya tak perlu lagi khawatir berkendara malam hari di jalan raya, sebab rasanya kini anak-anak usia sekolah tak memandang hari lagi untuk kebut-kebutan malam hari di jalanan kota.

Pondok Wiraguna, 5 November 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (77)

0 komentar


Peradaban Jalan Raya

Dalam jangka waktu 5 tahun lagi, kota Makassar diprediksi akan mengalami macet total. Sebagai kota utama di Indonesia bagian timur, Makassar bertumbuh menjadi kota metropolitan yang berkembang dengan cepat. Pertumbuhan termasuk dalam jumlah kendaraan dimana per tahun populasinya bertambah sekitar 10%, sementara laju pertumbuhan jumlah dan panjang jalan merambat pelan bak keong pemalas. Jalan hanya tumbuh sekitar 0,01 %. Tak heran jika kemudian di jam-jam sibuk, jalanan utama terasa padat. Maka bukanlah prediksi dukun kalau dalam jangka waktu 5 tahun ke depan jika tidak ada kebijakan dalam manajemen lalu lintas, maka jalanan akan macet toral. Macet total akan terjadi jika semua kendaraan berada di jalan dan membentuk barisan tanpa ruang untuk maju atau mundur.

Namun prediksi seperti itu menurut saya bukan hanya milik kota Makassar, banyak kota-kota lain mengalami ancaman yang sama. Seperti Kota Samarinda misalnya, kota besar yang mengalami persoalan yang sama dengan Makassar namun tak punya sistem angkutan massal yang ade kuat untuk menunjang mobilitas warganya. Akibatnya kendaraan baik mobil maupun motor pribadi menjadi andalan bagi warganya untuk menunjang mobilitas, baik ke tempat kerja, pendidikan maupun niaga serta keperluan lainnya.

Saya bukan peneliti yang melakukan studi  mendalam atas fenomena lalu lintas dan kemacetan di Kota Samarinda, namun dari pengamatan sekilas dan pengalaman berada di jalan raya dalam lima tahun terakhir ini pertumbuhan titik-titik macet di Kota Samarinda semakin laju pertambahannya. Titik-titik kemacetan tidak hanya terjadi pada jalan-jalan utama, melainkan juga di jalur-jalur alternatif, jalan potong atau jalur tikus untuk menghubungkan antara jalan besar yang satu dengan yang lainnya.

Tak jauh dari tempat tinggal saya, perempatan dekat ruko Pasundan, kini merupakan titik macet yang kronis. Pagi, siang dan sore hari di jalur perempatan dengan jalan yang sempit itu mobil dan motor bertumpuk, sulit untuk bergerak. Melihat kendaraan yang bertumpuk dan susah bergerak itu kerap membuat hati menjadi kecut.

Dulu sesekali saya lihat polisi mengatur lalulintas di pagi hari, tapi lama kelamaan pak polisi menghilang. Saya paham saja, kalau ada satu orang polisi yang berdiri pasti tak bakal mampu mengatur para pengendara yang punya hobby nyeruduk dan mau menang sendiri. Perilaku para pengendara memang merupakan salah satu masalah tersendiri. Soal sopan santun di jalanan, etika dalam mendahului, berhenti, keluar dari gang, tidak bisa diuji di lapangan saat polisi melakukan uji SIM.

Secara teori bisa saja seseorang lulus ujian tertulis, tahu kalau mau berbelok harus menyalakan lampu sein terlebih dahulu. Para sopir pasti juga tahu aturan untuk tidak memarkir atau menghentikan kendaraan di dekat belokkan. Tapi lagi-lagi itu hanya pengetahuan dan pengetahuan tidak merubah perilaku, alhasil jalanan mirip tempat berpacu, dipikir seperti lapangan luas sehingga pengendara berhenti sembarangan, muncul begitu saja dari gang, motor berakrobat, zig-zag dari kanan ke kiri. Dan aneh bin ajaib meski jalanan ramai masih saja ada pengendara berjalan beriringan sambil ngobrol seolah tak ada waktu lain yang tersedia.

Kemudahan akses  untuk memiliki kendaraan bermotor baik mobil maupun motor dengan cara kredit memang menimbulkan persoalan tersendiri. Mirip kelakuan lakukan dulu pikir kemudian atau beli dahulu belajar kemudian. Alhasil, pemilik kendaraan tidak belajar soal adab berkendara, main gas dan rem sembarangan saja. Ketidakadaban selalu terlihat kala terjadi kecelakaan seperti tabrakan atau senggolan, serempetan dan sebagainya. Yang terjadi pasti ngotot-ngototan soal siapa yang salah dan benar. Dan sialnya dua-duanyalah yang ternyata bersalah yaitu sama-sama tidak waspada, sama-sama ceroboh dan sama-sama mengendarai kendaraan kreditan, sewaan atau malah pinjaman.

Kalau kemudian kemacetan terjadi karena ketidakseimbangan jumlah jalan dan kendaraan bermotor, maka hitung-hitungan dan aneka kebijakan secara teknis bisa menjadi jalan keluar untuk mengatasinya. Namun sungguhlah malang sebuah kota apabila kemacetan timbul karena adab pengendara yang rendah, karena budaya berkendaraan yang tidak memperhatikan sopan santun, keamanan dan kenyamanan pengendara lainnya.

Dan dalam pandangan saya, kebanyakan kemacetan (tanpa mengesampingkan populasi kendaraan) memang lebih ditimbulkan karena ketidakberadaban masyarakat kita dalam berkendara.

Pondok Wiraguna, 6 November 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (75)

0 komentar

Kota Bahagia

Kota mana yang paling membahagiakan di Indonesia?. Kalau membaca slogan dari masing-masing kota semestinya tak ada kota yang tidak bahagia. Ada kota yang mempunyai slogan Berirama (bersih, indah, ramah dan aman), Beriman (bersih, indah dan aman), Bersehati (bersih, sehat, aman, tertib dan rapi), Berseri (bersih, sehat dan rapi) dan seterusnya. Sayang memang sampai sekarang belum ada lembaga survey yang gemar melakukan kajian soal tingkat kebahagiaan masyarakat di kota-kota Indonesia. Lembaga survey lebih gemar menilai persepsi masyarakat atas sosok atau tokoh tertentu apakah layak menjadi calon pemimpin atau tidak, atau pasangan mana yang akan memenangkan pemilu atau pemilukada.

Secara subyektif, dari pengalaman tinggal di beberapa kota, Manado adalah salah satu kota yang membahagiakan, pada saat itu. Tapi terakhir-terakhir ini dengan pesatnya pembangunan di sekitar teluk Manado, kebahagiaan itu seakan mulai sirna. Ukuran membahagiakan atau tidak sebuah kota sebenarnya sederhana saja. Yaitu arus lalulintas yang lancar, bersih dan mempunyai pemimpin yang memperhatikan rakyatnya. Kembali ke Manado di sekitar tahun 90-an, jalanan di kota terasa masih lengang. Masyarakat berpergian dengan menumpangi angkot. Saat itu masih banyak angkot berupa mobil ST 20 atau Suzuki Carry yang bukan stasion, antara penumpang dan supir ada sekat. Interior mobil dihiasi berbagai macam panel temasuk bel yang dipencet ketika penumpang ingin turun.

Saat itu mobil berjalan sesuai dengan jalurnya, yang ditandai dengan papan jurusan yang digantung di kaca depan. Jika ada penumpang yang ingin menyewa mobil, melayani jalur lain maka papan itu akan diturunkan dan sopir hanya mengantar sang penyewa. Motor belum begitu banyak, umumnya yang punya motor adalah pegawai negeri dan kebanyakan berplat merah. Mobil pribadipun jumlahnya juga belum meledak seperti tahun-tahun belakangan ini. Pengendara sepeda umumnya adalah para penjual sayur, roti dan mainan yang menjajakan dagangan keliling kampung.

Soal bersih, Manado waktu itu juga dikenal bersih. Sampah-sampah terangkut dengan baik sehingga berkali-kali mendapat penghargaan Adipura. Tugu yang menandai penghargaan itu terletak tak jauh dari bandara Sam Ratulangi ke arah kota Manado.

Dan soal kepemimpinan, saya saat itu mengalami masa ketika Manado dipimpin oleh Lucky Koraah, dan propinsi Sulut dipimpin oleh EE Mangindaan. Slogan yang terkenal waktu itu adalah Torang Samua Basudara.  Kedua pemimpin itu adalah pemimpin yang dikenal merakyat, tiba-tiba saja bisa muncul di boulevard menemui warga. Mangindaan saat itu dikenal suka membagi-mbagi jam tangan dan bola kaki.

Itu cerita masa lalu, kini sulit rasanya saya menemukan kota yang tidak macet, bersih dan punya pemimpin yang merakyat. Jakarta misalnya bersyukur punya Gubernur yang gemar blusukkan menemui warga sampai ke pinggir kali. Tapi kemacetan di Jakarta masih luar biasa dan daerah kumuh tidak bisa disembunyikan dengan megahnya gedung-gedung di pinggir jalan.

Lalu bagaimana dengan Samarinda?. Kota ini semakin tahun semakin memberanakkan titik-titik macet yang kronis. Macet terjadi di pagi, siang dan sore hari dan akan semakin parah jika kota diguyur hujan. Pertumbuhan kendaraan yang luar biasa besarnya tidak diiringi dengan pertumbuhan dan peningkatan mutu jalan.

Sulit menemukan ruas jalan yang mulus dari ujung ke ujung. Banyak jalan terkelupas, anjlok dan berlubang yang membuat perjalanan menjadi tidak lancar. Soal kebersihan, bisa dikatakan mobil dari dinas kebersihan sudah cukup bekerja keras. Pasukan kuning mulai dini hari sudah mulai membersihkan kota. Tapi fasilitas untuk menampung sampah warga masih belum mencukupi. Di sana sini masih dijumpai tanah kosong menjadi tempat pembuangan sampah. Di ujung-ujung gang dengan mudah ditemukan juga tumpukan sampah yang tidak terangkut. Lalu coba tenggoklah got-got di kota ini, got bukan lagi saluran air melainkan tempat pembuangan sampah raksasan.

Pendangkalan terjadi di mana-mana sehingga tak butuh hujan yang lama-lama untuk membuat got-got di sepanjang kota meluapkan isinya ke jalanan hingga masuk ke rumah-rumah warga. Adalah pemandangan yang biasa para penghuni kota ini berlomba meninggikan pondasi dan lantai rumahnya, untuk berlomba dengan genangan air yang makin meninggi tiap tahunnya.

Soal kepemimpinan, saya tak terlalu mengenal dan tahu sepak terjang para pemimpin kota ini. Hanya saja saya lebih sering menyaksikan mereka mengumbar senyum di baliho-baliho. Hampir tak terdengar gagasan atau rencana-rencana kecil untuk membuat warga kota ini bahagia.

Pemimpin lebih suka merencanakan yang besar-besar, yang megah-megah seolah rakyat akan bahagia kalau ada jalan Tol membelah kota, kalau ada bandara internasional,kalau ada banyak mall yang menyerobot ruang terbuka hijau, kalau ada pertunjukkan kembang api dan artis nasional di perayaan ulang tahun atau hari-hari besar.

Kota ini seakan tumbuh sendiri tanpa kendali dengan mengusung slogan sebagai kota tepian, river front city, tapi nyatanya justru membalikbelakangi sungai. Kota yang mengingkari marwahnya sebagai yang bertumbuh dalam alur dan buaian sungai Mahakam. Maka apakah kota ini adalah kota yang bahagia?. Dilihat dari indikasi utamanya nampaknya tidak, tapi coba saja tanyakan pada warganya siapa tahu penghuni kota ini justru menjawab sebaliknya.

Pondok Wiraguna, 5 November 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (76)

0 komentar


Informasi : Kalau Bisa Dipersulit Kenapa Harus Dipermudah?.

Dari bulan Agustus sampai dengan Oktober 2012, saya melakukan studi pemetaan sosial di Samarinda untuk mendapat gambaran termuktahir dari sisi geografis, demografis,pendidikan, kesehatan, politik, aktor kepentingan, konflik dan CSR yang dilakukan oleh korporat. Kesemuanya menuntut ketersediaan segepok data yang harus diminta dari pemerintah (SKPD dan Badan).

Sebelum mencari data di kantor-kantor pemerintah, saya terlebih dahulu melakukan pencarian di internet untuk melihat sejauh mana data tentang Samarinda tersedia di dunia maya. Kebanyakan informasi yang tersedia di internet tentang Samarinda ternyata dalam bentuk berita. Ini menjadi rancu karena Samarinda dikaitkan sebagai ibu kota propinsi, bukan spesific sebagai pemerintahan tingkat kota. Akibatnya data terkait dengan Samarinda tidak selalu berisi tentang isi Samarinda melainkan juga kota dan kabupaten lainnya.

Pencarian informasi melalui mesin pencari google ternyata tidak bisa bercerita banyak tentang A-Z kota Samarinda, kalaupun ada datanya kurang up to date dan satu sama lain mirip (seperti coppy paste). Dari situ saya melangkah ke situs-situs dari pemerintah kota dan SKPD-nya. Ternyata tidak semua SKPD mempunyai situs web dengan domain go/gov.id. Ada beberapa yang memakai layanan blog gratis macam wordpress dan blogspot, dikelola oleh pribadi tertentu. Situs yang cukup informatif adalah milik pemkot dan BPS serta Bappeda. Ketika data yang saya cari tidak tersedia dalam situs/blog, saya mencoba meminta melalui email yang dicantumkan sebagai kontak, namun sampai detik ini tak ada satupun yang dibalas.

Ketika saya ingin mencari ke kantor-kantor pemerintah, berbekal surat tugas yang diberikan oleh institusi yang menjadi host penelitian, saya mendapat kabar buruk dari seorang teman di Kota Bontang. Intinya dia memberi saran untuk tidak memakai surat tugas yang berasal dari lembaga di Jakarta. Surat tugas itu katanya menjadi soal, karena lembaga itu tidak terdaftar di kesbangpol daerah sehingga tidak diakui. Dan tak lama kemudian saya mendapat kabar buruk lagi, seorang teman yang membawa surat dengan memakai lembaga di Samarinda, ternyata juga mendapat jawaban ketus ketika mencari data di Kutai Kartanegara. Konon seorang petugas di Kutai Kartanegara mengatakan “Untuk apa orang Samarinda mencari-cari data di Kutai Kartanegara?”.

Alamak, setelah regim orde baru runtuh, kita terus bicara tentang keterbukaan dan kini itu dijamin dalam sebuah UU yaitu Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Undang-undang yang mengamanatkan semua informasi yang dihasilkan dengan anggaran atau biaya dari pemerintah harus diberikan kepada publik entah diminta atau tidak. Jadi selama data itu diminta oleh orang yang bisa menunjukkan dirinya adalah warga Indonesia, maka tidak boleh dipersoalkan.

Setiap SKPD atau unit kerja pemerintah pada dasarnya adalah lembaga layanan publik yang mempunyai bidang tugas dan tanggungjawab tertentu. Dalam melaksanakan kerjanya pasti ada sasaran dan tujuan serta hasil yang harus dicapai dan semua itu bisa ditunjukkan melalui angka atau indikator-indikator tertentu. Maka SKPD yang bertanggungjawab pada bidang pendidikan, pasti punya data berapa jumlah sekolah, berapa jumlah guru dan murid, peta persebaran sekolah, jumlah anak yang putus sekolah, berapa jumlah orang yang masih buta huruf dan lain sebagainya.

Aneh bin ajaib misalnya andai pegawai dinas pendidikan misalnya tak tahu apa itu APM, APK, AptS dan seterusnya. “Kami tak bisa memberikan data itu sembarang, karena banyak data dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak baik” begitu mereka kerap berkilah. Entah apa maksud dengan hal-hal yang tidak baik, barangkali itu termasuk dipakai untuk ‘mengkritik’ pemerintah. Alasan yang sebenarnya hanya dipakai untuk menutupi bahwa data-data yang diminta itu tidak terkumpul di satu tempat, harus diambil dari bagian ini dan itu yang belum tentu penanggungjawab dan datanya tersedia.

Saya paham bahwa data soal kesehatan yang saya butuhkan mungkin menyangkut banyak bagian atau sub bidang di dinas kesehatan. Pasti pemegang data tentang jumlah ibu hamil, melahirkan, akan berbeda tempat dan penanggungjawabnya dengan data tentang peringkat penyakit terbanyak, juga berbeda dengan pemegang data tentang jumlah lembaga-lembaga layanan kesehatan pun juga berbeda lagi dengan pemegang data tentang jumlah dokter, paramedis dan bidan serta dukun kampung.

Nah, saya menduga data-data yang terserak ini tidak ada yang mengumpulkan dalam satu sistem yang terhubung. Padahal tentu tidak sulit untuk melakukan hal itu, bukankah sekarang tersedia banyak sofware yang bisa menghubungkan antar komputer sehingga masing-masing penanggungjawab bisa meng-input data dari mejanya sendiri-sendiri. Dan kemudian kalau petugas penerima tamu malas menemui banyak orang yang datang dan mencari hal yang sama, kenapa  tidak ditempatkan saja di situs web official dinas itu sendiri.

Data dasar seperti jumlah penduduk, jumlah pekerja dalam sektor tertentu, jumlah orang miskin, jumlah penderita penyakit tertentu, tingkat partisipasi pendidikan, jumlah perusahaan tambang, luas lahan dan penggunaannya, Pendapatan Asli Daerah, kekayaan/asset daerah, jumlah ormas, angka kematian ibu, angka kematian bayi, upah minimum regional (sektoral dan non sektoral), nama partai, jumlah kursi dan anggota dewan asal partai tertentu bukanlah data yang harus disembunyikan. Semua itu masuk dalam kategori data yang serta merta harus tersedia meski beberapa bersifat berkala untuk publikasinya. Berkala yang saya maksud adalah diperbaharui atau ketersediaan yang update butuh waktu tertentu misalnya bulanan, tiga bulanan, enam bulanan atau tahunan, tapi bukan kala-kala ada dan kala-kala tidak ada.

Undang-undang mengisyaratkan semua layanan pemerintah harus cepat, tepat, mudah  dan murah.  Dan untuk urusan data atau informasi, penggunaan teknologi informasi dan komunikasi adalah jawabannya. Badan Pusat Statistik misalnya adalah contoh yang baik untuk urusan ini. Berbagai macam data bisa kita baca dan unduh dari situs web-nya. Namun jika kita gaptek, SOP pencarian dan pemberian data serta informasi dari mereka sudah jelas. Kita bisa datang ke sana, mengutarakan data apa yang hendak dicari, dan oleh petugasnya akan diarahkan ke moda-moda layanan informasi yang tersedia disana.

Saya kira saat ini tidak ada satupun SKPD atau unit kerja pemerintah daerah yang tidak tersentuh TIK dan investasi berkaitan dengan hal itu terus dianggarkan dalam APBD. Mestinya itu harus bisa dinikmati hasilnya oleh masyarakat sebagaimana diisyaratkan oleh UU Kebebasan Informasi Publik. Namun sepertinya kita masih harus bersabar, pepatah “kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah” ternyata bukan mitos belaka di kalangan birokrasi kita. Saya hanya berharap bahwa itu hanya watak sementara yang mulai terkikis dan bukan “kutuk permanen” yang tak akan lenyap meski telah ada UU yang menjadi pondasi dan landasan bagi masyarakat untuk menuntut haknya atas informasi.

Pondok Wiraguna, 7 November 2012
@yustinus_esha

Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (74)

0 komentar


Dahlan Always  Be The Star

Takdir Dahlan Iskan barangkali memang selalu jadi bintang.  Sepak terjangnya telah membuktikan tangan dinginnya dalam menangani  apa yang menjadi perhatian dan tanggungjawabnya. Jawa Pos tumbuh dan membesar bagai gurita media, beranak pinak dan berkembang tak hanya dalam bisnis berita ketika berada dalam kendalinya.

Gebrakan terus terjadi, ketika Dahlan Iskan kemudian menjadi Direktur PLN, sejenak di dalam tangannya PLN nampak bergerak ke arah yang memberi harapan. Sambungan terasa lebih cepat dilayani, mota-mati mulai jarang terjadi, pendek kata PLN kemudian menjadi lebih manusiawi dan ramah terhadap pelanggan yang notabene adalah penyokongnya.

Belum lama berada di PLN, Dahlan ditarik ke lingkaran kekuasaan eksekutif dengan menjadi menteri. Sejak hari pertama menjadi menteri, Dahlan selalu menjadi perhatian, gerak gerik dan kebijakannya selalu menjadi sorotan dan perbincangan. Kalau kemudian ada jeda, itu karena tiba-tiba saja perhatian masyarakat tertuju pada Jokowi yang masuk dalam bursa persaingan Gubernur DKI. Namun setelah hiruk pikuk pemilukada DKI lewat, kembali Dahlan menjadi sorotan.

Dahlan yang adalah menteri BUMN mengeluarkan pernyataan bahwa banyak BUMN menjadi sapi perahan anggota DPR. Sontak saja pernyataan Dahlan menimbulkan keributan. Padahal apa yang disoal oleh Dahlan adalah hal yang biasa saja, hal yang sudah dipercayai oleh umum. Namun karena yang mengungkapkan adalah seorang menteri yang biasanya penuh basa-basi, maka kelugasan Dahlan menjadi menarik perhatian.

Tentu saja DPR bergolak dan seperti biasa langsung bergerak untuk mengklarifikasi kesana kemari, sambil tak lupa membiaskan persoalan. Namun Dahlan tetap maju tak gentar dan bahkan menghadap BK DPR untuk menyerahkan laporan, tak lupa juga Dahlan mengutus anak buahnya untuk memberikan laporan ke KPK.

Kalau dipikir-pikir sebenarnya apa yang dilakukan oleh Dahlan memang hanya mengikuti instruksi presiden. Presiden SBY telah mengeluarkan inpres yang mengikat siapa saja yang berada di bawah kendalinya untuk melakukan percepatan pemberantasan korupsi di lembaga masing-masing. Dan sebagai menteri BUMN, maka Dahlan ingin bersih-bersih di lingkungan BUMN. Kalau kemudian jadi terasa seperti bongkar-bongkar itu adalah bagian dari konsekwensi dimana korupsi di negeri ini memang kerap dilakukan berjamaah dan lintas sektoral.

Saya tak kenal Dahlan juga tak punya urusan dengan DPR, maka bagi saya apa yang dilakukan oleh Dahlan tak perlu saya pandang sebagai polah atau langkah politik darinya untuk mencari dukungan publik, misalnya demi memuluskan langkah untuk menjadi calon RI 1 di pemilu 2014 nanti. Dugaan-dugaan seperti itu bagi saya justru merupakan sebuah upaya untuk menjauhkan substansi pemberantasan korupsi ke arah kepentingan pencitraan atau langkah politik strategis demi kepentingan diri sendiri atau kelompok tertentu.

Dahlan hanyalah mencoba membuktikan apa yang selama ini menjadi desas-desus, perbincangan di sudut-sudut kantin dan warung kopi. Dan memang bukan satu dua kali, DPR terbukti kongkalikong dalam melahirkan kebijakan-kebijakan tertentu. Sudah berapa anggota DPR yang terkena masalah hukum dan mendekam di penjara karena melakukan punggutan-punggutan yang tak sah, menerima sesuatu yang mestinya tak mereka terima, meminta balas jasa atas jerih payah dan keringat yang mestinya sudah ditanggung oleh negara.

Kita tahu meski sistem demokrasi negeri ini tergolong maju, namun sistem itu ‘dibangun’ oleh kekuatan uang yang tidak sedikit. Ongkos politik begitu tinggi di negeri ini, maka siapapun yang ingin berada dan tetap ada dalam lingkaran kekuasaan mesti bersiap kantong tebal. Mengandalkan gaji atau pendapatan tetap sulit untuk terus dipakai bertahan sehingga mesti mencari pemasukan ‘berkelanjutan’ dari sumber-sumber lainnya. Partner, mitra kerja atau lembaga-lembaga yang berada di bawah pengawasan adalah sumber utama untuk memperoleh pendapatan itu.

2014 bukanlah waktu yang lama lagi, maka tepatlah jika Dahlan mengungkap persoalan setoran itu di tahun ini agar menjadi tanda awas bagi siapapun yang ingin tetap duduk di kursi yang terhormat agar tidak mengumpulkan peluru untuk bersaing di tahun 2014 nanti dengan cara-cara yang tidak terpuji. Semoga kelugasan yang dilakukan oleh Dahlan Iskan diikuti oleh menteri-menteri lainnya agar kita kelak memperoleh wakil-wakil rakyat yang benar-benar terhormat.

Pondok Wiraguna, 6 November 2012
@yustinus_esha

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum