OBAMA Bukan Presiden Kita
Tidak sengaja saya menyaksikan pidato kemenangan Obama di layar
televisi tak lama setelah beberapa stasiun televisi internasional merilis
jumlah elektoral vote yang diperoleh Obama telah melewati jumlah minimal untuk
memenangkan pemilihan presiden USA.
Obama, presiden USA pertama keturunan Afrika memang tampil memikat dalam
pidato tanpa teks. Hadirin yang kebanyakan orang muda (dan saya yakin terdidik)
menyimak dengan taat kata demi kata yang keluar jelas dari mulut Obama.
Sesekali hadirin bertepuk tangan memberi aplaus yang meriah manakala
Obama mengucapkan kata-kata yang menyentuh, kata-kata yang penting dan punya
impresi untuk para pendengarnya. Kerapnya aplaus diberikan membuat Obama
mempunyai jeda untuk menarik nafas dalam dan menjaga ritme pidatonya agar tetap
tertata.
Terus terang jarang saya melihat penyampaian pidato yang membuat orang
terpaku, menyimak dengan tekun dan penuh perhatian. Yang sering kali saya temui
justru orang mulai menyumpah-nyumpah dan ngerundel maksudnya dalam hati tapi
terartikulasi secara pelan di mulut. Atau sekarang lebih sering orang asyik
sendiri dengan gadget manakala di depan sana ada sosok tertentu tengah
menyampaikan pidatonya. Dan tentu saja kalau pidatonya panjang dan
berlarat-larat maka banyak orang seolah memperhatikan dengan menopang dagu dan
menutup mata.
Presiden SBY berkali-kali marah, bahkan kepada anak-anak tatkala dalam
penyampaian arahan atau pidato darinya para hadirin tidak memberi perhatian.
Tentu SBY tahu bahwa tak banyak orang di Indonesia yang mampu mendengar atau
menyimak pidato sambil memejamkan mata, tidur terpengkur. Konon yang mampu
melakukan hal itu hanyanya almarhum Gus Dur, Abdurahman Wahid, presiden
Indonesia ke 4. Ada banyak cerita
tentang alhmarhum Gus Dur yang meski tertidur namun tetap bisa menyimak diskusi
yang diikutinya dan mampu menjawab persoalan-persoalan yang diungkap ketika ditinggal
tidur dengan tepat.
Dalam tidur namun tetap bisa menaruh perhatian, mungkin ibarat
seseorang yang tengah dihipnotis. Bukankah ketika Uya Kuya kerap melakukan itu saat mempunyai acara
reality show di salah satu stasiun televisi. Sasaran diminta tidur dan dalam
tidurnya ternyata bisa menyimak pertanyaan-pertanyaan Uya Kuya dan menjawabnya.
Dalam tradisi spiritualitas tertentu, sessi-sessi pengajaran atau
pemberian wejangan dari sang guru atau sesepuh biasanya didengar oleh para
murid atau jemaah sambil bersila, menunduk dan memejamkan mata. Seolah-olah
seperti tertidur dan sang guru tidak pernah terganggu dengan gaya murid-muridnya
yang mana beberapa memang tertidur betulan.
Hal-hal yang berat mungkin saja memang lebih enak diterima dalam
keadaan tenang, mata terpejam sehingga pikiran bisa fokus pada apa yang tengah
diungkapkan. Persoalan atau penjelasan yang berat memang akan terasa lebih
mudah diterima apabila badan dan pikiran dalam kondisi rileks. Dan diam,
tertunduk serta memejam mata akan membuat badan dan jiwa cepat terasa rileks.
Hanya saja soal sikap dalam mendengarkan pidato, wejangan atau
penyampaian, ada orang-orang tertentu yang sensitif, cepat tersinggung manakala
yang hadir tidak duduk dengan tegap, kepala lurus memandang ke depan dengan
dagu rata, dan mata menatap penuh perhatian. Siapa yang tidak berlaku begitu
akan dianggap tidak menyimak dengan baik. Dan saya kita presiden kita
sekararang ini, yaitu SBY mempunyai pandangan seperti itu. Maka bukan sekali
dua kali, beliau menghentikan penyampaiannya dan menegur hadirin yang asyik
berbisik-bisik ke kanan kiri, terkantuk-kantuk atau ribut sendiri.
Kalau saya sendiri dalam urusan bicara di depan publik, tak pernah
sekalipun berpikir untuk menuduh hadirin dihadapan saya sebagai tidak
memperhatikan apa yang saya sampaikan. Saya menyadari orang pasti akan
memperhatikan apa yang kita sampaikan kalau pokok yang kita sajikan itu
menarik, penting untuk mereka dan menimbulkan impresi tertentu entah itu
motivasi, penguatan atau hiburan. Maka ketika saya bicara di depan banyak orang
apa yang saya perhatikan adalah sinyal yang dikirim melalui bahasa tubuh
orang-orang yang ada di hadapan saya. Manakala mereka seperti tak tertarik maka
saya ganti topik, manakala mereka bosan maka perlu saya selipkan sedikit humor
untuk menarik kembali perhatian. Namun jika semua jurus sudah mempan maka saya
dengan sukarela akan mengakhirinya.
Dalam banyak kasus, kurangnya perhatian hadirin pada penyampaian di
podium kerap terjadi bukan karena tidak mau memperhatikan. Kebanyakan acara
terutama acara resmi susunan agenda acaranya begitu panjang dan melelahkan.
Hingga kemudian ketika tiba pada mata acara yang penting, para hadirin sudah
kelelahan memasang mata dan telinga untuk menatap penuh perhatian dan menyimak
penuh kesadaran. Belum lagi banyak acara yang dihadiri oleh orang-orang penting
kerap molor dari jadwal semula, padahal biasanya para hadirin diminta sudah
berada dalam ruangan satu atau setengah jam sebelum acara dimulai. Saya
misalnya yang adalah perokok berat pasti akan gelisah dan sulit konsentrasi
apabila telah berada dalam ruangan lebih dari 2 jam tanpa menghisap tembakau
gulung.
Saya bukan ahli ‘public speaking’, namun tentu saja boleh berharap dan
memberi sedikit kiat serta masukkan bagi siapapun yang punya kesempatan untuk
berbicara di depan umum. yang pertama dan utama adalah tahu diri, dalam arti
siapkan benar apa yang hendak kita ungkapkan sehingga bermanfaat untuk mereka
yang mendengarkannya. Dan akhirnya jangan salahkan apalagi marahi para
pendengar kalo tak memperhatikan apa yang kita katakan melainkan tanyakan pada
diri sendiri ‘Jangan-jangan apa yang kita
sampaikan memang tidak menarik dan tidak penting untuk para hadirin’.
Pondok Wiraguna, 7 November 2012
@yustinus_eshaA
0 komentar:
Posting Komentar