Tato : Dari Apo Kayan ke Samarinda

Senin, 25 Juli 2011

Masihkan orang berpikir bahwa tato adalah penanda bagi mahkluk yang cenderung kriminal dan tindik (piercing) adalah peradaban massa silam?.
Minggu, 24 Juli 2011, bertempat di gedung PKM Universitas Mulawarman Samarinda digelar event eksibisi tato. Siapapun yang hadir di tempat itu dengan segera akan merubah persepsi atau pandangan tentang tato dan tindik. Kurang lebih ada 10 tato artist (penato atau tukang tato) yang membuka “lapak” untuk menunjukkan kemampuan dan gaya tato-nya. Dan mayoritas yang di tato adalah perempuan yang wajah dan lagaknya sama sekali tidak seram. Aura yang merebak malah mencerminkan bahwa tato adalah seksi.

Bumi Borneo dan Mentawai adalah daerah yang menyimpan narasi penting dalam catatan perjalanan sejarah tato di Nusantara. Di Borneo, masyarakat Dayak terutama sub etnis Dayak Kenyah (Kayan) dan Dayak Iban mempunyai tradisi menoreh tanda di tubuh. Pada masyarakat Kayan, adalah lazim seorang perempuan di tato. Upacara penatoan dilakukan tatkala si anak perempuan mulai menginjak masa dewasa, atau saat sudah mengalami haid yang pertama. Upacara tato yang rumit dan panjang dimaksudkan untuk memberi penanda tubuh bagi perempuan agar terhindar dari serangan roh jahat. Motif tato yang merupakan perpaduan antara kehidupan manusia, binatang dan tetumbuhan di sekitarnya adalah lambang sekaligus ekpresi harapan atas kesuburan, keamanan (keselamatan), kebajikan dan kesehatan.

Tato pada masyarakat Dayak juga melambangkan harmonisasi antara kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Lewat upacara penatoan, seseorang mendekatkan diri pada yang transeden. Entah kepada para dewa maupun roh nenek moyangnya yang mereka hormati. Tubuh yang ditato bukanlah tubuh kontemporer, melainkan tubuh yang berhubungan dengan kosmos atau dunia, dunia atas, tengah dan bawah.

Meski termasuk sebagai salah satu pioner budaya tato, kini tak banyak lagi masyarakat Dayak yang terampil melakukan tato tradisional mereka, generasi mudanya juga tak lagi sudi ditato layaknya kakek dan nenek mereka. Tato Dayak tergerus oleh modernitas, “tubuh yang bertato” di pandang sebagai tubuh masa silam yang bercorak primitif dan tak cocok untuk masa sekarang. Dan terbukti dalam ekshibisi tato yang diselenggarakan di PKM Unmul tak ada satupun penato tradisional Dayak yang bisa dihadirkan.

Melihat gelaran ekshibisi yang mayoritas di hadiri anak-anak muda dengan “dres code” hitam-hitam, tato di saat ini adalah kontinuitas sekaligus diskontinuitas dari rajah tradisional suku-suku di Nusantara maupun dunia. Kontinuitas karena tato (permanen) dari dulu sampai sekarang adalah sama yaitu memasukkan (dengan berbagai cara) zat pewarna di lapisan bawah kulit tubuh manusia. Sementara diskontinuitas terjadi karena tradisi tato dulu dan sekarang tak lagi berhubungan baik dalam ritual penatoan maupun tujuannya.

Tato kini banyak dilakukan oleh masyarakat urban atas pilihan sukarela atau bebas. Tato tidak lagi dimandatkan oleh aturan atau tradisi dalam sistem kepercayaan atau sosial tertentu. Andaipun ada spirit dibalik penatoan, maka mereka sesungguhnya memilih untuk keluar atau melawan budaya mainstreams lingkungan terdekatnya (keluarga, sekolah, tempat kerja).

Lepas dari itu semua dari dulu sampai sekarang, sesungguhnya tubuh tidak pernah netral. Tubuh selalu diintepretasi sesuai dengan jamannya. Tubuh selalu dijaga, dirawat dan diperindah dengan berbagai cara. Yang paling normal dan biasa adalah ritual bersih-bersih, mandi, keramas, creambath, facial dan lain-lain hingga di lindungi dan diperindah dengan pakaian serta perlengkapan lainnya. Namun sejak jaman dulu pula ada kecenderungan tubuh direkayasa, entah dengan mengurangi atau menambahkan sesuatu.

Semua itu adalah sebuah proses dialog, manusia berdialog dengan tubuhnya sendiri untuk mendapatkan tubuh yang nyaman untuk dirinya sendiri dan syukur-syukur bagi orang lain. Dan tato sebagaimana seseorang merubah (mencat) warna rambut, rebounding dan krol untuk merubah bentuk rambut, memutihkan atau mengelapkan kulit, menyedot lemak agar langsing, merubah bentuk hidung,mengencangkan payudara, mengembalikan keperawanan, merubah kelamin agar selaras antara fisik dan psikis adalah sebuah proses internal, perjalanan mencari jati diri agar seseorang merasa menjadi dirinya sendiri. Kenyamanan pertama adalah ketika kita merasa nyaman dengan tubuh (diri) kita sendiri.

Salam "Tatu" (terluka)

Batu Lumpang 24 Juli 2011

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum