Mall : Mereguk Bahagia Dunia

Senin, 25 Juli 2011

Mendengar kata filsafat, rata-rata orang akan berpikir tentang situasi yang rumit, berbelit-belit dan melampaui atau menjauhi kenyataan. Benarkah demikian, mestinya tidak sebab filsafat sebenarnya sesuatu yang dekat dengan keseharian hidup kita. Setiap orang hidup pasti pernah mempertanyakan sesuatu tentang hakekat diri, siapa aku?, apa tujuan hidup?, Benarkah Tuhan ada?, Apa itu kebenaran?, dan lain sebagainya. Sadar atau tidak, pertanyaan essensial seperti itu kerap datang entah diundang atau tidak. Orang juga cenderung mencari jawab atas berbagai fenomena yang ditemui sepanjang hidupnya.

Pemikiran dan ajaran filsafat dari berbagai jaman berserak dimana-mana. Banyak nama dikenal dan dikenang sebagai filsuf besar, baik mewakili periode jaman maupun kategori/aliran filsafatnya. Namun dari antara semua itu, ada satu pemikiran yang paling kerap dikutip atau populer sampai sekarang. Cogito ergo sum demikian dinyatakan oleh Rene Decartes salah satu filsuf yang mengusung paham esksitensialisme. Kutipan ini amat sering didengar terutama saat orang bicara soal eksistensi. Pernyataan ini menegaskan bahwa segala sesuatu patut diragukan apabila tidak disertai proses berpikir. Kenyataan ada karena kita berpikir.

Meski populer, tesis filsuf Perancis ini layak diuji kembali saat ini. Benarkah orang ada (bertindak) karena berpikir, sebab banyak bukti yang menunjukkan orang bertindak karena trend, karena iklan dan apa kata orang. Maka wajar apabila ada yang memlesetkan ayat suci Decartes menjadi 'saya berbelanja maka saya ada'. Dan mereka yang merasa berarti atau hidup dikala belanja kemudian dijuluki sebagai 'shophaholic' alias keranjingan belanja.

Trend dan konsumerisme telah menjadi 'iman' baru bagi para jemaah pembelanja dengan menjadikan mall sebagai pusat peribadatannya. Di kalangan atas, aktifitas keranjingan belanja bisa menghabiskan uang diluar nalar. Singapore, Paris, New York, Hongkong dan Ghuangzo adalah surga. Dan dengan enteng puluhan bahkan ratusan juta dihabiskan per bulan untuk segala sesuatu yang kebanyakan tidak diperlukan atau hanya disimpan di dalam almari. Pada kelompok yang kurang mampu, ada berita seorang gadis menjual keperawanannya demi membeli handphone model terbaru. Rupanya semakin banyak orang 'gatal' kalau melihat iklan promosi barang baru.

Penanda yang paling fundamental dari pencitraan konsumerisme adalah mall. Mall, tumbuh dimana-mana dengan kecepatan yang luar biasa. Jarak antara satu dengan yang lainnya semakin dekat. Secara rinci, mall didesain agar pengalaman hidup sepenuhnya dinikmati dalam satu tempat. Udara yang sejuk, lorong memanjang dengan pemandangan indah di kanan kiri, bermacam outlet yang menyediakan barang maupun jasa dari yang paling penting sampai yang hanya berguna untuk orang tertentu. Cafe, food court, game zone dan lainnya yang bakal membuat waktu berlalu tak terasa. Pendek kata jika hidup kita hanya terpaku pada memuaskan nafsu dari kelima panca indera, maka mall adalah jawaban yang sempurna. Paul Mazursky pembuat film 'Scene from The Mall' mengatakan : Apapun yang bisa terjadi dalam hidup anda, bisa terjadi di mall.

Di Samarinda ini apa sih hiburan untuk kita selain pergi ke mall, itu sebuah ungkapan seseorang ketika ditanya kenapa doyan sekali pergi ke mall. Dan tepat, mall memang bukan sekedar tempat belanja. Tapi juga tempat lari dari kepenatan hidup, sejenak meredam stress, menghilangkan bete daripada diam di rumah membaca koran atau menonton televisi yang isinya berita korupsi tiada henti. Mall lebih cepat menyajikan realitas imajiner yang memuaskan hati, ketimbang berbagai rencana pemerintah membangun bandara, jalan tol, pelabuhan dan sebagainya. Mall diam-diam dibangun dan jadi. Sementara rencana pemerintah terus ribut kanan kiri dan tak pernah jelas kapan akan terwujud.

Pernyataan bahwa hanya mall yang bisa menjadi hiburan mungkin dengan gampang bisa dibantah. Bukankah di Samarinda juga ada KRUS (Kebun Raya Unmul Samarinda), ada taman membentang di sepanjang tepian Mahakam, ada Desa Budaya Pampang, ada Museum dan Taman Budaya serta Water Park. Benar begitu, namun kebanyakan tempat tadi semakin hari semakin tak terurus, fasilitas dan keindahannya memudar tanpa sentuhan baru, bukannya dapat kesenangan melainkan lebih banyak merepotkan. Itu berbading terbalik dengan mall yang semain hari tambah semakin lengkap fasilitasnya. Mall semakin merepresentasi diri sebagai one stop shopping, entertaining dan bahkan educating.

Jika kita jeli mengamati kehidupan di mall maka sesungguhnya kita tengah mengamati potongan kehidupan masyarakat kontemporer. Dan yang pasti buat sebagian laki-laki, mall adalah tempat memelihara kesehatan mata juga kesehatan hati. Berada di mall tak bakal membuat hati jadi beku, sebab dalam satu jam kita (kaum laki-laki) bisa jatuh cinta berkali-kali.

Salam Belanja Meski Tak Ada

@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum