Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (77)

Rabu, 07 November 2012


Peradaban Jalan Raya

Dalam jangka waktu 5 tahun lagi, kota Makassar diprediksi akan mengalami macet total. Sebagai kota utama di Indonesia bagian timur, Makassar bertumbuh menjadi kota metropolitan yang berkembang dengan cepat. Pertumbuhan termasuk dalam jumlah kendaraan dimana per tahun populasinya bertambah sekitar 10%, sementara laju pertumbuhan jumlah dan panjang jalan merambat pelan bak keong pemalas. Jalan hanya tumbuh sekitar 0,01 %. Tak heran jika kemudian di jam-jam sibuk, jalanan utama terasa padat. Maka bukanlah prediksi dukun kalau dalam jangka waktu 5 tahun ke depan jika tidak ada kebijakan dalam manajemen lalu lintas, maka jalanan akan macet toral. Macet total akan terjadi jika semua kendaraan berada di jalan dan membentuk barisan tanpa ruang untuk maju atau mundur.

Namun prediksi seperti itu menurut saya bukan hanya milik kota Makassar, banyak kota-kota lain mengalami ancaman yang sama. Seperti Kota Samarinda misalnya, kota besar yang mengalami persoalan yang sama dengan Makassar namun tak punya sistem angkutan massal yang ade kuat untuk menunjang mobilitas warganya. Akibatnya kendaraan baik mobil maupun motor pribadi menjadi andalan bagi warganya untuk menunjang mobilitas, baik ke tempat kerja, pendidikan maupun niaga serta keperluan lainnya.

Saya bukan peneliti yang melakukan studi  mendalam atas fenomena lalu lintas dan kemacetan di Kota Samarinda, namun dari pengamatan sekilas dan pengalaman berada di jalan raya dalam lima tahun terakhir ini pertumbuhan titik-titik macet di Kota Samarinda semakin laju pertambahannya. Titik-titik kemacetan tidak hanya terjadi pada jalan-jalan utama, melainkan juga di jalur-jalur alternatif, jalan potong atau jalur tikus untuk menghubungkan antara jalan besar yang satu dengan yang lainnya.

Tak jauh dari tempat tinggal saya, perempatan dekat ruko Pasundan, kini merupakan titik macet yang kronis. Pagi, siang dan sore hari di jalur perempatan dengan jalan yang sempit itu mobil dan motor bertumpuk, sulit untuk bergerak. Melihat kendaraan yang bertumpuk dan susah bergerak itu kerap membuat hati menjadi kecut.

Dulu sesekali saya lihat polisi mengatur lalulintas di pagi hari, tapi lama kelamaan pak polisi menghilang. Saya paham saja, kalau ada satu orang polisi yang berdiri pasti tak bakal mampu mengatur para pengendara yang punya hobby nyeruduk dan mau menang sendiri. Perilaku para pengendara memang merupakan salah satu masalah tersendiri. Soal sopan santun di jalanan, etika dalam mendahului, berhenti, keluar dari gang, tidak bisa diuji di lapangan saat polisi melakukan uji SIM.

Secara teori bisa saja seseorang lulus ujian tertulis, tahu kalau mau berbelok harus menyalakan lampu sein terlebih dahulu. Para sopir pasti juga tahu aturan untuk tidak memarkir atau menghentikan kendaraan di dekat belokkan. Tapi lagi-lagi itu hanya pengetahuan dan pengetahuan tidak merubah perilaku, alhasil jalanan mirip tempat berpacu, dipikir seperti lapangan luas sehingga pengendara berhenti sembarangan, muncul begitu saja dari gang, motor berakrobat, zig-zag dari kanan ke kiri. Dan aneh bin ajaib meski jalanan ramai masih saja ada pengendara berjalan beriringan sambil ngobrol seolah tak ada waktu lain yang tersedia.

Kemudahan akses  untuk memiliki kendaraan bermotor baik mobil maupun motor dengan cara kredit memang menimbulkan persoalan tersendiri. Mirip kelakuan lakukan dulu pikir kemudian atau beli dahulu belajar kemudian. Alhasil, pemilik kendaraan tidak belajar soal adab berkendara, main gas dan rem sembarangan saja. Ketidakadaban selalu terlihat kala terjadi kecelakaan seperti tabrakan atau senggolan, serempetan dan sebagainya. Yang terjadi pasti ngotot-ngototan soal siapa yang salah dan benar. Dan sialnya dua-duanyalah yang ternyata bersalah yaitu sama-sama tidak waspada, sama-sama ceroboh dan sama-sama mengendarai kendaraan kreditan, sewaan atau malah pinjaman.

Kalau kemudian kemacetan terjadi karena ketidakseimbangan jumlah jalan dan kendaraan bermotor, maka hitung-hitungan dan aneka kebijakan secara teknis bisa menjadi jalan keluar untuk mengatasinya. Namun sungguhlah malang sebuah kota apabila kemacetan timbul karena adab pengendara yang rendah, karena budaya berkendaraan yang tidak memperhatikan sopan santun, keamanan dan kenyamanan pengendara lainnya.

Dan dalam pandangan saya, kebanyakan kemacetan (tanpa mengesampingkan populasi kendaraan) memang lebih ditimbulkan karena ketidakberadaban masyarakat kita dalam berkendara.

Pondok Wiraguna, 6 November 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum