Peradaban Jalan Raya
Dalam jangka waktu 5 tahun lagi,
kota Makassar diprediksi akan mengalami macet total. Sebagai kota utama di
Indonesia bagian timur, Makassar bertumbuh menjadi kota metropolitan yang berkembang
dengan cepat. Pertumbuhan termasuk dalam jumlah kendaraan dimana per tahun populasinya bertambah sekitar 10%, sementara
laju pertumbuhan jumlah dan panjang jalan merambat pelan bak keong pemalas.
Jalan hanya tumbuh sekitar 0,01 %. Tak heran jika kemudian di jam-jam sibuk,
jalanan utama terasa padat. Maka bukanlah prediksi dukun kalau dalam jangka
waktu 5 tahun ke depan jika tidak ada kebijakan dalam manajemen lalu lintas,
maka jalanan akan macet toral. Macet total akan terjadi jika semua kendaraan
berada di jalan dan membentuk barisan tanpa ruang untuk maju atau mundur.
Namun prediksi seperti itu
menurut saya bukan hanya milik kota Makassar, banyak kota-kota lain mengalami
ancaman yang sama. Seperti Kota Samarinda misalnya, kota besar yang mengalami
persoalan yang sama dengan Makassar namun tak punya sistem angkutan massal yang
ade kuat untuk menunjang mobilitas warganya. Akibatnya kendaraan baik mobil
maupun motor pribadi menjadi andalan bagi warganya untuk menunjang mobilitas,
baik ke tempat kerja, pendidikan maupun niaga serta keperluan lainnya.
Saya bukan peneliti yang
melakukan studi mendalam atas fenomena
lalu lintas dan kemacetan di Kota Samarinda, namun dari pengamatan sekilas dan
pengalaman berada di jalan raya dalam lima tahun terakhir ini pertumbuhan
titik-titik macet di Kota Samarinda semakin laju pertambahannya. Titik-titik
kemacetan tidak hanya terjadi pada jalan-jalan utama, melainkan juga di
jalur-jalur alternatif, jalan potong atau jalur tikus untuk menghubungkan
antara jalan besar yang satu dengan yang lainnya.
Tak jauh dari tempat tinggal
saya, perempatan dekat ruko Pasundan, kini merupakan titik macet yang kronis.
Pagi, siang dan sore hari di jalur perempatan dengan jalan yang sempit itu
mobil dan motor bertumpuk, sulit untuk bergerak. Melihat kendaraan yang
bertumpuk dan susah bergerak itu kerap membuat hati menjadi kecut.
Dulu sesekali saya lihat polisi
mengatur lalulintas di pagi hari, tapi lama kelamaan pak polisi menghilang.
Saya paham saja, kalau ada satu orang polisi yang berdiri pasti tak bakal mampu
mengatur para pengendara yang punya hobby nyeruduk dan mau menang sendiri.
Perilaku para pengendara memang merupakan salah satu masalah tersendiri. Soal
sopan santun di jalanan, etika dalam mendahului, berhenti, keluar dari gang,
tidak bisa diuji di lapangan saat polisi melakukan uji SIM.
Secara teori bisa saja seseorang
lulus ujian tertulis, tahu kalau mau berbelok harus menyalakan lampu sein
terlebih dahulu. Para sopir pasti juga tahu aturan untuk tidak memarkir atau
menghentikan kendaraan di dekat belokkan. Tapi lagi-lagi itu hanya pengetahuan
dan pengetahuan tidak merubah perilaku, alhasil jalanan mirip tempat berpacu,
dipikir seperti lapangan luas sehingga pengendara berhenti sembarangan, muncul
begitu saja dari gang, motor berakrobat, zig-zag dari kanan ke kiri. Dan aneh bin
ajaib meski jalanan ramai masih saja ada pengendara berjalan beriringan sambil
ngobrol seolah tak ada waktu lain yang tersedia.
Kemudahan akses untuk memiliki kendaraan bermotor baik mobil
maupun motor dengan cara kredit memang menimbulkan persoalan tersendiri. Mirip
kelakuan lakukan dulu pikir kemudian atau beli dahulu belajar kemudian.
Alhasil, pemilik kendaraan tidak belajar soal adab berkendara, main gas dan rem
sembarangan saja. Ketidakadaban selalu terlihat kala terjadi kecelakaan seperti
tabrakan atau senggolan, serempetan dan sebagainya. Yang terjadi pasti
ngotot-ngototan soal siapa yang salah dan benar. Dan sialnya dua-duanyalah yang
ternyata bersalah yaitu sama-sama tidak waspada, sama-sama ceroboh dan
sama-sama mengendarai kendaraan kreditan, sewaan atau malah pinjaman.
Kalau kemudian kemacetan terjadi
karena ketidakseimbangan jumlah jalan dan kendaraan bermotor, maka
hitung-hitungan dan aneka kebijakan secara teknis bisa menjadi jalan keluar
untuk mengatasinya. Namun sungguhlah malang sebuah kota apabila kemacetan
timbul karena adab pengendara yang rendah, karena budaya berkendaraan yang
tidak memperhatikan sopan santun, keamanan dan kenyamanan pengendara lainnya.
Dan dalam pandangan saya,
kebanyakan kemacetan (tanpa mengesampingkan populasi kendaraan) memang lebih
ditimbulkan karena ketidakberadaban masyarakat kita dalam berkendara.
Pondok Wiraguna, 6 November 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar