Informasi : Kalau Bisa
Dipersulit Kenapa Harus Dipermudah?.
Dari bulan Agustus sampai
dengan Oktober 2012, saya melakukan studi pemetaan sosial di Samarinda untuk
mendapat gambaran termuktahir dari sisi geografis, demografis,pendidikan,
kesehatan, politik, aktor kepentingan, konflik dan CSR yang dilakukan oleh
korporat. Kesemuanya menuntut ketersediaan segepok data yang harus diminta dari
pemerintah (SKPD dan Badan).
Sebelum mencari data di
kantor-kantor pemerintah, saya terlebih dahulu melakukan pencarian di internet
untuk melihat sejauh mana data tentang Samarinda tersedia di dunia maya.
Kebanyakan informasi yang tersedia di internet tentang Samarinda ternyata dalam
bentuk berita. Ini menjadi rancu karena Samarinda dikaitkan sebagai ibu kota
propinsi, bukan spesific sebagai pemerintahan tingkat kota. Akibatnya data
terkait dengan Samarinda tidak selalu berisi tentang isi Samarinda melainkan
juga kota dan kabupaten lainnya.
Pencarian informasi melalui
mesin pencari google ternyata tidak bisa bercerita banyak tentang A-Z kota
Samarinda, kalaupun ada datanya kurang up to date dan satu sama lain mirip
(seperti coppy paste). Dari situ saya melangkah ke situs-situs dari pemerintah
kota dan SKPD-nya. Ternyata tidak semua SKPD mempunyai situs web dengan domain go/gov.id.
Ada beberapa yang memakai layanan blog gratis macam wordpress dan blogspot,
dikelola oleh pribadi tertentu. Situs yang cukup informatif adalah milik pemkot
dan BPS serta Bappeda. Ketika data yang saya cari tidak tersedia dalam
situs/blog, saya mencoba meminta melalui email yang dicantumkan sebagai kontak,
namun sampai detik ini tak ada satupun yang dibalas.
Ketika saya ingin mencari ke
kantor-kantor pemerintah, berbekal surat tugas yang diberikan oleh institusi
yang menjadi host penelitian, saya mendapat kabar buruk dari seorang teman di
Kota Bontang. Intinya dia memberi saran untuk tidak memakai surat tugas yang
berasal dari lembaga di Jakarta. Surat tugas itu katanya menjadi soal, karena
lembaga itu tidak terdaftar di kesbangpol daerah sehingga tidak diakui. Dan tak
lama kemudian saya mendapat kabar buruk lagi, seorang teman yang membawa surat
dengan memakai lembaga di Samarinda, ternyata juga mendapat jawaban ketus
ketika mencari data di Kutai Kartanegara. Konon seorang petugas di Kutai Kartanegara
mengatakan “Untuk apa orang Samarinda mencari-cari data di Kutai Kartanegara?”.
Alamak, setelah regim orde
baru runtuh, kita terus bicara tentang keterbukaan dan kini itu dijamin dalam
sebuah UU yaitu Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Undang-undang yang
mengamanatkan semua informasi yang dihasilkan dengan anggaran atau biaya dari
pemerintah harus diberikan kepada publik entah diminta atau tidak. Jadi selama
data itu diminta oleh orang yang bisa menunjukkan dirinya adalah warga
Indonesia, maka tidak boleh dipersoalkan.
Setiap SKPD atau unit kerja
pemerintah pada dasarnya adalah lembaga layanan publik yang mempunyai bidang
tugas dan tanggungjawab tertentu. Dalam melaksanakan kerjanya pasti ada sasaran
dan tujuan serta hasil yang harus dicapai dan semua itu bisa ditunjukkan
melalui angka atau indikator-indikator tertentu. Maka SKPD yang
bertanggungjawab pada bidang pendidikan, pasti punya data berapa jumlah
sekolah, berapa jumlah guru dan murid, peta persebaran sekolah, jumlah anak
yang putus sekolah, berapa jumlah orang yang masih buta huruf dan lain
sebagainya.
Aneh bin ajaib misalnya andai
pegawai dinas pendidikan misalnya tak tahu apa itu APM, APK, AptS dan
seterusnya. “Kami tak bisa memberikan data itu sembarang, karena banyak data
dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak baik” begitu mereka kerap berkilah. Entah
apa maksud dengan hal-hal yang tidak baik, barangkali itu termasuk dipakai
untuk ‘mengkritik’ pemerintah. Alasan yang sebenarnya hanya dipakai untuk
menutupi bahwa data-data yang diminta itu tidak terkumpul di satu tempat, harus
diambil dari bagian ini dan itu yang belum tentu penanggungjawab dan datanya
tersedia.
Saya paham bahwa data soal
kesehatan yang saya butuhkan mungkin menyangkut banyak bagian atau sub bidang
di dinas kesehatan. Pasti pemegang data tentang jumlah ibu hamil, melahirkan,
akan berbeda tempat dan penanggungjawabnya dengan data tentang peringkat
penyakit terbanyak, juga berbeda dengan pemegang data tentang jumlah
lembaga-lembaga layanan kesehatan pun juga berbeda lagi dengan pemegang data
tentang jumlah dokter, paramedis dan bidan serta dukun kampung.
Nah, saya menduga data-data
yang terserak ini tidak ada yang mengumpulkan dalam satu sistem yang terhubung.
Padahal tentu tidak sulit untuk melakukan hal itu, bukankah sekarang tersedia
banyak sofware yang bisa menghubungkan antar komputer sehingga masing-masing
penanggungjawab bisa meng-input data dari mejanya sendiri-sendiri. Dan kemudian
kalau petugas penerima tamu malas menemui banyak orang yang datang dan mencari hal
yang sama, kenapa tidak ditempatkan saja
di situs web official dinas itu sendiri.
Data dasar seperti jumlah
penduduk, jumlah pekerja dalam sektor tertentu, jumlah orang miskin, jumlah
penderita penyakit tertentu, tingkat partisipasi pendidikan, jumlah perusahaan
tambang, luas lahan dan penggunaannya, Pendapatan Asli Daerah, kekayaan/asset
daerah, jumlah ormas, angka kematian ibu, angka kematian bayi, upah minimum
regional (sektoral dan non sektoral), nama partai, jumlah kursi dan anggota
dewan asal partai tertentu bukanlah data yang harus disembunyikan. Semua itu
masuk dalam kategori data yang serta merta harus tersedia meski beberapa
bersifat berkala untuk publikasinya. Berkala yang saya maksud adalah
diperbaharui atau ketersediaan yang update butuh waktu tertentu misalnya
bulanan, tiga bulanan, enam bulanan atau tahunan, tapi bukan kala-kala ada dan
kala-kala tidak ada.
Undang-undang mengisyaratkan
semua layanan pemerintah harus cepat, tepat, mudah dan murah.
Dan untuk urusan data atau informasi, penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi adalah jawabannya. Badan Pusat Statistik misalnya adalah contoh yang
baik untuk urusan ini. Berbagai macam data bisa kita baca dan unduh dari situs
web-nya. Namun jika kita gaptek, SOP pencarian dan pemberian data serta
informasi dari mereka sudah jelas. Kita bisa datang ke sana, mengutarakan data
apa yang hendak dicari, dan oleh petugasnya akan diarahkan ke moda-moda layanan
informasi yang tersedia disana.
Saya kira saat ini tidak ada
satupun SKPD atau unit kerja pemerintah daerah yang tidak tersentuh TIK dan
investasi berkaitan dengan hal itu terus dianggarkan dalam APBD. Mestinya itu
harus bisa dinikmati hasilnya oleh masyarakat sebagaimana diisyaratkan oleh UU
Kebebasan Informasi Publik. Namun sepertinya kita masih harus bersabar, pepatah
“kalau bisa dipersulit kenapa harus
dipermudah” ternyata bukan mitos belaka di kalangan birokrasi kita. Saya
hanya berharap bahwa itu hanya watak sementara yang mulai terkikis dan bukan “kutuk permanen” yang tak akan lenyap
meski telah ada UU yang menjadi pondasi dan landasan bagi masyarakat untuk
menuntut haknya atas informasi.
Pondok Wiraguna, 7 November
2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar