Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (76)

Rabu, 07 November 2012


Informasi : Kalau Bisa Dipersulit Kenapa Harus Dipermudah?.

Dari bulan Agustus sampai dengan Oktober 2012, saya melakukan studi pemetaan sosial di Samarinda untuk mendapat gambaran termuktahir dari sisi geografis, demografis,pendidikan, kesehatan, politik, aktor kepentingan, konflik dan CSR yang dilakukan oleh korporat. Kesemuanya menuntut ketersediaan segepok data yang harus diminta dari pemerintah (SKPD dan Badan).

Sebelum mencari data di kantor-kantor pemerintah, saya terlebih dahulu melakukan pencarian di internet untuk melihat sejauh mana data tentang Samarinda tersedia di dunia maya. Kebanyakan informasi yang tersedia di internet tentang Samarinda ternyata dalam bentuk berita. Ini menjadi rancu karena Samarinda dikaitkan sebagai ibu kota propinsi, bukan spesific sebagai pemerintahan tingkat kota. Akibatnya data terkait dengan Samarinda tidak selalu berisi tentang isi Samarinda melainkan juga kota dan kabupaten lainnya.

Pencarian informasi melalui mesin pencari google ternyata tidak bisa bercerita banyak tentang A-Z kota Samarinda, kalaupun ada datanya kurang up to date dan satu sama lain mirip (seperti coppy paste). Dari situ saya melangkah ke situs-situs dari pemerintah kota dan SKPD-nya. Ternyata tidak semua SKPD mempunyai situs web dengan domain go/gov.id. Ada beberapa yang memakai layanan blog gratis macam wordpress dan blogspot, dikelola oleh pribadi tertentu. Situs yang cukup informatif adalah milik pemkot dan BPS serta Bappeda. Ketika data yang saya cari tidak tersedia dalam situs/blog, saya mencoba meminta melalui email yang dicantumkan sebagai kontak, namun sampai detik ini tak ada satupun yang dibalas.

Ketika saya ingin mencari ke kantor-kantor pemerintah, berbekal surat tugas yang diberikan oleh institusi yang menjadi host penelitian, saya mendapat kabar buruk dari seorang teman di Kota Bontang. Intinya dia memberi saran untuk tidak memakai surat tugas yang berasal dari lembaga di Jakarta. Surat tugas itu katanya menjadi soal, karena lembaga itu tidak terdaftar di kesbangpol daerah sehingga tidak diakui. Dan tak lama kemudian saya mendapat kabar buruk lagi, seorang teman yang membawa surat dengan memakai lembaga di Samarinda, ternyata juga mendapat jawaban ketus ketika mencari data di Kutai Kartanegara. Konon seorang petugas di Kutai Kartanegara mengatakan “Untuk apa orang Samarinda mencari-cari data di Kutai Kartanegara?”.

Alamak, setelah regim orde baru runtuh, kita terus bicara tentang keterbukaan dan kini itu dijamin dalam sebuah UU yaitu Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Undang-undang yang mengamanatkan semua informasi yang dihasilkan dengan anggaran atau biaya dari pemerintah harus diberikan kepada publik entah diminta atau tidak. Jadi selama data itu diminta oleh orang yang bisa menunjukkan dirinya adalah warga Indonesia, maka tidak boleh dipersoalkan.

Setiap SKPD atau unit kerja pemerintah pada dasarnya adalah lembaga layanan publik yang mempunyai bidang tugas dan tanggungjawab tertentu. Dalam melaksanakan kerjanya pasti ada sasaran dan tujuan serta hasil yang harus dicapai dan semua itu bisa ditunjukkan melalui angka atau indikator-indikator tertentu. Maka SKPD yang bertanggungjawab pada bidang pendidikan, pasti punya data berapa jumlah sekolah, berapa jumlah guru dan murid, peta persebaran sekolah, jumlah anak yang putus sekolah, berapa jumlah orang yang masih buta huruf dan lain sebagainya.

Aneh bin ajaib misalnya andai pegawai dinas pendidikan misalnya tak tahu apa itu APM, APK, AptS dan seterusnya. “Kami tak bisa memberikan data itu sembarang, karena banyak data dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak baik” begitu mereka kerap berkilah. Entah apa maksud dengan hal-hal yang tidak baik, barangkali itu termasuk dipakai untuk ‘mengkritik’ pemerintah. Alasan yang sebenarnya hanya dipakai untuk menutupi bahwa data-data yang diminta itu tidak terkumpul di satu tempat, harus diambil dari bagian ini dan itu yang belum tentu penanggungjawab dan datanya tersedia.

Saya paham bahwa data soal kesehatan yang saya butuhkan mungkin menyangkut banyak bagian atau sub bidang di dinas kesehatan. Pasti pemegang data tentang jumlah ibu hamil, melahirkan, akan berbeda tempat dan penanggungjawabnya dengan data tentang peringkat penyakit terbanyak, juga berbeda dengan pemegang data tentang jumlah lembaga-lembaga layanan kesehatan pun juga berbeda lagi dengan pemegang data tentang jumlah dokter, paramedis dan bidan serta dukun kampung.

Nah, saya menduga data-data yang terserak ini tidak ada yang mengumpulkan dalam satu sistem yang terhubung. Padahal tentu tidak sulit untuk melakukan hal itu, bukankah sekarang tersedia banyak sofware yang bisa menghubungkan antar komputer sehingga masing-masing penanggungjawab bisa meng-input data dari mejanya sendiri-sendiri. Dan kemudian kalau petugas penerima tamu malas menemui banyak orang yang datang dan mencari hal yang sama, kenapa  tidak ditempatkan saja di situs web official dinas itu sendiri.

Data dasar seperti jumlah penduduk, jumlah pekerja dalam sektor tertentu, jumlah orang miskin, jumlah penderita penyakit tertentu, tingkat partisipasi pendidikan, jumlah perusahaan tambang, luas lahan dan penggunaannya, Pendapatan Asli Daerah, kekayaan/asset daerah, jumlah ormas, angka kematian ibu, angka kematian bayi, upah minimum regional (sektoral dan non sektoral), nama partai, jumlah kursi dan anggota dewan asal partai tertentu bukanlah data yang harus disembunyikan. Semua itu masuk dalam kategori data yang serta merta harus tersedia meski beberapa bersifat berkala untuk publikasinya. Berkala yang saya maksud adalah diperbaharui atau ketersediaan yang update butuh waktu tertentu misalnya bulanan, tiga bulanan, enam bulanan atau tahunan, tapi bukan kala-kala ada dan kala-kala tidak ada.

Undang-undang mengisyaratkan semua layanan pemerintah harus cepat, tepat, mudah  dan murah.  Dan untuk urusan data atau informasi, penggunaan teknologi informasi dan komunikasi adalah jawabannya. Badan Pusat Statistik misalnya adalah contoh yang baik untuk urusan ini. Berbagai macam data bisa kita baca dan unduh dari situs web-nya. Namun jika kita gaptek, SOP pencarian dan pemberian data serta informasi dari mereka sudah jelas. Kita bisa datang ke sana, mengutarakan data apa yang hendak dicari, dan oleh petugasnya akan diarahkan ke moda-moda layanan informasi yang tersedia disana.

Saya kira saat ini tidak ada satupun SKPD atau unit kerja pemerintah daerah yang tidak tersentuh TIK dan investasi berkaitan dengan hal itu terus dianggarkan dalam APBD. Mestinya itu harus bisa dinikmati hasilnya oleh masyarakat sebagaimana diisyaratkan oleh UU Kebebasan Informasi Publik. Namun sepertinya kita masih harus bersabar, pepatah “kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah” ternyata bukan mitos belaka di kalangan birokrasi kita. Saya hanya berharap bahwa itu hanya watak sementara yang mulai terkikis dan bukan “kutuk permanen” yang tak akan lenyap meski telah ada UU yang menjadi pondasi dan landasan bagi masyarakat untuk menuntut haknya atas informasi.

Pondok Wiraguna, 7 November 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum