Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (64)

Kamis, 18 Oktober 2012


Republik Motor

Dalam 10 tahun terakhir penetrasi kendaraan bermotor roda begitu luar biasa. Hampir tak ada satu pun wilayah di Indonesia yang tidak terjangkit wabah berkendara motor. Kalau di tahun 80 sampai 90-an yang bisa menikmati kredit bermotor adalah para guru atau pegawai negeri, memasuki tahun 2000-an hampir semua orang bisa membawa pulang motor kreditan. Kredit motor diobral, outletnya mungkin lebih banyak daripada gerobak tukang martabak. Kini bahkan untuk membeli motor cash jadi sulit, karena penjual lebih memilih calon pembeli dengan cara kreditan.

Booming kendaraan roda dua adalah lonceng kematian bagi kendaraan penumpang umum, terutama yang beroperasi di dalam kota, antar kecamatan atau desa. Penumpang yang tersisa hanyalah anak-anak sekolah yang belum dikreditkan motor oleh orang tuanya atau ibu-ibu paruh baya yang berjualan di pasar-pasar dan tak berniat belajar mengendarai motor.

Jaman kedigdayaan motor roda dua dimulai oleh jenis bebek. Para produsen silih berganti mengeluarkan seri demi seri hingga kemudian muncul jenis skuter otomatic (Skutic). Bebek dan skutic yang awalnya lebih digambarkan sebagai motor perempuan kini dinaiki oleh siapa saja. Motor-motor ini merajai jalan raya. Pagi, siang, sore dipakai untuk pergi bekerja, sekolah, belanja malamnya dipakai kebut-kebutan oleh anak-anak motor (amor).

Saya yakin kalau dihitung maka jumlah motor bisa jadi dua kali dari jumlah rumah. Motor menjadi kebutuhan primer rumah tangga.  Motor juga bukan lagi ukuran kesejahteraan, karena masyarakat membeli motor bukan sebagai akibat kelebihan uang melainkan karena kebutuhan. Akan tetapi lain ceritanya apabila yang kita punyai adalah motor gede (moge). Mereka yang tak punya motor akan mengeluarkan ongkos yang lebih besar untuk biaya transportasi dan juga kerugian waktu. Mau keluar  harus naik ojek dan kemudian disambung dengan kendaraan umum yang pada jam-jam tertentu malas jalan karena sepi penumpang. Pendek kata sekarang ini rumah tangga tanpa motor bakal kesulitan dalam mobilitas.

Sayangnya pertambahan motor (baik roda dua maupun roda empat) yang berlipat-lipat tak dibarengi dengan pertambahan jumlah jalan. Jalanan selama lebih dari 10 tahun relatif tetap panjang dan lebarnya. Alhasil kemacetan bukan lagi monopoli kota besar macam Jakarta. Manado misalnya yang dulu hanya macet menjelang hari Natal atau malam tahun baru, kini di beberapa titik kemacetan adalah sebuah rutinitas. Demikian juga dengan Kota Samarinda, dari tahun ke tahun titik-titik macet bertambah banyak. Kemacetan yang rutin terjadi di pagi, siang dan sore hari.

Dalam kemacetan adalah watak para pengendara motor mencari celah agar tetap bisa terus maju. Jika tak ditemukan celah maka trotoarlah menjadi korban. Dengan perkembangan jumlah kendaraan bermotor, trotoar memang menjadi bagian jalan yang paling merana, tak lagi dilalui para pejalan kaki. Di jalanan yang macet dan trotoarnya tidak dirampok oleh PKL menjadi tempat jualan, maka disitulah roda-roda sepeda motor akan menjejakkan langkahnya. Trotoar kemudian menjadi jalan pintas agar sepeda motor terus melaju kala jalanan macet.

Pertumbuhan sepeda motor mungkin sudah sulit untuk direm. Rantai niaga di bisnis kendaraana roda dua ini sudah sedemikian panjang serta melibatkan banyak orang. Pembelipun memberlakukan motor bukan lagi sebagai barang mewah. Karenanya banyak pula yang gemar gonta-ganti motor kalau sudah bosan memakai tipe atau jenis lama.

Saya mulai menaiki motor setelah kenyang dan cape naik sepeda. Tapi anak-anak atau orang-orang sekarang tidak lagi melalui jenjang dari naik sepeda kemudian naik motor. Banyak yang by pass, bukan dari penunggang sepeda lagi melainkan langsung menjadi pengendara motor. Akibatnya banyak yang tak paham soal sopan-santun berkendara di jalanan. Sedikit sekali yang punya kerendahan hati kala mengendarai sepeda motor.

Pengendara sepeda motor adalah raja jalanan, penguasa jalan raya. Dengan ketrampilan mengendara seadanya, tak segan-segan mengeber motornya serasa jalanan adalah sirkuit motoGP.  Belum lagi tabiat para pengendara yang gemar mencari perhatian, sengaja membuat suara mesin motornya bagaikan deru bunyi mesin traktor, keras melengking memekakkan telinga. Jalanan yang berisik dan ramai tak juga membuat pengendara waspada serta ingat orang lain. Tak sedikit motor berjalan beriringan, menelusuri jalanan sambil berbincang antara pengendara satu dengan lainnya seakan tak punya waktu untuk duduk dan bicara bersama. Memang banyak pengendara yang terlalu percaya diri di jalan raya, seperti tak berhenti saat menerima telepon, atau bahkan ada yang membalas sms dan bbm sambil tetap berjalan. Perilaku percaya diri namun tak tahu diri ini dengan mudah ditemukan pada jalanan di mana saja.

Pada akhirnya inilah negeri kita, yang bercita-cita menjadi negeri demokratis setelah reformasi, namun lebih dahulu dicapai justru perwujudan republik ini menjadi republik motor.

Pondok Angkringan, 11 Oktober 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum