Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (63)

Kamis, 18 Oktober 2012


Mati Pikiran

Bertahun mengeluti sebuah issue, berusaha melakukan perubahan dengan berbagai cara, membangun jejaring dalam berbagai level. Dan setelah dilihat ternyata tidak terlalu banyak perubahan, keadaan masih begitu-begitu saja. Kenyataan seperti ini tiba-tiba bisa saja membuat kita lelah atau sering disebut sebagai burn out.

Istilah burn out diperkenalkan kepada saya sewaktu menjadi petugas penjangkau (outreach worker’s) untuk program pendidikan penyadaran dalam bidang kesehatan pada kelompok khusus. Tidak banyak tujuan yang hendak dicapai selain berharap agar kelompok sasaran mempunyai pengetahuan yang benar tentang masalah kesehatan dan mencari pengobatan pada petugas kesehatan yang seharusnya. Namun tujuan yang sederhana itu seakan menabrak tembok praktek dan perilaku kesehatan selama ini.

Aspek atau seluk beluk tentang sehat dan tidak sehat dalam masyarakat dan kelompok tertentu ternyata dipenuhi dengan mitos-mitos. Sakit atau gejala tertentu bisa disembuhkan dengan barang tertentu yang sesungguhnya bukan obat. Sakit bisa dicegah dengan cara tertentu, meski cara itu sama sekali tak berhubungan dengan aspek medis. Dan mereka mempercayai ini sehingga setelah melakukan ‘ritual’ tertentu percaya bahwa penyakit tak akan hinggap dan mengenai dirinya.

Melawan mitos, kepercayaan yang salah namun ‘diimani’ sebagai benar bukanlah soal yang gampang. Wawasan, pengetahuan dan ketrampilan memang perlu, namun yang terutama justru ketekunan dan kesabaran untuk terus bertahan. Merubah apa yang diyakini seseorang dan kemudian menjadi dasar perilaku mudah diterangkan secara teoritik, namun dalam prakteknya banyak keberhasilan yang terjadi seolah hanya karena ‘berkat Tuhan’.

Saya meyakini bahwa burn out banyak menimpa mereka-mereka yang bekerja atau mengabdikan diri dalam bidang sosial politik. Orang-orang dengan cita-cita besar dan bersih, yang banyak melupakan dirinya untuk mengurus orang lain dan masyarakat demi kehidupan yang lebih baik. Dengan ketulusan dan ketekunan mereka bekerja selama bertahun-tahun, mengalami guncangan-guncangan. Kerap kali keberhasilan sudah nampak di depan mata tapi tiba-tiba menghilang, begitu berulang kali. Tibalah pada saat refleksi, melakukan analisis SWOT dan ternyata tidak banyak perubahan yang bisa dicatat sebagai keberhasilan. Menghela nafas panjang dan capek yang tersisa tanpa hiburan.

Coba tanya pada mereka yang bergerak dalam bidang anti korupsi. Runtuhnya regim Suharto membawa angin segar, keyakinan bahwa korupsi di birokrasi akan menurun dan terbukti tidak, otonomi daerah justru membuat korupsi makin marak. Kemudian lewat rangkaian perjuangan, muncullah KPK. Kekuatan KPK membawa optimisme baru, bahwa korupsi bakal menurun, pekerja anti korupsi memperoleh energi baru. Tapi dari hari ke hari KPK tak pernah tenang, perjuangannya melawan korupsi selalu diganggu oleh berbagai macam hal.

Keberhasilan yang samar-samar tentu akan membuat pegiat apapun menjadi kehilangan semangat, pesimis bahkan kemudian menjadi apatis. Jika kemudian tak mampu menemukan energi baru, lilin kecil yang kembali akan menumbuhkan terang dalam dirinya, maka bisa saja rasa capek akan membuatnya berhenti, putar haluan dan mencari jalan yang lain.

Saya memahami jika kemudian seseorang meloncat dari satu hal ke hal lain karena alasan pencapaian. Perubahan dari satu jalur pada jalur lainnya. Banyak orang yang tadinya memilih jalur jalanan kemudian berpindah ke jalur kantoran. Adakah mereka akan disebut penghianat?. Menurut saya tidak andaikan keputusan itu diambil dengan sebuah pertimbangan untuk beroleh manfaat yang lebih besar baik bagi dirinya maupun masyarakat yang diabdinya.

Membiarkan ketidakpastian, kebosanan, perasaan tidak berarti dan kesia-siaan dalam perjuangan tanpa penyelesaian baik dengan cara istirahat (tetirah) untuk memperoleh energi baru atau kemudian meloncat pada bidang atau jalur lain yang lebih potensial tentu hanya akan membuat mati pikiran.

Saya kemudian jadi ingat pesan seorang kawan yang mengatakan istilah NKRI harga mati adalah salah satu contoh dari gejala mati pikiran. Mati pikiran karena mau menjaga keutuhan NKRI hanya dengan satu kata yaitu harga mati, padahal yang diperlukan justru harga hidup. Apa artinya NKRI tetap utuh jika untuk menjaga keutuhannya dibutuhkan kematian banyak rakyatnya.

Pondok Angkringan, 11 Oktober 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum