Mati Pikiran
Bertahun mengeluti sebuah issue,
berusaha melakukan perubahan dengan berbagai cara, membangun jejaring dalam
berbagai level. Dan setelah dilihat ternyata tidak terlalu banyak perubahan,
keadaan masih begitu-begitu saja. Kenyataan seperti ini tiba-tiba bisa saja
membuat kita lelah atau sering disebut sebagai burn out.
Istilah burn out diperkenalkan
kepada saya sewaktu menjadi petugas penjangkau (outreach worker’s) untuk
program pendidikan penyadaran dalam bidang kesehatan pada kelompok khusus.
Tidak banyak tujuan yang hendak dicapai selain berharap agar kelompok sasaran
mempunyai pengetahuan yang benar tentang masalah kesehatan dan mencari
pengobatan pada petugas kesehatan yang seharusnya. Namun tujuan yang sederhana
itu seakan menabrak tembok praktek dan perilaku kesehatan selama ini.
Aspek atau seluk beluk tentang
sehat dan tidak sehat dalam masyarakat dan kelompok tertentu ternyata dipenuhi
dengan mitos-mitos. Sakit atau gejala tertentu bisa disembuhkan dengan barang
tertentu yang sesungguhnya bukan obat. Sakit bisa dicegah dengan cara tertentu,
meski cara itu sama sekali tak berhubungan dengan aspek medis. Dan mereka
mempercayai ini sehingga setelah melakukan ‘ritual’ tertentu percaya bahwa
penyakit tak akan hinggap dan mengenai dirinya.
Melawan mitos, kepercayaan yang
salah namun ‘diimani’ sebagai benar bukanlah soal yang gampang. Wawasan,
pengetahuan dan ketrampilan memang perlu, namun yang terutama justru ketekunan
dan kesabaran untuk terus bertahan. Merubah apa yang diyakini seseorang dan
kemudian menjadi dasar perilaku mudah diterangkan secara teoritik, namun dalam
prakteknya banyak keberhasilan yang terjadi seolah hanya karena ‘berkat Tuhan’.
Saya meyakini bahwa burn out
banyak menimpa mereka-mereka yang bekerja atau mengabdikan diri dalam bidang
sosial politik. Orang-orang dengan cita-cita besar dan bersih, yang banyak
melupakan dirinya untuk mengurus orang lain dan masyarakat demi kehidupan yang
lebih baik. Dengan ketulusan dan ketekunan mereka bekerja selama
bertahun-tahun, mengalami guncangan-guncangan. Kerap kali keberhasilan sudah
nampak di depan mata tapi tiba-tiba menghilang, begitu berulang kali. Tibalah
pada saat refleksi, melakukan analisis SWOT dan ternyata tidak banyak perubahan
yang bisa dicatat sebagai keberhasilan. Menghela nafas panjang dan capek yang
tersisa tanpa hiburan.
Coba tanya pada mereka yang
bergerak dalam bidang anti korupsi. Runtuhnya regim Suharto membawa angin
segar, keyakinan bahwa korupsi di birokrasi akan menurun dan terbukti tidak,
otonomi daerah justru membuat korupsi makin marak. Kemudian lewat rangkaian
perjuangan, muncullah KPK. Kekuatan KPK membawa optimisme baru, bahwa korupsi
bakal menurun, pekerja anti korupsi memperoleh energi baru. Tapi dari hari ke
hari KPK tak pernah tenang, perjuangannya melawan korupsi selalu diganggu oleh
berbagai macam hal.
Keberhasilan yang samar-samar
tentu akan membuat pegiat apapun menjadi kehilangan semangat, pesimis bahkan
kemudian menjadi apatis. Jika kemudian tak mampu menemukan energi baru, lilin
kecil yang kembali akan menumbuhkan terang dalam dirinya, maka bisa saja rasa
capek akan membuatnya berhenti, putar haluan dan mencari jalan yang lain.
Saya memahami jika kemudian
seseorang meloncat dari satu hal ke hal lain karena alasan pencapaian.
Perubahan dari satu jalur pada jalur lainnya. Banyak orang yang tadinya memilih
jalur jalanan kemudian berpindah ke jalur kantoran. Adakah mereka akan disebut
penghianat?. Menurut saya tidak andaikan keputusan itu diambil dengan sebuah
pertimbangan untuk beroleh manfaat yang lebih besar baik bagi dirinya maupun
masyarakat yang diabdinya.
Membiarkan ketidakpastian,
kebosanan, perasaan tidak berarti dan kesia-siaan dalam perjuangan tanpa
penyelesaian baik dengan cara istirahat (tetirah) untuk memperoleh energi baru
atau kemudian meloncat pada bidang atau jalur lain yang lebih potensial tentu
hanya akan membuat mati pikiran.
Saya kemudian jadi ingat pesan
seorang kawan yang mengatakan istilah NKRI harga mati adalah salah satu contoh
dari gejala mati pikiran. Mati pikiran karena mau menjaga keutuhan NKRI hanya
dengan satu kata yaitu harga mati, padahal yang diperlukan justru harga hidup.
Apa artinya NKRI tetap utuh jika untuk menjaga keutuhannya dibutuhkan kematian
banyak rakyatnya.
Pondok Angkringan, 11 Oktober 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar