Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (62)

Kamis, 18 Oktober 2012


Pordjo

Kota ini makin sepi saja, tidak banyak kemajuan. Lihat toko-toko di depan sana banyak yang tutup dan terbiar menjadi sarang hantu.  Begitu kata teman SMP saya dulu ketika saya menemuinya di toko kelontong tempatnya berjualan. Lain lagi cerita sopir angkot yang saya tumpangi, dia mengatakan sepertinya lebih enak mencari uang di rantau dari pada disini. “Demi lembaran rupiah saya harus ‘mendelik-mendelik’ sepanjang jalan, itupun belum tentu dapat penumpang”, begitu katanya. Mendelik itu artinya memelototkan mata terus, memperhatikan kalau-kalau ada penumpang di pinggir jalan atau di mulut gang.

Ketika duduk-duduk di depan toko teman, saya memperhatikan deretan toko di depannya. Dan memang benar, persis di depan saya duduk dulu adalah dua toko buku yang berjejer. Kini satu sudah tutup dan yang satunya meski tetap memakai nama yang sama ternyata sudah ganti jualannya yaitu jamu dan pulsa. Dan jalanan yang dulu setahu saya begitu ramai kini lengang. Becak dan dokar tak lagi lalu lalang, mereka lebih suka menunggu di pojok perempatan ketimbang berkeliling mencari penumpang. Tak heran jika kemudian tukang becak, tukang dokar bahkan sopir angkot menjadi kenal siapa penumpangnya.

Ketika jam menunjukkan pukul 9 malam, saya meminjam motor untuk berkeliling kota. Tak butuh waktu yang lama untuk bisa menyusuri jalanan utama kota. Lega rasanya menyusuri jalanan di malam hari, tak banyak kendaraan hilir mudik. Keramaian hanya ada di alun-alun besar depan dan belakang Pendopo Bupati. Di alun-alun depan banyak orang berjualan makanan dan minuman di sepanjang trotoar yang mengelilinginya. Ada wahana permainan semacam becak berhias lampu-lampu yang bisa ditumpangi keliling alun-alun. Jumlahnya ada 10 lebih namun sebagian besar terparkir.

Di alun-alun belakang ada pasar malam dengan wahana-wahana yang mirip atau kurang lebih sama ketika saya masih kecil dulu. Ada kincir, ombak banyu, tong setan dan istana setan. Tapi pengunjungnya tak lagi seramai jaman dahulu. Alun-alun yang dahulu adalah tempat pertandingan sepakbola itu kini dikelilingi oleh kios-kios permanen, sehingga orang-orang baru tak akan tahu kalau dibalik kios-kios itu sebenarnya ada lapangan. Yang menarik di salah satu sisi alun-alun itu kios yang menutupi adalah kios tukang cukur, dan sampai jam 9 malam lebih masih banyak orang memotong rambut. Sebegitu sibukkah orang-orang ini hingga harus memotong rambutnya di malam hari, atau malu kalau harus pergi di siang hari, entahlan.

Sebelum pulang saya menelusuri jalan utama yaitu jalan Ahmad Yani, jalanan begitu sunyi. Memang ada orang –orang berjualan semacam angkringan namun jaraknya berjauhan. Tak ada lagi toko yang buka, baru nanti di dekat perempatan terlihat lebih terang karena ada swalayan waralaba yang buka 24 jam.

Begitulah cerita dari kota kelahiran saya, Purworejo yang konon kerap dibilang sebagai kota pensiunan karena sunyi senyap. Hampir tak terlihat derap industri di kota ini. Setahu saya hanya ada pabrik kain mori dan es batu yang cukup kasat mata. Dulu memang ada pabrik rokok, tapi rokok linting, klembak menyan (rokok siong) yang kemudian lenyap ditelan jaman. Tak ada lagi yang sudi merokok klembak menyan karena berbau ‘setan’.

Padahal ini adalah kota tua. Buktinya ada satu gang yang dinamai gang Afrikan. Gang ini menandai kehadiran pasukan kolonial berbadan tegap dan berkulit hitam. Sebenarnya mereka adalah tentara Gurkha, tapi penduduk mengira mereka orang Afrika. Di sini juga ada tangsi besar, komplek tentara Kostrad 412. Di jaman saya kecil dulu, kerap saya menyaksikan mereka berlatih perang disawah-sawah belakang rumah. Saat itu mereka dipersiapkan untuk ikut dalam pendudukan Timor Timur.

Menenggok sejarahnya, kota ini melahirkan orang-orang besar. WR. Supratman dilahirkan disini di desa Somonggari, desa yang dikenal menghasilkan manggis dan durian. Dulu durian dan manggis dari desa ini dikirim hingga ke Jakarta. Tapi kini pohon-pohon tua yang tak lagi produktif banyak dipotong untuk diambil kayunya, sementara pohon-pohon baru pengantinya tidak ditanam. Jenderal Ahmad Yani juga lahir di kota ini tepatnya di Ngrendeng. Bahkan Ibu Negara saat ini punya hubungan dengan kota ini, karena Sarwo Edi, bapaknya lahir dan dimakamkan disini.

Tapi saya yakin SBY mungkin tak kenal dan tak ingat kota ini. Meski dulu sempat sekolah di Magelang, perbatasan di sebelah utara. Andai dia ingat tentu tak sulit untuk menenggok atau singgah di kota ini. Toh berkali-kali SBY datang dan menginap di Yogyakarta yang adalah perbatasan di sebelah timur. Tak butuh waktu yang lama jika SBY mau datang dengan mengendarai helikopter, andai tak mau datang mengendarai mobil atau kereta api.

Saya mencoba paham saja, mungkin Presiden, Menteri dan Gubernur enggan datang mengunjungi kota ini karena tak tahu hendak berbuat apa. Dalam rencana pembangunan yang sempat saya lihat di rak buku adik saya, saya menemukan sebuah rencana pembangunan besar-besaran yang berpotensi merubah wajah kota ini. Rencananya adalah pembangunan marina di pantai selatan. Laut memang tidak menjadi perhatian padahal perbatasan bagian selatan kota ini adalah lautan lepas dengan segala potensinya. Tapi apa mau dikata rencana pembangunan belum juga jalan tapi sang bupati keburu masuk bui. Dan yang lebih mengejutkan konon sang bupati ini memilihara dua ekor macam jawa di halaman belakang rumah dinasnya.

Berpuluh tahun saya meninggalkan kota ini, dulu saat saya pergi sebutan yang termahsyur adalah kota pensiunan, dan setelah lama pensiun kini kota ini telah menjadi kota mati.

Pondok Angkringan, 16 Oktober 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum