Pordjo
Kota ini makin sepi saja,
tidak banyak kemajuan. Lihat toko-toko di depan sana banyak yang tutup dan
terbiar menjadi sarang hantu. Begitu
kata teman SMP saya dulu ketika saya menemuinya di toko kelontong tempatnya berjualan.
Lain lagi cerita sopir angkot yang saya tumpangi, dia mengatakan sepertinya
lebih enak mencari uang di rantau dari pada disini. “Demi lembaran rupiah saya
harus ‘mendelik-mendelik’ sepanjang jalan, itupun belum tentu dapat penumpang”,
begitu katanya. Mendelik itu artinya memelototkan mata terus, memperhatikan
kalau-kalau ada penumpang di pinggir jalan atau di mulut gang.
Ketika duduk-duduk di depan
toko teman, saya memperhatikan deretan toko di depannya. Dan memang benar,
persis di depan saya duduk dulu adalah dua toko buku yang berjejer. Kini satu
sudah tutup dan yang satunya meski tetap memakai nama yang sama ternyata sudah
ganti jualannya yaitu jamu dan pulsa. Dan jalanan yang dulu setahu saya begitu
ramai kini lengang. Becak dan dokar tak lagi lalu lalang, mereka lebih suka
menunggu di pojok perempatan ketimbang berkeliling mencari penumpang. Tak heran
jika kemudian tukang becak, tukang dokar bahkan sopir angkot menjadi kenal
siapa penumpangnya.
Ketika jam menunjukkan pukul 9
malam, saya meminjam motor untuk berkeliling kota. Tak butuh waktu yang lama
untuk bisa menyusuri jalanan utama kota. Lega rasanya menyusuri jalanan di
malam hari, tak banyak kendaraan hilir mudik. Keramaian hanya ada di alun-alun
besar depan dan belakang Pendopo Bupati. Di alun-alun depan banyak orang
berjualan makanan dan minuman di sepanjang trotoar yang mengelilinginya. Ada
wahana permainan semacam becak berhias lampu-lampu yang bisa ditumpangi
keliling alun-alun. Jumlahnya ada 10 lebih namun sebagian besar terparkir.
Di alun-alun belakang ada
pasar malam dengan wahana-wahana yang mirip atau kurang lebih sama ketika saya
masih kecil dulu. Ada kincir, ombak banyu, tong setan dan istana setan. Tapi
pengunjungnya tak lagi seramai jaman dahulu. Alun-alun yang dahulu adalah
tempat pertandingan sepakbola itu kini dikelilingi oleh kios-kios permanen,
sehingga orang-orang baru tak akan tahu kalau dibalik kios-kios itu sebenarnya
ada lapangan. Yang menarik di salah satu sisi alun-alun itu kios yang menutupi
adalah kios tukang cukur, dan sampai jam 9 malam lebih masih banyak orang
memotong rambut. Sebegitu sibukkah orang-orang ini hingga harus memotong
rambutnya di malam hari, atau malu kalau harus pergi di siang hari, entahlan.
Sebelum pulang saya menelusuri
jalan utama yaitu jalan Ahmad Yani, jalanan begitu sunyi. Memang ada orang
–orang berjualan semacam angkringan namun jaraknya berjauhan. Tak ada lagi toko
yang buka, baru nanti di dekat perempatan terlihat lebih terang karena ada
swalayan waralaba yang buka 24 jam.
Begitulah cerita dari kota
kelahiran saya, Purworejo yang konon kerap dibilang sebagai kota pensiunan
karena sunyi senyap. Hampir tak terlihat derap industri di kota ini. Setahu
saya hanya ada pabrik kain mori dan es batu yang cukup kasat mata. Dulu memang
ada pabrik rokok, tapi rokok linting, klembak menyan (rokok siong) yang
kemudian lenyap ditelan jaman. Tak ada lagi yang sudi merokok klembak menyan
karena berbau ‘setan’.
Padahal ini adalah kota tua.
Buktinya ada satu gang yang dinamai gang Afrikan. Gang ini menandai kehadiran
pasukan kolonial berbadan tegap dan berkulit hitam. Sebenarnya mereka adalah
tentara Gurkha, tapi penduduk mengira mereka orang Afrika. Di sini juga ada
tangsi besar, komplek tentara Kostrad 412. Di jaman saya kecil dulu, kerap saya
menyaksikan mereka berlatih perang disawah-sawah belakang rumah. Saat itu
mereka dipersiapkan untuk ikut dalam pendudukan Timor Timur.
Menenggok sejarahnya, kota ini
melahirkan orang-orang besar. WR. Supratman dilahirkan disini di desa
Somonggari, desa yang dikenal menghasilkan manggis dan durian. Dulu durian dan
manggis dari desa ini dikirim hingga ke Jakarta. Tapi kini pohon-pohon tua yang
tak lagi produktif banyak dipotong untuk diambil kayunya, sementara pohon-pohon
baru pengantinya tidak ditanam. Jenderal Ahmad Yani juga lahir di kota ini
tepatnya di Ngrendeng. Bahkan Ibu Negara saat ini punya hubungan dengan kota
ini, karena Sarwo Edi, bapaknya lahir dan dimakamkan disini.
Tapi saya yakin SBY mungkin
tak kenal dan tak ingat kota ini. Meski dulu sempat sekolah di Magelang,
perbatasan di sebelah utara. Andai dia ingat tentu tak sulit untuk menenggok
atau singgah di kota ini. Toh berkali-kali SBY datang dan menginap di
Yogyakarta yang adalah perbatasan di sebelah timur. Tak butuh waktu yang lama
jika SBY mau datang dengan mengendarai helikopter, andai tak mau datang
mengendarai mobil atau kereta api.
Saya mencoba paham saja,
mungkin Presiden, Menteri dan Gubernur enggan datang mengunjungi kota ini
karena tak tahu hendak berbuat apa. Dalam rencana pembangunan yang sempat saya
lihat di rak buku adik saya, saya menemukan sebuah rencana pembangunan
besar-besaran yang berpotensi merubah wajah kota ini. Rencananya adalah
pembangunan marina di pantai selatan. Laut memang tidak menjadi perhatian
padahal perbatasan bagian selatan kota ini adalah lautan lepas dengan segala
potensinya. Tapi apa mau dikata rencana pembangunan belum juga jalan tapi sang
bupati keburu masuk bui. Dan yang lebih mengejutkan konon sang bupati ini
memilihara dua ekor macam jawa di halaman belakang rumah dinasnya.
Berpuluh tahun saya
meninggalkan kota ini, dulu saat saya pergi sebutan yang termahsyur adalah kota
pensiunan, dan setelah lama pensiun kini kota ini telah menjadi kota mati.
Pondok Angkringan, 16 Oktober
2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar