Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (69)

Rabu, 31 Oktober 2012

Sempitnya Patriotik Kita

Entah ada hubungan atau tidak antara sejarah yang kerap menyatakan bahwa selama 350 tahun bangsa ini melawan penjajah dengan kenyataan besarnya sifat dan perilaku ‘patriotik’ yang kini banyak dipertontonkan di penjuru negeri. Patriotik yang saya maksud adalah semangat bela bangsa (baca kelompok) untuk memerangi kelompok lainnya .

Right or wrong pokoknya is my group, begitu yang terjadi. Saya tak bisa menilai perasaan diri saya sendiri ketika di televisi melihat ratusan orang berbondong-bondong di jalanan menenteng aneka senjata tajam, mengantongi bom molotov dan berbaris bak pejuang hendak menyerang desa sebelah. Benarkah mereka hendak menjaga martabat dirinya yang diinjak oleh orang lain, jenis martabat seperti apa yang hendak dibela?. Tanpa bermaksud mengecilkan masalah yang dianggap memicu ‘perang’ atau penyerangan antara warga yang satu dengan yang lainnya, saya kerap merasa tindakan yang tersaji dalam pemberitaan adalah ‘lebay’. Apakah tidak lebay kalau ibarat memadamkan puntung rokok harus memakai mobil pemadam kebakaran, bukankah puntung rokok akan tuntas mati diinjak dengan kaki.

Kasus terakhir di Lampung misalnya, bisa dipastikan sudah ada semacam ‘dendam’ atau ‘ketidaksenangan’ komunal dari satu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lainnya. Jadi daun-daun kering sebenarnya sudah berserak dimana-mana, peristiwa yang dipersoalkan sejatinya hanya pemantik api yang mengobarkan dendam dan ketidaksenangan yang telah lama dipendam. Semenjak sumpah pemuda dikumandangkan, bangsa ini berjanji untuk bertanah air, berbangsa dan berbahasa yang satu yaitu bahasa Indonesia. Konsekwensinya, kita tak akan menyoal siapapun untuk memilih tempat tinggal, berusaha sukses dan hidup dimanapun juga selama itu berada dalam wilayah Indonesia.

Dulu di masa orde baru kita mengenal dan memaklumi ‘keakuan’ Indonesia dengan dua kategori, pribumi dan non probumi. Kita hampir tidak mempersoalkan kesukuan dalam konteks ke-Indonesian. Semua suku-suku nusantara dianggap sebagai pribumi, sah sebagai warga bangsa dan negara, yang diluar itu dianggap non pri alias penumpang bangsa dan negara ini. Maka kelompok yang selalu menjadi sasaran ketidaksenangan adalah warga keturunan China. Dan sialnya ‘ketidaksenangan’ terhadap non pri terutama yang bermata ‘sipit’ juga dilembagakan oleh negara lewat berbagai peraturan-peraturan yang membuat masyarakat keturunan China mengalami kesulitan dalam persoalan administrasi kependudukan.

Keadaan ini bergeser di masa otonomi daerah, yang awalnya berkaitan dengan kursi kekuasaan sehingga muncul istilah putra daerah. Istilah yang kemudian mengkategorisasi penduduk di sebuah wilayah sebagai penduduk lokal dan penduduk pendatang. Muncul hipotesis-hipotesis soal originalitas penduduk di sebuah kawasan. Siapa yang tidak ‘dianggap’ sebagai suku yang original di kawasan itu akan dianggap sebagai pendatang. Mereka yang kemudian sudah beranak pinak di kawasan itu, tercatat sebagai warga secara sah dalam sistem administrasi kependudukan, namun secara sosiologis tidak dianggap sebagai suku lokal maka akan dicap sebagai pendatang.

Elemen-elemen yang dulu dilekatkan kepada kelompok non pri kemudian dilekatkan kepada kelompok pendatang. Keberhasilan kelompok pendatang yang lebih besar diakibatkan oleh semangat kerja dan keinginan memperbaiki kehidupan dianggap sebagai manifestasi bentuk penghisapan atas sumberdaya lokal. Masyarakat pendatang yang berhasil kemudian dianggap perampok, berhasil menjadi kaya dan sejahtera karena berlaku tidak jujur, menipu atau main kotor pada penduduk lokal.

Ini adalah ancaman termuktahir pada bangunan kebangsaan kita saat ini. Secara sporadik bentuk-bentuk ketidaksenangan dari kelompok yang mengklaim diri sebagai ‘masyarakat lokal’ mulai gemar menyerang mereka yang dianggap ‘masyarakat pendatang’. Dan masyarakat yang dianggap sebagai pendatang tentu saja tidak terima dengan cap itu, mengingat mereka kebanyakan juga sudah putus hubungan dengan daerah yang menjadi asal usul atau tempat kelahiran kakek dan nenek (mungkin juga buyut) mereka.

Hanya saja persoalan ini kini cenderung dibiarkan, didekati dari sisi keamanan dan stabilitas bukan dari sisi spirit kebangsaan. Alhasil persoalan ini kemudian cenderung meluas dari satu wilayah ke wilayah lainnya, terjadi silih berganti. Satu dihentikan, muncul lagi di tempat lainnya. Mirip serangan kepada masayrakat keturunan China di masa lalu, yang berpindah dari satu kota ke kota lainnya seperti sebuah urutan perjalanan.

Saya kerap kali berpikir, bahwa warga negeri ini enggan menjadi patriotik bagi negara dan bangsa, semangat patriotiknya disempitkan dalam ‘keakuan’ yang berbasis pada suku atau bahkan sub etnis belaka. Tak heran jika kemudian kita lebih banyak diam, kala bangsa dan negara ini terus dinista oleh negara tetangga.

Pondok Wiraguna, 25 Oktober 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum