Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (68)

Rabu, 31 Oktober 2012


Melaknat Alam

Ketika anak saya mulai bisa berjalan, terselip sebuah kebahagiaan besar saat dia mengerti  ketika disuruh membuang kertas atu plastik ke tempat sampah. Saking rajinnya bahkan terkadang sendokpun masuk ke dalam kotak sampah. Menurut saya moralitas kebersihan itu penting dan utama untuk diketahui oleh anak-anak sejak dini. Membuang sampah pada tempatnya adalah wujud penghayatan iman pertama yang mestinya dijalankan sejak anak-anak sebelum mengimani Tuhan dengan sungguh-sungguh.

Mungkin ada yang berpikir saya keterlaluan, karena meninggikan sampah dibanding Tuhan. Persoalannya adalah rumah saya letaknya tidak jauh dari tempat pembuangan sampah sementara. Meski dibuat oleh warga di RT saya, namun saya yakin lebih dari 2-3 RT yang memanfaatkannya. Berdiri di depan rumah, memandang TPS itu tak berapa lama akan terlihat berapa rendahnya moralitas sampah masyarakat. Banyak mereka yang membuang sampah tak sudi berhenti, hanya memelankan kendaraan dan kemudian melempar sampah yang telah terbungkus plastik. Sebagiaan yang berbakat main basket atau bowling mungkin lemparannya tepat masuk ke dalam bak, tapi kebanyakan yang lain meleset dan tercecer di luar TPS.

Di hari minggu atau hari libur, opera tempat pembuangan sampah sementara lebih konyol lagi. Yang dibuang bukan sekedar sampah rumah tangga melainkan juga potongan pohon yang jumlahnya melebihi kapasitas, juga bongkaran bangunan yang tentu saja tidak akan diangkut oleh mobil sampah. Sore hari, TPS yang penuh tidak enak untuk dilihat dan kerap memancing orang-orang tertentu untuk membakar sampah yang ada di situ. Niatnya baik untuk mengurangi volume sampah hingga menjadi abu, namun dia tak memperhitungkan asap yang terkadang membawa bebauan masuk ke rumah-rumah di sekitarnya. Tak jarang mata dan hidung terasa pedih karena terpapar asap hasil pembakaran kulit bawang yang baunya menyengat.

Aneh kita adalah penghasil sampah tapi tak mau berurusan dengan sampah, pingin membuang sampah jauh dari rumah. Tak peduli tempat itu di mulut gang, di tanah kosong, yang penting jauh dari rumah sendiri. Padahal tidak semua yang kita anggap sebagai sampah adalah bahan buangan, bahan yang tak berguna lagi. Coba lihatlah dengan jeli, berapa banyak orang yang bisa hidup dengna cara berurusan pada barang yang kita anggap sampah. Banyak, jumlah anggota Front Pembela Islam sebenarnya sama banyaknya dengan Front Pemulung Indonesia.

Ada persoalan memang, bahwa sejak kecil kita hanya diajarkan membuang sampah pada tempatnya, tetapi hampir tak diajarkan bagaimana mengelola sampah, memanfaatkan apa yang kita anggap sampah agar tidak memenuhi tempat sampah, mengolah sampah organik agar tidak dibuang di tempat sampah umum. Tapi kemungkinan besar persoalan ini juga berkaitan dengan ruang. Saat ini rumah kebanyakan lebih luas dari tanahnya, tak tersedia lagi halaman, baik depan maupun belakang sehingga tak ada ruang untuk mengelola sampah.

Ini berbeda dengan saat saya kecil dulu yang tinggal di desa, kala itu rumah sebagian besar hanya sekitar 40% dari luas tanahnya sehingga tersedia ruang besar untuk membuat ‘jugangan’.  Tiap-tiap rumah mempunyai lubang sampah sendiri, ketika hampir penuh lubang itu ditutup dan membuat lubang baru. Setelah berapa lama lubang lama yang ditutup itu akan menjadi tempat untuk menanam pohon. Sampah yang telah membusuk didalamnya telah berubah menjadi pupuk organik menyuburkan tanaman yang ditanam di atasnya.

Sementara sampah rumah tangga biasanya tidak dibuang ke lubang sampah, melainkan dimanfaatkan untuk memberi makan pada binatang peliharaan. Entah itu kucing, anjing, ayam, kelinci dan lain-lainnya. Sampai dengan masa SMA, di kampung saya tak ada tempat pembuangan sampah sementara dan tak ada pula mobil pengangkut sampah yang keliling. Tak ada pula tanah kosong, ujung gang yang menjadi tempat pembuangan sampah, semua sampah diurus sendiri-sendiri oleh warga masyarakat.

Urusan sampah domestik memang kerap dianggap urusan kecil meski jumlah atau volume yang dihasilkan oleh masyarakat per harinya sebenarnya sangat besar. Dan seperti biasa urusan kecil memang tidak menarik untuk pengambil kebijakan dan masyarakat kebanyakan. Jangankan sampah kecil, sampah-sampah besar saja dibiarkan. Saya tak hendak mengada-ada, lihat saja obral besar perijinan untuk mengekploitasi sumberdaya alam yang terus dilakukan dimana-mana. Bukankan ekploitasi itu disamping menghasilkan pemasukan besar juga menghasilkan sampah besar, elemen-elemen yang mencemari bukan hanya tanah, air melainkan juga udara. Ekploitasi besar-besaran juga menimbulkan potensi bencana yang besar, dan setiap kejadian bencana selalu meninggalkan sampah yang luar biasa besarnya pula.

Sampah baik besar maupun kecil adalah sebuah pertanda bahwa kita gagal menghormati alam. Kita lebih suka atau terbiasa berlaku sebagai pelaknat alam.

Pondok Wiraguna, 27 Oktober 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum