Melaknat Alam
Ketika anak saya mulai bisa
berjalan, terselip sebuah kebahagiaan besar saat dia mengerti ketika disuruh membuang kertas atu plastik ke
tempat sampah. Saking rajinnya bahkan terkadang sendokpun masuk ke dalam kotak sampah.
Menurut saya moralitas kebersihan itu penting dan utama untuk diketahui oleh
anak-anak sejak dini. Membuang sampah pada tempatnya adalah wujud penghayatan
iman pertama yang mestinya dijalankan sejak anak-anak sebelum mengimani Tuhan
dengan sungguh-sungguh.
Mungkin ada yang berpikir saya
keterlaluan, karena meninggikan sampah dibanding Tuhan. Persoalannya adalah
rumah saya letaknya tidak jauh dari tempat pembuangan sampah sementara. Meski
dibuat oleh warga di RT saya, namun saya yakin lebih dari 2-3 RT yang
memanfaatkannya. Berdiri di depan rumah, memandang TPS itu tak berapa lama akan
terlihat berapa rendahnya moralitas sampah masyarakat. Banyak mereka yang
membuang sampah tak sudi berhenti, hanya memelankan kendaraan dan kemudian
melempar sampah yang telah terbungkus plastik. Sebagiaan yang berbakat main
basket atau bowling mungkin lemparannya tepat masuk ke dalam bak, tapi
kebanyakan yang lain meleset dan tercecer di luar TPS.
Di hari minggu atau hari
libur, opera tempat pembuangan sampah sementara lebih konyol lagi. Yang dibuang
bukan sekedar sampah rumah tangga melainkan juga potongan pohon yang jumlahnya
melebihi kapasitas, juga bongkaran bangunan yang tentu saja tidak akan diangkut
oleh mobil sampah. Sore hari, TPS yang penuh tidak enak untuk dilihat dan kerap
memancing orang-orang tertentu untuk membakar sampah yang ada di situ. Niatnya
baik untuk mengurangi volume sampah hingga menjadi abu, namun dia tak
memperhitungkan asap yang terkadang membawa bebauan masuk ke rumah-rumah di
sekitarnya. Tak jarang mata dan hidung terasa pedih karena terpapar asap hasil
pembakaran kulit bawang yang baunya menyengat.
Aneh kita adalah penghasil
sampah tapi tak mau berurusan dengan sampah, pingin membuang sampah jauh dari
rumah. Tak peduli tempat itu di mulut gang, di tanah kosong, yang penting jauh
dari rumah sendiri. Padahal tidak semua yang kita anggap sebagai sampah adalah
bahan buangan, bahan yang tak berguna lagi. Coba lihatlah dengan jeli, berapa
banyak orang yang bisa hidup dengna cara berurusan pada barang yang kita anggap
sampah. Banyak, jumlah anggota Front Pembela Islam sebenarnya sama banyaknya
dengan Front Pemulung Indonesia.
Ada persoalan memang, bahwa
sejak kecil kita hanya diajarkan membuang sampah pada tempatnya, tetapi hampir
tak diajarkan bagaimana mengelola sampah, memanfaatkan apa yang kita anggap
sampah agar tidak memenuhi tempat sampah, mengolah sampah organik agar tidak
dibuang di tempat sampah umum. Tapi kemungkinan besar persoalan ini juga
berkaitan dengan ruang. Saat ini rumah kebanyakan lebih luas dari tanahnya, tak
tersedia lagi halaman, baik depan maupun belakang sehingga tak ada ruang untuk
mengelola sampah.
Ini berbeda dengan saat saya
kecil dulu yang tinggal di desa, kala itu rumah sebagian besar hanya sekitar
40% dari luas tanahnya sehingga tersedia ruang besar untuk membuat
‘jugangan’. Tiap-tiap rumah mempunyai
lubang sampah sendiri, ketika hampir penuh lubang itu ditutup dan membuat
lubang baru. Setelah berapa lama lubang lama yang ditutup itu akan menjadi tempat
untuk menanam pohon. Sampah yang telah membusuk didalamnya telah berubah
menjadi pupuk organik menyuburkan tanaman yang ditanam di atasnya.
Sementara sampah rumah tangga
biasanya tidak dibuang ke lubang sampah, melainkan dimanfaatkan untuk memberi
makan pada binatang peliharaan. Entah itu kucing, anjing, ayam, kelinci dan
lain-lainnya. Sampai dengan masa SMA, di kampung saya tak ada tempat pembuangan
sampah sementara dan tak ada pula mobil pengangkut sampah yang keliling. Tak
ada pula tanah kosong, ujung gang yang menjadi tempat pembuangan sampah, semua
sampah diurus sendiri-sendiri oleh warga masyarakat.
Urusan sampah domestik memang
kerap dianggap urusan kecil meski jumlah atau volume yang dihasilkan oleh
masyarakat per harinya sebenarnya sangat besar. Dan seperti biasa urusan kecil
memang tidak menarik untuk pengambil kebijakan dan masyarakat kebanyakan.
Jangankan sampah kecil, sampah-sampah besar saja dibiarkan. Saya tak hendak
mengada-ada, lihat saja obral besar perijinan untuk mengekploitasi sumberdaya
alam yang terus dilakukan dimana-mana. Bukankan ekploitasi itu disamping
menghasilkan pemasukan besar juga menghasilkan sampah besar, elemen-elemen yang
mencemari bukan hanya tanah, air melainkan juga udara. Ekploitasi besar-besaran
juga menimbulkan potensi bencana yang besar, dan setiap kejadian bencana selalu
meninggalkan sampah yang luar biasa besarnya pula.
Sampah baik besar maupun kecil
adalah sebuah pertanda bahwa kita gagal menghormati alam. Kita lebih suka atau
terbiasa berlaku sebagai pelaknat alam.
Pondok Wiraguna, 27 Oktober 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar