SAGU : Kapurung, Sinonggi dan
Papeda
Saya masih sempat punya
pengalaman, melihat orang menebang pohon aren dan kemudian menarik batang pohon
itu dengan bantuan potongan batang-batang pohon sebagai rodanya. Orang
beramai-ramai menarik dari kebun menuju rumah pembuat tepung dari batang aren.
Namun kini sulit mencari pohon aren yang masih tumbuh di kampung
saya.
Seingat saya pohon aren dulu
sering di ‘deres’, menghasilkan air nira atau legen, yang bisa langsung diminum
atau kemudian dimasak hingga menjadi gula aren. Ada juga yang mengambil ijuk
yang mengelilingi batangnya, untuk dipilin menjadi tali ijuk atau diurai
kemudian dibuat menjadi sapu. Kalau
jumlahnya banyak ada juga yang membuatnya menjadi atap rumah. Tapi lagi-lagi
ini adalah cerita dulu, ketika tali plastik, nilon dan rafia belum meraja lela
sebagaimana saat ini. Sapu ijukpun kini mulai langka, diganti dengan sapu
plastik yang jauh lebih murah dan awet.
Saya sendiri tak tahu bagaimana
orang di kampung saya mengolah batang aren dan hasilnya apa?. Kelak ketika saya
di Sulawesi baru merasakan olahan dari batang sejenis aren, yang biasa disebut
sagu. Karena teman-teman saya banyak dari Ambon, saya sempat merasakan sagu
lempeng, sagu yang dicetak berbetuk kotak-kotak dan keras. Untuk memakannya
harus dicelupkan dalam kuah atau air teh. Ada juga sejenis sagu lempeng, namun
terbuat dari ubi kayu, ‘embal’ begitu
orang kepulauan Key menyebutnya. Rasanya hampir sama dengan sagu, dan cara
memakannyapun sama dengan dicelup di air kuah, teh atau kopi.
Ketika mulai berteman dengan
kawan-kawan yang berasal dari Sulawesi Selatan, pada saat tertentu mereka
memanggil untuk menikmati ‘kapurung’,
masakan dari sagu yang dimakan dengan kuah sayur dan ikan. Kapurung terasa
lebih menyegarkan dibanding sagu lempeng atau embal. Sementara orang-orang dari
kepulauan Sangihe dan Talaud lebih suka mengolah sagu menjadi sagu lempeng yang
dibakar dan disantap dengan ikan bakar. Barangkali ketika menyantah sagu
lempeng bakar, ikan yang dibakar adalah ikan-ikan segar maka terasa sungguh
nikmat.
Suatu saat ketika saya pergi ke
Sulawesi Tenggara, saya menemukan ‘Sinonggi’,
sama seperti Kapurung, sagu dimakan dengan kuah sayur, tapi yang agak
mengherankan, kuah utamanya justru dari kuah sayur nangka. Tiba-tiba saja saya
merasa ada semacam kedekatan dengan sayur favorit di masa kecil itu sehingga
Sinonggi saya lalap dengan lahap. Rupanya ada yang mengamati semangat makan
saya akibatnya setiap kali saya pergi ke Sulawesi Tenggara, Sinonggi menjadi
ritual santapan yang menetap.
Bertahun-tahun saya hanya
mendengar cerita tentang serunya makan Papeda di Papua. Teman-teman yang pulang
dari sana selalu mempunyai cerita tentang Papeda, makan lem katanya. Dan benar
ketika menginjakkan kaki di Sorong, Papua Barat, setiap sore saya diajak masak
dan makan Papeda. Sagu dimasak dengan air panas di baskom besar, dan sekilas
memang mirip lem kanji dalam jumlah yang besar. Serunya makan Papeda adalah
saat mengambil dari baskom untuk dipindah ke piring yang rasanya tidak selalu
mudah.
Bagi saya memakan sagu memang
sensasional. Ketika makan sagu lempeng saya kemudian mesti mengukur-ukur kala
minum air, sebab kalau tidak hati-hati kebanyakan minum air akan membuat sagu
mengembang dalam perut dan akibatnya perut terasa sesak. Sementara ketika
menyantap, Kapurung, Sinonggi atau Papeda, sungguh terasa perjalanannya ketika
melewati tenggorokan, ‘mak leer’ sulit untuk dibahasakan.
Pengalaman memakan sagu,
melengkapi pengalaman saya dalam hubungannya dengan bahan pangan pokok. Saya
terlahir di kebudayaan petani beras, jadi nasi adalah makanan utama saya. Namun
di jaman saya kecil, jaman yang tidak selalu enak itu, saya masih menemui
makanan pokok selain nasi yang lazim dikonsumsi saat itu. Ada Tiwul yang
terbuat dari tepung gaplek, ubi kayu yang dijemur hingga kering. Tiwul yang tak
punya rasa itu dimakan dengan ‘kluban’
dan ikan asin. Sesekali Tiwul dimasak dengan diberi gula jawa dan ditaburi
parutan kelapa, dan jadilah santapan menemani minum teh di pagi atau sore hari.
Selain tiwul ada juga Gadung,
yang dibuat dari umbi pohon yang merambat. Untuk mengolah Gadung, perlu
kehati-hatian sebab kalau tidak, makanan ini akan mengandung racun yang membuat
pusing kepala setelah memakannya. Makanan lain untuk sarapan pagi adalah ‘Grontol’ yang bahannya adalah jagung
pipil yang dimasak hingga pecah-pecah. Rebusan jagung yang telah
‘meletus-letus’ itu ditaburi dengan parutan kelapa yang agak muda, agar semakin
nikmat disiram dengan ‘Juruh’, saos
kental hasil lelehan gula jawa.
Ketika di Minahasa, saya hampir
tak menemui kebiasaan memakan makanan pokok dari Sagu. Orang Minahasa lebih
suka sarapan pagi dengan pisang rebus, bukan sembarang pisang melainkan pisang
“Goroho’. Dua tiga buah pisang Goroho rebus di pagi hari sudah cukup untuk
menganjal perut sesaat sebelum melakukan aktivitas harian. Pisang rebus ini
nikmat dimakan dengan ditemani rica, terutama rica Roa. Selain pisang Goroho,
masyarakat Minahasa dulu juga suka sarapan pagi dengan nasi Jagung. Beras
jagung dimasak dengan dicampur beras padi, nasi hasil masakan campuran jagung
dan padi ini konon tahan untuk menganjal perut orang-orang yang bekerja keras
di kebun.
Saya merasa beruntung bisa
menikmati dan mengalami sensansi menyantap aneka makanan pokok kekayaan negeri
ini. Kekayaan yang kini hampir dilupakan dan terus dilupakan. Kini anak-anak
kala bosan memakan nasi, akan lebih memilih kentang, roti dan mie yang
kesemuanya bahannya bukan dihasilkan oleh masyarakat dan kebudayaan negeri ini.
Pondok Wiraguna, 3 November 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar