Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (72)

Sabtu, 03 November 2012


SAGU : Kapurung, Sinonggi dan Papeda

Saya masih sempat punya pengalaman, melihat orang menebang pohon aren dan kemudian menarik batang pohon itu dengan bantuan potongan batang-batang pohon sebagai rodanya. Orang beramai-ramai menarik dari kebun menuju rumah pembuat tepung dari  batang aren.  Namun kini sulit mencari pohon aren yang masih tumbuh di kampung saya. 

Seingat saya pohon aren dulu sering di ‘deres’, menghasilkan air nira atau legen, yang bisa langsung diminum atau kemudian dimasak hingga menjadi gula aren. Ada juga yang mengambil ijuk yang mengelilingi batangnya, untuk dipilin menjadi tali ijuk atau diurai kemudian dibuat menjadi sapu.  Kalau jumlahnya banyak ada juga yang membuatnya menjadi atap rumah. Tapi lagi-lagi ini adalah cerita dulu, ketika tali plastik, nilon dan rafia belum meraja lela sebagaimana saat ini. Sapu ijukpun kini mulai langka, diganti dengan sapu plastik yang jauh lebih murah dan awet.

Saya sendiri tak tahu bagaimana orang di kampung saya mengolah batang aren dan hasilnya apa?. Kelak ketika saya di Sulawesi baru merasakan olahan dari batang sejenis aren, yang biasa disebut sagu. Karena teman-teman saya banyak dari Ambon, saya sempat merasakan sagu lempeng, sagu yang dicetak berbetuk kotak-kotak dan keras. Untuk memakannya harus dicelupkan dalam kuah atau air teh. Ada juga sejenis sagu lempeng, namun terbuat dari ubi kayu, ‘embal’ begitu orang kepulauan Key menyebutnya. Rasanya hampir sama dengan sagu, dan cara memakannyapun sama dengan dicelup di air kuah, teh atau kopi.

Ketika mulai berteman dengan kawan-kawan yang berasal dari Sulawesi Selatan, pada saat tertentu mereka memanggil untuk menikmati ‘kapurung’, masakan dari sagu yang dimakan dengan kuah sayur dan ikan. Kapurung terasa lebih menyegarkan dibanding sagu lempeng atau embal. Sementara orang-orang dari kepulauan Sangihe dan Talaud lebih suka mengolah sagu menjadi sagu lempeng yang dibakar dan disantap dengan ikan bakar. Barangkali ketika menyantah sagu lempeng bakar, ikan yang dibakar adalah ikan-ikan segar maka terasa sungguh nikmat.

Suatu saat ketika saya pergi ke Sulawesi Tenggara, saya menemukan ‘Sinonggi’, sama seperti Kapurung, sagu dimakan dengan kuah sayur, tapi yang agak mengherankan, kuah utamanya justru dari kuah sayur nangka. Tiba-tiba saja saya merasa ada semacam kedekatan dengan sayur favorit di masa kecil itu sehingga Sinonggi saya lalap dengan lahap. Rupanya ada yang mengamati semangat makan saya akibatnya setiap kali saya pergi ke Sulawesi Tenggara, Sinonggi menjadi ritual santapan yang menetap.

Bertahun-tahun saya hanya mendengar cerita tentang serunya makan Papeda di Papua. Teman-teman yang pulang dari sana selalu mempunyai cerita tentang Papeda, makan lem katanya. Dan benar ketika menginjakkan kaki di Sorong, Papua Barat, setiap sore saya diajak masak dan makan Papeda. Sagu dimasak dengan air panas di baskom besar, dan sekilas memang mirip lem kanji dalam jumlah yang besar. Serunya makan Papeda adalah saat mengambil dari baskom untuk dipindah ke piring yang rasanya tidak selalu mudah.

Bagi saya memakan sagu memang sensasional. Ketika makan sagu lempeng saya kemudian mesti mengukur-ukur kala minum air, sebab kalau tidak hati-hati kebanyakan minum air akan membuat sagu mengembang dalam perut dan akibatnya perut terasa sesak. Sementara ketika menyantap, Kapurung, Sinonggi atau Papeda, sungguh terasa perjalanannya ketika melewati tenggorokan, ‘mak leer’ sulit untuk dibahasakan.

Pengalaman memakan sagu, melengkapi pengalaman saya dalam hubungannya dengan bahan pangan pokok. Saya terlahir di kebudayaan petani beras, jadi nasi adalah makanan utama saya. Namun di jaman saya kecil, jaman yang tidak selalu enak itu, saya masih menemui makanan pokok selain nasi yang lazim dikonsumsi saat itu. Ada Tiwul yang terbuat dari tepung gaplek, ubi kayu yang dijemur hingga kering. Tiwul yang tak punya rasa itu dimakan dengan ‘kluban’ dan ikan asin. Sesekali Tiwul dimasak dengan diberi gula jawa dan ditaburi parutan kelapa, dan jadilah santapan menemani minum teh di pagi atau sore hari.

Selain tiwul ada juga Gadung, yang dibuat dari umbi pohon yang merambat. Untuk mengolah Gadung, perlu kehati-hatian sebab kalau tidak, makanan ini akan mengandung racun yang membuat pusing kepala setelah memakannya. Makanan lain untuk sarapan pagi adalah ‘Grontol’ yang bahannya adalah jagung pipil yang dimasak hingga pecah-pecah. Rebusan jagung yang telah ‘meletus-letus’ itu ditaburi dengan parutan kelapa yang agak muda, agar semakin nikmat disiram dengan ‘Juruh’, saos kental hasil lelehan gula jawa.

Ketika di Minahasa, saya hampir tak menemui kebiasaan memakan makanan pokok dari Sagu. Orang Minahasa lebih suka sarapan pagi dengan pisang rebus, bukan sembarang pisang melainkan pisang “Goroho’. Dua tiga buah pisang Goroho rebus di pagi hari sudah cukup untuk menganjal perut sesaat sebelum melakukan aktivitas harian. Pisang rebus ini nikmat dimakan dengan ditemani rica, terutama rica Roa. Selain pisang Goroho, masyarakat Minahasa dulu juga suka sarapan pagi dengan nasi Jagung. Beras jagung dimasak dengan dicampur beras padi, nasi hasil masakan campuran jagung dan padi ini konon tahan untuk menganjal perut orang-orang yang bekerja keras di kebun.

Saya merasa beruntung bisa menikmati dan mengalami sensansi menyantap aneka makanan pokok kekayaan negeri ini. Kekayaan yang kini hampir dilupakan dan terus dilupakan. Kini anak-anak kala bosan memakan nasi, akan lebih memilih kentang, roti dan mie yang kesemuanya bahannya bukan dihasilkan oleh masyarakat dan kebudayaan negeri ini.

Pondok Wiraguna, 3 November 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum