RICA dari Manado untuk Nusantara
Ketika konflik di Ambon (Maluku)
terjadi yang kemudian disusul konflik
Poso juga Ternate (Maluku Utara), saya masih tinggal di Manado. Mau tidak mau
Manado terpengaruh dengan kedatangan pengungsi dari daerah-daerah yang berkonflik
itu. Terutama saat pengungsian dari Maluku Utara, di Kota Manado dan Bitung,
muncul berbagai tempat penampungan pengungsi yang kemudian kerap disebut
sebagai kamp.
Dalam berbagai diskusi tentang
dampak konflik, saya dan teman-teman mengkhawatirkan posisi Manado yang bisa
saja menjadi daerah konflik berikutnya. Kekhawatiran yang wajar saja, meski
Manado saat itu dikenal sebagai daerah yang aman dengan slogannya Torang Samua
Basudara. Dalam sela-sela diskusi ada saja teman yang tidak serius menanggapi
kondisi Manado saat itu. Menurutnya Manado tetap saja akan aman, apapun kondisi
di luar. Hanya ada satu perkecualian yang menurutnya bisa membuat Manado
terguncang. Dia mengatakan “Manado bakal
rusuh kalau di kebun dan pasar tak lagi ada Rica”.
Kalau dipikir-pikir meski
sifatnya hanya gurauan, apa yang dikatakan oleh teman itu ada benarnya juga.
Ketenangan hidup di Manado memang salah satunya ditentukan oleh Rica. Naik
turunnya harga Rica bisa mempengaruhi emosi orang Manado. Ibu-ibu bakal naik
‘greel’ alias marah-marah kalau harga Rica perlahan mulai naik-naik ke puncak
gunung. Dan seberapapun mahalnya harga
Rica, pasti akan dibeli. “Mo rasa apa makang kalau nyanda ada Rica”, pendek
kata sesedap apapun makanan kalau tidak ada Rica ya percuma, susah mo maso gergantang, atau tidak
enak ketika ditelan.
Yang dimaksud dengan Rica adalah
cabe rawit, cabe yang pedasnya membuat rambut berdiri. Rica umumnya ditanam dan
berasal dari Minahasa, Gorontalo atau Palu, sementara yang berasal dari
Surabaya umumnya kurang disukai karena kurang pedas. Hampir semua masakan di
Manado selalu harus disertai Rica. Ikan goreng, terong goreng, tempe goreng,
tahu goreng semua disiram dengan saos Rica. Bahkan makan pisang goreng, ubi
goreng, singkong rebus dan pisang rebuspun selalu dicocol dengan Rica, cabe
yang ditumbuk dan akan lebih nikmat dicampur dengan ikan Roa atau Bakasang.
Hampir semua masakan yang populer
di Manado membutuhkan jumlah Rica yang banyak, karenanya banyak dinamakan
Rica-Rica. Ada ayam Rica-Rica, Babi Rica, Bebek Rica-Rica dan seterusnya.
Masakan lain yang tidak nikmat kalau tidak pedas adalah RW (masakan daging
Anjing). Tak heran, serangan pertama bagi orang yang baru datang ke Manado dan
rakus adalah sakit perut atau bahkan mencret-mencret karena perut tidak tahan
menghadapi serangan Rica.
Kebiasaan menyukai yang
pedas-pedas membuat Rica menjadi salah satu indikator penting di Kota Manado,
naik turunnya harga Rica mempengaruhi kehidupan di kota itu. Orang-orang disana
bisa jadi tak peduli pada berbagai kejadian di daerah lain, tapi bila itu
terkait dengan Rica, pasti akan jadi urusan semua orang.
Tinutan (bubur Manado) dan
Klappertart adalah salah satu kuliner yang terkenal dan populer dari Manado,
namun kekayaan kuliner yang menyumbang pengaruh besar dalam kuliner di
Indonesia adalah Rica-Rica. Kini yang namanya Rica-Rica dengan mudah ditemukan
dalam daftar menu berbagai warung, restoran dan rumah makan di berbagai penjuru
Indonesia. Meski tidak selalu sama pedasnya dengan Rica-Rica di Manado.
Saat saya pulang ke Purworejo dan
berkeliling malam hari di Lapangan Purworejo yang merupakan satu-satunya tempat
keramaian di malam hari. Tenda-tenda makanan diatas trotoar yang mengelilingi
lapangan itu banyak memajang tulisan Rica-Rica, entah itu ayam atau bebek dan juga
kelinci. Terlihat bahwa pengaruh Rica-Rica sudah meng-indonesia.
Atas cara yang lain, kebiasaan
memakan yang pedas-pedas juga menginpirasi pengusaha kuliner untuk menelurkan
menu-menu yang seba pedas. Banyak rumah makan kini memasang tagline Sambal. Sambal
menjadi menu utama untuk menarik pembeli. Ada banyak pilihan sambal yang
membuat rambut berdiri dan mulut bersiul-siul kepedasan. Bahkan untuk yang
extrims pedasnya, masakannya diberi titel Mercon. Disebut mercon karena
pedasnya terasa meledak di mulut, hati-hati untuk yang tak tahan bukan cuma
mulut yang terasa robk, kepalapun bakal ikut nyut-nyutan.
Untuk mengambarkan masakan yang
sangat pedas, orang Manado kerap berucap “Pedis Manucu”, atau pedasnya terasa
sampai menusuk ulu hati. Makan makanan yang pedas memang bisa jadi menyiksa
diri, tapi jauh lebih nikmat dari pada makan makanan yang pahit. Apa enaknya
hidup di Indonesia yang dalam banyak hal mulai terlihat dan terasa kecut serta
pahit ini kalau tidak dihantam dengan masakan pedas.
Maka rasanya tidaklah lebay
apabila saya berucap “Rica dari Manado untuk Nusantara”.
Pondok Wiraguna, 2 November 2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar