Kekerasan Massal
Suatu siang di Jalan Danau
Maninjau dari kejauhan saya menyaksikan kerumuman banyak orang dewasa di
pinggir jalan. Dalam hati saya menduga tengah ada perkelahian atau keributan
sehingga saya memperlambat laju kendaraan sambil bersikap waspada. Ketika melewati kerumunan itu ternyata ada
seorang laki-laki diikat di tiang listrik, saya lihat beberapa orang
melayangkan bogem mentah ke kepalanya baik dari depan maupun dari belakang. Beberapa ibu-ibu mencegah orang memukuli
laki-laki itu, namun tetap saja berkali-kali pukulan lolos mengenai kepala
orang itu. Bahkan kemudian ada yang mengambil balok dan memukul tepat di
kepala, balok yang nampaknya sudah lapuk, patah ketika membentur kepala orang
itu dengan keras.
Usut punya usut ternyata laki-laki
itu ditangkap warga karena masuk ke dalam rumah orang diam-diam. Jadi warga
yang menangkapnya menyimpulkan laki-laki itu patut diduga hendak mencuri.
Pasalnya apa urusannya orang asing, tidak dikenal oleh orang sekitar situ,
diam-diam masuk ke dalam rumah orang. Setelah beberapa lama dibogem dan
dipukuli akhirnya datanglah polisi yang kemudian mengangkutnya dalam mobil
patroli.
Sekilas ketika melihat sang
terduga pencuri itu dipukuli, orang-orang yang berkerumun dan menghajar dengan
aneka pukulan seakan punya niat untuk ‘menghabisi’-nya hingga tuntas. Sang
terduga pencuri dihajar bukan karena kekesalan warga atas upayanya ‘yang
diduga’ hendak melakukan pencurian. Pukulan warga pasti berisi segenap
kejengkelan atas pencurian-pencurian di hari-hari yang lalu. Bisa jadi sang
terduga pencuri ini telah dianggap biasa mengambil barang diam-diam di daerah
itu.
Masyarakat secara kolektif
kerap menyimpan kekesalan bahkan dengan bersama atas sesuatu yang terjadi
berulang namun pelakunya tidak terindentifikasi, tidak tertangkap dan tidak
ditangani secara semestinya oleh para penegak hukum. Di banyak tempat perlakuan
terhadap pencuri (orang yang diduga mau mencuri) lebih lugas, dibunuh dengan
disiksa secara sadis. Ada yang disiram bensin lalu dibakar, dipukuli dengan
benda keras, dihantam dengan batu.
Amuk massa seperti itu tidak
hanya terjadi pada pencuri saja melainkan pelaku-pelaku kejahatan lain yang
tertangkap tangan saat (diduga) hendak atau tengah melakukan aksinya. Bahkan
beberapa kejadian seseorang yang sungguh-sungguh tidak melakukan kejahatan
namun diteriaki maling oleh sekumpulan orang
hidupnya bisa berakhir, namanya saja yang pulang ke rumah.
Kecenderungan massa untuk
melakukan penyelesaian persoalan dengan kekerasan semakin lama semakin besar meski
perundangan dan aparat penegak hukum telah disempurnakan serta direformasi dari
hari ke hari. Apa yang terjadi di hadapan kita kita adalah ironi dan
kontradiksi, di negara yang berazas demokrasi, hukum adalah panglima, kekerasan
masih terus terjadi secara telanjang di hadapan mata dan pelaku-pelaku
dibiarkan bebas begitu saja tanpa konsekwensi apapun.
Padahal bukan sekali dua kali
kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat secara bersama-sama ini menimpa korban
yang sama sekali tidak bersalah, orang yang secara semena-mena dituduh hanya
karena kurang cekatan menjawab, hanya karena mempunyai ciri-ciri yang
diasosiasi terkait dengan kejahatan yang dipikirkan oleh masyarakat, hanya
karena salah berada di sebuah tempat, atau bahkan hanya karena keisengan segerombol
orang.
Kejadian ini tentu saja
menyakitkan bukan hanya bagi korban melainkan juga bagi orang terdekat,
keluarga dan teman-teman baiknya, yang kemudian akan menyimpan kekesalah, rasa
sakit hati yang kalau tidak diselesaikan akan berubah menjadi dendam yang
tersimpan membatu dalam hati. Dendam yang sewaktu-waktu bisa meluap dengan cara
yang sama yaitu amuk yang tak terkendali.
Inilah yang disebut dengan
lingkaran kekerasan, bahwa kekerasan akan melahirkan kekerasan baru demikian
seterusnya tanpa henti. Akan lahir korban,
kambing hitam atau sasaran untuk sebuah kekerasan ekplisit. Adalah tugas
kita semua untuk memutus lingkaran kekerasan dengan menyerahkan segala
persoalan yang telah diatur oleh Undang-Undang ke tangan otoritas hukum. Dan
adalah tugas otoritas hukum untuk menyelesaikan persoalan dalam koridor moral
keadilan yang pada gilirannya akan membuat masyarakat percaya dan tunduk kepada
Undang-Undang.
Pondok Wiraguna, 10mNovember
2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar