Gunung : Tak Kan Lari Walau Dikejar
Sejak kecil saya mengemari
kegiatan petualangan di alam bebas, lintas alam begitulah saya dan teman-teman
menyebutnya dahulu. Saking bersemangatnya ketika SMP dulu, saya dan ke empat
teman lain sampai mbolos sekolah hanya untuk mengikuti lomba lintas alam yang
diselenggarakan oleh KNPI dalam rangka peringatan hari kemerdekaan RI.
Berbekal kostum yang digambar
sendiri dengan spidol besar, berlima kami memacu langkah, menelusuri jalanan
menuju perbukitan, menuruni lembah, menyebrang sungai, berlari di pematang
sawah menempuh jarak puluhan kilo meter yang membentang di tiga kecamatan.
Hasilnya sebelum mencapai finish, kami berlima giliran terkena kram.
Setiap hari minggu, saya dan
teman-teman sering memanfaatkan waktu untuk menelusuri berbagai perbukitan yang
jaraknya tak jauh dari tempat tinggal saya. Terkadang kami naik dari sisi barat
kampung dan pulang dari sisi timur kampung dengan badan perih, penuh bilur
lantaran tersayat rumput-rumput tajam. Meski lelah tetapi selalu menyenangkan,
karena di atas perbukitan itu ada buah-buahan yang bisa dipetik seperti jambu
kluthuk (jambu biji), jambu monyet, asam dan duwet.
Meski gemar berpetualangan,
naik turun bukit, tapi tak pernah sekalipun saya bergabung dengan kelompok pencinta
alam. Saya melakukan kegemaran berpetualang di alam bebas secara bebas, hanya
bersama gerombolan teman-teman yang punya kegemaran serupa.
Mendaki gunung yang
sesungguhnya untuk kali pertama justru terjadi di Sulawesi Utara. Gunung
pertama yang saya daki adalah gunung Klabat. Dengan pengetahuan yang terbatas
dan persiapan yang minim, gunung ternama di Sulawesi Utara itu saya daki
bersama lima teman lainnya. Meski perlahan akhirnya kami bisa sampai puncak
dalam keadaan kedinginan lantaran tak membawa jaket tebal dan tenda. Sepulang
dari pendakian itu, salah seorang teman terkapar di tempat tidur lantaran
terserang malaria.
Gunung berikutnya yang saya
daki adalah Gunung Soputan, gunung api yang masih aktif namun tak terlalu
tinggi. Hanya saja perjalanannya untuk mencapai puncaknya terasa jauh. Siang
hari menelusuti bebukitan hingga sampai di pos istirahat berupa kawasan hutan
pinus. Disana kami mendirikan tenda untuk istirahat menunggu subuh untuk
kemudian berjalan mendaki hingga puncaknya. Gunung Soputan adalah gunung
favorit untuk pendakian, tak heran jika pos istirahat terasa selalu ramai.
Banyak yang tinggal berkemah sampai berhari-hari lamanya. Soal kebutuhan
makanan dan minuman, tak perlu dikhawatirkan, sebab siapapun yang telah
terbiasa tak butuh waktu lama untuk turun naik dari pos istirahat ke kampung di
kaki gunung itu.
Setelah Soputan, gunung lain
yang saya daki adalah gunung Mahawu, Masarang dan Lokon. Ketikanya adalah
gunung yang terletak di Kota Tomohon dan bukanlah gunung yang tinggi. Ketika
gunung ini adalah lokasi yang cocok untuk melakukan olahraga hiking, karena tak
butuh waktu lama untuk naik dan menuruninya.
Pengalaman pendakian terakhir
dan sekaligus paling berkesan adalah pendakian di Gunung Lokon Tua. Saat itu
saya tengah terlibat dalam kampanye pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan.
Saat mengambil fokus kampanye tentang Non Timber Forest Product (hasil hutan
non kayu), saya mengikuti kegiatan pencari rotan di Gunung Lokon Tua.
Berangkat bersama pencari
rotan, berbekal beras dan bumbu dapur serta gula kopi, kami menaiki badan
gunung perlahan sambil memperhatikan kanan kiri menandai di mana nanti rotan
yang akan diambil. Dalam perjalanan pencari rotan menyempatkan menebang
beberapa ruas bambu, ternyata untuk mengambil air yang ada di ruas batang
bambu. Air itu dimasukkan dalam jerigen, karena haus saya langsung menenggak
air dari potongan ruas bambu dan ternyata segar rasanya.
Ketika matahari mulai redup,
kami sampai di puncak. Segera kami menyiapkan tempat untuk dipakai bermalam.
Satu lembar terpal dihamparkan dan selembar lainnya dijadikan atap. Dingin
mulai berhembus, dan dengan tungku darurat mulailah pencari rotan memasak air
panas untuk membuat kopi. Beberapa orang lain mencari dedauanan dan batang
bambu, ternyata daun dan bambu dipakai untuk memasak nasi dan juga sayuran dari
dedaunan yang ada di hutan. Malam itu kami menyantap nasi dan sayur yang
dimasak diatas gunung, sementara lauknya adalah bekal yang dibawa dari kampung.
Setelah bersantap dan hari
mulai gelap beberapa pencari rotan mulai sibuk memasang jaring untuk menjerat
kelelawar. Ada juga yang mulai membuat bunyi-bunyian dengan mengesekkan batang
bambu pada parang, konon bunyi itu untuk memancing tikus keluar dari
persembunyiannya. Tikus hutan atau kawo’ adalah binatang buruan favorit bagi
orang Minahasa. Tikus dengan ujung ekornya berwarna putih adalah salah satu
jenis santapan istimewa. Selain dijerat
atau dijebak dengan perangkap, cara menangkap tikus ini adalah dengan ditembak
memakai senapan angin. Tikus yang ada di dahan jika tersorot lampu akan diam,
dan saat itulah bidikkan diarahkan. Harus tepat agar ketika terjatuh tikus itu
sekarat atau mati, kalau tidak maka akan lari dan susah ditemukan.
Bermalam di gunung, beratap
langit dalam buaian aneka suara membuat saya belajar betapa kecilnya diri kita
di hadapan alam. Meski demikian kita akan nyaman apabila mampu menjadi bagian
dari alam, menikmati segenap berkah kehidupan yang dibawa olehnya. Dengan
pelajaran ‘camping’ di alam bebas, saya menemukan bahwa alam menyediakan apa
yang kita butuhkan dengan berbagai cara dan cukup atau tidaknya akan tergantung
dari bagaimana cara kita memanfaatkannya. Rotan di gunung Lokon Tua yang tidak
terlalu banyak jenisnya mampu menghidupi keluarga para pencari rotan. Om Atik adalah
salah satunya, laki-laki berusia 50 tahunan ini terus mewariskan tata cara
pemanenan rotan, agar rotan-rotan itu terus ada dan membuat dapur mereka tetap
mengepul dan kehidupan terus berputar.
Atas salah satu cara, meski
tanpa belajar dan menjadi aktivis lingkungan hidup, Om Atik telah mempraktekkan
langkah ‘pengelolaan pegunungan yang berkelanjutan’.
Pondok Wiraguna, 12 November
2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar