Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (90)

Kamis, 15 November 2012


Sekolah Yuk
Saat masih tinggal bersama orang tua, saya melihat sendiri betapa sengsaranya bapak dan ibu kala adik saya mogok sekolah. Pagi-pagi yang seharusnya tenang berubah menjadi gaduh dan riuh karena bapak dan ibu mulai dari cara halus sampai kasar memaksa adik saya yang tanpa alasan tak mau berangkat sekolah.

Pengalaman yang sama saya lihat juga pada kakek dan nenek, yang selalu kerepotan karena adik bungsu ibu saya juga kerap mogok sekolah. Berkali-kali mogok dan berkali-kali minta pindah sekolah sehingga selalu membuat tambahan kesibukan yang tak perlu untuk kakek dan nenek.

Kelakuan yang sama ditunjukkan oleh seorang kemenakan, yang tanpa alasan juga kerap mogok sekolah. Para profesional mulai dari dokter hingga psikolog anak diminta untuk mendignosa masalah dan mencari jalan keluar. Tiap kali treatment berhasil, mau sekolah lagi dan orang tua mulai lega, kembali lagi kemenakan berulah, begitu seterusnya. Syukur masa Sekolah Dasar dilahapnya meski dengan nilai akhir yang pas-pasan. Badai datang kembali, belum tiga bulan sekolah di SMP, kemenakan saya ini mogok kembali.

Dan tak seperti kebanyakan anak yang malu kalau tidak sekolah, kemenakan saya ini malah bertingkah sebaliknya. Pagi-pagi ketika teman-temannya berangkat ke sekolah, dia ini ikutan juga keluar rumah, mengendarai motor keliling kampung. Orang-orang disekitarnya kemudian menjulukinya sebagai Pak Lurah.  Siangnya ketika teman-temannyapulang sekolah, dia bermain dengan teman-temannya hingga sore hari tanpa beban. Tentu saja ini membuat beban batin kedua orang tuanya menjadi berat. Bapaknya yang sehat-sehat sempat terkena stroke ringan gara-gara kelakuannya ini.

Berkaca pada pengalaman itu, sebagai orang tua seorang putri, saya merasa gembira karena putri saya hampir tak pernah terlihat gejala malas pergi ke sekolah. Entah apa yang membuat dia bersemangat pergi ke sekolah, apakah karena ingin bermain dengan temannya atau pergi jajan di kantin, saya tak terlalu peduli.

Saya ingat ketika masih di TK dulu, biarpun hujan deras, dia tetap memaksa untuk pergi ke sekolah. Padahal sekolahnya kerap kena banjir sehingga kalau hujan dari semalam biasanya tidak ada pelajaran. Tapi meski diingatkan begitu, tetap saja dia ingin pergi ke sekolah, kalau benar nanti sekolahnya kebanjiran baru dia rela tidak bersekolah.

Sekarang putri saya sudah kelas satu SD, masih terbata-bata ketika diminta membaca. Saya dulu memang tidak memaksa dia untuk belajar membaca saat masih TK, menurut saya biarlah dia bermain saja dan mengenal atau belajar apa yang ingin dipelajarinya. Saya tahu bahwa ketika masuk SD dan kemudian belum cukup lancar membaca maka akan mengalami kesulitan. Dan benar memang begitu karena semua buku paket mengandaikan anak-anak sudah bisa membaca.

Entah karena merasa tertinggal dari sebagian temannya, anak saya kemudian mau untuk ikut les membaca yang awalnya tidak menarik minatnya sama sekali. Setelah mengikuti les perkembangan kemampuan membacanya terlihat meningkat. Dan itu wajar saja karena suasana dan sistem belajar di tempat les dan sekolah berbeda. Di tempat les muridnya lebih sedikit, setting tempat belajarnya juga berbeda sehingga guru berdekatan dengan muridnya serta lebih fokus karena yang dipelajari hanya baca tulis, atau berhitung saja.

Ketika satu tingkatan les dilewati, saya tawarkan untuk les privat di rumah saja, ternyata anak saya tidak mau, dia tetap ingin melanjutkan pelajarannya tambahan di tempat lesnya selama ini. Sepertinya dia menyukai belajar di tempat les dengan suasana yang cocok untuknya. Dan memang benar tempat les walau didesain dengan tingkatan (kelas) suasananya jauh lebih bebas dibanding dengan kelas di sekolah-sekolah umum. Siswa bisa duduk bebas, dengan susunan meja berkeliling sehingga lebih dekat dengan gurunya.

Suasana belajar seperti inilah yang sebenarnya dibutuhkan dengan anak-anak. Anak-anak yang masih belajar untuk berkonsentrasi, masih perlu bantuan dari guru untuk segala sesuatunya. Yang mengherankan untuk saya kenapa sekolah-sekolah umum tidak belajar pada lembaga-lembaga pendidikan di luar sekolah yang nampaknya makin lama makin disukai oleh anak-anak. Hampir tak pernah terlihat wajah murung dan malas dari anak-anak yang pergi mengikuti pelajaran tambahan di tempat les.

Gejala-gejala banyak anak stress di sekolah umum mulai kentara, terlalu banyak pelajaran yang harus diketahui dan dihafal membuat anak-anak pergi dan pulang sekolah menanggung beban baik secara fisik maupun mental. Dengan beban yang berat kemungkinan prestasi anak-anak menjadi kurang baik, semangat belajarnya kurang tinggi. Sampai dirumah orang tua yang khawatir akan perkembangan pengetahuan anaknya menjadi keras dan terkadang kasar untuk menekan anak agar belajar.  Dan jika ini terjadi terus menerus, anak-anak bukannya takut melainkan malah bisa jadi protes dengan mogok sekolah.

Kemenakan saya yang baru lulus SD dan belum lama masuk SMP mogok sekolah. Tentu saja orang tuanya panik dan bingung. Namun tak berhasil membujuknya. Hingga kemudian kemenakan saya bersedia belajar dengan sistem Home Schooling, dengan siswa yang terbatas dan belajar seminggu tiga kali. Kini sudah lebih dari tiga bulan, kemenakan saya ini mengikuti pelajaran di home schooling dan senang-senang saja karena bisa pergi belajar dengan pakaian bebas. Hanya saja dengan sistem pembelajaran seperti itu, balik menimbulkan beban berat untuk orang tua. Untuk belajar yang membuat anak nyaman, dibutuhkan biaya per semester sekitar tiga juta rupiah plus iuran bulanan sekitar empat ratus ribu rupiah.

Atas semua pengalaman dari kemenakan saya itu, saya bersyukur bahwa anak saya terus bersemangat mengikuti pelajaran di sekolah. Sampai hari ini belum pernah satu haripun absen mengikuti pelajaran di kelas. Bahkan suatu hari dia menyembunyikan keadaannya yang kurang sehat sehingga saya ditelepon gurunya untuk menjemput di sekolah dan membawanya pulang beristirahat.

Saya percaya bahwa anak-anak selalu mempunyai keinginan untuk tahu banyak hal dan tugas saya adalah menjaga itu tanpa menambah beban untuknya dengan menitipkan apa yang saya inginkan agar anak saya ketahui. Saya mencoba terus untuk belajar agar mempercayai anak sambil menemani dan membantunya dikala bantuan saya dibutuhkan olehnya.

Pondok Wiraguna, 14 November 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum