Malioboro bukan Malboro
Ingat Yogya, pasti ingat
Malioboro. Sebuah kawasan yang selalu menjadi tujuan para pelancong nusantara
kala berkunjung ke Yogyakarta. Dulu kerap kali saya tertukar-tukar kala
menyebut Malioboro dengan Malboro, merk rokok putih produksi Amerika. Setiap
kali ke Yogya, saya selalu menyempatkan diri mampir ke Malioboro, berjalan dari
ujung mulai dari ‘teteg’ Stasiun Tugu sampai Pasar Bringhardjo atau Mirota
Batik sebelum perempatan dekat Kantor Pos.
Malioboro bukan sekedar nama
sebuah jalan dan tempat keramaian tradisional
yang konon sudah ada semenjak tahun 1758. Malioboro merubahan garis
dalam ruang spiritual yang menghubungkan antara Gunung Merapi, Tugu, Keraton
Yogya dan Segoro Kidul (laut selatan). Nama Malioboro sendiri berasal dari
bahasa Sansekerta yang berarti karangan bunga. Dinamakan begitu karena dulu di
kanan kirinya dipenuhi dengan tanaman bunga.
Berhubungan dengan bunga atau
kembang, tak jauh dari ujung Malioboro yang berada di sebelah timur Stasiun
Tugu, ada sebuah gang yang menjadi legenda. Daerah yang terkenal dengan sebutan
Sarkem alias Pasar Kembang. Dilihat dari namanya maka Sarkem mempunyai hubungan
dengan Malioboro yaitu sama-sama mengandung kata bunga. Dan bunga-bunga di
Sarkem adalah wanita-wanita malam yang berawal dari sejarah ‘pergundikan’ di
masa-masa pendudukan Belanda.
Menelusuri jalan Malioboro dan
sekitarnya cukuplah bagi kita untuk mendapat adukkan pengetahuan dan pengalaman
tentang Yogya mulai dari sejarah sampai kehidupan kontemporernya. Bangunan bersejarah
berada di bagian selatan, sekitar perempatan dimana disana ada Monumen Serangan
Umum 11 Maret. Monumen dengan halaman yang luas itu sering dipakai sebagai
lokasi konser dadakan dan pertunjukan tari serta seni tradisional lainnya.
Berhadapan dengan monumen itu, diseberang jalan adalah Istana Negara dengan
hamparan rumput hijau di halaman. Disebut sebagai Istana Negara karena pernah
ditempati oleh presiden Sukarno kala ibukota Indonesia pindah ke Yogyakarta.
Di sebelah monumen masih
berdiri kokoh Benteng Vredeburg, yang kini ramai menjadi lokasi wisata sejarah
sekaligus kerap menjadi tempat ekshibisi untuk memamerkan karya-karya seniman
di berbagai bidang. Vredeburg dalam bahasa Belanda berarti jembatan
kemerdekaan. Diseberang jalan bagian selatan monumen, masih tersisa bangunan
tua bercorak Belanda dan kini dipakai sebagai Kantor Pos, Gedung BI dan BNI.
Dan ke arah timur tak jauh dari monumen itu, ada tempat favorit kesukaan anak
saya yaitu Taman Pintar. Taman yang dibangun di lokasi yang dulu lebih dikenal
sebagai Shopping Centre, pasar buku besar di kota Yogya.
Di bagian utara monumen,
terletak pasar monumental yaitu Bringhardjo yang berasal dari kata Beringin
(pohon Beringin) dan Hardjo (harapan akan kesejahteraan rakyat). Pasar
tradisional ini dulu dikenal sebagai kerajaan copet, tak heran disepanjang
lorong pasar ini diberi papan peringatan ‘awas copet’. Pasar yang merupakan
pusat dari segala macam produk batik ini lorongnya memang sempit, maka pada
hari-hari yang ramai perlu kesabaran untuk mencari apa yang kita inginkan
karena kita mesti berdesak-desakkan di lorongnya yang sempit. Diseputaran pasar ini, bagian depan, kanan
dan kiri kita bisa menemukan penjual pecel disertai baceman tahu-tempe-ayam,
sate, dawet dan jajanan tradisional lainnya. Bahkan saya masih menemui penjual
buah ‘cimplukan’ di samping bagian depan.
Malioboro sebagai sebuah
kawasan sesungguhnya adalah Mall yang maha raksasa dengan arcade panjang di
sisi kanan kirinya. Dan disepanjang kanan kiri itu berjejer baik toko maupun lapak-lapak
pedagang kaki lima dengan komoditas utama pakaian dan pernak-perniknya serta
makanan dan jajanan. Cinderamata aneka rupa, dengan trend berganti tahun demi
tahun berjejer di sepanjang jalan Malioboro, soal harga, ketrampilan menawar
menjadi kuncinya. Menelusuri jalanan Malioboro pasti kita akan menemui
sekelompok orang menawarkan Dagadu, kaos Yogya yang melegenda hingga menjadi
merk generik untuk kaos-kaos dengan kata-kata unik. Sejatinya kini di sepanjang
Malioboro muncul brand-brand lain seperti garenk, capung, mronggos dan lain
sebagainya, namun nama Dagadu terlanjur lebih mudah melekat di lidah. Dagadu
berarti matamu, diambil dari bahasa yang diramu berdasar huruf Jawa yang
dipakai di kalangan GALI (Gabungan Anak Liar), kelompok preman yang dulu
tersohor di Yogyakarta.
Di chanel HBO ada sebuah mata
acara yang berjudul Scam City, berisi modus-modus penipuan maupun kelicikan
dari orang-orang setempat di lokasi keramaian kota. Dan Malioboro pun mempunyai
cerita yang sama. Warung-warung makan di sepanjang Malioboro di malam hari
(terutama di jalur depan antara hotel Ina Garuda dan Malioboro Mall) dulu
dikenal hanya memasang nama menu tanpa disertai harga. Mereka yang memesan
makanan dan ditenggarai berasal dari luar Yogya (dikenali dari logat atau wajahnya)
akan dikenai harga yang selangit. Praktek ini kemudian membuat orang-orang
malas bersantap di sepanjang jalur Malioboro.
Masih ada banyak cerita
tentang Malioboro yang bisa diekplorasi. Tak cukup waktu sehari untuk mengenali
berbagai macam cerita dan pengalaman di sekitar Malioboro. Namun jangan
khawatir, ketika ke Yogya dan ingin mengenal Malioboro dari dekat, maka
tinggallah di sekitar jalan Ndagen, Sosrowijayan atau Pasar Kembang, disana
banyak hotel, losmen, guest house mulai dari yang bertarif puluhan hingga ratusan ribu semalam, tergantung dari
tebal tipisnya kantong kita. Hanya saja pada masa-masa liburan besar perlu
perjuangan untuk mendapatkan kamar.
Kala malam, kaki pegal dan
badan cape tapi tak ingin menghabiskan waktu di dalam kamar, carilah taksi dan
minta sopir untuk mengantar ke Taman Purawisata. Dengan tiket masuk 10 – 15
ribu kita akan menyaksikan penampilan grup musik mulai dari lagu-lagu kenangan
sampai goyang dangdut nan asoy. Buat saya, duduk di Taman Purawisata, ditemani sebotol
bir sambil menyaksikan sekelompok orang menari-nari bergoyang di depan panggung
menjadi hiburan tersendiri.
Nah, bagi yang punya keinginan
untuk mendapat pengalaman ‘lebih’, coba saja pulangnya naik becak. Kalau kita
naik becak sendirian di malam hari, kebanyakan tukang becak akan bertanya
“tidak cari teman mas/pak, mahasiswi, masih muda-muda dan tidak mahal”. Nah
...lo ....!!!. Selanjutnya terserah anda.
Pondok Wiraguna, 15 November
2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar