Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (92)

Jumat, 16 November 2012


Data Mencerdaskan Bangsa

Perihal berterus terang dan terbuka ternyata masih menjadi persoalan besar meski UU Kebebasan Informasi Publik telah disahkan dan diberlakukan di republik ini. Hambatan untuk terbuka, memberi informasi tanpa prasangka ternyata masih sangat berat. Mulai dari yang remeh temeh sampai alasan-alasan lain yang kadang sulit untuk dijawab oleh peminta informasi lantaran pertanyaannya aneh bin ajaib. Contohnya seorang teman meminta informasi di sebuah instansi pemerintah kabupaten, tahu yang meminta adalah organisasi yang berasal dari kota lain, lantas ditanya “Untuk apa, anda yang berasal dari Kota X, minta data dan informasi dari daerah ini?”.

Masih ada cerita lain dari kawan yang meminta informasi dengan surat tugas dari sebuah lembaga yang ada di Ibukota. Surat tugas itu justru jadi malapetaka, sebab belum juga dijawab ada atau tidaknya data yang diminta, kawan tadi langsung disoal. Data atau informasi tak bisa diberikan kepada badan atau organisasi yang namanya tidak terdaftar resmi pada badan terkait di daerah itu.

Sebaiknya jika mengalami hal-hal seperti itu jangan langsung panas kepala dan mendidih hati kita. Rasanya percuma mau menerangkan isi dari UU KIP kepada mereka. Sebab jangan-jangan bentuk dan wujud UU-nya saja belum pernah mereka lihat. Saya yakin seyakin-yakinnya sebagian besar aparatur negara di daerah tidak tahu apa itu PPID (Pejabat Pemberi Informasi Daerah). Lebih konyol lagi, ketika menjawab pengajuan permintaan informasi ada yang menjawab ‘Kalau kami tak mau memberikan, mau apa?”. Nah, diminta informasi malah mengajak berkelahi.

Ada berbagai macam dalih, saat disebutkan bahwa permintaaan informasi harus ditanggapi sebagaimana diamanatkan oleh UU, salah satunya adalah dengan menyatakan bahwa PPID belum ditunjuk, atau belum keluar peraturan daerah tentang hal itu. Padahal mestinya tak perlu sibuk-sibuk menunjuk petugas baru atau malah menyekolahkan orang-orang tertentu untuk menduduki jabatan itu. Cukup memanfaatkan sumberdaya yang ada selama ini, toh di dalam setiap badan atau organisasi biasanya telah ada jabatan humas. Bukankah mereka sudah terbiasa memberikan informasi, menyebarluaskannya entah kepada media atau melalui cara-cara lainnya.

Ketika berbicara soal kebebasan informasi, saya merasakan ada semacam tembok besar di kalangan aparatur negara juga mereka-mereka yang menerima atau menggunakan dana pemerintah nasional maupun daerah. Tembok yang dibangun atas dasar ketakutan, sikap yang berlebihan dan hitung-hitungan yang dilandasi atas buruk sangka. “Kami bisa saja memberikan data yang diminta, tapi harus dipastikan data itu digunakan untuk hal-hal yang baik”, begitu perkataan yang sering terdengar dari para pihak yang berwenang.

Terkadang muncul dalam benak saya, bahwa dalih maupun dalil yang diucapkan tak lebih dari sekedar ingin cari mudah, entah karena data tidak ada, tersebar sehingga makan waktu untuk mengumpulkannya atau yang lebih celaka karena mereka memang melakukan hal-hal yang tidak baik. Adalah celaka misalnya data-data yang dikumpulkan sembarangan dan menghasilkan informasi yang tidak akurat diketahui oleh pihak lain.  Maka tinimbang mempermalukan diri dan instansi maka ditahanlah data-data itu agar tidak tersebar ke publik. Cukuplah data-data itu hanya diketahui antar sesama mereka yang memakai platform TST (tahu sama tahu).

Setahu saya UU mengisyaratkan agar data atau informasi bisa diperoleh dengan cara yang cepat, mudah dan murah. Sebuah slogan yang sebenarnya tidak sulit untuk diwujudkan dalam jaman segala sesuatu sudah serba online. Apa sulitnya setiap institusi atau lembaga pemerintah menyusun sebuah sistem informasi yang berbasis pada Tehnologi Informasi Komunikasi. Dan kemudian masing-masing sistem itu diintegrasikan dalam sebuah sistem yang terkoneksi dan ditampilkan dalam bentuk situs web sehingga dengan sekali klik apa yang dibutuhkan oleh pencari informasi bisa tersaji.

Jejak untuk terus terang dan terbuka sebenarnya bisa dilacak di beberapa situs milik pemerintah daerah di mana tersedia halaman sistem informasi perencanaan dan pembangunan daerah. Di halaman itu tersedia berbagai kategori informasi beserta turunannya, lengkap dan detail. Pesoalannya, halaman itu hanya menyediakan form tanpa isi. Ataupun kalau ada informasi maka umurnya sudah tua, lebih dari lima tahun yang lalu.

Jika ditanyakan soal kenapa situs-situs milik pemerintah daerah atau SKPD sering tidak update informasinya, jawaban yang klasik adalah kurangnya sumberdaya untuk mengelola situs tersebut. Saya heran, sumberdaya apa lagi yang dibutuhkan?. Bukankah pengelola situs hanya bertugas untuk mengupload data di halaman atau form yang tersedia. Sementara isi atau informasi yang dibutuhkan semua berasal dari pekerjaan atau program-program rutin dari masing-masing lembaga.

Jadi kalau boleh disimpulkan sebenarnya pemerintah dan lembaga publik lainnya sebenarnya mempunyai masalah yang sama soal ketersediaan data, data yang valid, terus menerus diperbaharui dan terpusat. Nampak jelas dalam sebuah organisasi  dimana didalamnya ada berbagai bidang, masing-masing menyimpan datanya sendiri-sendiri, digunakan hanya demi kepentingannya sendiri.

Kekhawatiran bahwa jika data diberikan kepada pihak luar lalu akan digunakan untuk kepentingan yang tidak benar, bagi saya adalah taktik untuk menutupi mutu data yang rendah yang bisa dipakai oleh pemohon untuk mengkritik pemberi data. Dan saya yakin seyakin-yakinnya kebanyakan birokrat kita bertelinga tipis, tak tahan dikritik tapi tak mau juga memperbaiki diri.

Saya pernah membaca semacam slogan yang berbunyi ‘Data Mencerdaskan Bangsa’ dalam sebuah publikasi dari BPS. Semoga slogan indah ini bukan sekedar kata-kata sampah.

Pondok Wiraguna, 16 November 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum