Amatan Acak : AKU dan NUSANTARA (89)

Senin, 12 November 2012


Damai Bersama Kopi

Suatu kali saya pernah menyumpah salah satu cafe di bilangan Samarinda, lantaran pelayanan di cafe yang saat itu belum lama dibuka lambat dan tidak akurat. Saya berjanji nggak akan mau lagi singgah di cafe itu, titik. Dan berbulan-bulan setelahnya saya masih teguh memegang sumpah dan janji itu, sampai tiba pada suatu masa saya tak bisa menghindar lagi untuk pergi kesana. Teman yang mengajak kesana mengatakan sekarang layanan cafe itu sudah jauh lebih baik dibanding semula.

Saya tak punya harapan tinggi ketika pergi kesana dengan beberapa teman. Setelah di beri buku list menu, saya melihat daftar minuman kopi Nusantara, ada kopi Sidikalang, Mandailing, Lintong, Flores dan sebagainya, saya memilih kopi Sidikalang. Dan benar tak terlalu lama datang secangkir kopi Sidikalang dengan tampilan yang mengesankan. Saya mencium baru harum, harum bukan karena parfum melainkan seduhan kopi yang sempurna. Dan sebetulnya amat jarang saya menyeruput kopi tanpa gula, namun malam itu saya mencobanya dan kopi terasa tidak pekat dimulut. Tepat sesudah itu saya mencabut ‘kutuk dan sumpah serapah’ saya atas cafe itu.

Ingatan saya kemudian melayang ke Pematang Siantar, tempat pertama yang saya kunjungi di Sumatera setelah transit sejenak di Medan. Di kota itu saya baru tahu sebutan berbagai jenis kopi di Sumatera, yang semula hanya saya kenal dengan sebutan kopi Aceh. Ternyata ada kopi Sikalang, Mandailing dan Lintong, dan kopi Aceh yang terkenal ternyata adalah kopi Gayo. Kopi memang populer di Sumatera, di Pematang Siantar selain angkutan motor besar (BSA) yang menarik perhatian saya adalah kedai-kedai kopi yang buka sejak pagi hari di mana-mana.

Kopi, bijian yang ditemukan pengembala sapi di Ethiopia dan kemudian menyebar menjadi minuman kesehatan di tanah Arab, hingga berkembang menjadi ‘anggur hitam’ di Eropa, masuk ke Indonesia dibawa oleh orang Belanda. Kopi awalnya dikembangkan di tanah Jawa, konon pertama di daerah yang kini dikenal sebagai Pondok Kopi. Dari situ kemudian kopi menyebar ke hampir seluruh penjuru Nusantara dan menghasilkan kopi dengan ke-khasan masing-masing. Kopi yang dikembangkan adalah jenis Arabica dan kemudian bumi Nusantara dikenal menjadi produsen kopi Arabica terbesar se dunia. Sisa-sisa kebesaran kopi Nusantara masih dikenal dan dikenang sampai sekarang.

Di daerah-daerah tertentu kebiasaan minum kopi masih bertahan, ada rumah-rumah kopi yang didirikan sejah puluhan tahun yang lampau dan terus ramai setiap harinya. Ketika saya tinggal di Manado dulu, rumah kopi yang terkenal adalah di sekitar Tikala (biasa disebut rumah kopi Tikala) yang menjual minuman kopi, teh, susu kopi, teh susu dan pangganan kecil. Dan ada lagi daerah monumental yang dikenal sebagai tempat duduk dan ngobrol-ngobrol sambil ngopi yaitu Jarod (Jalan Roda), sebuah jalan diantara pertokoan yang terletak di tengah kota Manado (Manado Stat).

Di Minahasa juga ada rumah-rumah kopi yang terkenal yang menyajikan kopi dengan ditemani biapong yang berisi unti atau daging babi. Menyantap kopi dan satu dua buah biapong cukup untuk sarapan pagi. Bicara soal kopi, Sulawesi Utara mempunyai kopi yang ternama dan digemari oleh warganya yaitu kopi Kota Mobagu. Saya yang menyenangi minum kopi semenjak di Jawa dulu menemukan ‘surga’ kopi ketika tinggal di Manado, kopi rutin saya konsumsi, minimal 3 gelas sehari. Sampai-sampai kalau lewat jam 3 sore saya belum minum kopi, kepala terasa sakit.

Namun secara tradisional, rumah-rumah kopi saat itu berisi orang-orang yang mulai menua. Arus minum kopi yang baru tidak dipelopori oleh rumah atau kedai atau pondok kopi tradisional. Arus minum kopi di anak-anak muda, baik kelas kantoran maupun mahasiswa diintroduksi oleh gerai-gerai kopi waralaba yang berasal dari luar negeri. Kebiasaan minum kopi untuk ‘hang out’ menjadi bagian dari arus Amerikanisasi lewat gerai kopi Starbuck dan kawan-kawan.
Awalnya saya tak terlalu tertarik dengan gerai kopi waralaba, selain karena urusan dompet juga karena mulut terbiasa dengan kopi hitam yang diseduh memakai ceret kuningan diatas tungku dengan arang yang membara. Namun sekali waktu saya diajak ke Excelso yang ada di sebuah mall. Dan suprise ternyata disana ada Cappucino Toraja, saya memilih itu dan semenjak itu hampir tak ada pilihan lain setiap kali saya singgah ke cafe itu. Selain meminum kopi, menu favorit lainnya adalah Tuna Sandwich yang membuat perut kenyang, meski kemudian dompet menipis drastis.

Kini berbagai gerai kopi lokal dengan sentuhan global bermunculan dimana-mana, peminum kopi semakin muda saja usianya dan kopi disajikan dalam berbagai maca bentuk serta kombinasi. Hadirnya kedai-kedai modern dengan perlengkapan kopi maker yang mekanis ditambah peracik kopi (Barista) yang terlatih membuat secangkir kopi yang disajikan terasa paten dan menetap baik aroma maupun rasanya.

Kopi menjadi minuman yang kembali merakyat, namun sekaligus naik menjadi minuman yang eklusif untuk jenis-jenis tertentu. Contohnya kopi Luwak, jenis kopi yang muncul dari sejarah perjalanan  kerja paksa di kebun kopi (Onderneming) Belanda. Waktu itu para pekerja yang adalah ‘koeli’ paksa tidak boleh mengkonsumsi kopi yang ditanam dan dipanen di kebun. Mereka kemudian memungguti kopi yang dimakan oleh Luwak yang menyisakan biji-biji utuh didalam kotorannya. Dan konon biji kopi yang keluar sebagai ‘tai luwak’ ini terasa istimewa lantaran terfermentasi dalam perut sang Luwak. Kopi ini menjadi kopi pilihan karena Luwak hanya doyan memakan kopi yang benar-benar masak (merah). Karena larangan para Meneer Holland, para kuli perkebunan justru bisa menikmati kopi berkualitas hasil pilihan (quality control) dari satwa yang menjadi hama bagi perkebunan kopi.

Di gerai-gerai kopi waralaba, kopi Luwak (bukan sebagai merk) menurut “Wali” saya, KH. Arifin Assegaf menghasilkan satu jenis pilihan menu kopi dengan ‘rasa uang’ saking mahalnya. Secangkir kecil kopi luwak bisa berharga antara 100 – 200 ribu rupiah, dan ini masuk akal karena kopi Luwak alami (bukan luwak di kandang) dalam bentuk biji kering mencapai harga lebih dari satu juta rupiah per kilonya.

Saya tak tahu persis apa nikmatnya kopi Luwak meski saya pernah mencicipi ketika berkunjung ke Pulau Dewata Bali. Dalam perjalanan menuju Pura Alun Datu, saya sempat mampir ke lokasi perkebunan kopi, menyaksikan pengolahan kopi tradisional yang disangrai dengan gerabah. Di tempat itu ada juga kopi Luwak namun hasil ternakkan di kandang. Tempat lokasi yang kerap disebut sebagai jenis lokasi ekowisata desa (mungkin kebun ini masuk dalam JED, Jaringan Ekowisata Desa), disajikan aneka minuman kopi, teh, jahe gratis, namun untuk kopi Luwak ditarik harga sebesar 40 ribu untuk satu kali shoot alias segelas kecil (sekali). Saya mencobanya, namun tak bisa mengambarkan seperti apa rasanya, sebab saya hanya penikmat kopi tapi tak ahli dalam mendeskripsi perbedaan masing-masing kopi.

Apapun jenis kopinya, mulai dari kopi tubruk sampai kopi yang diolah dengan coffee makers, mulai yang disajikan di rumah kopi sederhana sampai cafe waralaba yang dilengkapi AC dan Wifi, menurut saya kopi memang mendamaikan. Damailah Indonesia dengan kopi, selamatkan generasi nusantara dari kekurangan kopi, begitu slogan kopi Blandongan, yang meski sederhana tapi selalu ramai dengan pelanggan.

Pondok Wiraguna, 13 November 2012
@yustinus_esha

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini

 
BORNEO MENULIS © 2011 | Designed by RumahDijual, in collaboration with Online Casino, Uncharted 3 and MW3 Forum