Damai Bersama Kopi
Suatu kali saya pernah
menyumpah salah satu cafe di bilangan Samarinda, lantaran pelayanan di cafe
yang saat itu belum lama dibuka lambat dan tidak akurat. Saya berjanji nggak
akan mau lagi singgah di cafe itu, titik. Dan berbulan-bulan setelahnya saya
masih teguh memegang sumpah dan janji itu, sampai tiba pada suatu masa saya tak
bisa menghindar lagi untuk pergi kesana. Teman yang mengajak kesana mengatakan
sekarang layanan cafe itu sudah jauh lebih baik dibanding semula.
Saya tak punya harapan tinggi
ketika pergi kesana dengan beberapa teman. Setelah di beri buku list menu, saya
melihat daftar minuman kopi Nusantara, ada kopi Sidikalang, Mandailing,
Lintong, Flores dan sebagainya, saya memilih kopi Sidikalang. Dan benar tak
terlalu lama datang secangkir kopi Sidikalang dengan tampilan yang mengesankan.
Saya mencium baru harum, harum bukan karena parfum melainkan seduhan kopi yang
sempurna. Dan sebetulnya amat jarang saya menyeruput kopi tanpa gula, namun
malam itu saya mencobanya dan kopi terasa tidak pekat dimulut. Tepat sesudah
itu saya mencabut ‘kutuk dan sumpah serapah’ saya atas cafe itu.
Ingatan saya kemudian melayang
ke Pematang Siantar, tempat pertama yang saya kunjungi di Sumatera setelah
transit sejenak di Medan. Di kota itu saya baru tahu sebutan berbagai jenis
kopi di Sumatera, yang semula hanya saya kenal dengan sebutan kopi Aceh.
Ternyata ada kopi Sikalang, Mandailing dan Lintong, dan kopi Aceh yang terkenal
ternyata adalah kopi Gayo. Kopi memang populer di Sumatera, di Pematang Siantar
selain angkutan motor besar (BSA) yang menarik perhatian saya adalah
kedai-kedai kopi yang buka sejak pagi hari di mana-mana.
Kopi, bijian yang ditemukan
pengembala sapi di Ethiopia dan kemudian menyebar menjadi minuman kesehatan di
tanah Arab, hingga berkembang menjadi ‘anggur hitam’ di Eropa, masuk ke
Indonesia dibawa oleh orang Belanda. Kopi awalnya dikembangkan di tanah Jawa,
konon pertama di daerah yang kini dikenal sebagai Pondok Kopi. Dari situ
kemudian kopi menyebar ke hampir seluruh penjuru Nusantara dan menghasilkan
kopi dengan ke-khasan masing-masing. Kopi yang dikembangkan adalah jenis
Arabica dan kemudian bumi Nusantara dikenal menjadi produsen kopi Arabica
terbesar se dunia. Sisa-sisa kebesaran kopi Nusantara masih dikenal dan dikenang
sampai sekarang.
Di daerah-daerah tertentu
kebiasaan minum kopi masih bertahan, ada rumah-rumah kopi yang didirikan sejah
puluhan tahun yang lampau dan terus ramai setiap harinya. Ketika saya tinggal
di Manado dulu, rumah kopi yang terkenal adalah di sekitar Tikala (biasa
disebut rumah kopi Tikala) yang menjual minuman kopi, teh, susu kopi, teh susu
dan pangganan kecil. Dan ada lagi daerah monumental yang dikenal sebagai tempat
duduk dan ngobrol-ngobrol sambil ngopi yaitu Jarod (Jalan Roda), sebuah jalan
diantara pertokoan yang terletak di tengah kota Manado (Manado Stat).
Di Minahasa juga ada
rumah-rumah kopi yang terkenal yang menyajikan kopi dengan ditemani biapong
yang berisi unti atau daging babi. Menyantap kopi dan satu dua buah biapong
cukup untuk sarapan pagi. Bicara soal kopi, Sulawesi Utara mempunyai kopi yang
ternama dan digemari oleh warganya yaitu kopi Kota Mobagu. Saya yang menyenangi
minum kopi semenjak di Jawa dulu menemukan ‘surga’ kopi ketika tinggal di
Manado, kopi rutin saya konsumsi, minimal 3 gelas sehari. Sampai-sampai kalau
lewat jam 3 sore saya belum minum kopi, kepala terasa sakit.
Namun secara tradisional,
rumah-rumah kopi saat itu berisi orang-orang yang mulai menua. Arus minum kopi
yang baru tidak dipelopori oleh rumah atau kedai atau pondok kopi tradisional.
Arus minum kopi di anak-anak muda, baik kelas kantoran maupun mahasiswa
diintroduksi oleh gerai-gerai kopi waralaba yang berasal dari luar negeri.
Kebiasaan minum kopi untuk ‘hang out’ menjadi bagian dari arus Amerikanisasi
lewat gerai kopi Starbuck dan kawan-kawan.
Awalnya saya tak terlalu
tertarik dengan gerai kopi waralaba, selain karena urusan dompet juga karena
mulut terbiasa dengan kopi hitam yang diseduh memakai ceret kuningan diatas
tungku dengan arang yang membara. Namun sekali waktu saya diajak ke Excelso
yang ada di sebuah mall. Dan suprise ternyata disana ada Cappucino Toraja, saya
memilih itu dan semenjak itu hampir tak ada pilihan lain setiap kali saya
singgah ke cafe itu. Selain meminum kopi, menu favorit lainnya adalah Tuna
Sandwich yang membuat perut kenyang, meski kemudian dompet menipis drastis.
Kini berbagai gerai kopi lokal
dengan sentuhan global bermunculan dimana-mana, peminum kopi semakin muda saja
usianya dan kopi disajikan dalam berbagai maca bentuk serta kombinasi. Hadirnya
kedai-kedai modern dengan perlengkapan kopi maker yang mekanis ditambah peracik
kopi (Barista) yang terlatih membuat secangkir kopi yang disajikan terasa paten
dan menetap baik aroma maupun rasanya.
Kopi menjadi minuman yang
kembali merakyat, namun sekaligus naik menjadi minuman yang eklusif untuk
jenis-jenis tertentu. Contohnya kopi Luwak, jenis kopi yang muncul dari sejarah
perjalanan kerja paksa di kebun kopi
(Onderneming) Belanda. Waktu itu para pekerja yang adalah ‘koeli’ paksa tidak
boleh mengkonsumsi kopi yang ditanam dan dipanen di kebun. Mereka kemudian
memungguti kopi yang dimakan oleh Luwak yang menyisakan biji-biji utuh didalam
kotorannya. Dan konon biji kopi yang keluar sebagai ‘tai luwak’ ini terasa
istimewa lantaran terfermentasi dalam perut sang Luwak. Kopi ini menjadi kopi
pilihan karena Luwak hanya doyan memakan kopi yang benar-benar masak (merah).
Karena larangan para Meneer Holland, para kuli perkebunan justru bisa menikmati
kopi berkualitas hasil pilihan (quality control) dari satwa yang menjadi hama
bagi perkebunan kopi.
Di gerai-gerai kopi waralaba,
kopi Luwak (bukan sebagai merk) menurut “Wali” saya, KH. Arifin Assegaf
menghasilkan satu jenis pilihan menu kopi dengan ‘rasa uang’ saking mahalnya. Secangkir
kecil kopi luwak bisa berharga antara 100 – 200 ribu rupiah, dan ini masuk akal
karena kopi Luwak alami (bukan luwak di kandang) dalam bentuk biji kering
mencapai harga lebih dari satu juta rupiah per kilonya.
Saya tak tahu persis apa
nikmatnya kopi Luwak meski saya pernah mencicipi ketika berkunjung ke Pulau
Dewata Bali. Dalam perjalanan menuju Pura Alun Datu, saya sempat mampir ke
lokasi perkebunan kopi, menyaksikan pengolahan kopi tradisional yang disangrai
dengan gerabah. Di tempat itu ada juga kopi Luwak namun hasil ternakkan di
kandang. Tempat lokasi yang kerap disebut sebagai jenis lokasi ekowisata desa
(mungkin kebun ini masuk dalam JED, Jaringan Ekowisata Desa), disajikan aneka
minuman kopi, teh, jahe gratis, namun untuk kopi Luwak ditarik harga sebesar 40
ribu untuk satu kali shoot alias segelas kecil (sekali). Saya mencobanya, namun
tak bisa mengambarkan seperti apa rasanya, sebab saya hanya penikmat kopi tapi
tak ahli dalam mendeskripsi perbedaan masing-masing kopi.
Apapun jenis kopinya, mulai
dari kopi tubruk sampai kopi yang diolah dengan coffee makers, mulai yang
disajikan di rumah kopi sederhana sampai cafe waralaba yang dilengkapi AC dan
Wifi, menurut saya kopi memang mendamaikan. Damailah Indonesia dengan kopi,
selamatkan generasi nusantara dari kekurangan kopi, begitu slogan kopi
Blandongan, yang meski sederhana tapi selalu ramai dengan pelanggan.
Pondok Wiraguna, 13 November
2012
@yustinus_esha
0 komentar:
Posting Komentar